Tittle : Thriller

Author : Katniss Jung

Chapter : 10 of 10 (END)

Casts :

Oh Sehun

Lu Han

Genre : Fantasy, horror, thriller, romance, drama

Type : Chaptered

Alert : HanHun, HunHan, Gender Switch, Girl!Sehun, Boy!Luhan

.

.

10.000 views.

143 reviews.

38 favorites.

30 follows.

1 communities.

Dengan achievement besar yang berhasil tercapai dengan 9 chapter, Katniss mempersembahkan chapter terakhir dari series Thriller, chapter 10.

.

.

.

.

.

Luhan menurunkan Sehun di depan rumahnya. Setelah lima jam perjalanan kembali ke Seoul, mereka sampai tepat pukul sebelas malam. Hari sudah larut dan Sehun sempat takut. Kebiasaannya berada di rumah sebelum gelap membuat Sehun lebih waspada.

"Tenang saja," ucap Luhan sambil mengelus rambut Sehun. "Langsung masuk dan ganti baju. Kau aman."

Sehun menjawab dengan senyuman. Lalu, setelah mengucapkan selamat malam, Luhan kembali ke rumahnya sendiri.

Sehun kira, Luhan benar, berada di luar rumah sebentar saat gelap bakal aman-aman saja. Tapi, setelah berbalik dan hendak meraih gerendel pintu gerbang rumahnya, segalanya berubah jadi gelap, bagi Sehun.

.

.

.

.

Luhan kalap.

Sejak semalam, suara-suara yang ada di otaknya berhenti bicara. Pikiran-pikiran Sehun yang selalu didengarnya menghilang begitu saja setelah Luhan dan Sehun berpisah di depan rumah. Luhan tidak tahu apa sebabnya, dan itulah yang membuat Luhan khawatir.

Berkali-kali Luhan mencoba menghubungi ponsel Sehun dan hasilnya nihil. Ponsel Sehun tidak aktif. Tidak biasanya seperti ini, mengingat Sehun seorang ponsel addict yang tidak akan membiarkan ponselnya mati lama-lama.

Tepat saat fajar, Luhan melompat ke kamar Sehun yang kebetulan jendelanya terbuka. Sehun tidak ada di sana. Kamar Sehun kosong dan kasurnya tertata rapih. Luhan sedikit pusing saat berusaha mencium bau Sehun–karena memang baunya merebak dimana-mana. Kebiasaannya mematikan indra penciuman saat berada di sekitar Sehun membuat Luhan tidak terbiasa. Bau Sehun terlalu kuat dan alasan itu yang membuat Luhan hobi tidak bernafas.

Seharian penuh Luhan mencari Sehun. Sekolah, gedung kosong dekat rumah Sehun, rumah Kyungsoo, Kai, Baekhyun, semua Luhan datangi. Dan Sehun sama sekali tidak ada dimanapun. Luhan hampir dibuat gila.

Luhan berkali-kali mencoba melakukan telepati dan hasilnya masih sama. Sehun tidak menjawab sama sekali. Suara-suara yang biasanya didengar Luhan juga masih belum kembali. Dan Luhan menarik kesimpulan kalau Sehun sedang tidur, atau mungkin pingsan.

Saat tengah malam, Luhan terbangun dari istirahatnya. Sayup-sayup suara pikiran Sehun terdengar, seolah Sehun baru saja terbangun dari tidur panjang dan sedang menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya.

Ini dimana.

Sehun mulai bicara di pikiran Luhan.

Sehun!

Mata Luhan menggelora. Setelah seharian dibuat khawatir setengah mati, akhirnya.

Ada dimana ?

Sehun tidak menjawab. Lama sekali. Luhan mulai panik lagi. Bisa saja Sehun tidak sadarkan diri lagi.

Gelap, Lu. Aku tidak tahu.

Gelap ?

Apa yang kau dengar ?

Luhan yakin Sehun sedang berkonsentrasi. Mungkin kepalanya sedang pusing atau masih dalam masa transisi antara sadar dan tidak sadar.

Kereta. Suara kereta. Suara LTE.

Luhan mengerutkan kening. Jika Sehun mendengar suara kereta, itu tandanya Sehun sedang berada di stasiun, atau parahnya di peron bawah tanah. Tapi, untuk apa berada di peron bawah tanah tengah malam begini ?

Apa yang kau lakukan di sana ?

Luhan mendengar Sehun mengerang kesakitan. Sepertinya Sehun sedang berusaha berdiri atau bangun atau semacamnya. Entahlah. Pikiran Luhan kacau balau sekarang. Luhan tidak bisa memastikan Sehun sedang apa.

