Mungkin dia adalah manusia yang mendekati sempurna. Rasanya tak ada yang ia tak bisa lakukan. Semua orang kagum padanya, semua orang segan padanya. Apapun yang ia lakukan selalu bisa di selesaikan dengan baik. Ia juga tidak pernah merasa besar kepala dengan segala kelebihannya. Berkata apapun yang ia lakukan adalah untuk teman-teman di sekitarnya, untuk ras manusia, untuk kehidupan di masa depan.

Aku hampir selalu ada di sampingnya. Aku selalu menjaga pandanganku padanya. Aku mengaguminya sama seperti yang lain, dan di balik semua itu…

Aku selalu melihatnya, entah bagaimana… jadi bagaimana agar ia juga melihatku?

.

.

.

I do not own Shingeki No Kyojin

Original Story by Black Tofu

.

.

.

"Aku masih tidak yakin kenapa kau menempatkanku disini."

"Aku selalu mempertimbangkan apapun yang kulakukan. Hanya itu yang bisa kujawab."

Irvin menatap lurus seorang berperawakan kurus di hadapannya menyungging senyum tersirat yang kental akan rasa bangga. Ia tidak pernah salah membuat keputusan, dan tidak juga untuk kali ini.

Menghabiskan waktu sampai 3 tahun untuk mempersiapkan generasi baru dari Scouting Legion di masa depan, memberikan semua ilmu yang ia tahu kepada anak ini bukanlah hal yang sia-sia. Dan Irvin tidak menemukan sedikitpun alasan untuk merasa kecewa pada pemuda ini.

Rambut pirang yang jatuh menutupi kening, mata biru lautan yang mengkilat, paras yang terlihat baik dan dewasa, sosok itu menegakkan tubuhnya memberi hormat pada Irvin. Melihat bagaimana hasil hari ini, bisa dikatakan selama 3 tahun ini ia melakukan tugasnya dengan baik.

Tugas individu, persiapan untuk menjadi Komandan baru.

Suasana yang terasa tentram dan penuh dengan semangat di antaranya. Irvin benar-benar mengharapkan sesuatu yang amat besar dari anak ini.

"Kau boleh pulang sekarang, Armin."

.

.

.

Day 3 : Unexpected Arrival Part. 1

.

.

.

"Berita baiknya, Irvin dan Armin akan kembali hari ini."

Seketika ruangan mendadak senyap oleh keterkejutan para anggota skuad Levi hingga sepersekian detik kemudian teriakan terkejut mengganggu dari masing-masing orang menyebabkan gerutuan dari si pemimpin skuad.

"Sungguh? Sungguh?!"

"Heichou! Maksudmu Armin? Armin Arlert?!"

"Ah, sial! Setelah berapa tahun tidak pernah pulang dan ia akan pulang hari ini?!"

Levi memijit pelipisnya merasa pusing oleh guyuran pertanyaan dari anggota paling berisik dari skuadnya (siapa lagi kalau bukan Sasha, Jean, dan Connie?) "Sedikit saja kalian bersuara, silahkan ambil sekop dan bersihkan istal sampai malam!"

Dengan begitu, suasana kembali tenang.

Sementara sisa anggota skuad mereka, Ymir tampak sibuk menggerutu sementara Historia menenangkannya, sedangkan Eren dan Mikasa tampaknya mempunyai reflex yang cukup buruk mengenai berita ini, karena sampai saat ini mereka masih bengong memperhatikan kerumunan rebut yang mendadak senyap tersebut.

"Armin akan pulang… ah, bukankah ini berita bagus Mikasa?" kata Eren memasang senyum yang memperlihatkan entah bagaimana ia harus bersikap. Sementara Mikasa masih terdiam.

Kepalanya terasa berputar-putar, membawanya kembali pada hari itu…

Hari itu… hari yang aneh untuknya.

.

.

.

"Kau mau kemana?" Mikasa bertanya ketika menangkap keberadaan kamar kecil tersebut terlihat rapi dengan dua buah ransel di atas ranjang.

