Summary: [GakuKai] Dia ingin memastikan apakah pemuda itu sungguh ada atau hanyalah salah satu fragmen dari ingatan palsunya. 02: Winters. Udara dingin merengkuh, dia bisa merasakan jejak genggaman tangan itu. "Kalau kau melupakanku sekali lagi, Gacchan, aku tak akan memaafkanmu."

Warn: Gakukai. Slight GakuLuka. Surreal theme. Alur maju-mundur, flashback di tengah chapter. Don't like?Don't read, please


"Siapa?"

"Shion, Kaito Shion."

"Apa aku benar-benar mengenalnya?"

"Kau mengenalnya!"

"Kalau dia sepenting itu, aku pasti ingat!"

.

"Siapa Kaito Shion?"

"Siapa yang kau bicarakan, hei—

Gakupo?"

.

.

[memento]

.

.

#02: WINTERS

["Kau butuh istirahat, Gakupo. Kau sudah melalui penerbangan yang panjang."]

Gakupo tidak membutuhkan lebih banyak istirahat yang hanya membuat kepala pusing. Maka, pagi hari itu dia habiskan dengan menyetem senar biolanya—tidak ada masalah, sebenarnya. Duduk di depan piano dengan biola di tangannya, dia menyamakan nada dan seperti sengaja, menghabiskan waktu terlalu lama di sana. Sementara pikirannya masih menetap pada kalimat-kalimat Luka tempo hari. Luka yang dia kenal memiliki selera humor yang aneh, terkadang kejam, hingga pemuda itu memperhitungkan mungkin Luka hanya sedang menggoda saja.

Mungkin Luka sebenarnya mengingat Kaito.

Mungkin Luka hanya berpura-pura.

Mungkin bukan dia yang gila.

/(samar-samar terdengar suara dari televisi di ruang tengah) ... Ramalan cuaca untuk hari ini: di Sapporo bagian—/

Cuaca hari ini cerah.

Yukari berada di ruang tengah, menghangatkan kakinya di bawah meja dan menulisi buku hariannya.

Gakupo mengenakan mantelnya, menyakukan dompet, mengamankan ponsel, kemudian pamit pada adiknya. Sudut matanya melirik pada halaman buku harian yang terbuka milik Yukari, kemudian berpindah kepada gadis itu sendiri. Sang Kakak menyadari bahwa si adik mengenakan jaket hitam dengan aksesori telinga kelinci yang dia kirimkan dari Perancis setahun yang lalu. Jika pemuda itu mengomentari betapa gadis itu terlihat seperti tak memiliki jaket lain, dia akan mendapatkan jawaban yang selalu terngiang.

Katanya,

["Ini yang aku lakukan supaya aku mengingat Oniisan terus, tahu!"]

Ah,

Yukari benar-benar adiknya yang manis.

.

"Oniisan akan pulang jam berapa?"

"Sebelum makan malam aku pasti pulang."

"Janji, ya?"

"Ya."

"Malam ini kita makan semur daging sapi lho!"

"Tentu."

"Bersama Okaasan juga Otousan, jadi Oniisan tidak boleh telat!"

Gakupo tersenyum, menyatakan janji, mengecup puncak kepala adiknya, kemudian pergi dari rumah di pagi itu.

.

.

Taman itu memang bukan taman paling mewah dan yang paling bagus di Sapporo.

Justru itu bagusnya. Gakupo mengalami kesulitan ketika berada di tempat yang ramai sendirian; orang yang mengenali dirinya berdasarkan prestasi yang dia punya akan mendekatinya dan bertanya-tanya, orang yang tertarik pada penampilannya akan mendekatinya dan bertanya-tanya. Gakupo benci akan kedekatan orang-orang asing itu dan pertanyaan mereka, karena itulah jika dia terpaksa berada di keramaian, dia akan membawa orang bersamanya. Entah itu Yukari, Luka, atau mungkin—Kaito ...