Aku tidak tahu. Tiba-tiba aku sudah ada di sini. Ini jam berapa ?

Luhan tidak menjawab Sehun. Luhan menyimpulkan Sehun menghilang sejak kemarin malam, saat mereka berpisah di depan rumah Sehun, dan Sehun dibawa seseorang. Luhan yakin itu.

Tunggu di sana. Jangan kemana-mana. Aku menyusul.

.

.

.

.

Sehun mengerang kesakitan–lagi. Punggung dan lehernya sakit luar biasa saat Sehun terbangun di peron bawah tanah yang sepi. Ditambah, setelah berhubungan telepati dengan Luhan barusan, kepala Sehun ikut sakit.

Tidak ada suara di sekitar peron. Tidak ada kereta yang melintas. Hanya ada sebuah lampu yang menyala remang-remang di ujung peron sebagai penerangan. Sehun tahu pasti kalau dia sendirian.

Sehun berusaha mengerti keadaan. Seingatnya, sebelum Sehun tidur, Sehun masih berada di depan rumahnya. Selanjutnya, Sehun tidak mengingat apapun dan bam, Sehun terbangun di peron sepi yang kelihatan angker ini.

Bahu Sehun menegang saat ekor matanya menangkap bayangan di seberang rel. Sehun berusaha menajamkan penglihatannya dan Sehun yakin ada seseorang yang berdiri di sana.

"Halo," sapa Sehun.

Bayangan itu tidak menjawab. Bulu kuduk Sehun mulai merinding. Sehun tidak yakin kalau yang berdiri di seberang sana adalah manusia.

"Siapa ?" tanya Sehun lagi.

Entah perasaan Sehun saja, atau memang suhu udara di sekitarnya menurun.

"Di mana mereka ?" suara cewek itu bergema di sepanjang lorong. Sehun hampir terlonjak karena kaget.

"Mereka siapa ?" Sehun memberanikan diri.

"Pengawalmu, tukang nguping," timpal orang itu sengit.

Awalnya Sehun tidak menangkap maksud dari ucapan cewek bayangan itu. Tapi, setelah dipikir-pikir, mungkin yang dimaksud adalah Luhan dan Kris. Dan Sehun rasa, Sehun kenal dengan suara cewek ini. Walaupun tone-nya dirubah sedemikian rupa, Sehun tahu kalau suara itu adalah suara miliknya.

"Aku tidak tahu," timpal Sehun.

"Bagaimana bisa ?!"

Sehun kaget, bahkan sampai terjatuh saat Tao sudah berdiri di hadapannya, padahal baru sepersekian detik yang lalu Tao berada di seberang rel kereta.

"Aku bukan baby sitter mereka, Tao. Mana aku tahu," timpal Sehun sengit sambil mencoba untuk berdiri.

Sehun mengamati Tao yang sekarang sedang memunggunginya. Tubuh jangkungnya yang nyaris sama seperti Sehun sekarang terlihat lebih kurus. Rambut panjang hitamnya kian panjang, terkumpul jadi satu dalam ikatan kuncir kuda. Jaket baseball-nya kelihatan kusam, seolah Tao baru saja melakukan perjalanan jauh dan tidak ganti baju sama sekali.

"Dia bilang kau tahu," ucap Tao lirih, lebih kepada bicara pada diri sendiri.

"Dia siapa ?" tanya Sehun.

"Nggak penting," potong Tao cepat. "Aku cuma ingin tahu dimana mereka."

Tao berdecak, lalu mengacak poninya sendiri. Kemudian, Tao berjongkok di pinggiran peron sambil sesekali menggeram marah. Mungkin Tao sedang berbicara dengan saudara-saudaranya lewat pikiran. Mungkin. Sehun tidak tahu. Sehun bukan vampire.

"Apa kau yang membawaku ke sini ?" tanya Sehun lagi.

"Bukan," jawab Tao singkat.

"Lalu siapa ? Untuk apa ?" kejar Sehun.

"Nggak penting," timpal Tao.

"Kalau nggak penting, aku bisa pulang sekarang ?"

"Berhenti bicara!"

Sehun diam. Suara keras Tao seolah melumpuhkan pita suaranya.

Tao berbalik. Wajahnya kelihatan sangar. Emosi dan amarah memancar kuat dari tubuhnya. Sehun bisa merasakan itu, karena lututnya mendadak lemas. Sehun ingin menangis. Tapi Sehun tahu kalau ia tidak boleh kelihatan lemah. Bisa-bisa Tao menyerang.

"Kau tidak tahu beban yang aku tanggung, Oh Sehun," ucap Tao lirih.