Armin terdiam sejenak kemudian tersenyum. "Aku… tidak bisa bilang tepatnya."

Mikasa bisa mendengar bagaimana suara Armin berubah dari beberapa minggu yang lalu. Dan itu masih terasa asing untuknya. Tidak seperti Armin yang kukenal, pikirnya.

"Mau menemaniku mengobrol?" Armin bertanya. Takut-takut Mikasa menolak, karena sejujurnya kapanpun mereka berbicara, tidak pernah dalam kondisi yang benar-benar serius dan hanya berduaan. Mikasa bahkan tak pernah membayangkannya. Dengan begitu, gadis itu mengangguk, sempat gugup ketika ia ingin mengambil tempat duduk di atas ranjang di samping Armin sampai kemudian pria itu menepuk tempat di sampingnya mengisyaratkan Mikasa untuk duduk disana. Dan ia menurutinya.

Mikasa menoleh ke sampingnya menemukan wajah Armin tak sebahagia biasanya, di waktu yang sama, ia juga menemukan wajah Armin tampak tinggi.

"Kau bisa bercerita padaku jika ada sesuatu." Kata Mikasa menyadarkan Armin dari lamunannya. Lagi pria itu hanya tersenyum. Dan hening kembali menyerang keduanya.

Seingat Mikasa, ia dan Armin tidak pernah berada dalam kondisi serupa. Karena itu ia sedikit bingung, atau gugup, dan entahlah… dadanya bertalu sedikit lebih cepat.

Mikasa berpikir untuk pamit dan kembali ke kamarnya karena sepertinya ini sudah lewat tengah malam. Matanya mengintip ke arah di balik jendela menemukan bulan purnama yang begitu terang. Rasanya pemandangan malam yang indah seperti ini sangat mudah terabaikan dalam kehidupan di tengah peperangan. Tepat sebelum Mikasa bicara, pria di sampingnya menginterupsi.

"…Mikasa," suaranya terdengar tidak tenang. Dan mata biru itu mengarah padanya menyelami kedua obsidian milik gadis itu dalam. Terdapat bara api yang tenang di balik kedua matanya, Mikasa bisa membaca ada sesuatu yang penting yang ingin ia katakan… mungkin.

"Kau… sudah menjadi prajurit yang hebat." Katanya terbata-bata. "Kau selalu melakukan yang terbaik, bahkan… mendapat ranking pertama dari seluruh angkatan. Aku selalu tahu, Mikasa… kau tidak pernah melakukan sesuatu secara setengah-setengah…"

"Armin…"

"–berapa tahun sudah kita habiskan untuk berlatih demi menyelamatkan umat manusia… aku bahkan tidak sadar kalau kita semakin tumbuh dewasa."

Mikasa tidak menangkap satupun maksud dari setiap kalimatnya. Keningnya bejengit membentuk kerutan kecil seolah bertanya-tanya tentang apa yang ia katakan? Ia tidak mengerti.

"…aku akan ke ibukota."

Yang pertama, Mikasa tidak terkejut dengan apa yang Armin katakan.

Yang kedua, ia tidak tahu kemana lagi pria ini akan membawa kalimatnya.

"Ibukota? Kenapa?"

"Aku dipilih Komandan Irvin untuk belajar langsung di bawah bimbingannya. Dan karena Komandan adalah orang yang sibuk, aku mungkin akan berada disana selama 3 tahun."

Entah apa yang membuat Armin berkata begitu santai tentang berapa lama waktu yang akan ia habiskan, tapi kali ini Mikasa berhasil dibuat terkejut.

Sejak pertama mereka bertemu, ia tak pernah terpisah dengan Armin selama itu.

"Itu… lama sekali…" gumam Mikasa.

Kalau Eren, entah karena Hanji seringkali membawanya untuk percobaan dan lain-lain, Mikasa sedikit terbiasa dengan ketidak beradaannya selama beberapa hari –atau minggu. Tapi Mikasa sendiri baru ingat, Armin yang biasanya selalu ada ketika Eren tidak bersamanya.