Pepohonan di sana sudah mengering dengan dedaunan yang telah berguguran dan tertutup salju. Anak-anak kecil dengan riang berlarian di atas salju yang tebal dan berlaku seakan mereka tengah berperang dengan melemparkan bola-bola putih. Yang lainnya membentuk bola bersama-sama dan menumpuk-numpuknya menjadi manusia salju berwajah ramah. Sementara beberapa orang yang lebih dewasa menuangkan teh dari dalam termos. Entah mengapa Gakupo memilih taman itu untuk beristirahat sejenak.

Pemuda itu duduk di bangku dan terdiam memandangi anak-anak berlarian, dengan gelas di kopi tangannya yang mulai dingin. Dia menyandarkan kepala pada bangku taman.

Gakupo berani bertaruh atas segala hal bahwa pemuda yang muncul dalam kilasan ingatannya sebelum jatuh pingsan itu nyata dan bukan mimpi saja. Pemuda berambut biru, dan segala hal mengenai sosok itu, walau pun dia belum bisa menemukan pecahan ingatan ketika mereka saling tahu. Dia bahkan tidak ingat ketika pemuda itu memperkenalkan dirinya, tetapi ketika dia tersadar, yang dia ingat hanya Kaito Shion. Gakupo merasa dia tidak bisa melupakan kilasan itu begitu saja, buang dan jangan ingat, seperti apa kata Luka.

Kaito Shion, nama itu berdengung lagi di dalam kepala.

Siapa kau?

.

.

[

.

#H+7

memasukan keping yen ke dalam vending machine, meletakkan gelas berukuran kecil, dan menekan tombol. Frappuccino.

Rrrrrt—

Pemuda itu menghembuskan napasnya panjang ketika tidak ada setetes pun air yang keluar. Gakupo agaknya sudah belajar merelakan uang jika terjadi hal seperti ini, untuk mengendalikan emosi dan tidak mempermalukan diri. Mesin penuang kopi yang rusak dan membuatnya gagal mendapatkan sedikit kehangatan di musim dingin tidak akan membuatnya marah dan menyesal bukan berarti kalah. Itu hanya penghiburan diri, memang. Pemuda itu beranjak mundur dari tempat—

BRAK BRAK

apa?

Gakupo melihat air cokelat mengalir ditampung gelas kecil berwarna putih, berasap. Mesin berisik kemudian semakin tenang hingga menuangkan air putih di akhir. Itu kopinya, tetapi ketika dia mengulurkan tangannya, yang lain telah mengambil gelas itu.

Pemuda itu mengangkat kepalanya dan melihat pemuda yang lain. Rambutnya pendek dan berwarna senada dengan mata dan syal yang melilit lehernya—seperti langit. Atau ... laut. Gakupo berani bersumpah dia belum pernah melihat si pemuda asing, tetapi pemuda itu terlihat sangat tenang dan tersenyum padanya seakan mereka kawan lama. Dia hanya menatap selama beberapa saat sembari berpikir, kemudian pemuda asing itu mengulurkan tangannya yang membawa gelas kecil milik Gakupo.

"Nah, silakan kopinya, Tuan."

"..."

"...," kerjap polos.

"Hah?"

"Apanya yang 'hah'?"

"Kau memberikan kopi itu padaku?"

"Tentu saja, aku tidak suka kopi," kata pemuda itu, mengayunkan sebatang es di tangannya yang lain. Popsicle.

Bukan itu jawaban yang ingin Gakupo dengar, tetapi dia meraih gelas itu pada akhirnya. Dia merasakan kehangatan yang menggelitik di ujung jemarinya ketika jari mereka nyaris bersentuhan. Nyaris, hanya nyaris saja.

Pemuda itu berkata lagi, "Mesin ini memang harus ditendang beberapa kali dulu supaya menurut, sih. Yah, tidak sering sih. Kau sedang sial saja, Gacchan. Kenapa tidak kau pukul sendiri saja? Kebetulan aku berjalan di sini jadi aku bisa membantumu. Kau seharusnya ber—"

Gakupo tidak bisa mengatakan apa pun. Seluruh kosa kata seperti lenyap ikut tertelan dalam tiap tegukan kopi. Dia masih memandangi si pemuda asing yang sesekali membenarkan syal birunya yang panjang sembari terus bicara. Gakupo benar-benar tak mengerti mengapa pemuda asing itu berlaku seperti mereka memang saling kenal dan sangat akrab. Mungkin hanya sebuah bakat untuk dapat segera mengakrabkan diri dengan lingkungan dan orang asing. Mungkin mereka telah berkenalan?

