catatan: chapter 4 sudah dirombak habis-habisan. mungkin masih harus diperbaiki, but this is better than the previous version so yep. yaaay. first writing for 2014! happy new year! semoga sdr2 dibikinkan animenya amiiiin!
Sudah beberapa jam setelah rambutnya digunting, helai-helai hitam legam yang sudah disapu oleh petugas kebersihan dan mungkin telah dibuang ke tempat pembakaran. Satu per satu harapan yang ditanamkan ke dalam kepalanya dengan belasan jarum dan sedikit listrik telah tersulut api. Ia tak tahu apa ia harus merasa bersyukur atau tidak.
Hinata masih memikirkan beberapa hal mengenai alasannya berada di sini, di klinik ini, menunggu terapis datang memberi pertanyaan yang membuat kepalanya diisi oleh kembang api – dipaksa mengingat, dipaksa melontarkan kata-kata, yang bakal dicatat dan setelah dianalisa, menentukan kondisi mental.
Ha ha ha.
Kondisi mental.
Mendengar semua orang mati (atau sebagian besar dari kata semua itu sebenarnya sekarat di dalam kapsul) berbisik di telingamu sampai kau mati sudah bisa dikategorikan tidak waras. Hinata, sudah jelas, masuk ke dalam kategori itu. Yang ia tak bisa tanyakan pada Sonia ialah: apa dia juga mendengar suara-suara mereka?
Terdengar suara derit pintu dan Hinata menoleh ke arah dua potong besi yang disatukan dengan mur, sekrup, bingkai, dan hal-hal lain yang ia tak bisa ingat apa namanya. Awalnya, ia mengira terapisnya yang datang. Sonia memberi informasi bahwa terapisnya akan memakai jas lab yang menutupi kemeja biru tua dan rok mini ("Gara-gara perbuatan kita, tak ada lagi yang memperdulikan soal kesopanan, ya?" gumam Sonia, yang terdengar seperti gerutu, dan membuat Hinata mengerjapkan mata karena seingatnya, orang-orang sekarat yang ia temui di dunia virtual rata-rata memakai rok mini), tapi, perempuan di hadapannya jelas tak memakai jas lab dan kemeja biru. Bahkan roknya bukanlah rok mini.
Perempuan itu memegang selusin donat yang ditampung di dalam boks berwarna krim pastel. Ia sedang mengunyah donat. Hinata memicingkan mata, dapat melihat donat yang dimakan perempuan itu adalah donat dengan lapisan gula beserta kacang almond. Saat perempuan itu akhirnya melihat ke arahnya, ia memegang donatnya seakan itu adalah jangkar yang terlepas dari kapal; mulutnya membuka lebar dan matanya jelilitan dari atas ke bawah.
"Ah! Kau yang namanya, Hajime Hinata, kan?" tanya perempuan itu sambil meletakkan boksnya di atas kounter. Hinata menganggukkan kepalanya. Perempuan itu langsung mengulum senyum dan menghampirinya, berdiri di hadapannya. "Namaku Aoi Asahina. Salam kenal!"
"Salam kenal…." balas Hinata, karena ia tak tahu harus berkata apa dengan orang asing yang berani tersenyum pada pembunuh. Hinata memandangnya dari kepala ke kaki, melihat bajunya yang seragam dengan baju Kirigiri, dan oh. Oh. Hinata bisa mengklonklusi ia adalah salah satu orang yang selamat.
Izuru muncul lagi, meski ia bilang ia pergi saat Hinata, entah bagaimana cara lidahnya bekerja, mengatakan pulang. Izuru berkata, dua orang lagi, dan Hinata tak mengerti apa maksud dari perkataannya.
Ironis sekali, tak dapat menginterpretasi tiga kata sederhana padahal sudah menyelesaikan kasus-kasus pembunuhan di pulau virtual.
"Kau tahu, Hinata-kun – atau kau mau aku panggil Hinata-senpai?" tutur Asahina sambil mengambil tempat di kasur klinik, memiringkan kepalanya.
"Tolong jangan pakai senpai," kata Hinata. Ia anak tak bertalenta dan Asahina adalah anak bertalenta. Namanya tak pantas disandangkan dengan kata senpai. Namaku yang pantas, ucap Izuru, karena memang begitulah faktanya.
Asahina menganggukkan kepala. "Aku mengingat nama orang dengan menuliskan namanya di tanganku dan mengucapkannya tiga kali. Begitu juga dengan namamu. Aku mengingatnya dengan sempurna!"
"Kenapa?"
"Ah, kenapa, ya?" Asahina menggaruk kepalanya. "Untuk memudahkan tugasku, mungkin?"
Itu terdengar seperti Asahina berniat meracuninya jikalau ia kabur, kemudian Asahina menemukannya. Di koran-koran edisi terbatas, terpampang gambar lengkungan yang dibuat dari kapur, membentuk siluet mayat, dengan judul utama: KEPUTUSASAAN BENAR-BENAR SUDAH PUTUS ASA.
Hinata menelan ludah dan memaksakan dirinya untuk tersenyum. Ia bahkan membiarkan Asahina mencabut helai-helai rambut yang masih terlihat panjang di tengkuknya.
