Hola Minna…

Ini Fic Pertama Saya di Fandom ini, Salam kenal semuanya.

.

DISCLAIMER : HAJIME ISAYAMA

.

WARNING : OOCness(parah, banget, kelewatan, gak ketolongan), AU, Misstypo(eksis mulu, gak mau absen!), Gaje, Ide pasaran, Mudah ketebak, Membosankan!

.

Attention : Fic ini hanyalah fiksi belaka, apalagi terdapat kesamaan di dalam fic ini di fic lain atau cerita lain dalam bentuk apapun, itu sama sekali tidak disengaja. Mohon maaf kalau terjadi kekeliruan dalam pembuatan fic ini. Semua yang ada di sini cuma fiksi yang iseng.

.

.

.

"Aku sudah mencari kemungkinan dimana dokumen rahasia itu berada. Tapi tak ada satu pun ruangan di dalam gedung ini yang mencurigakan. Bahkan tidak ada ruang rahasia apapun di gedung sebesar ini."

"Waktu kita semakin sempit sekarang."

"Aku tidak menyangka mantan CEO sebelumnya benar-benar menutup rapat masalah ini."

"Tentu saja. Ini adalah rahasia besar. Jika bukan karena kematiannya, semua masalah ini tidak akan terkuak begitu saja."

"Waktu mereka menyerang, akan semakin dekat."

"Ya. Jika mereka berhasil menghancurkan gedung ini. Maka semuanya akan sia-sia saja."

"Aku akan memeriksa sekali lagi cetak biru seluruh lantai bangunan ini. Kau fokus saja pada pekerjaanmu, Levi."

"Aku mengerti."

Erwin kemudian meninggalkan ruang CEO setelah membahas masalah mereka sebelum jam makan siang dimulai. Setelah kepergian Erwin pun, Rivaille masih duduk di sofa ruangannya. Ada banyak hal yang berkeliaran di dalam kepalanya. Dan semuanya seperti tercampur satu sama lainnya.

Apa yang mungkin bisa Rivaille lakukan sekarang?

Satu-satunya yang membebaninya saat ini hanyalah seorang gadis yang selalu bersamanya kemana pun dia pergi. Gadis yang tanpa disadarinya jadi memiliki suatu arti kehadiran di dalam pikirannya. Ya, di dalam pikirannya, mau dienyahkan berapa juta kali pun tetap mustahil. Ada saja alasan gadis itu untuk tetap berada di pikirannya meskipun Rivaille sudah berjuang keras untuk memusnahkannya.

Memikirkan seorang gadis… tidak ingin membuat Rivaille mengulangi hal yang sama.

Tidak untuk ke sekian kalinya.

Rivaille sungguh berharap… bukan gadis itu.

Bukan dia.

.

.

*KIN*

.

.

Hari ini Erick bersama Annie menyusuri jalanan Tokyo. Ya, mereka ditugaskan untuk mencari tahu jejak penting komplotan musuh yang mungkin saja bisa mereka lacak. Karena beberapa petunjuk bisa mereka dapatkan beberapa waktu lalu semenjak percobaan pembunuhan terhadap Rivaille dulu. Namun tetap hasilnya nihil. Walau sudah berkeliling selama setengah harian ini, tetap saja tidak ada.

Bekas markas yang mereka temukan pun sudah jadi puing-puing bekas kebakaran yang entah kapan dilakukan oleh mereka.

Sepertinya komplotan ini sangat hati-hati sekali dengan persembunyiannya. Mereka gampang berpindah tempat.

"Mereka benar-benar hebat. Aku tidak tahu kalau ternyata kelompok seperti ini di Jepang sangat lihai," gumam Erick setelah kembali lagi ke mobil mereka karena tak mendapatkan hasil apapun.

"Ayo kita pergi. Aku sudah melaporkan ke markas pusat mengenai pencarian hari ini," ujar Annie setelah menutup ponselnya dan masuk ke dalam mobil.

Selama bepergian bersama Annie, Annie-lah yang menyetir mobilnya. Ya, Annie memang tidak pernah percaya pada kemampuan menyetir Erick. Itu memang bisa dimaklumi sebenarnya. Karena terkadang Erick tidak bisa membaca situasi jalanan. Kalau mendadak, dia bisa mengebut begitu cepat dan mengerem begitu mendadak.

Sekarang mereka sudah berada di dalam mobil.

"Aku lapar," keluh Erick.

"Kau sudah makan dua jam yang lalu!" geram Annie.

"Ayo kita makan~ aku lapar sekali…" rengek Erick.

"Oh Tuhan! Aku tidak punya waktu meladenimu sekarang."

Erick kemudian diam kembali. Annie memang susah diajak bercanda. Gadis pirang ini terlalu serius menanggapi segala sesuatu. Apalagi wajahnya yang selalu saja menyeramkan seperti itu. Erick juga heran, mengapa dirinya menganggap Annie itu cantik? Padahal jika dia seperti ini, gadis ini sama sekali tidak cantik.