Dan saat itu juga, sesuatu terasa meremas dadanya. Sedikit sakit…

"Pada akhirnya aku bicara juga…" Armin berkata. "Aku akan dipilih menjadi komandan suatu saat nanti…"

Keduanya menunduk. Untuk alasan tertentu tak ada yang berinisiatif untuk menatap satu sama lain, mendadak semuanya terasa canggung, dan udara masam yang sedikit sempit. Mereka tak suka ini. menyadari ada yang salah pada diri masing-masing. Hingga tanpa sadar keduanya saling menggenggam erat diam.

"…Bukankah itu hebat?" lanjut Armin.

Tentu saja hebat… tentu saja Armin pasti senang dengan hal itu…

Lalu kenapa aku tidak?

Lalu kenapa ia tidak senang?

"Tiga tahun…" gumam Mikasa membiarkan helaian rambutnya jatuh menutupi wajahnya yang tertekuk.

Armin tidak yakin, tapi ia melihat tubuh –yang entah kenapa terlihat kecil itu, bergetar. Ia sedikit khawatir, maka jemarinya meraih dagu Mikasa agar menghadap ke wajahnya. Armin terkejut menemukan wajah Mikasa yang entah bagaimana harus dideskripsikan… Armin tidak pernah melihat wajah yang sama seperti yang ia lihat hari ini sebelumnya darinya.

"Mikasa… kau…"

"Jika kau mau pergi selama itu kau harus harus berjanji akan pulang sesekali!" seru gadis itu terdengar kesal.

"E-eh?"

"Kau tidak pernah pergi lama dariku, kau harus berjanji, Armin!"

Entahlah apa yang terjadi.

Tapi pria itu sama sekali tidak menyesal karena Mikasa yang menemukannya malam itu, karena ia mengajaknya mengobrol malam itu, karena Mikas berkata demikian. Ia merasa di harapkan…

"Aku… janji…"

Dan selanjutnya yang tak pernah terpikir oleh Armin, tubuhnya seketika berat dan merendah ketika Mikasa secara tiba-tiba memeluknya begitu erat. Semakin erat. Armin merasakan kedua pipinya sedikit menghangat.

"M-Mika…"

"Aku tidak mengizinkanmu pergi kalau kau tidak benar-benar menjadi Komandan kami nanti…"

Gadis ini… apa senang sekali memberi kejutan di saat-saat terakhir?

Satu sisi lagi dari Mikasa yang tidak Armin ketahui, dan pria itu tersenyum memeluk erat tubuh Mikasa yang kini tenggelam di balik kedua lengannya. Entah berapa menit terlewat diantara mereka, tak satupun menggerakan tubuh untuk sekedar membuat jarak karena terlalu nyaman dengan posisi mereka.

"Aku janji…"

.

.

.

Malam itu, sebuah rumah kayu kecil yang terletak sedikit menjorok ke perkebunan tampak begitu ramai oleh teriakan sahut-menyahut dari dalam rumah –jangan lupakan teriakan dari sang kopral yang menegur si pembuat onar. Beberapa sajian sederhana dan cangkir the memenuhi meja makan yang kini bertambah satu kursi, diduduki oleh anggota mereka yang baru saja sampai beberapa menit kemudian.

Jika dibandingkan dari pertama kali ia pergi, Armin tampak berbeda sekarang. Wajahnya dewasa, tubuhnya sedikit membesar, rambut pirang tergerainya tak berubah sama sekali, tapi sekarang ia punya kebiasaan baru, yaitu memakai kacamata di saat-saat tertentu.

"Oi, Armin! Ceritakan apa saja yang kau lakukan di ibukota?"

"Eh… Y-ya… hanya berlatih seperti biasa, juga aku masuk akademi yang mir-"

"Woah! Suaramu berubah! Suaramu berubah!" Connie mulai heboh. "Coba bicara lagi!"