Sehun tertegun. Sehun menangkap banyak sekali makna dari ucapan Tao yang barusan. Memang amarah yang mendominasi, tapi ada banyak perasaan lain yang tercampur aduk. Tao kedengaran seperti frustasi, sedih, takut, dan… menyesal ?

"Aku harus melakukan sesuatu yang tidak aku inginkan. Semua orang percaya padaku. Aku tidak mungkin mengecewakan mereka semua. Jadi, tetap di sini dan tunggu sampai mereka muncul. Biar aku menyelesaikan ini semua," ucap Tao. Kalau Tao bukan vampire, mungkin Tao bicara sambil menangis.

Ini jebakan. Sehun sengaja diculik untuk memancing kedatangan Luhan dan Kris. Sehun harus putar otak agar Luhan dan Kris tidak datang.

Luhan! Jangan susul aku!

Tidak ada jawaban. Sehun berusaha mengirim ulang pesan telepatinya. Tapi Luhan masih belum menjawab. Sehun takut Luhan sedang panik hingga tidak bisa berfikir jernih dan melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri. Dan itu buruk.

"Kau bilang, kau harus melakukan sesuatu yang tidak kau inginkan," ucap Sehun sambil menyibak rambutnya. "Untuk apa kau melanjutkannya ?"

Tao menggeram.

"Karena itu sudah tugasku!" Sehun rasa Tao agak tempramental.

Sehun kembali memutar otak. Dan seperti sebuah file cabinet yang ditumpahkan, pertanyaan membanjir di otak Sehun. Si curious Sehun sudah kembali.

"Tao, aku ingin bertanya," Tao tidak menanggapi. "Kau sudah melakukan pengejaran terhadap Kris selama belasan dekade."

Sehun bisa menangkap gerak-gerik Tao yang mulai tidak nyaman.

"Kau sekeluarga, Luhan dan Kris hanya berdua," Sehun berdeham. "Kau menang jumlah, Tao. Lakukan serangan mendadak dan bisa dipastikan kau menang. Luhan dan Kris mati. Apa susahnya ? Tapi bukan itu pertanyaanku."

Sehun berjalan mendekati Tao.

"Kenapa kau tidak melakukannya ?" Sehun berjalan mengelilingi Tao yang sekarang menunduk dalam. "Kau terkesan mengulur-ulur waktu. Melakukan pengejaran seorang vampire dan seorang half-blood. Pekerjaan mudah bagi kawananmu. Tapi kau tidak kunjung selesai. Kau ketuanya. Kau yang pegang kendali. Kenapa tidak menggerakkan saudara-saudaramu saja ? Kalau aku jadi kau, aku akan melakukannya."

Tao masih diam seribu bahasa.

"Pasti ada alasannya," Sehun masih berjalan mengelilingi Tao. "–kenapa kau mengulur-ulur waktu ?"

Dan akhirnya, Tao tersungkur. Bahunya bergetar hebat.

"Karena aku tidak bisa melakukannya," jawab Tao lirih, tapi Sehun masih bisa mendengar suaranya.

"Kenapa ?" kejar Sehun.

"Karena… karena aku tidak bisa! Aku tidak ingin melakukannya! Aku tidak ingin membunuhnya!" Tao meraung.

Sehun berhenti. Membunuhnya ?

"Siapa Tao ? Siapa yang tidak ingin kau bunuh ?" kejar Sehun lagi.

Tao menggeleng kuat, seolah berusaha melawan diri sendiri untuk tidak menjawab pertanyaan Sehun.

"Jawab Tao," paksa Sehun.

Guratan kesedihan tergambar jelas di wajah Tao. Setelah beberapa saat yang lalu Tao berusaha menahannya mati-matian, sekarang semuanya tumpah ruah. Tao mengeluarkan apa yang dipendamnya selama puluhan tahun.

"Kris," cicit Tao. "Aku tidak bisa membunuh Kris."

Tao roboh. Tubuhnya bergetar, meringkuk di atas lantai berdebu peron bawah tanah. Tao menangis.

"Kau…"

"Iya," potong Tao sambil sesenggukan. "Aku tidak bisa membunuh Kris. Aku mencintai Kris."

Sehun serasa dilempar ke dalam jurang. Dugaannya kalau Tao mengulur-ulur waktu memang terbukti. Tapi, Sehun tidak pernah menyangka jika alasan Tao mengulur-ulur waktu adalah Kris sendiri. Tao mencintai Kris.

"Aku tidak ingin Kris mati," lanjut Tao. "Seumur hidup aku habiskan untuk mengagumi Kris saat di Meksiko. Dan sekarang, aku harus membunuhnya. Aku tidak akan pernah bisa."