"Annie, kau ingat… panti asuhan dimana kita dibesarkan dulu?"

"Kenapa tiba-tiba kau bertanya seperti itu?"

"Tidak, hanya saja… aku penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi sebelum aku berada di panti asuhan itu."

Annie akhirnya ikut diam. Ketika dirinya menengok sekilas ke sebelah bangkunya, Erick tampak melihat jendela mobilnya dengan begitu serius seraya menopang pipinya dengan sebelah telapak tangannya. Erick terkadang bisa terlihat seperti anak kecil dan bocah ingusan yang tidak tahu aturan. Tapi ada juga sisi dimana… laki-laki ini tampak terlihat begitu merindukan sesuatu. Ya, sesuatu yang bahkan Erick sendiri tidak mengetahuinya.

"Karena sepertinya… aku tertidur cukup lama dan… begitu terbangun aku sudah berada di sana. Denganmu…" lirih Erick lagi.

"Masa lalu sudah usai. Kenapa juga mengingatnya lagi. Sekarang ada yang lebih penting daripada mengingat itu, Erick."

"Ya ya ya, kau benar. Ada yang jauh lebih penting. Nyawa kita memang lebih penting daripada mengingat masa lalu."

Annie kemudian memandangi jalan di depannya dengan serius.

Ini pertama kalinya Erick menanyakan masa lalu mereka seperti itu.

Ya, seperti diketahui, sejak kecil mereka memang berada di panti asuhan yang sama. Sebelum akhirnya Erick diadopsi oleh pasangan dari Jerman itu, lalu mereka kembali bertemu di Amerika ketika mengikuti sekolah bersama-sama. Hingga hari ini.

Mungkin Erick sudah lupa.

Bahwa sebelum pergi, meninggalkan Annie karena diadopsi, Erick pernah menyerahkan sesuatu pada Annie. Yang tentu saja hingga kini masih ada disimpan olehnya.

Sesuatu yang mungkin akan membawanya kembali terlarut dalam masa lalunya.

.

.

*KIN*

.

.

Karena Annie yang menolak diajak makan oleh Erick—yang pada dasarnya ini adalah jam makan siang—makanya Erick minta diturunkan di Stohess Building saja. Sebenarnya Annie sedikit curiga mengapa bocah ini tiba-tiba jadi rajin sekali berkunjung kemari. Padahal mereka memiliki misi sendiri dan mengunjungi orang-orang tertentu di dalam gedung ini hanyalah sambil lalu saja. Walaupun Annie memang menyadari ada yang tidak beres dengan kawannya itu, tetap saja Annie tidak ingin tahu apapun.

Annie selesai memarkirkan mobilnya di depan pintu lobby utama Stohess Building. Erick keluar dari pintu penumpang seraya menggandeng tas ransel kecilnya. Jaket tebal dengan tudung yang memiliki aksen bulu di pinggirnya juga tak lupa dipakainya untuk menutupi sweater putih gadingnya.

"Aku akan pulang sendiri nanti," sapa Erick di dekat jendela pintu mobil Annie.

"Memangnya aku mengatakan mau menjemputmu?" ujar Annie.

"Kau pasti akan gelisah kan kalau aku terlambat pulang~" goda Erick.

"Maaf saja, aku banyak pekerjaan. Kalau begitu aku pergi dulu," kata Annie cuek.

"Hm, baiklah. Hati-hati ya."

Erick melambaikan tangannya ketika mobil sedan hitam itu sudah melaju lebih dulu meninggalkannya.

Setelah Annie berikut mobilnya sudah menghilang dari pandangan, Erick melihat-lihat gedung pencakar langit di depanya ini. Gedung besar ini memiliki rahasia yang begitu penting. Erick ada di sini juga untuk mempertaruhkan nyawanya bersama dengan Annie, Erwin juga Rivaille.

Tapi tidak untuk Mikasa.

Mikasa tidak tahu apapun untuk apa nyawanya dipertaruhkan di sini. Dia bisa saja berada di dalam bahaya bahkan tanpa dia ketahui alasannya. Tapi demi bisa melindungi Rivaille, dia mau melakukan hal itu. Seakan-akan nyawanya tak ada artinya. Bahkan dirinya seakan tak ada harganya. Erick benci pemikiran itu. Ditambah lagi melihat sikap Rivaille yang terlalu cuek padanya. Sebenarnya Erick sedikit kesal melihat cara Rivaille yang membatasi dirinya berada di dekat Mikasa. Tapi setelah tahu alasannya, Erick jadi semakin tidak ingin Rivaille menjauhkan mereka berdua.