"A..ahaha… ini sedikit memalukan…"

Dan kemudian kericuhan penuh bahagia itu terus berlanjut. Armin tidak bisa bohong bahwa ia sedikit bosan dengan suasana ibukota yang terlalu formal dan serba materialistis, di tambah lagi ia tidak berteman dengan banyak orang disana. Untuk itulah ia sangat bersemangat ketika Irvin memperbolehkannya kembali ke markas skuadnya.

Disamping itu, Armin menyadari sejak awal. Seseorang tak berbicara sama sekali sejak kedatangannya…

.

.

.

Mikasa menghempas jatuh tubuhnya ke atas ranjang seolah=olah dengan begitu rasa kesalnya bisa hancur tertimpa berat badannya sendiri. Namun ternyata tidak berhasil.

Ia kira kepulangan Armin akan membuatnya senang dan lega seperti yang dibayangkan. Tangan kanannya mengawang meremas letak jantungnya. Ia memang senang… juga kesal dalam waktu bersamaan, oleh sesuatu yang ia sendiri tidak pahami.

Gadis itu menghela nafas, memutar wajahnya menghadap jendela dimana bulan ebrsinar begitu terang.

Sama seperti malam itu… jika ia tak salah ingat.

Selama perjamuan tadi rasanya mood bicaranya benar-benar hilang di telan sesuatu. Bersyukur tidak ada yang terlalu menyadarinya karena semuanya tampak terlalu focus dengan kesenangan di tengah-tengah acara dan membiarkannya tetap duduk diam di belakang. Sesekali Armin menjadi objek pandangannya, menyadari betapa beda sekali gaya, bahasa dan penampilannya sekarang ketimbang dulu.

Entah pukul berapa saat itu, tapi Mikasa tahu itu pasti sudah malam sekali. Insomnianya semakin buruk akhir-akhir ini. maka gadis itupun bangkit dari ranjangnya mengambil langkah pelan menuju pintu kamarnya. Pergerakannya membeku seketika saat menemukan ruang utama yang hanya terpisah pintu dari kamarnya masih menyala, dan menyisakan satu orang yang untuk kali ini sedang tidak ingin ditemuinya. Armin.

Laki–laki blonde itu tampaknya mencurahkan semua perhatiannya saat itu pada buku besar nan tebal di hadapannya. Dengan sebuah kacamata bertengger di atas batang hidungnya, ia tampak sangat serius membaca entah apa itu yang etrtulis dalam buku tersebut.

Sampai beberapa saat, pria berambut pirang itu akhirnya menyadari keberadaan Mikasa yang sedari tadi hanya terdiam di bingkai pintu memperhatikannya entah sejak kapan. Armin tersenyum.

"Tidak bisa tidur Mikasa?"

Mikasa membuka mulutnya berencana untuk berkilah, tapi kemudian ia memilih diam dan kembali pada tujuan awalnya. Dengan acuh Mikasa mengambil segelas air mineral cepat-cepat agar bisa segera kembali ke kamarnya. Tapi sepertinya tidak sekarang, karena entah sejak kapan Armin kini berdiri tepat di belakangnya.

"A-Armin?"

"Apa kau sedang sakit?"

"T-Tidak juga," Mikasa mengalihkan pandangannya.

"Sejak tadi kau tidak berbicara sama sekali. Ada apa?"

Mikasa tidak menjawab. Dan entah kenapa ia merasa kesal dengan pertanyaan tersebut. Bagaimana mungkin ia masih bisa bertanya seperti itu?

Armin tak berkutik sama sekali masih mengharapkan jawaban darinya. Setidaknya ia harus benar-benar tahu bahwa Mikasa baik-baik saja. Tapi gadis itu tak juga mengangkat wajahnya untuk sekedar menatap wajahnya.

"…baka"

"Eh?"

Meski sekilas, tapi saat itu ia yakin…

Tatapan kesal dari kedua obsidian itu.

"Jadi kau sudah lupa dengan yang dulu kau katakan?"

