Hola Minna…
Ini Fic saya yang pertama di fandom ini, salam kenal minna, Yoroshiku yaaa...
.
DISCLAIMER : Hajime Isayama
.
WARNING : OOCness(parah, banget, kelewatan, gak ketolongan), AU, Misstypo(eksis mulu, gak mau absen!), Gaje, Ide pasaran, Mudah ketebak, Membosankan!
.
Attention : Fic ini hanyalah fiksi belaka, apalagi terdapat kesamaan di dalam fic ini di fic lain atau cerita lain dalam bentuk apapun, itu sama sekali tidak disengaja. Mohon maaf kalau terjadi kekeliruan dalam pembuatan fic ini. Semua yang ada di sini cuma fiksi yang iseng.
.
.
.
"Mikasa? Kau… Mikasa?"
Gadis berparas cantik yang kini berusia 20 tahun itu hanya tersenyum tipis.
Setelah delapan tahun berlalu. Delapan tahun dan dalam rentang waktu selama itu, Mikasa tak pernah kembali lagi kemari. Ada banyak alasan kenapa dirinya memutuskan untuk tidak kembali dalam waktu selama itu. Bukannya dia egois atau apa, hanya saja… ternyata beberapa kelebat ingatan yang berputar dalam kepalanya masih menyakitinya hingga kini. Mikasa tak bisa melepaskan ingatan itu meski sejenak dari kepalanya. Ingatan itu menakutinya seakan itu adalah hantu yang sering muncul tanpa diduga.
Kini, untuk beberapa alasan, Mikasa merindukan tempat ini. Merindukan suasana tempat ini. Tempat dimana dia tumbuh besar. Meski akhirnya tidak begitu lama Mikasa ada di tempat ini.
"Bagaimana keadaanmu? Kau tidak pernah kembali kemari, aku sampai cemas. Tapi syukurlah, sekarang kau baik-baik saja."
Wanita yang berusia pertengahan 40 tahun ini adalah orang tua asuh Mikasa sejak dirinya berusia sepuluh tahun. Memang sebentar dirinya menikmati rasanya disayangi oleh orang tua meski itu bukan orangtua kandungnya. Tapi wanita berparas asing dengan rambut pirang dan kulit putih pucat ini sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri.
Karena keluarga kandung Mikasa, ayah dan ibunya, sudah meninggal karena dibunuh oleh orang-orang yang tak dikenalnya. Ketika usianya sembilan tahun, ada beberapa orang yang datang ke rumahnya dan langsung membunuh kedua orangtuanya tepat di depan matanya. Mikasa hampir saja akan dijual kepada pria hidung belang atau parahnya rumah bordil. Tapi untungnya semua itu belum sempat terjadi karena Mikasa berhasil ditolong.
"Ibu sendiri bagaimana? Apakah semuanya… baik-baik saja?" ujar Mikasa akhirnya, setelah wanita yang dipanggilnya Ibu ini mengajaknya berkeliling di sekitar panti asuhan.
Yah, di sinilah Mikasa akhirnya besar. Di sebuah panti asuhan.
"Tentu saja, delapan tahun dan semuanya baik-baik saja. Kau sendiri? Bagaimana kau bisa hidup selama ini? Saat itu kupikir kau sudah meninggal, atau… aku tidak pernah bisa menghentikan pikiran burukku saat tahu kau tidak pernah kembali."
"Jangan khawatirkan aku. Aku akan selalu baik-baik saja."
"Ada apa tiba-tiba kau kemari? Karena ini… benar-benar kejutan untukku."
"Mulai besok, aku akan bekerja. Karena itu, aku sudah memiliki penghasilan tetap dan mungkin… bisa berkunjung kemari ketika ada waktu senggang."
"Kau bekerja? Pekerjaan apa yang kau lakukan?"
"Jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja. Aku janji."
Wanita berambut pirang yang kini sudah nyaris memiliki beberapa keriput di wajahnya itu hanya tersenyum lemah dengan wajah lelahnya itu. Tak lama kemudian, kedua tangannya merangkul Mikasa yang lebih tinggi darinya itu. Tubuh gadis berambut hitam ini sudah meninggi saat terakhir kali dia melihatnya. Rambut hitamnya juga dipotongnya pendek. Badannya juga proposional. Wanita ini tidak bisa menerka pekerjaan apa yang dilakukannya. Namun, asal pekerjaan itu baik-baik saja, dia hanya berharap Mikasa benar-benar baik-baik saja.