Mungkin benar menurut Rivaille Erick tidak usah bertemu lagi dengan Mikasa karena luka masa lalunya. Ya, kehilangan seseorang yang begitu berarti dan kemudian bertemu lagi dengannya namun dalam wujud orang lain. Kerinduan yang membuncah itu tak bisa ditumpahkannya begitu saja. Bahkan kembali mendesak masuk hingga membuat perasaan tertahan yang amat menyakitkan. Ya, tak bisa mengungkapkan perasaan itu benar-benar menyakitkan.

Tapi, Erick merasa justru pemikiran itu salah.

Harusnya, Mikasa mungkin bisa menerima masa lalunya jika bertemu Erick setiap hari dan membuat mereka bersama-sama selalu hingga Mikasa bisa mengobati luka masa lalunya.

Itulah yang Erick pikirkan sekarang ini.

Dia akan terus bertemu dengan Mikasa tidak peduli apa yang terjadi. Erick akan selalu berada di dekat Mikasa hingga gadis itu menyadarinya tidak peduli apa. Dan Rivaille, harusnya tidak punya hak untuk itu sekali pun Mikasa adalah bawahannya.

Erick keluar dari pintu lift yang barusan dinaikinya tadi. Dengan langkah pasti, kakinya menuju ruangan dimana targetnya berada.

"Mikasa!" seru Erick bersemangat karena senang menemukan Mikasa masih berada di depan ruangan CEO. Ya, tempat dimana Mikasa biasa menghabiskan waktu dengan duduk di sana seraya menjaga CEO mereka dengan aman. Mikasa juga tidak boleh meninggalkan tempat itu selagi CEO tidak pergi kemana-mana.

Tentu saja mendengar namanya dipanggil, Mikasa terkejut bukan main.

Erick menuju meja tempatnya berada dengan senyum secerah matahari miliknya.

"Waktunya makan siang, ayo kita pergi!" kata Erick lagi penuh semangat.

Mikasa menghela napas panjang. Ya, terkesan putus asa.

"Tuan Erick, apakah Anda tidak ingat apa yang kukatakan terakhir kali padamu?" ujarnya kemudian dengan ekspresi datar.

"Ingat. Apa yang kau katakan aku ingat semuanya," balas Erick tetap dengan senyum terbaiknya.

"Lalu kenapa—"

"Karena aku sudah tahu alasannya," potong Erick.

Mata hitam Mikasa melebar otomatis. Ekspresi kaget dan terkejut tak bisa dielakkan dari wajah putihnya itu. Tubuhnya juga terlihat begitu kaku. Perlahan-lahan senyum Erick kemudian berubah. Wajahnya terlihat begitu memohon pada Mikasa.

"Aku tahu alasanmu tidak mau bertemu denganku. Tapi bukankah dengan kau menghindariku justru akan semakin bertambah berat? Setidaknya jika kita selalu bertemu, perasaanmu akan lebih baik kan? Aku tidak masalah jika kau melihatku seperti melihat masa lalumu. Aku juga tidak masalah… jika kau benar-benar ingin menganggapku… seperti saudara angkatmu," jelas Erick.

Bibir Mikasa tampak bergetar, hingga kemudian setitik butiran bening cair itu tiba-tiba meluncur begitu saja dari sudut mata indah Mikasa. Dada Mikasa terasa sesak dan nyeri. Bahkan begitu menyakitkan hanya ingin menarik napas saja. Mikasa sudah berusaha untuk tidak memikirkannya, tidak, walaupun memikirkannya, Mikasa berusaha untuk tidak mengingatnya. Tapi apa yang dilakukan oleh orang ini?

"Kau… tahu darimana… masa laluku?" tanya Mikasa.

"Maafkan aku. Aku hanya tidak terima jika kau tidak ingin bertemu denganku tanpa alasan yang bisa kumengerti. Jadi, aku bertanya pada Tuan Erwin dan beliau… menjelaskan segalanya. Maaf kalau sikapku lancang, tapi… aku benar-benar serius dengan kata-kataku."

"Kau bukan hanya sekadar lancang, tapi kau juga kurangajar, Tuan Erick. Kau tidak berhak memasuki kehidupan pribadi seseorang seperti itu tanpa izin pemiliknya. Apakah aku terlihat begitu menyedihkan sampai kau berpikir… kau bisa menggantikan saudara angkatku begitu saja? Memangnya kau pikir kau siapa?"

Erick tak menyangka respon Mikasa justru seperti ini padanya. Erick pikir Mikasa mungkin akan merasa senang dan baik-baik saja jika Erick mengatakan hal ini. Tapi apa yang didapatkannya?

"Jadi, aku melakukan kesalahan di sini dan kau marah padaku?"

"Untuk terakhir kalinya, tolong pergilah. Aku benar-benar tidak ingin bertemu lagi denganmu. Bisakah kau mengabulkan permohonanku yang pertama dan terakhir padamu?"