Tao memeluk kakinya sendiri.

"Lagipula, jika Kris mati, aku juga dalam bahaya. Kau tahu soal titik Achilles 'kan ?"

Sehun mengangguk.

"Jika Kris mati, aku lemah. Saudara-saudaraku akan menyerangku untuk merebut tahta," tambah Tao.

"Bagaimana bisa ?" tanya Sehun.

"Aku cuma half-blood, Oh Sehun," jawab Tao. "Sama seperti Kris. Dan keluargaku tidak suka."

Sehun bingung harus bicara apa.

"Menurut mereka, half-blood tidak pantas jadi pewaris. Tapi faktanya, aku anak ketua kawanan. Aku yang harus menjadi pewaris dan melanjutkan tugas," Tao menangis makin keras. "Aku tidak mau melanjutkan tugas. Aku tidak mau membunuh Kris."

Sehun menangkap makin banyak hal. Cara murahan yang Tao lakukan untuk membunuh Kris ada alasannya. Tao hanya melakukan itu untuk formalitas di hadapan saudara-saudaranya. Tao tidak benar-benar ingin membunuh Kris.

Sehun menyentuh bahu bergetar Tao, lalu berbisik.

"Jika kau tidak ingin, kenapa kau masih melakukannya ? Lakukan apa yang kau mau, Tao. Bukan apa yang saudara-saudaramu mau."

Tao terdiam. Tangisannya mereda. Sehun tidak tahu Tao memikirkan apa. Wajahnya tidak terbaca.

"Kau benar," Tao bangun dan Sehun hampir terjungkal.

Tao mengusap air matanya.

"Ayo kita cegah Luhan dan Kris datang kemari, sebelum saudara-saudaraku sampai," ucap Tao sambil mengulurkan tangan pada Sehun. Sehun tersenyum dan menerima uluran tangan Tao.

"Iya. Ada dua pangeran ganteng yang harus kita cegat," goda Sehun.

Tao tidak menanggapi, tapi Sehun tahu Tao tersenyum. Walaupun Tao hanya sahabat semu-nya, Sehun ikut senang.

Belum sempat Sehun dan Tao meninggalkan peron bawah tanah, Luhan dan Kris sudah sampai. Luhan kelihatan khawatir luar biasa sampai-sampai Sehun bisa mendengar suara-suara aneh di kepalanya. Mungkin pikiran Luhan terlalu kacau.

"Apa yang kau lakukan pada Sehun ?" tanya Kris dingin sambil berjalan ke arah Tao. Buru-buru Sehun menghadang di depan Tao.

"Tidak, Kris. Tidak. Tao tidak melakukan apapun," bela Sehun.

"Bagaimana bisa ? Dia yang menculikmu," protes Luhan. Sehun menggeleng kuat.

Sehun terkejut saat tiba-tiba Tao menggeram di belakangnya.

"Damn!" umpat Kris. "Ini jebakan."

"Kalian harus pergi," ucap Tao sambil mengamati lorong gelap.

"Kau ikut bersama kami," tukas Sehun.

"Tidak," jawab Tao singkat.

"Harus," protes Sehun.

Dalam hitungan detik yang begitu cepat, Sehun melihat Tao melompat maju dan berlari ke arah Kris. Sehun kira, Tao bakal menyerang Kris. Tapi, setelah melihat sebuah tangan tergeletak di lantai peron, Sehun baru sadar kalau Tao baru saja menyelamatkan Kris.

"Sehun sembunyi!"

Dan setelah itu, yang Sehun ingat hanyalah tubuhnya didorong kuat, membentur tembok, dan Sehun pingsan lagi.

.

.

.

.

Sehun hampir muntah saat bangun. Sebuah kepala berada tepat di sebelahnya. Hanya kepala. Benar-benar kepala.

Sehun tidak begitu mengerti keadaan. Semuanya kacau. Ada banyak sekali orang saling baku hantam. Teriakan sakit dimana-mana. Suara raungan dimana-mana. Kepala Sehun semakin sakit dan matanya berkunang-kunang.

Luhan, di mana ?

Sehun berusaha menghubungi Luhan dan tidak mendapatkan jawaban. Yang didengar Sehun hanyalah suara geraman di dalam kepala. Mungkin Luhan sedang bertarung atau semacamnya hingga mengabaikan panggilan Sehun.

Setelah kembali mendapatkan kesadarannya, Sehun baru melihat kalau ada seorang vampire tak dikenal berlari ke arahnya. Matanya merah menyala dengan tangan yang berbentuk mirip cakar. Sehun hampir pasrah mati kalau saja Kris tidak datang.