"Sering-seringlah memberikan kabar karena kau sudah ada di sini."
"Baiklah."
Setelah bertemu dengan ibu asuhnya itu, Mikasa berkeliling ke sekitar panti ini. semuanya berubah.
Apa boleh buat, delapan tahun lalu, panti asuhan ini, yang memang dekat dengan laut diterjang oleh badai tsunami yang begitu besar. Ada banyak nyawa melayang karena bencana ini. Bahkan, anak-anak satu panti dengannya banyak yang tidak kembali lagi. Semuanya mati atau hilang. Tidak ada kepastian mengenai mereka.
Mikasa sendiri selamat karena ada beberapa orang yang berhasil menemukannya di saat dirinya kehilangan kesadaran.
Sayang, karena hal itulah…
Mikasa kehilangan segala-galanya. Mikasa kehilangan dunianya.
Saat itu, saat dia tahu Mikasa sudah kehilangan hampir seluruh hidupnya, Mikasa sungguh ingin mati. Dia bahkan berkali-kali ingin bunuh diri. Tapi kemudian, akhirnya Mikasa menyadari satu hal. Jika dia benar-benar mati, artinya Mikasa sudah menyerah. Mikasa pernah berjanji tidak akan menyerah dalam segala situasi. Mikasa tidak ingin menyerah meski dia harus menyerah. karena itu, setelah menetapkan hatinya, Mikasa akan terus hidup sampai batas yang dia mampu.
Karena Mikasa yakin, benar-benar yakin. Dia tidak akan kehilangan harapan.
Asal dia tetap hidup dan berusaha, dia bisa.
"Karena… jika aku mati, aku tidak akan bisa mengenangmu. Aku juga tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk bertemu denganmu lagi suatu saat nanti. Jika aku mati, aku akan melupakan semuanya tentangmu."
Mikasa memeluk erat-erat sebuah potret yang sudah rusak sebagian itu. Beruntungnya dia menemukan potret itu di antara puing-puing panti ini. wajah di dalam potret itu masih bisa dia selamatkan.
Sambil mengeratkan syal berwarna merah marun yang terus melingkar di lehernya. Mikasa tidak ingin melepaskannya jika memang dia tidak perlu melepaskannya. Syal ini satu-satunya penyemangat hidup yang dia miliki saat ini. Tanpa syal ini… rasanya hidup Mikasa berkurang.
"… Eren."
.
.
*KIN*
.
.
CEO Stohess Holding sudah ditunjuk seminggu sebelumnya. Namun rapat mengenai pengalihan saham masih bergulir hingga kini. Entah kenapa sepertinya hasil rapat tidak bisa ditentukan semudah seperti biasanya. Pasalnya, saham yang dipertaruhkan hampir seperempat dari keseluruhan saham Stohess Holding.
Karena hingga kini, sang CEO baru itu belum pernah diperlihatkan di muka umum. Bahkan kabarnya, pejabat baru itu tidak pernah sekali pun datang ke perusahaan. Lebih parahnya lagi, dia tidak memiliki koneksi.
Misteri ini sungguh membuat pemilik saham lainnya lagi bingung bukan kepalang. Namun, penunjukkan itu sudah sah dari pemilikan sebelumnya. Ada bukti konkret mengenai hal itu meskipun banyak pihak yang masih memiliki tanda tanya besar mengenai hal itu.
"Sudah kukatakan ini benar-benar menyebalkan!"
"Kau tidak mau rencana ini hancur berantakan karena sikapmu itu kan, Levi?"
"Maksudmu, apa aku memang benar-benar terlihat konyol?"
Erwin Smith hanya tersenyum tipis menanggapi ulah temannya ini setelah mereka tiba di perusahaan Stohess Holding.
Mereka memang masih di dalam limosin putih yang menjemput mereka setengah jam yang lalu.
"Dengar, bersikaplah seperti konglomerat."
"Sekarang aku penasaran kenapa kau menunjukku untuk masalah ini."
"Jangan membuat rencanaku hancur berantakan."