"Tuan Rivaille kah yang menyuruhmu untuk tidak lagi bertemu denganku? Karena aku selalu menyebabkan masalah untukmu? Dia mungkin memang atasanmu, tapi dia bukan pemilik kehidupanmu! Kau berhak menentukan hidupmu sendiri! Mengapa hanya kata-kata dari Tuan Rivaille saja yang mau kau dengarkan? Mengapa kau tidak ingin mendengar kata-kata dari orang lain? Apakah hidupmu tergantung dengan Tuan Rivaille saja?"

"Tolong hentikan…"

"Tidak Mikasa! Kau punya kehidupanmu sendiri! Kau harus menentukan hidupmu sendiri! Mengapa kau mau saja diatur oleh Tuan Rivaille seperti itu?"

"Tuan Erick!"

"Apa yang salah dariku Mikasa? Apa yang membuatmu berpikir aku ini tidak baik untukmu? Apa yang membuatmu berpikir Tuan Rivaille baik untukmu? Kenapa kau harus lari dari masa lalumu sendiri seperti ini? Apa yang salah dengan menganggapku seperti saudara angkatmu itu? Bukankah wajahku dan wajah saudara angkatmu terlihat sama?!"

PLAAKK!

.

.

*KIN*

.

.

Rivaille sibuk mencari-cari celah yang bisa digunakan sebagai tempat rahasia di ruangan CEO ini. Tapi tidak ada yang aneh di ruangan ini bahkan di rak bukunya sendiri. Erwin sudah memeriksa cetak biru gedung ini, tapi tidak ada yang aneh di sana. Semuanya dibangun sesuai dengan cetak biru yang ada dan tidak ada ruangan atau celah apapun yang terlihat aneh. Dimana sebenarnya rahasia itu disimpan di dalam gedung sebesar ini?

Tidak menutup kemungkinan memang akan ada ruangan rahasia di dalam gedung sebesar ini. Tapi baik Rivaille, Erwin maupun semua orang penting yang berhubungan dengan perusahaan ini tidak juga tahu. Tapi sepertinya, kawanan itu benar-benar yakin jika rahasia itu memang berada di gedung ini. Atau… apa mereka memang sudah tahu dari awal dimana kemungkinan rahasia itu disimpan sehingga dia hanya perlu menghancurkan gedung ini saja?

Sepertinya kemungkinan itu masuk akal.

Jika mereka memang tahu—

PLAAK!

Rivaille memang mendengar keributan sedari tadi di depan ruangannya, dan kali ini suara aneh yang terdengar. Sebenarnya ada apa di depan sana?

Cepat-cepat Rivaille membuka pintu ruangannya dan terkejut melihat dua orang dengan lagak aneh di depan pintu ruangannya ini.

"Tuan, saya mohon izin ke kamar kecil."

Belum sempat Rivaille memberikan jawaban, Mikasa sudah pergi lebih dulu.

Sekarang yang jadi pertanyaan mengapa ada bocah Jaeger ini di sini dengan… wajah memerah bekas… cap tangan? Apa itu tamparan?

"Mikasa yang menamparmu?" tanya Rivaille kemudian.

"Mohon jangan marahi dia karena hal ini. Ini bukan salahnya," ujar Erick kemudian sembari mengusap wajah tampannya yang sedikit memanas.

"Tentu saja ini salahmu. Apa yang kau lakukan padanya?"

Erick hanya melihat sosok Rivaille yang menatap sedikit emosi padanya.

"Aku mengatakan beberapa hal padanya," jawab Erick kemudian.

"Apa yang kau katakan?"

Erick diam sejenak. Kemudian berhadapan langsung di depan Rivaille. Orang ini memang sedikit lebih pendek darinya. Tapi auranya lebih menakutkan dari yang terlihat. Dia punya kharisma yang bisa membuat orang lain tunduk padanya. Dia juga kejam bukan main pada targetnya. Setidaknya itulah yang pernah didengar Erick tentang sosok Rivaille.

"Aku mengatakan… bahwa Mikasa… bisa menganggapku sebagai saudara angkatnya yang hilang."

Rivaille langsung terbelalak mendengarnya.

"Apa yang kau katakan barusan?"

"Aku menanyakan alasan itu langsung pada Tuan Erwin. Mikasa… sedikit marah karena aku menanyakan perihal masa lalunya tanpa izin darinya."

"Kulihat dia benar-benar marah padamu. Kenapa kau melakukan itu padanya? Dia sekarang pasti sangat—"

"Tuan Levi, bagaimana Anda menganggap Mikasa?"

Rivaille sedikit terkejut ditanyai seperti itu.

"Tentu saja dia adalah bodyguard-ku. Apa maksudmu sebenarnya?"

"Salah," gumam Erick.

"Apa?"

"Tidak, aku salah menanyakan pertanyaan itu. Sudah pasti jawaban Tuan Levi akan seperti itu."

"Apa maksudmu?"

"Harusnya itu kutanyakan pada Mikasa. Ya, aku benar-benar penasaran. Apa yang membuat Mikasa begitu patuh pada Anda? Apa yang membuatnya menyerahkan seluruh hidupnya begitu saja pada Tuan Levi? Aku tidak mengerti itu."