"…Mikasa…"

"Apa ini terasa seperti 3 tahun untukmu? Apa kau pernah benar benar pulang atau sekedar berkunjung sebentar saja?"

"…"

Perlahan Mikasa semakin mundur merapat dengan meja counter dapur. Tubuhnya bergetar pelan memeluk dirinya sendiri. Rasanya benar-benar menyebalkan…

"Setelah berkata begitu dan sekarang kau bertanya 'ada apa'?"

Untuk sebuah alasan, Mikasa marah…
Sejujurnya Armin tak tahu tepatnya kenapa, tapi ia merasa… senang.

"Maafkan aku… aku tak tahu kalau butuh waktu lebih lama dari yang direncanakan,"

"Kau berbohong padaku," lirih Mikasa mendadak merasa sekujur tubuhnya menghangat kala ia mendongak dan menemukan tubuhnya dipeluk oleh pria berambut pirang tersebut.

Seperti malam itu…

.

.

.

"Aku tak tahu kalau untukku membutuhkan waktu lebih lama dari yang direncanakan…" pelukannya menguat. Perasaan saja atau ini semakin terasa nyaman?

"Kau membuatku khawatir… kau tidak pernah pergi selama itu sebelumnya, bagaimana kalau terjadi apa-apa padamu tanpa sepengetahuanku?"

Armin mendengus geli, "Hey, aku sudah dewasa Mikasa,"

"Kau terdengar seperti Eren. Menyebalkan."

Armin kembali terkekeh kecil.

Keduanya kembali diam membiarkan saling memeluk satu sama lain. Diam-diam berharap tak satupun dari mereka melepas pelukan rindu tersebut. Mikasa merasakan ribuan kupu-kupu menari di dalam perutnya menciptakan perasaan geli yang menyenangkan namun juga asing untuknya.

"Apa aku sudah cukup hebat sekarang?" Armin menenggelamkan wajahnya di pundak Mikasa. Menghirup udara di sekeliling gadis itu sebisanya. Ia tak bisa menunggu lebih lama lagi. "Apa kau sudah mengakuiku sekarang, Mikasa?"

"…?"

"Aku ingin menjadi lebih kuat, untuk itu aku belajar begitu lama disana. Latihan yang berat. Kau tidak tahu berapa kali aku hampir menyerah…"

Mikasa terdiam bersamdar pada bahu tinggi pria itu memilih untuk mendengarkan.

"Di tahun ketiga seharusnya aku bisa pulang, tapi aku gagal dan harus berlatih lagi…"

.

"Agar aku bisa satu langkah melebihimu…"

.

Gadis itu mendongak menatap dalam wajah tampan yang tersenyum di hadapannya. Bibirnya tak bisa mengatup ketika ia mengucapkan kata itu.

Bukan hal baru bagi Mikasa untuk mendengar Sasha, atau Jean yang menjadikannya sebagai penutan. Tapi Armin berbeda hal, pria itu tak pernah menunjukan rasa kagum yang terlalu menonjol. Dan mendengar kata itu dari pria ini…

Entah kenapa terdengar sangat menyenangkan…

"A…Armin…"

Pria itu tersenyum. Perlahan kedua ibu jarinya mengelus pelan pipi Mikasa. Terasa kasar… tapi nyaman.

"Ternyata sulit untuk menjadi hebat sepertimu."

Meskipun ia merasa senang tapi Mikasa tidak merasa tersenyum adalah hal yang tepat untuk di lakukan saat itu juga. Wajahnya menghangat, Mikasa menyandarkan keningnya pada dada bidang Armin diam-diam mengulum senyum tipis.

"Kau sudah hebat…" bisik Mikasa.

Dengus pelan pria itu terdengar seiring dengan tangannya yang kembali mengurung tubuh Mikasa.

.

.

.

Tidak perlu terburu-buru…

Tidak perlu…

Belum saatnya…

Karena bukan itu maksudku sepenuhnya…

.

.

.

Part 1 - FIN