"Baiklah, asal kau bisa membuat ini mudah."
Semua staff perusahaan Stohess Holding sudah berderet rapi membentuk barisan pagar betis untuk menyambut sang CEO baru itu.
Sepatu hitam mengkilat merek ternama itu menginjakkan aspal dengan begitu anggun dan bersiap melaju dengan kecepatan sedang. Sesaat pria berusia 34 tahun ini membenarkan balutan jas hitamnya. Oh ya, itu juga jas mahal. Bukankah semua CEO harus mengenakan barang mewah nan mahal? Itu hal lumrah.
Ditemani oleh bawahannya, yakni Direktur Erwin Smith, sang CEO melangkah dengan mantap. Wajahnya datar tak menunjukkan keramahan sedikitpun meskipun ini adalah hari pertamanya tiba di perusahaan ini.
Sepuluh menit setelah melewati hampir seluruh staff perusahaan itu, akhirnya mereka tiba juga di kantor utama CEO.
Rivaille, yang kini resmi menjadi CEO Stohess Holding sudah menempati tempat duduknya sebagai orang nomor satu di dalam perusahaan ini. Boleh dibilang ini adalah mimpi hampir jutaan pria di dunia ini. Kaya, muda, tampan, berbakat. Semua pria-pria itu memang hanya ada di dalam novel romans dan drama romantis. Sesungguhnya tidak ada yang benar-benar nyata di dunia ini. Orang-orang membuat mimpi seakan seperti nyata karena tahu hal itu tidak mungkin bisa mereka wujudkan.
Rivaille adalah orang yang seperti itu.
Dia realistis.
"Jadi, ini adalah hari pertamamu. Kesanmu… tidak cukup jelek."
"Dan masih tidak cukup bagus untukmu," sahut Rivaille.
"Baiklah, Levi. Aku tahu kau adalah orang yang cerdas, jadi kau pasti bisa mengurus semua ini dengan baik. Ah ya, untuk jaga-jaga aku sudah menyiapkan beberapa bodyguard―"
"Apa maksudmu, Erwin? Kau pikir aku ini bocah kecil yang harus dijaga 24 jam agar tidak tersesat di mall?" potong Rivaille.
"Dan perlu kuingatkan kau adalah CEO. Jadi kau memang sama seperti anak kecil yang perlu dijaga 24 jam supaya tidak tersesat. Aku hanya akan menempatkan satu orang untuk bersamamu sepanjang hari. Setidaknya aku harus merasa aman saat kau pergi ke luar sana."
"Sudah kubilang kau harus membuat ini mudah."
"Aku sudah membuatnya semudah yang kau inginkan. Dan ingat, rencana ini harus berhasil. Karena kita mempertaruhkan nyawa kita di dalamnya. Kau mengerti?"
"Aku tidak mengerti."
"Baiklah, persilahkan masuk."
"Siapa yang kau persilahkan masuk?"
Rivaille berhenti bicara karena pintu ruangannya sudah diketuk dari luar. Ketika Erwin menyilakannya masuk, pintu itu baru dibuka.
Seorang wanita… tidak, dia tampak lebih muda, masuk ke dalam ruangannya dengan pakaian serba hitam dan rapi. Jas, celana panjang, sepatu, dasi, semuanya serba hitam. Penampilannya memang mirip seorang bodyguard, tapi apa maksudnya ini?!
"Mikasa Ackerman. Siap menerima perintah."
"Mulai hari ini dia akan bekerja untukmu, Levi. Kau jangan sungkan, meskipun dia seorang gadis, tapi dia adalah prodigy. Dia master semua martial art, jadi kau pasti baik-baik saja."
"Kelihatannya kau harus mengoreksi satu hal di sini. Aku ini bisa melindungi diriku sendiri. Dan aku tidak butuh wanita yang melindungiku. Kau ingin membuatku seperti seorang pecundang?"
"Anggap saja dia asistenmu. Dan ingat, kau tidak perlu membuat penampilanmu terlihat mencolok karena itu benar-benar bisa membahayakan kita. Kalau kau mengerti, aku akan meninggalkan semuanya di sini. Ah ya, kuharap kau bisa menjaga kebiasaanmu di sini."