Dalam kecepatan tak terduga, Kris berhasil mendorong vampire itu menjauh sekaligus memutus tangannya, menjadikan vampire itu remukan debu dan Sehun benar-benar ingin muntah sekarang.

"Kau baik-baik saja ?" tanya Kris sambil membantu Sehun berdiri.

"Ya," Sehun terbatuk. "Dimana Luhan ?"

"Membantu Tao."

Sehun melemparkan pandangannya ke ujung lain peron. Di sana, Tao dan Luhan sedang berusaha melawan setengah lusin vampire. Di sekitar mereka ada banyak sekali debu dan–Sehun sama sekali tidak mau cari tahu.

"Tao punya rencana. Tepat jam dua akan ada kereta malam lewat. Tao akan memancing mereka ke rel. Sekarang sudah hampir jam dua. Lima menit lagi kereta akan lewat. Kalau mereka bisa bertahan sebentar lagi, mungkin rencana Tao bisa berhasil," jelas Kris.

"Tao kelelahan, Kris," ucap Sehun sambil mengamati Tao yang gerakannya mulai melambat. "Kau harus membantu."

"Tidak. Tao tidak mungkin kelelahan. Dia, 'kan–"

"Half-blood! Dia hanya half-blood, Kris. Dia juga bisa kelelahan. Sama sepertimu," Sehun mendorong Kris. "Cepat bantu mereka."

"Tapi–bagaimana–"

"Cepat!"

Kris berlari ke ujung peron, bergabung dalam kekacauan. Sehun sendiri bersembunyi di sebelah barrel tua yang sangat besar. Sehun harus sembunyi kalau tidak mau diserang secara tiba-tiba.

Sehun merasa kasihan pada Tao. Pengorbanan yang Tao lakukan cukup besar. Memilih menghianati keluarganya sendiri untuk melindungi Kris, titik Achilles-nya, bukannya melakukan tugasnya adalah sesuatu yang sulit. Tao dihadapkan dalam dua pilihan besar yang sama-sama bakal membunuhnya.

Suara kereta terdengar dari kejauhan. Lorong bawah tanah itu terkesan agak terang. Sehun mengamati Tao yang mulai bergerak ke pinggiran peron, berusaha memancing saudara-saudaranya untuk turun ke rel. Dan tampaknya, usaha Tao berhasil.

"Kris! Luhan! Pergi!" ucap Tao sambil menangkis sebuah pukulan keras dari saudaranya.

"Tidak!" tolak Kris mentah-mentah sambil menendang dada salah satu saudara Tao.

"Kalian harus pergi! Bawa Sehun pergi!" lanjut Tao.

Luhan langsung mundur setelah mendengar nama Sehun. Namun tidak dengan Kris.

"Kris, aku mohon!" tambah Tao. "Sehun harus selamat."

Sehun menangis mendengar ucapan Tao. Rasanya baru kemarin Tao hampir membunuhnya. Dan sekarang, Tao malah mengusahakan keselamatan Sehun.

"Tidak, Kris! Bantu Tao," jerit Sehun.

"Kita harus pergi," entah sejak kapan Luhan sudah ada di samping Sehun. "Sekarang."

"Tidak, Lu. Kita harus pergi bersama Tao juga," Sehun memohon sambil menangis.

Ujung gerbong sudah terlihat, bergerak dalam kecepatan maksimal. Dalam detik-detik yang menegangkan, untuk pertama kalinya dalam seumur hidup, Sehun melihat sebuah pembunuhan masal sekaligus misi bunuh diri yang menyelamatkan nyawanya.

Tao berhasil memancing saudara-saudaranya ke atas rel dan langsung tertabrak kereta. Debu vampire berceceran dimana-mana, tercerai-berai diiringi raungan menyakitkan dari vampire-vampire yang mengalami kematian paripurna.

Naas. Tao memang berhasil membunuh seluruh saudaranya dalam sekali sibak. Tapi, Tao tidak berhasil menyelamatkan dirinya sendiri. Kaki kirinya terlindas ban kereta dan melebur jadi debu.

"Tao!"

Sehun dan Kris menjerit bersamaan.

Kris kelihatan paling kacau. Kris melompat turun ke rel sementara Tao merangkak mendekati Kris, dan mereka bertemu dalam sebuah pelukan di atas rel sementara Sehun dan Luhan berjalan terseok-seok menuju pinggiran peron.