"Aku seperti sedang membunuh orang yang kaupanggil Izuru itu," tutur Asahina.
Kau memang sedang membunuh sisa fisiknya, pikir Hinata. Bukan sisa jiwanya.
Lima kali Hajime Hinata tersenyum karena dipaksakan:
1) Saat sepupunya menerima mainan mobil yang ia inginkan sebagai hadiah ulang tahun dari orang tuanya.
2) Ketika gurunya menyuruhnya untuk mempertahankan nilainya yang bagus, tapi masih lebih rendah beberapa poin di bawah si peringkat satu – si bangsat itu.
3) Saat ia bekerja paruh waktu sebagai kasir di minimarket, jauh dari sekolah, melayani pelanggan dengan setengah hati, demi membiayai pembayaran uang sekolah.
4) Ketika ia dipaksa untuk menghibur bayi yang dititipkan oleh tetangga, dengan tawa palsu dan lagu tidur yang dinyanyikan dengan sumbang.
5) Saat kakeknya berkata padanya, pada satu malam, mungkin pada saat jam berdiam di angka dua belas dan kembang api berarak-arakan di angkasa, "Kau akan menemukan bakatmu tahun ini."
"Hinata-kun, keluargamu sekarang ada di mana?" tanya Asahina.
"Aku tidak tahu," jawab Hinata. Kau bisa bertanya pada Izuru, tambahnya dalam hati. Mungkin ia sudah membunuhnya, lalu mempersembahkan mereka ke Junko.
"Lalu—"
Pintu klinik digebrak oleh seseorang yang rambutnya seperti mau lari dari kulitnya, tapi telah direkat oleh lem super kuat. Hinata mengedipkan matanya, memandang pria itu menarik napas dan menggoyangkan jarinya ke segala arah.
"Ada apa, Hagakure-kun?" tanya Asahina, melompat turun dari tempat tidur.
"Tunggu sebentar." Hagakure mengangkat tangannya, memberi gestur pada Asahina untuk memberinya waktu. Ia bernapas begitu cepat, begitu dangkal, seakan keringat yang mengucur dari pelipisnya bakal menyumbat lubang hidung.
Ah. Imajinasinya berkembang terlalu liar. Perlu dijinakkan.
Hinata mendesah seraya Hagakure membuka akhirnya mulai membuka mulut, punggung disandarkan ke daun pintu.
"Ada yang – ada yang—" Hagakure tak sengaja melirik ke arah Hinata dan ia menutup mulut lagi. Hinata seperti ingin menendang pinggang pria itu karena ia terlalu gampang dialihkan oleh hal-hal kecil. Sayang sekali ia masih disuruh duduk diam di kursi roda. "Ya Tuhan."
Asahina mengikuti arah pandangan Hagakure. "Um, Hagakure-kun? Ada apa?"
"Kenapa ada kloning Kepala Sekolah di sini?!" jerit Hagakure.
Satu kali Hajime Hinata tersenyum tulus:
Saat Jin Kirigiri menyuruhnya datang ke kantornya (ya Tuhan, kantornya keren sekali), mempersilakannya duduk di kursi yang empuk itu, basa-basi sebentar, sebelum akhirnya datanglah kalimat yang mengubah hidupnya.
"Kau terpilih."
Ada air mata berjalan sendiri keluar dari ujung mata.
Hinata menatap Hagakure lama.
"Apa?" kata Hinata.
Hagakure menggubris Hinata, menoleh ke Asahina. "Serius, deh, kenapa ada Kepala Sekolah di sini? Apa alien yang menaruhnya di sini?"
"Iya. Kau alien yang membawaku ke sini," gerutu Hinata. Itu benar. Setidaknya, kurang lebih begitu. Bagaimanapun juga, Naegi yang bertanggung jawab atas segalanya. Dan ia memang sudah dibawa ke sini, sebagai Izuru – entah seperti apa kondisinya saat itu – beberapa bulan yang lalu? Atau sudah lebih satu tahun? Hinata belum bertanya.
"Ugh, berhenti, Hagakure-kun! Kau membuatku bingung," kata Asahina saat Hagakure hendak membalas perkataan Hinata. "Kenapa kau datang ke sini?"
"Ah, ya, soal itu…." Hagakure mengusap bagian belakang lehernya. "Ada yang bangun."
"Siapa?"
Hagakure menggigit bibir bagian bawah, lalu tertawa kecil. Canggung. "Ah, masalahnya, gara-gara lihat si kloningnya Kepala Sekolah, aku jadi lupa siapa yang bangun."
Asahina segera meninju lengan Hagakure dan mendorongnya keluar dari klinik, tak lupa melambaikan tangan dan mengatakan sampai jumpa lagi. Hinata toh tak membalas lambaiannya. Ia bergeming di kursi rodanya, menatap cahaya lampu sampai matanya kering. Alarm yang berdering bukanlah lagu tidur yang menyenangkan.
BEEP.
BEEP.
BEEP.
Nada sumbang yang menunjukkan pintu limbo terbuka, membentangkan jalan ke dunia fana.