Erwin pergi setelah memberikan senyum tipisnya kepada Rivaille.
Sekarang tinggallah Levi berdua dengan bodyguard-nya ini. Baiklah, Erwin memperlakukannya seperti anak kecil, tentu Levi akan bertindak seperti anak kecil. Orang itu selalu membuat rencana sendiri tanpa berdiskusi lagi dengan Rivaille. Padahal di saat seperti ini dia yang dirugikan.
"Oi, kau bisa tunggu di luar," ujar Rivaille.
Gadis berwajah datar itu hanya mengangguk satu kali, kemudian menunduk hormat lalu keluar dari ruangan Rivaille tanpa banyak membantah.
Entah kenapa sesaat tadi ketika melihat gadis itu, Rivaille merasa… melihat refleksi dirinya sendiri. Berwajah datar tanpa banyak bicara.
Tapi kenapa hari ini sepertinya dia cukup banyak bicara?
Dan lagi, kenapa gadis itu mengenakan syal berwarna merah itu?
"Sepertinya ada yang salah denganku."
.
.
*KIN*
.
.
Tiga hari berlalu dengan damai.
Menjadi bodyguard seorang CEO memang bukan pekerjaan yang menyenangkan. Lebih banyak membosankan, karena Mikasa harus mengikuti kemana pun CEO ini pergi. Kebanyakan yang dia lakukan hanyalah kegiatan rutin.
Pagi biasanya Mikasa akan menemani CEO itu di ruang rapat. Entah membahas apa saja yang sebenarnya membosankan untuk Mikasa. Siang harinya ada-ada saja pertemuan yang akhirnya harus dihabiskan di sebuah restoran bintang lima. Dan ketika malam, sang CEO akan pulang demikian juga dengan Mikasa yang akan kembali berjaga di sekitar lingkungan rumah CEO itu. Seperti ini sudah terbiasa untuk Mikasa. Dia jadi tidak begitu peduli.
Hanya satu hal yang dia pedulikan.
Ini… sudah musim dingin.
Salju akan turun secepatnya.
"Baiklah, aku mengerti. Besok akan kupastikan semuanya."
Rivaille baru saja dihubungi oleh Erwin. Pria itu terlalu banyak rencana dan urusan yang sebenarnya tidak perlu dia khawatirkan. Yah tentu saja dia banyak khawatir karena dia harus memastikan semuanya berjalan dengan lancar.
Rivaille juga tidak terlalu peduli dengan sekitarnya. Ada Erwin yang akan mengatur semuanya. Hanya saja… dia memang tidak begitu tidak peduli pada bodyguard-nya satu itu.
Wanita itu, ah tidak gadis itu… benar-benar tidak bisa dia percaya.
Karena dia terlalu dingin, terlalu patuh, terlalu pendiam. Sungguh mirip dengan Rivaille. Hanya saja, Rivaille bisa membaca gadis itu. Dia terlihat seperti tengah kesepian dan… menunggu sesuatu. Meskipun tanpa dikatakan, tapi ekspresi seperti itu memang seperti itu.
"Oi, aku akan ada pertemuan di Hotel Shina, kau hanya perlu menyusul ke sana, tidak usah mengikutiku. Akan kuhubungi kalau aku sudah selesai," perintah Rivaille.
"Baik."
Gadis itu memang hanya bisa menjawab beberapa patah kata dengan tegas. Dia tidak pernah terlihat banyak bicara kepada siapapun. Menjawab juga seperlunya saja.
Setidaknya dia bukan tipe yang merepotkan, Rivaille tidak suka hal-hal yang merepotkan. Apalagi sudah menyangkut masalah wanita. Cukup satu wanita saja yang membuatnya repot setengah mati.
Beberapa jam kemudian, Mikasa menerima pesan yang mengatakan kalau bos-nya itu sudah selesai. Yah, Mikasa memang cepat belajar apa saja. Dia mudah memahami dengan sekali praktek. Salah satunya dengan mengendarai mobil. CEO-nya tidak suka banyak orang yang mengikutinya, jadi Mikasa adalah supir sekaligus bodyguard untuknya.
Mikasa sudah tiba di pelataran Hotel Shina yang dimaksud.