"... siapa kau?"

Pada akhirnya, Gakupo bertanya. Pemuda asing itu berhenti mengoceh dan memelototinya.

"Yang benar saja! Kita sudah berkenalan seminggu yang lalu, tahu!"

Gakupo hanya memandang.

"Haaah. Berkenalan benar-benar melelahkan," keluh si pemuda asing. Ekspresi keruh itu dengan cepat berganti cerah kembali. Senyum lebar sampai pipi kembali menghiasi. Mata biru itu jadi sesipit bulan sabit. Pemuda itu mengulurkan tangannya, "Namaku Shion, Kaito Shion. Namamu?"

Gakupo menyambut tangan itu; mengerti bahwa dia diajak berkenalan, tetapi tidak mengerti mengapa dia harus mengikuti hal yang konyol seperti ini. Mereka berjabat tangan dan Gakupo menggoyangkan tangannya. Ketika dia mencoba melepaskan tangannya, tangan pemuda itu tetap menggenggam. Gakupo memandang Kaito Shion dengan tatapan bertanya, tetapi pemuda itu hanya tersenyum.

"Dan namamu, Tuan?"

Baru saja Gakupo mengerti.

"Kamui. Gakupo Kamui."

"Heh, senang berkenalan denganmu, Bocah!"

"'Bocah'?"

Alis Gakupo terangkat dalam keheranan karena dalam pemikirannya, Kaito Shion tidak akan mungkin lebih tua dengannya. Paling tidak mereka memiliki umur yang sama atau si pemuda lain itu lebih tua beberapa bulan saja, selebihnya Kaito pasti lebih muda. Yang terakhir lebih mudah diterima otaknya. Sementara pemuda itu dengan sangat kasual menyapanya dengan bocah. Shion, Shion Kaito. ("Mengapa kau bisa mengenalku?")

"Kalau kau melupakanku sekali lagi, Gacchan, aku tak akan memaafkanmu!"

.

.

Hari itu, mereka telah berkenalan sekali lagi.

.

.

]

.

.

Gakupo membuka matanya dan dia melihat kembali pepohonan gundul musim dingin.

Apa yang barusan itu nyata? Dia bertanya-tanya. Gelas kertas di tangannya terasa nyata dan masih memiliki sisa-sisa kehangatan yang seharusnya. Dan yang baru saja dia lihat terlihat terlalu nyata jika dibandingkan ilusi, terlalu tajam untuk sebuah mimpi. Kesimpulannya: itu pasti sungguh pernah terjadi. Gakupo membuka penutup gelas dan memandangi genangan Frappuccino yang ada di tangan. Menatap permukaan air membantunya berpikir lebih tenang dan jernih. Dan dalam dua menit, dia telah memutuskan apa yang akan dia lakukan.

.

Sekolah menengah atas tempat Gakupo dulu belajar terlihat mengalami beberapa perubahan di sana-sini, selebihnya masih sama. Pohon bunga sakura, yang sedari dia bisa mengingat telah berdiri di sana, masih berdiri hingga saat ini. Jam pulang telah berlalu sehingga sekolah itu kini sepi. Pemuda itu berjalan melewati gerbang, menyapa penjaga sekolah yang masih mengingatnya, lalu mengganti sepatunya. Rasanya aneh—seperti campuran perasaan rindu dan entah apa, sesuatu yang tak bisa dia jelaskan.

Dia menyusuri lorong-lorong yang dia kenali, mengingat-ingat apa saja yang telah terjadi, tetapi yang paling utama—sosok Kaito yang dia cari. Langkah kaki membawanya ke ruangan klub musik, dia mengingat ketika Luka meminta untuk diantarkan kemari, itu sudah enam tahun yang lalu. Beruntung, ketika pemuda itu memutar kenop, pintu terbuka begitu saja. Pemuda berambut merah bungur itu mengernyit, dia seperti mengingat sesuatu ketika membuka pintu ruangan itu. Dia tahu, dia merasakannya, dia hanya tidak tahu apa.