"Bukankah alasannya sudah jelas? Dia adalah bodyguard-ku. Tidak ada alasan—"

"Tidak, sudah pasti ada alasan lain. Tapi, aku meminta tolong pada Tuan Levi, jika seandainya, seandainya Mikasa memilih berhenti dari pekerjaan ini, aku mohon untuk Tuan Levi mengijinkannya dan melepaskannya."

Seusai mengatakan itu, Erick menundukkan kepalanya ringan kemudian pergi begitu saja tanpa sepatah kata pun lagi yang keluar dari mulutnya.

Rivaille kemudian termangu.

Jika Mikasa memilih berhenti… Rivaille harus mengijinkan dan melepaskannya.

Selama ini Rivaille sudah berusaha untuk itu.

Tapi ketika bocah itu yang mengatakannya mengapa Rivaille merasa… aneh?

.

.

*KIN*

.

.

Annie keluar dari pelataran parkir Stohess Building untuk kemudian memulai misinya kembali. Hari ini dia akan melapor pada pusat mengenai pencarian mereka yang—

Annie menghentikan mobilnya dengan mendadak karena mendapati sebuah suara bedebam yang begitu keras terdengar. Seperti suara kembang api yang begitu mengerikan. Orang bodoh mana yang memasang kembang api di siang hari begini?

"BOM! LARI SEMUANYA!"

Annie langsung keluar dari mobilnya dan mendapati orang-orang berlarian panik dari segala arah mencoba menyelamatkan diri masing-masing. Begitu melihat ke atas bangunan gedung, Annie terkejut karena asap hitam mengepul begitu gelap di sana, disertai dengan percikan api yang kemudian berkembang menjadi besar.

Beberapa petugas keamana juga sibuk mondar-mandir demi menyelamatkan beberapa orang yang kebetulan berada di sana untuk segera keluar dari gedung dan mengevakuasi sebanyak mungkin orang-orang yang ada di sana.

Annie meninggalkan mobilnya begitu saja dan kemudian berlari masuk ke dalam gedung. Meskipun para petugas sempat menghentikannya tapi orang-orang yang ingin melarikan diri dari musibah ini jauh lebih banyak sehingga mereka tak bisa menghentikan Annie yang terus menerobos kerumunan.

Keadaan lobby gedung bagian bawah tampak kacau karena semua orang dari penjuru arah berhambur menjadi satu untuk segera menuju pintu keluar yang mulai dipadati oleh semua orang dari dalam gedung ini.

Annie segera menghubungi Erick yang kebetulan memang masih ada di dalam gedung ini. Tapi ponsel laki-laki pesolek itu sama sekali tidak diangkatnya. Entah apa yang terjadi padanya. Annie pun tidak bisa menggunakan lift karena sistemnya langsung mati setelah terjadi ledakan di gedung paling atas.

"Leonhart!"

Saat Annie akan mencapai pintu gawat darurat, sosok Rivaille datang berlarian ke arahnya.

"Tuan Rivaille," sambut Annie.

"Bagaimana keadaannya? Kau sudah mendapat laporan lain?" tanya Rivaille.

"Aku sudah mencoba menghubungi Erick, tapi ponselnya tidak diangkat. Sepertinya ada sesuatu di lantai paling atas," jelas Annie.

"Lantai paling atas adalah kantor CEO. Apakah ini benar-benar perbuatan mereka?"

"Tidak ada waktu berspekulasi Tuan. Jika orang yang memasang bom adalah mereka, kemungkinan besar gedung ini akan mereka hancurkan dalam sekejap!"

Bersama Rivaille, Annie menuju puncak lantai gedung ini untuk memastikan keadaan. Saat yang sama, Rivaille sudah mengontak Erwin untuk menanyakan keadaan jelasnya dan dimana pria berambut pirang itu berada.

Tadinya Rivaille sudah berada di lantai atas, tapi karena ada sesuatu yang mendesak dan rapat dengan para pemegang saham yang akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat membuatnya harus menemui mereka dan mendengarkan semua omong kosong mengenai perusahaan ini.

Semua masalahnya ini… akan selesai sekarang juga.

.

.

*KIN*

.

.

Mikasa selesai menenangkan diri di dalam toilet.

Kenapa laki-laki itu terus muncul seperti ini?

Kenapa Mikasa tidak menerimanya ketika dia dengan sukarela ingin menganggap dirinya sebagai saudara angkat Mikasa yang telah lama hilang itu? Kenapa Mikasa malah menolak kenyataan itu?

Apa yang membuatnya berpikir untuk menolaknya?