CEO-nya juga baru saja keluar dari lobby hotel. Sepertinya dia bertemu beberapa tamu penting lagi.
Mikasa keluar untuk menyambut bosnya itu untuk segera masuk ke dalam mobil. Tapi, ketika Mikasa mengalihkan pandangannya sejenak, Mikasa menangkap satu sosok yang melintas tepat di depan matanya.
Sosok itu… sosok yang sudah lama… sudah sangat lama…
Tiba-tiba saja matanya berkaca-kaca. Bibirnya gemetar hingga buku tangannya ikut mengepal hingga memutih warnanya. Napasnya tercekat sesaat.
Sosok itu terus melaju tanpa melihat sekelilingnya dengan langkah yang santai.
"Oi, kita pergi―oi!"
Mikasa segera melangkahkan kakinya secepat yang dia bisa tanpa mempedulikan CEO-nya yang terus memanggilnya sedari tadi.
Sosok itu sepertinya baru saja keluar dari lobby hotel, itu artinya dia mengarah ke jalan raya.
Salju ternyata turun malam ini. Mikasa terus berlari tanpa mempedulikan udara di sekelilingnya. Dia memang hanya mengenakan seragamnya seperti biasa ditambah dengan syal merahnya. Itu memang tidak cukup untuk menahan hawa dingin yang terus bertambah semenjak salju-salju ini turun.
Tapi Mikasa tidak peduli, matanya sudah terasa sangat panas. Dia terus berlari sebisa yang dia lakukan untuk menemukan sosok itu.
Selama ini, delapan tahun berlalu, sekali pun Mikasa tidak memiliki harapan untuk bisa bertemu dengannya meski di dalam mimpi. Tapi kini, meskipun dia tidak yakin dengan apa yang dilihatnya, Mikasa ingin percaya bahwa yang dilihatnya bukanlah delusi semata.
Dia yakin itu memang benar orang yang delapan tahun ini dia rindukan setengah mati.
Mikasa sudah berlari sekitar tiga blok dari tempat hotel dimana dia terakhir kali melihat orang itu.
Dan setelah memutar selama tiga jam penuh, Mikasa tetap tidak menemukannya.
Dia tidak mungkin salah lihat kan? Dia tidak mungkin salah…
"Tunggu aku… tunggu aku… Eren…" gumamnya berkali-kali saat Mikasa berusaha mencari sosok yang terus diingatnya selama delapan tahun ini.
.
.
*KIN*
.
.
Rivaille akhirnya harus menunggu selama dua jam di udara seperti semalam. Menunggu bodyguard-nya itu kembali. Ketika dia ingin menghubunginya, gadis yang ternyata lebih tinggi darinya itu tidak membawa ponsel bersamanya.
Merasa bosan dan seperti orang bodoh, Rivaille memilih kembali pulang. Dia bukan orang sembarangan yang harus menunggu seperti itu. Apa maksud gadis sembarangan itu meninggalkanya seperti itu.
Dia baru bekerja tiga hari dan sudah membuat masalah seperti ini.
Bodyguard mana yang seenaknya meninggalkan tuannya seperti dia semalam?
Haruskah Rivaille memecatnya saja?
Tch, sejak kapan Rivaille kelihatan membutuhkan seseorang untuk melindunginya?
Tapi gadis itu tidak kunjung pulang meski semalaman sudah berlalu. Rivaille memang sesekali bertanya pada pelayan rumahnya apakah bodyguardnya itu sudah kembali atau belum. Tapi hingga pagi ini ketika Rivaille sudah tiba di kantornya, gadis itu tetap tidak muncul. Apakah dia diam-diam kabur dari pekerjaannya?
Yah, inilah alasan kenapa wanita itu merepotkan!
"Levi, kau meninggalkan bodyguard-mu?" tanya Erwin pagi ini ketika masuk ke kantor CEO itu dan tidak melihat bodyguard yang seharusnya ada menemaninya.
"Seharusnya aku yang berkata kalau aku yang ditinggalkan. Bagaimana kau memilih orang hah? Dia meninggalkanku semalam di hotel tanpa berkata apa-apa."
"Apa? Kau serius?"
"Wajahku tidak serius?"
"Tidak, maksudku, dia tidak pernah melanggar satu pun aturan dan tidak pernah dihukum karena melalaikan tugasnya. Makanya maksudku… apa benar orang seperti dia menelantarkan tugasnya?"