Kris memeluk erat Tao. Mereka sama-sama menangis. Tao yang terdengar paling keras. Gadis vampire berambut hitam legam itu menangis diiringi dengan geraman sakit, sementara Kris berusaha menenangkan.

"Tidak apa-apa, Tao. Kita akan menemukan cara untuk menyembuhkan kakimu," ucap Kris sambil mengelus rambut Tao.

"Tidak," Tao menggeleng kuat. "Tidak bisa, Kris."

"Bisa," timpal Kris.

"Tidak," Tao melepaskan pelukan Kris. "Aku sudah mati."

Bahu Kris bergetar hebat.

"Kau tahu," Tao menyentuh pipi Kris yang basah. "Seumur hidup aku habiskan untuk mengejarmu."

Kris tidak menanggapi.

"Setidaknya aku mati berguna," sambung Tao.

"Kenapa kau melakukan ini ?" tanya Kris dengan suara serak.

"Karena…" Tao menatap Sehun. "Sehun bilang, aku harus melakukan apa yang aku mau. Bukan yang saudara-saudaraku mau."

Tao kembali menatap Kris.

"Tao! Kris! Cepat menyingkir. Ada kereta lagi!"

Sehun menjerit histeris saat melihat ujung gerbong kereta lain yang akan melintas.

"Ayo, Tao," Kris berusaha mengangkat tubuh Tao, tapi Tao menolak.

"Tidak, Kris. Ini sudah berakhir," Tao kembali menangis. "Kau harus pergi."

"Kau harus ikut," Kris bersikeras.

Tao menarik kerah jaket Kris dan memberinya sebuah kecupan singkat. Lalu, Tao membisikkan sesuatu pada Kris. Dan dalam hitungan yang begitu cepat, Tao mendorong Kris hingga terpental ke atas peron dan tubuhnya melebur jadi debu, tertabrak kereta.

"Tao!"

Sehun menjerit sejadinya. Lalu, yang diingatnya hanyalah suara Luhan yang memanggil-manggil namanya.

.

.

.

.

"Bagaimana perasaanmu ?" tanya Kai dengan seringaian khas-nya.

"Apa rasanya pusing ?" lanjut Kyungsoo.

Kepala Sehun pusing bukan main. Baru saja Sehun membuka mata, ia sudah disuguhi wajah Kyungsoo dan Kai dengan cengiran aneh mereka. Diberi pertanyaan double lagi. Rasanya kepala Sehun seperti ditusuk ratusan duri.

Sehun tidak tahu ia ada dimana sekarang. Tapi, dicium dari baunya, Sehun rasa ia berada di rumah sakit.

"Apa yang terjadi ?" tanya Sehun sambil berusaha duduk. Kyungsoo membantunya.

"Dehidrasi," jawab Kyungsoo.

"Hipotermia," lanjut Kai.

"Kurang makan," tambah Kyungsoo.

"Tidur panjang," tutup Kai.

Sehun mengernyit bingung.

"Kau dirawat di rumah sakit, Oh Sehun. Kau ditemukan di peron bawah tanah dekat Gangnam dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tubuhmu mengalami dehidrasi sekaligus hipotermia. Dan ngomong-ngomong, kau sudah tidur selama satu minggu," jelas Kai.

Satu minggu ?

"Sebenarnya apa yang kau lakukan di sana malam-malam ?"

Sehun berusaha mengingat segala kejadian yang dia alami sebelum tidak sadarkan diri. Matanya berair saat mulai mengingat kejadian-kejadian menakutkan di peron bawah tanah. Pertarungan, pembunuhan masal, dan Tao mati. Sehun mulai menangis lagi.

"Tao.. Luhan.." racau Sehun sambil berusaha turun dari kasur.

Kyungsoo dan Kai mencegahnya.

"Hey, hey, tenang," ucap Kyungsoo sambil memeluk Sehun dari samping.

"Luhan, Kyung, Luhan. Aku harus bertemu Luhan," Sehun masih berusaha untuk turun dari kasur.

Kyungsoo melepas pelukannya dan Kai menatap Sehun aneh. Sehun sendiri yang merasa diperhatikan mulai tidak nyaman.

"Apa ?"

Kyungsoo dan Kai saling tatap, lalu kembali fokus pada Sehun.

"Siapa Luhan ?" tanya mereka bersamaan.

Dan mulai sejak itu, Sehun tahu, hari-hari gelapnya yang lain sudah datang.

Luhan sudah pergi.

.

.

.

.

Sehun seperti orang frustasi.

Di saat musim panas, ketika semua orang bersenang-senang karena libur panjang, Sehun lebih banyak mengurung diri di kamar dan membuat tubuhnya remuk dengan kerja part-time tanpa jeda.