Perasaannya saat ini sungguh kacau dan tak bisa ditolerirnya. Sisi egoisnya mulai berkuasa dan sedikit menyesal sudah bersikap buruk pada Erick tadi. Selama ini Mikasa mencoba untuk mengatur emosinya untuk tidak terlibat masalah apapun selama bertugas. Tapi hari ini… hari ini adalah bagian dari semua puncak emosi yang sudah lama ditahannya.

Mikasa sadar sikapnya memang salah tadi. Tidak seharusnya dia begitu ringan tangan pada orang yang berbaik hati padanya. Mikasa mungkin harus meminta maaf…

Akhirnya setelah lama berpikir, Mikasa keluar dari toilet dan kemudian menuju ruangan CEO. Begitu masuk ke dalam lift, Mikasa kembali memikirkan segalanya. Dia tidak boleh melibatkan perasaan terlalu banyak lagi.

Lift sudah sampai di lantai dimana ruangan CEO berada.

Begitu pintu lift terbuka, Mikasa keluar dari menuju meja tempat dimana dirinya biasa bertugas. Namun anehnya, Mikasa melihat seseorang keluar dari ruangan CEO. Sepertinya dia seorang pria dengan penampilan sangat aneh. Dia memakai pakaian serba hitam dan jubah hitam lengkap dengan topi dan kacamata hitam.

Karena begitu mencurigakan, Mikasa menghentikan langkah orang itu.

"Siapa kau? Apa yang kau lakukan di ruangan CEO?"

Pria misterius itu tidak menjawab dan melihat-lihat sekitarnya. Kedua tangannya masih ada di dalam kantong jubah.

Mikasa menyadari kalau ternyata CEO-nya juga Erwin memiliki rahasia penting mengenai penyelidikan sesuatu yang membuat hidup mereka terancam. Bukannya Mikasa menutup mata dengan semua kejadian janggal yang selama ini menimpanya setiap kali berhubungan dengan CEO itu. Dan berapa kali nyawa mereka hampir melayang karena semua ini.

Karena memang… CEO-nya bukanlah orang biasa.

"Jawab aku. Siapa kau? Apa yang kau lakukan di ruangan CEO?!"

Pria itu tak menjawab dan hendak melarikan diri. Segera saja Mikasa menghadangnya dan menendang jatuh pria misterius berpenampilan hitam-hitam itu dalam sekali serang. Dia akhirnya jatuh terjengkang ke belakang karena Mikasa menendang otot perutnya sekuat mungkin.

Tak sampai hitungan detik, akhirnya mereka terlibat perkelahian serius. Mikasa tak menduga bahwa orang ini benar-benar pandai berkelahi dan mampu menyeimbangkan semua gerakannya. Walaupun beberapa kali Mikasa sempat menyerang titik vitalnya. Tapi sama dengan orang itu, Mikasa juga mendapatkan serangan yang sama. Sekarang, Mikasa bisa merasakan ujung bibirnya robek dan membuatnya mengeluarkan darah.

Mereka kembali bertarung mati-matian. Mikasa nyaris sekali melumpuhkan orang itu. Tapi kemudian keadaan berbalik kacau karena dalam suatu kesempatan, pria itu menarik keluar sebuah pistol dari saku jubahnya.

"Mikasa!"

Dari arah belakang Mikasa, seseorang berlari mendekatinya dalam waktu singkat.

Tentu saja Mikasa yang melihatnya jadi terbelalak kaget karena sekarang dia memposisikan dirinya melindungi Mikasa dengan membawa Mikasa ke belakang punggungnya.

Pria itu kemudian tampak melakukan gerakan mencurigakan lagi. Satu tangannya yang memegang pistol teracung ke arah Mikasa dan Erick yang kini berhadapan dengannya. Dan satu tangannya lagi bersembunyi di dalam kantung jubah itu.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Mikasa dengan nada panik saat Erick tiba-tiba muncul dan malah bersikap melindunginya seperti ini.

"Tentu saja melindungimu."

"Hentikan omong kosongmu!"

"Hei, apa kau suruhan organisasi itu? Kalau kau sampai berani datang kemari sepertinya keadaan kalian sudah sangat terjepit ya?" sindir Erick pada laki-laki di hadapan mereka.

Tentu saja Erick mengabaikan kata-kata terakhir Mikasa barusan.

Organisasi… apakah orang-orang yang tengah diselidiki oleh Erwin dan Rivaille?

Pria itu tetap diam sambil berkosentrasi entah pada apa.

"Kau akan bungkam? Atau kau sudah bersiap mati untuk mengorbankan nyawamu demi organisasi itu?" kejar Erick lagi.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara ledakan pada tingkat atas gedung ini. Mungkin ini adalah lantai teratas, tapi masih ada satu lantai kosong di atas lagi. Tentu saja ledakan itu begitu kuat terdengar. Erick semakin waspada termasuk juga Mikasa.

Orang itu kemudian mengeluarkan sesuatu dari jubah kantongnya. Semacam alat pemicu.