"Itu lebih baik kau tanyakan pada orangnya langsung. Aku sudah bilang padamu kalau wanita itu merepotkan. Sebaiknya kau mulai berpikir untuk menerima orang yang waras saja!"
Erwin hanya mendesah pelan saja. Memang seperti inilah partner-nya satu ini. Dia terlalu pemilih dan banyak tingkah. Tapi apa yang terjadi sampai-sampai bodyguard dengan lulusan terbaik itu tiba-tiba pergi tanpa alasan dan meninggalkan Rivaille?
Baru saja Erwin akan mengatakan hal lainnya, pintu ruangan CEO itu diketuk dari luar. Rivaille tampak tak peduli dan terus meneliti dokumen yang dibawa oleh Erwin tadi. Akhirnya Erwin lah yang menyilakan tamu itu masuk.
Ketika pintu dibuka, ternyata sosok gadis berusia 20 tahun itulah yang muncul.
"Mikasa Ackerman? Dari mana saja kau? Kenapa kau meninggalkan CEO semalam?" tanya Erwin ketika Mikasa sudah masuk ke dalam ruangan itu.
Wajahnya menunduk sedari tadi terlihat merasa bersalah. Tapi ada lagi hal lain yang aneh di sana.
"Maafkan saya karena melalaikan tugas."
"Itu tidak penting lagi. Sejak awal aku memang tidak butuh kau!" ujar Rivaille dengan nada ketus.
Mikasa tak mampu menjawab apapun. Semalam memang adalah kelalaiannya. Dia menunggu sampai pagi di depan hotel semalam dan tidak menemukan orang yang tidak sengaja dilihatnya semalam. Wajar kalau sekarang bossnya marah padanya karena melalaikan tugasnya itu.
"Aku hanya akan memberikanmu peringatan, lain kali―tunggu dulu. Kenapa wajahmu? Kau terlihat pucat? Kau baik-baik saja?" tanya Erwin ketika dia meneliti wajah putih gadis berambut pekat ini.
"Saya tidak apa-apa."
"Kau yakin? Apa yang kau lakukan semalaman? Oh sudahlah, yang penting kau sudah kembali. Sekarang mulailah bekerja. Aku tidak akan menerima satu pun kelalaian lagi," kata Erwin akhirnya.
"Hei, kau tidak memecatnya?"
"Kau sendiri yang bilang tidak butuh dia sejak awal, jadi bukan masalah kan kalau dia hanya menghilang satu malam? Lagipula dia sudah kembali. Oh ya, siang nanti akan ada rapat di Rose Building. Jangan terlambat."
Setelah mengatakan hal itu, Erwin langsung keluar dari ruangan Rivaille. Mikasa masih berdiri di sana dengan posisi tegak dan wajah menunduk. Rivaille mulai merasa bosan. Apa-apaan pria sialan itu?
"Kau tunggu di luar sampai aku memanggilmu."
Mikasa hanya menganggukkan kepalanya pelan, lalu menunduk hormat dan keluar dari ruangan Rivaille.
Benar kata Erwin.
Wajah gadis itu nampak pucat.
.
.
*KIN*
.
.
Rivaille sudah bersiap untuk pergi ke Rose Building seperti yang dikatakan Erwin tadi. Mikasa juga ikut menemaninya karena dialah yang akan mengantar Rivaille ke sana.
Di dalam perjalanan memang semuanya baik-baik saja, tidak ada yang salah. Rivaille juga sibuk membuka iPad-nya untuk mengecek bahan-bahan untuk rapat nanti. Erwin yang sudah merencanakan ini semua, jadi Rivaille tinggal―
BRUUUK!
Tubuh Rivaille mendadak hampir terlempar ke depan dari bangkunya. Tak lama kemudian terdengar bunyi klakson dari mobil-mobil yang ada di belakangnya. Sekarang kepala Rivaille agak sakit karena terbentur sandaran mobilnya sendiri.
"Hei! Apa yang kau lakukan hah?!" bentak Rivaille kesal.