Setelah menemukan fakta bahwa Luhan benar-benar meninggalkannya, Sehun menyadari kalau waktunya untuk berbahagia sudah selesai.

Luhan pergi. Benar-benar pergi. Maksud Sehun, benar-benar pergi.

Luhan bukan hanya pergi dengan tubuhnya, tetapi juga seluruh memori tentangnya.

Foto-foto yang tertempel di kamar Sehun, yang seharusnya ada Luhan di sana, sekarang kosong melompong, hanya sebuah polaroid dengan gambar random. Foto yang seharusnya ada Sehun dan Luhan di sana, sekarang hanya tinggal Sehun, gambar Luhan benar-benar menghilang.

Rumah Luhan yang berada tepat di sebelah rumah Sehun kembali kosong, sama seperti sediakala sebelum Luhan datang, berupa rumah tua dengan pagar karatan dan ilalang setinggi satu setengah meter di pekarangannya.

Luhan juga menghilang dari ingatan orang-orang di sekitar Sehun. Kyungsoo, Kai, bahkan ibu yang sudah berkali-kali bertemu Luhan, benar-benar tidak mengingat siapa itu Luhan. Mereka selalu bertingkah seolah mereka belum pernah mendengar nama Luhan dan Luhan tidak pernah ada.

Hanya Sehun yang masih bisa mengingat Luhan dengan jelas. Luhan meninggalkan banyak sekali memori dan luka. Luhan menjerumuskan Sehun ke dalam kesedihan tak berujung. Sehun benar-benar patah hati dan kehilangan. Dan penderitaan Sehun makin lengkap karena Sehun sama sekali tidak bisa membagi perasaannya pada siapapun.

Sekali lagi, ingatan tentang Luhan sudah dihapus.

Hanya Sehun sendiri yang ingat.

Setiap hari Sehun memanggil dan menyebut nama Luhan di dalam hati, berharap laki-laki rupawan dengan tubuh jangkung dan rambut hitam itu muncul di jendela kamarnya lagi, sama seperti dulu. Tapi, tidak ada yang terjadi.

Sehun hancur.

Sendirian.

.

.

.

.

.

.

.

Tahun ajaran baru.

Sehun sudah kelas tiga dan ujian suneung hanya dalam hitungan bulan.

Setelah menata hati dan siap untuk memulai hidup baru, Sehun berangkat sekolah dengan senyum di wajahnya. Harinya kian cerah ketika Kyungsoo dan Kai menyambutnya di depan sekolah dan mereka masuk dengan berangkulan. Tidak ada hari yang lebih menyenangkan dari hari itu.

Sehun, Kyungsoo, dan Kai mengambil buku paket baru di ruang tata usaha dan langsung menuju kelas baru mereka yang berada di lantai paling atas. Di sepanjang koridor mereka terus ngobrol dan tertawa, terutama Sehun yang sedang berusaha membuat dirinya sendiri senang. Sehun tidak ingin larut dalam kesedihan lagi.

Walaupun sudah naik kelas, Sehun tidak mau berpisah dari Kyungsoo. Mereka tetap duduk sebangku dengan Kai yang duduk tepat di belakang Kyungsoo, formasi lama.

"Aku belum sarapan," celetuk Kyungsoo sambil memainkan rambut hitamnya.

"Ayo kita ke kafetaria," ajak Kai yang dihadiahi anggukan antusias dari Kyungsoo.

"Mau ikut ?" tanya Kyungsoo pada Sehun.

"Tidak," Sehun mengeluarkan buku Biologi. "Aku mau membaca saja."

"O.K.," Kyungsoo mengambil dompetnya dari dalam tas. "Kami pergi dulu."

Setelah Kyungsoo dan Kai meninggalkan kelas, Sehun mengeluarkan dompetnya. Sebenarnya Sehun juga belum sarapan. Tapi, ia lupa meminta uang saku pada ibunya hari ini. Dompetnya kosong melompong. Jadi, Sehun tidak bisa beli apa-apa dan terpaksa pulang jalan kali nantinya.

Sehun melempar dompetnya yang terbuka ke atas meja. Senyuman manis terukir di bibirnya saat mengamati sebuah foto di salah satu sisi dompet. Fotonya dan Luhan.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Butuh tiga detik bagi Sehun untuk menyadari kalau di foto itu ada Luhan-nya. Karena, sejak Luhan menghilang, foto itu hanya bergambar Sehun saja, tidak ada Luhan di sana. Dan sekarang, Luhan kembali ada di dalam foto itu. Berarti ?

Jantung Sehun hampir copot saat mendengar pekikan salah seorang cewek anggota kelasnya.