"Berikutnya adalah lantai ini. Ayo kita sama-sama melarikan diri dengan tenang jika kau tidak mau mati bersama dengan hancurnya lantai ini," akhirnya pria misterius itu bicara juga.

"Begitu. Kau mengecoh kami dengan ledakan di lantai atas. Karena sebenarnya tujuanmu adalah lantai ini. Jadi benar, rahasia organisasi kalian itu… ada di lantai ini!"

"Kau bocah pintar yang cukup nekat. Bagaimana kalau kita mati bersama agar tidak ada yang dirugikan di sini?"

"Apa kau pikir setelah membunuhku kau akan lepas begitu saja? Jangan berpikiran sempit. Orang-orang kami akan segera bergerak kemari. Karena sinyal bodohmu itu!"

Namun tiba-tiba dari segala arah beberapa pria berpenampilan serupa dengan kostum hitam-hitam itu sudah muncul di sana. Mikasa terkejut karena tak menyangka jumlah mereka akan sebanyak ini. Dimana mereka bersembunyi sebelumnya? Mikasa bahkan sekilas menghitung ada lebih kurang 10 orang yang mengelilingi mereka. Erick semakin waspada dan tetap memastikan Mikasa berada di belakangnya. Sekarang mereka tidak bisa kabur kemana pun.

"Nah, kalian mau kemana? Mati di sini atau mati di tangan kami?" ucap pria misterius itu lagi seraya mengacungkan alat pemicu di tangannya.

Sekarang Erick harus mengambil keputusan cepat. Dia harus segera membereskan hal ini dan membawa Mikasa lari bersamanya. Tapi sungguh, Erick tak punya begitu banyak pengalaman bertarung. Karena jika sesuatu yang melibatkan kontak fisik selalu berhubungan dengan Annie yang memang menguasai ilmu beladiri. Tapi sekarang di sini hanya ada dia dan Mikasa.

"Kau pergilah Mikasa, aku akan mengurus di sini," bisik Erick dan menjaga suaranya tetap kecil namun bisa terdengar oleh Mikasa.

"Seharusnya kau yang pergi, cepat hubungi temanmu dan Tuan Rivaille segera!" bantah Mikasa dengan suara yang sama kecilnya.

"Hei, aku juga ingin berubah menjadi laki-laki jantan di depanmu. Biarkan aku tangani ini, kau pergilah," bujuk Erick lagi.

Tiba-tiba dua pria berpenampilan hitam itu langsung menyerang mereka berdua dengan tangan kosong.

"Sudah terlambat bodoh!"

Akhirnya tanpa aba-aba lagi, mereka berdua bergerak cepat. Mikasa mengambil posisi di bagian belakang mereka dan Erick menghadang di bagian depan mereka. Kini mereka benar-benar terlibat pertarungan serius. Di sela-sela pertarungan itu, Mikasa melihat laki-laki pertama dengan pemicu dinamit itu berjalan hendak meninggalkan perkelahian besar-besaran ini.

Mikasa tak boleh membiarkannya pergi begitu saja!

Tapi sayangnya Erick tampak kewalahan menghadapi beberapa orang yang menghadangnya itu. Dia bahkan sudah terlihat babak belur di sana. Bagaimana sekarang sebaiknya?

Mikasa segera menyelesaikan pertarungan ini dengan cepat dan menyerang mereka dengan membabi buta. Mikasa juga tak segan-segan menghabisi titik vital mereka untuk membuat mereka semua terkapar. Saat Mikasa selesai dengan bagiannya, Mikasa segera menuju ke arah Erick dan membantunya.

Erick pun terkejut melihat kedatangan Mikasa yang tiba-tiba itu dan melindunginya. Mikasa menggantikan Erick untuk menghajar orang-orang yang harusnya bisa Erick bereskan. Saat Mikasa yakin menyelesaikan semuanya, seseorang dari mereka masih bergerak dan hendak memukul Mikasa. Tentu saja Erick langsung menghalanginya, tapi malah membuat mereka berdua terjatuh. Saat itulah Mikasa tak bisa berpikir lagi dan segera menimpakan tubuhnya untuk menghalangi pukulan tongkat bisbol yang melayang ke arah mereka.

Dan menariknya, pukulan itu telak mengenai bahunya yang masih terluka.

"Mikasa!" pekik Erick yang kemudian segera bangkit untuk menghajar laki-laki yang berhasil melukai Mikasa.

Tampaknya pukulan itu begitu kuat hingga Mikasa tidak mampu menggerakkan bahunya dengan sempurna.

Tapi, dengan luka seperti itu Mikasa masih mampu mempertahankan dirinya.

Saat keadaan semakin kacau itu, Mikasa mendengar beberapa bunyi tembakan yang terdengar di belakang mereka.

Bersyukurnya keadaan langsung dapat dikendalikan karena Annie dan Rivaille sudah tiba di sana dan membantu mereka. Erick segera memapah Mikasa yang masih mengerang menahan sakit di bahunya. Tentu saja Erick semakin panik melihatnya karena Mikasa sampai berubah pucat.