"M-maafkan―"
Rivaille hanya mendengar desah napas berat dari depan sana. Begitu melihat ke depan, ternyata Mikasa hampir menabrak tiang listrik yang ada di depan mereka. Ini aneh, bukankah gadis ini penyetir yang baik. Dia tidak pernah melanggar aturan lalu lintas. Matanya selalu awas dalam mengendara. Lalu apa ini?
Rivaille akhirnya maju ke depan untuk mengecek keadaan bodyguard-nya yang tak kunjung kembali menyalakan mesin mobil.
"Oi,oi! Kau kenapa?"
Dengan wajah memerah dan bibir yang memucat, gadis itu nampak kesakitan dan mengerutkan keningnya. Dadanya juga naik turun dengan cepat karena sepertinya dia kesulitan bernapas.
Rivaille mengecek suhu tubuh gadis pendiam ini.
Panas. Sangat panas dan memungkinkan untuk bisa memasak telur dadar di atas kepalanya.
"Dasar merepotkan! Aku sudah tahu begini jadinya!"
.
.
*KIN*
.
.
"Ya maafkan aku. Tiba-tiba ada hal yang harus kulakukan. Aku sudah meminta sekretaris-ku untuk mewakili rapatnya. Ya, aku mengerti. Maafkan aku."
Ini pertama kalinya Rivaille gagal melakukan tugasnya.
Dia buru-buru mengambil alih mobil itu dan segera menuju rumah sakit. Panas gadis itu mengkhawatirkan karena dia tak kunjung sadar. Dan menurut dokter yang memeriksanya, dia mengalami hipotermia ringan. Artinya dia kedinginan dalam waktu yang lama. Dan semalam, salju memang turun. Apakah dia benar-benar ada di luar semalaman?
Apa yang dilakukannya?
Tapi kalau dipikir-pikir, Rivaille memang tak banyak berinteraksi dengan gadis ini. Mereka bahkan tidak pernah benar-benar bicara satu sama lain meski hanya basa basi saja. Itu karena dia pendiam dan merespon perintah hanya dengan satu dua patah kata.
Dokter sudah memberikan pertolongan pertama padanya. Sekarang hanya tinggal menunggu reaksi obat. Utamanya dia harus menurunkan panasnya yang sudah mencapai 39,5 derajat itu.
Rivaille masuk ke ruang rawat kelas tiga itu. Memang selain Mikasa ada beberapa orang lagi yang dirawat satu ruangan dengannya. Gadis berparas cantik itu masih tertidur di kasurnya. Kelihatannya dia juga tidak cukup tidur. Kenapa pula, seorang gadis sepertinya harus mengambil pekerjaan seperti ini?
Rivaille kemudian duduk di bangku yang berada di samping tempat tidur Mikasa. Dahinya masih berkerut dan seperti hendak menangis.
"Jangan pergi…"
Baiklah, orang sakit memang sering jadi orang gila. Sekarang dia bergumam parah begini.
Tak tega juga melihatnya begitu, Rivaille kemudian dengan sedikit enggan, mengangkat satu tangannya dan menepuk-nepuk dengan lembut punggung tangan Mikasa yang terbaring di atas perutnya itu. Pelan-pelan Mikasa berhenti bergumam dan kerutan di dahinya juga ikut menghilang.
Merasa cukup, Rivaille menghentikan tindakan bodohnya itu dan kemudian hendak menarik tangannya lagi. Dia harus kembali ke―
"Tetaplah di sini… denganku… Eren…"
Mikasa menggenggam erat tangan Rivaille yang hendak beranjak dari tangannya itu. Gadis bermata besar ini masih tidak sadar. Rivaille berusaha melepaskan tangannya, tapi gadis itu seperti ingin menangis karena Rivaille ingin melepaskan tangannya.
Tak lama dari situ, Rivaille terus mengawasi wajah Mikasa. Dia terlihat mulai tenang dan bisa tidur dengan nyenyak. Dengan terus menggenggam tangan Rivaille.
Dia tadi memanggil nama seseorang.
Siapa orang itu?
.
.
*KIN*
.
.
TBC
.
.
Hum, saya muncul di fandom ini dengan multichapter hehehe, tadinya mau oneshoot tapi segera akan saya bikin eehhe
semuanya salam kenal yaa...
ada yang mau lanjut? bolee review?
Jaa Nee!