"Ada murid baru!" ucap cewek itu heboh. "Ganteng banget!"

Jantung Sehun berpacu dengan teramat-sangat-tidak-normal. Sehun meraih dompetnya dan berlari ke luar kelas. Dadanya sakit luar biasa. Rasa bahagia, takut, sedih, dan marah bercampur jadi satu di dalam dadanya.

Sehun berlarian di sepanjang koridor lantai lima, lalu turun ke lantai empat. Tapi, Sehun tidak menemukan keberadaan murid baru itu dimanapun. Dan begitu seterusnya hingga Sehun mencapai lantai dua dengan berlari.

Sehun berlari kesetanan menyusuri koridor depan ruang musik dan laboratorium kimia, lalu berbelok di ujung, menuju ruang tata usaha.

Dan di sana.

Sehun berhenti di sana.

Lututnya melemas dan bibirnya membisu. Matanya berair dan jantungnya berdetak tidak karuan.

Di sana, Sehun melihat seorang cowok jangkung dengan rambut gelap dan tindik di telinga kanannya, berdiri di depan pintu masuk ruang tata usaha, dirubungi cewek-cewek yang kelihatan ingin sekali berkenalan, kalau beruntung bisa mendapat nomor ponselnya sekalian.

"Luhan.." panggil Sehun lirih.

Luhan yang sebelumnya kelihatan panik dan tidak nyaman berhenti bergerak. Matanya tertuju lurus pada Sehun yang berdiri di dekat belokan. Semula, cewek-cewek yang mirip semut mengerubuti gula itu sekarang diam, mengikuti arah pandangan Luhan.

"Sehun.." bibir Luhan bergerak sendiri.

Sehun tidak bisa berbalik dan berlari. Kakinya seolah diberi lem dan terus tertempel di lantai. Sehun diam saja saat Luhan bergerak mendekat dan langsung memeluk Sehun, mengabaikan jeritan cewek-cewek yang baru saja mengerubutinya.

Sehun menangis sejadinya. Rasa rindu dan sedih yang dia pendam sendiri selama tiga bulan pecah. Sehun tidak bisa menahannya lebih lama lagi.

"Kau tidak bisa seenaknya sendiri. Kau tidak bisa seenaknya datang dan pergi dari kehidupan orang lain," ucap Sehun sambil sesenggukan. "Aku benci Luhan."

Luhan menjawab dengan mengeratkan pelukannya pada Sehun.

"Kenapa kau datang lagi ? Untuk menghancurkan aku lagi ? Kau belum puas ?" tanya Sehun dengan suara serak. "Aku benci Luhan."

"Kau bohong."

Akhirnya Luhan membuka suara.

"Kau masih mencintaiku. Aku tahu," Luhan melepaskan pelukannya. "Maafkan aku."

Sehun diam saja. Yang dilakukannya hanya menghindari tatapan Luhan.

"Aku tidak bermaksud membuatmu hancur," Luhan menarik dagu Sehun agar membalas tatapan matanya. "Maafkan aku."

"Jangan datang lagi," Sehun menatap Luhan tajam. "Aku membencimu."

Luhan tersenyum.

"Tidak, Oh Sehun. Kau tidak membenciku. Kau memanggil namaku setiap malam."

Sehun tertegun. Bagaimana Luhan bisa tahu ?

"Kau memanggil namaku setiap malam. Makanya aku kembali," lanjut Luhan.

Sehun menghambur untuk memeluk Luhan lagi.

"Moonlace sialan."

Sehun mengutuk giwang yang dipakainya.

"Jangan pergi lagi," ucap Sehun sambil mengeratkan pelukannya.

"Tidak. Tidak akan pernah lagi."

.

.

.

THE END

.

.

.

Terima kasih untuk 10.000 views dan 143 reviews. Terima kasih untuk SEMUA ORANG yang sudah mau menyempatkan diri untuk membaca Thriller. Terima kasih untuk SEMUANYA (aku nggak mungkin nyebutin satu-satu) yang sudah mau repot-repot meninggalkan review kalian yang berharga.

Berkat dukungan dari teman-teman sekalian, Thriller bisa diselesaikan. Walaupun sempat mengalami kendala karena laptopku hilang, aku seneng banget bisa menyelesaikan ini.

Tujuan aku buat FF ini adalah untuk dinikmati oleh banyak orang. Dan aku seneng banget begitu tahu banyak orang yang menikmati FF buatanku.

Tunggu FF-FF-ku selanjutnya yaaa.

Salam sayang,

Katniss

Bbuing Bbuing~ 33