"Ada apa dengannya?" tanya Rivaille panik setelah menangani semua pria-pria misterius berpenampilan hitam ini.

"Salah satu dari mereka memukul bahu Mikasa!" lapor Erick dengan suara panik pula.

"Tuan, aku benar-benar tidak apa-apa. Anda harus mengejar seseorang yang memiliki pemicu dinamit yang melarikan diri ke pintu darurat!" seru Mikasa.

"Apa? Ada seorang lagi?" sela Rivaille.

"Aku akan mengejarnya, perintahkan pada Tuan Erwin untuk mengunci semua pintu darurat yang ada di lantai bawah!" usul Annie yang segera bergegas menyusul pria misterius lain yang diberitahukan oleh Mikasa.

"Kau tidak bisa pergi ke sana sendirian, Leonhart!" Rivaille langsung menentang usulan Annie barusan.

"Dia bisa melarikan diri, Tuan! Ini satu-satunya saksi penting kita!" bantah Annie dengan suara keras.

Rivaille kemudian berpikir keras. Seseorang harus menemani Annie untuk menyusul mereka, tapi mereka juga tidak bisa meninggalkan Mikasa yang terluka sendirian di sini. Sial! Kenapa situasinya mendadak menjadi rumit seperti ini.

Annie mulai terlihat kesal menunggu keputusan Rivaille dan langsung pergi menuju tangga darurat sambil menggenggam pistolnya. Rivaille sempat memanggil Annie untuk berhenti karena terlalu berbahaya sendirian.

"Tuan, tolong pergilah bersama Annie, aku akan di sini bersama Mikasa," usul Erick akhirnya.

"Kau?" kata Rivaille tak percaya. Ya, dia memang tidak sepenuhnya percaya setiap kali bocah ini bersama dengan Mikasa.

"Tuan memiliki pengalaman bertarung yang baik, aku hanya akan menyulitkan Annie di sana. Aku janji akan melindungi Mikasa sampai bantuan datang, tolong dengarkan kata-kataku kali ini."

Rivaille tak punya pilihan selain berpikir cepat.

Akhirnya dengan setengah hati, Rivaille mengambil ponselnya dan segera menghubungi Erwin yang kebetulan berada di luar gedung saat ini karena urusan mendadak. Tapi yang jelas Erwin sudah tahu kondisi gedung saat ini. Rivaille bersama dengan Erwin di telepon menyiapkan rencana untuk segera mengakhiri ini semua.

Mikasa benar-benar pucat saat ini. Bahkan Erick melihat lengan Mikasa yang bertumpu pada bahunya yang terluka itu tak dapat bergerak.

"Kita harus keluar dari sini," kata Erick akhirnya.

"Kau harus pergi menemani Tuan Rivaille dan temanmu, aku bisa pergi sendiri," tolak Mikasa.

"Kau tidak bisa Mikasa. Kau terluka. Jangan membantah lagi. Sudah kubilang kalau Tuan Rivaille itu bukan orang yang harus kau cemaskan. Termasuk Annie," kata Erick akhirnya.

Erick bersikeras akan memapah Mikasa.

Karena sekarang Mikasa benar-benar tak punya tenaga lagi untuk membantah, akhirnya Mikasa benar-benar tak punya pilihan selain menuruti Erick.

Tapi kemudian…

Seseorang mendatangi mereka. Seseorang yang Mikasa ingat pernah menyerang Rivaille sebelum ini. Orang itu membawa sebuah pistol dan membidik Mikasa dan menjadikannya sasaran tembaknya saat ini. Mikasa berubah membeku karena orang itu benar-benar sudah menarik pelatuknya untuk segera melepaskan satu peluru ke arahnya.

Mikasa tak bisa menghindar meskipun otaknya sudah memerintahkannya untuk segera menyingkir dari sana.

Bahkan ketika bunyi letusan pistol itu bergema di sekitar koridor mereka sekarang, Mikasa masih terdiam.

Kecuali seseorang yang sudah memeluknya dengan erat dan menjadikan dirinya sebagai tameng yang pantas untuk Mikasa. Seseorang yang berhasil menghalangi peluru itu demi Mikasa.

"Kubilang… aku akan melindungimu…" lirih Erick.

Mata Mikasa terbelalak saat menyadari Erick hampir merosot dari pelukannya.

Apakah… seseorang akan mati melindunginya kali ini?

.

.

*KIN*

.

.

TBC

.

.

Holaa minna ahaha terlalu lama menelantarkannya.

Saya bahkan ragu jika masih ada yang membaca fic ini hehehe

Oke, sepertinya dalam beberapa chap yang gak akan lebih dari lima chap, fic ini akan segera tamat.

Makasih jika ada yang masih membaca fic ini sampai sekarang yaaa…

Jaa Nee!