Love tears

HUNHAN

'Bukan hanya mata yang dapat melihat, bukan hanya kulit yang dapat meraba, bukan hanya bibir yang dapat berucap'

Yaoi, ada unsur-unsur rated M-nya, kurang baik untuk pertumbuhan anak-anak. Typo merajalela.

Saya kembali bawa fanfiction yang semoga hasilnya lebih baik dari sebelumnya. Kritik dan saran anda sangat di perlukan ^3^

.

.

.

2008

Desahan yang menggema di sebuah ruangan dengan suhu yang kini mulai meningkat. Pintu dan jendela tertutup bahkan terkunci rapat, tidak membiarkan mata-mata liar di luar sana melihat aktivitas mereka.

Satu suara yang membuat mereka melenguh keras kemudian tertidur bersampingan. Nafas mereka tidak beraturan. Pemuda itu kemudian memaksa tubuhnya bangun, memberi sebuah cek pada pemuda yang kini tengah memejamkan matanya.

"Ini ceknya"

Pemuda imut itu menoleh, tersenyum sekilas, "Apakah kerjaku pantas mendapatkan hadiah sebesar itu?"

"Tentu" pemuda bersurai blonde itu tersenyum kemudian segera berpakaian

"Tidak istirahat dulu?". Pemuda tinggi itu menggeleng

"Ada yang harus ku kerjakan. Sampai jumpa, Luhan"

Kecupan terakhir yang mendarat begitu lembut pada bibirnya hingga Luhan tidak ingin membiarkan kenyamanan pada dua belah bibirnya hilang begitu saja. Namun mau apa lagi, pemuda bersurai blonde itu kemudian pergi, menutup pintu dan membiarkan Luhan termenung bersama langit malam yang begitu legam mengerikan.

"Tu-tunggu" ada sesuatu yang sepertinya terlupakan. Luhan mengambil celananya, memasang dengan asal dan berusaha mengejar punggung yang kini tak tertangkap lagi oleh matanya.

Dinginnya malam menyurak, menyelimuti tubuh bagian atasnya yang tidak berbalut apapun. Ia terdiam, melongo tanpa memperdulikan angin malam yang terus menghunus kulitnya dengan dingin yang kian menjadi-jadi.

"Siapa namanya?"

.

.

.

2013

Pemuda itu menyelesaikan pukulan terakhirnya dengan telak pada hidung si lawan hingga membuat hidung mancung itu hancur. Di tiupnya tangan penuh debu miliknya, kemudian membenahi seragam juga kacamatanya.

Entah apa yang mereka inginkan dari pemuda mungil yang jika dilihat lewat fisik hanyalah pemuda pendek polos nan culun. Ia sendiri pun tidak tahu, apa alasan mereka sering mengerjainya walaupun hasil akhir pastilah ia yang menang.

Mungkin ini karena masa lalunya. Mungkin.

Matanya mengedarkan tatapan dingin ketika gerbang sekolah terbuka, hanya ada segelintir manusia yang telah hadir mengisi sekolah. Kebanyakan dari mereka mungkin sedang memanjakan punggung pada kasur-kasur empuk yang susah untuk di tinggalkan.

Si culun bangkit kembali untuk membelah jalan ketika langkahnya terhenti sebentar untuk membenahi tali sepatunya yang terlepas, mungkin karena preman-preman sialan tadi.

'BRUK'

"Matamu ada empat tapi tetap saja menabrak orang"

Pemuda itu diam. Rasanya baru pertama kali ia melihat pemuda ini di sekolahnya.

Ia mengatai dirinya mata empat padahal pemuda jangkung di depannya sendiri juga mengenakan kacamata.

"Ma-maaf"

"Berhati-hatilah", pemuda itu membenahi kacamatanya, "Xi Luhan?"

"Eum .." Luhan mengangguk kecil, bahkan ia hampir tidak terlihat mengangguk, "Bu-bukankah kau sekolah di tempat lain?"

"Bukan urusanmu"

Pemuda bersurai coklat muda itu berlalu. Meninggalkan pemuda bernama Luhan dengan otak yang hampir berasap karena bekerja terlalu keras.

Rasanya Luhan pernah melihat pemuda itu. Tapi, dimana?

Rasanya suara pemuda itu tidak asing. Dimana ia pernah mengenal pemuda yang sama culunnya dengan dirinya? Selama hidupnya, ia hanya mengenal anak-anak preman sialan yang selalu merusah tataan rambutnya setiap pagi. Namun tidak mungkin pemuda itu dapat berkelahi dengan kacamata yang terus kedodoran, merosot turun dari batang hidungnya yang mancung.

Apakah ia adalah orang dari masa lalunya yang begitu kelam? Sepertinya tidak, pemuda itu terlalu … terlihat seperti orang baik-baik yang buta masalah kerlap-kerlipnya dunia malam.

Baiklah, bias di katakan, ia memang preman dengan otak yang kurang bisa mengingat seseorang dengan begitu jelas hanya karena sekali lihat. Jadi, ia kadang tidak tahu preman kampung mana saja yang pernah berdarah dan menangis karena tangan kecilnya.

Pemuda itu seperti tumpukan-tumpukan salju pada awal desember, terlalu dingin untuk di dekati. Bisa-bisa ia mati beku jika berdampingan dengannya.

Luhan menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba masabodoh dengan masalah yang baru saja menyapanya. Niatnya untuk memulai hari pertama sekolah setelah libur seminggu–untuk sekedar melepas rindu dengan orang tua, libur yang pasti ada dalam satu bulan–dengan senyuman si culun yang begitu cerah.

"Luhaaann~". Luhan tidak sempat menoleh, punggungnya terasa lebih berat dari sebelumnya dengan lengan yang melingkar di tubuhnya.

"Kyungiiiee~" dengan cepat, Luhan membalikan tubuhnya kemudian memeluk sahabatnya. Do Kyungsoo, pemuda yang tak kalah kecilnya dengan Luhan. Namun penampilannya sangat jauh dari kata culun walaupun mau bagaimanapun juga wajahnya tetap terlihat seperti anak sd yang seharusnya masih melingkarkan botol minum di lehernya.

"Lulu~ mana oleh-oleh untukku?" Kyungsoo menadahkan tangannya

"Ayo kita ke kamarmu,"

.

.

.

Satu dari tiga manusia setinggi menara bersorak seraya bertepuk tangan layaknya anak kecil yang mendapatkan balon kemudian berlari kecil untuk merengkuh tubuh sahabatnya kedalam pelukan hangatnya yang menyimpan rasa rindu.

"Ku kira kau tidak serius masalah ini" pemuda itu tersenyum untuk kesekian kalinya, "Well, selamat datang dalam kehidupan yang mungkin bagimu sangat membosankan"

"Terimakasih. Kalau bukan karena ayah yang memaksa, aku tidak akan kembali ke Seoul sampai sekolahku di sana selesai" pemuda yang baru saja memasuki ruangan mengedikan bahunya, menaruh tasnya pada meja yang entah milik siapa, "Jadi .. aku akan tidur di mana? Kelasku di mana?"

Sebuah jitakan mengundangnya meringis, nyaris berteriak, "Bodoh atau pura-pura bodoh?"

"Ya .. ya" Sehun memutar bola matanya, masih kesal dengan jitakan yang tiba-tiba saja mendarat dari temannya yang berkulit tan, paling menyolok di antara mereka berempat. Tidak hanya ia sebenarnya, Tao –pemuda yang paling pertama menyapanya – juga terlihat menyolok dengan tampang preman dan kehebatannya dalam semua bidang bela diri, dan Kris si tinggi yang selalu menjadi pusat perhatian seisi sekolah karena sikapnya yang terlalu cuek dan otaknya yang jenius. Mereka memiliki ciri khas masing-masing yang membuat mereka terlihat begitu menonjol.

"Hei es batu" pemuda paling tinggi dengan logat cina dan aksen inggris yang masih menempel berucap. Pemuda yang baru saja akan keluar dari ruangan untuk mengurusi kepindahannya menoleh, memutarkan diri untuk menghadapkan wajahnya ke arah Kris, tidak ingin mengambil resiko pegal leher karena terlalu lama menoleh.

"Es batu?" pemuda itu mendelik, kurang menyukai nama panggilannya

"Ku harap oleh-oleh untukku tidak kau lupakan" ucap Kris setelah mengedikan bahunya

"Oh ayolah, mana bisa aku membawa mereka sekarang"

"Paling tidak mereka harus ada ketika liburan musim dingin mendatang" ucap Kris, pemuda bername-tag Sehun kemudian mengangguk patuh kemudian kembali melanjutkan langkahnya menuju ruangan yang kini mulai mengubah dunianya tiga ratus enam puluh drajat berbeda dari biasanya, terkekang di tengah-tengah padatnya tata tertib yang tidak pernah ingin di kenalnya.

Perlahan di bukanya pintu kayu yang kini berdiri tegak di depannya, dengan tampang super bete ia menyapukan pandangannya pada seisi ruangan.

"Permisi"

"Oh Sehun?" seorang wanita dengan senyum ramah langsung menyapanya, "Kemarilah, kau harus mengurusnya bersamaku"

Sehun menuruti perintah wanita dengan sedikit keriput di samping matanya ketika ia tersenyum.

"Jadi?"

"Cukup tanda tangan di sini dan di sini. Selebihnya sudah di tangani oleh ayahmu" ucap wanita itu, "Ini kunci kamarmu dan kau salah satu anggota kelas 12 H"

"Berapa banyak kelas disini?"

"Hanya lima. Kelas E, S, H, N dan O"

"Lucu sekali" Sehun terkikik kemudian lanjut menandatangani apa yang harus ditandatangani. Kelas-kelas tersebut terdengan seperti namanya. Ya, nama-namanya mengandung semua huruf yang wanita itu sebutkan. "Terimakasih .. Han Seongsaengnim" Sehun membungkukan tubuhnya sopan kemudian segera memasuki kamarnya.

Kim Jongin, pemuda berkulit tan it uterus mengunyah permen karetnya seraya menuntunnya ke sebuah kamar bernomor 32 H.

"Kau sangat beruntung mendapati teman kamar seperti anak ini" Jongin mengangkat sebuah foto yang sudah di bingkai, berdiri manis pada sebuah meja nakas yang terletak tepat di sebelah kasur dengan seprai merah.

"Memang kenapa?"

"Cantik" gumam Jongin, "Well, jaga hormonmu selama disini. Jangan merusak namamu sendiri"

Sehun tertawa kencang, berhenti membenahi setting kamarnya. Ya, satu kamar terdiri atas dua kasur yang di pisahkan dengan tirai-tirai tipis yang terkesan seperti kelambu, jadi terkesan seperti apartemen mini yang sangat sederhana mengingat pemisah antara kasur satu dengan kasur yang lainnya hanyalah tirai putih. Kasur-kasur itu tidak berdekatan, mereka dipisah dengan jarak terjauh yang dapat di gapai dalam satu ruangan. Kasur yang satu berada di sisi kiri ruangan dan yang satunya lagi di sebelah sisi kanan ruangan, terdapat tangga yang memutar di tengah-tengah ruangan yang menuju ke kamar mandi, dan di dekat tangga terdapat ruang santai, terdapat sepasang sofa, satu meja kaca dan satu tv (silahkan berimajinasi sesuka kalian). Sedangkan masalah computer dan penunjang belajar lainnya sudah di siapkan di kamar –kasur yang di kelilingi dengan tirai-tirai tipis, anggap saja mereka kamarnya– masing-masing anggota.

"Tenang, sekarang aku akan melakukan lovey dovey hanya dengan orang yang berhasil membuatku tertari setengah mati"

Kini giliran Kai yang tertawa, "Aku tidak yakin"

Sehun mengedikan bahunya, "Well, tugasmu selesai. Silahkan keluar"

"Kau tahu arah ke kelasmu?"

"Aku bisa menanyakannya pada teman kamarku yang bagimu cantik itu, kan?"

"Baiklah. Terserah padamu"

.

.

.

Luhan berjalan menyusuri koridor-koridor asrama yang mulai diisi segelintir manusia. Koridor mulai berisik dengan canda tawa sekumpulan manusia yang tengah melepas rindu. Ayolah, baru saja libur seminggu dan bagi Luhan itu adalah waktu yang terlalu cepat. Ia hanya lima hari berada di cina dan sisanya harus menyiapkan tenaga untuk masuk di rumah Bibi San, salah seorang tantenya yang tinggal di Seoul.

Ia berhenti sebentar ketika pintu kamarnya tepat berada di depan batang hidungnya, mengambil kunci kamarnya.

Kemudian gerakan membuka kunci kamarnya terhenti.

Kamarnya tidak terkunci.

Luhan segera membuka kamarnya dan seseorang menyambutnya hangat sekaligus membuat jantungnya hampir jatuh ke tanah.

"Silahkan masuk~"

.

.

.

Review?