"Bernostalgia sejenak, Tuan Kamui?"

Gakupo mengerjap. Dia berputar.

...

"Oh, Kiyoteru?"

"Kiyoteru-senpai," pemuda berambut gelap di hadapan Gakupo itu memperbaiki sembari tersenyum lebar.

"Kiyoteru-senpai," ulang Gakupo, menarik sudut bibirnya, "aku kira kau orang lain." Hiyama Kiyoteru adalah seniornya, sekian. Gakupo tidak terlalu dekat dengan pemuda—atau bukan lagi pemuda?—itu sehingga tidak bisa mengatakan banyak hal.

"Sayang sekali kalau begitu. Apa yang kau lakukan di sini, omong-omong?"

Gakupo mengangkat bahu, "Bernostalgia, seperti yang kau bilang. Kau?"

"Aku mengajar di sini. Rasanya aku sudah mengatakannya kemarin di pesta Luka."

"Oh, ya, benar," kata Gakupo, biar pun dia tidak bisa mengingat bagaimana kejadiannya.

"Yah, kau memang tidak terlihat bersemangat kemarin. Kau sudah oke?"

"Selalu," Gakupo mengembuskan napas. Dia melihat ke dalam ruangan lagi, mengamati sejenak, dan berkata, "Aku lihat ruangan musik dirombak sedikit."

"Ya, grand piano itu memang masih baru. Kau mau masuk?" tanya Kiyoteru.

"Ya. Kau ikut?" Gakupo berharap jawabannya 'tidak'.

"Tidak," jawab Kiyoteru. Pria berambut gelap itu menepuk pundak Gakupo lalu berkata, "Bernostalgialah sendiri, oke? Aku punya pekerjaan juga."

"Ya, tentu," kata Gakupo. "Oh, ya. Kau ingat Kaito Shion? Kurasa dia sekelas denganmu."

Kiyoteru yang terlihat hendak pergi dari sana tiba-tiba terhenti di tempat. Pria itu mengernyit dalam. Gakupo bisa merasakan tarikan lembut pada kain di punggungnya, tangan Kiyoteru masih berdiam di sana. Gakupo menanti jawaban selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya, berharap mendapatkan jawaban yang dia ingin dengar. Tetapi pria yang satunya menggelengkan kepala. Bahu Gakupo turun. Mungkin pemuda yang dia cari tidak dikenal oleh orang-orang.

Tapi jawaban Kiyoteru membuat dadanya mencelus.

"Apa orang itu sungguh ada?"

.

Gakupo memasuki ruangan musik sendirian. Dia mengedarkan pandangannya dan menyisir tiap sisi ruangan, menyadari bahwa ruangan itu bukan hanya dirombak sedikit. Ruangan yang dulu terlihat seperti kelas biasa, kini di sisi kanan telah dibuat serupa panggung kecil yang berundak. Gitar-gitar lama yang dulu berserakan sudah digantikan dengan gitar baru yang dirawat dengan baik. Stand partitur terlihat berjajar rapi dan tanpa cacat. Set drum di sudut yang dulu tak bisa dipakai kini sudah terlihat sehat.

Gakupo mendekati grand piano hitam yang disebut-sebut Kiyoteru tadi, membuka penutupnya, dan mencoba beberapa tuts. Suaranya begitu jernih dan indah, sebagaimana piano yang terawat dengan baik. Gakupo menarik kursi, menyibakkan mantelnya, kemudian duduk di depan piano. Pemuda itu menyentuhkan jemarinya ke atas tuts-tuts putih, kemudian memejamkan matanya dan hampir tanpa sadar memainkan sebuah lagu yang dia kenal.

["Hei, Gacchan! Aku membuat lagu untukmu lho! Dengar!"]

Gakupo mengerjap.

Dia memandangi papan di depannya dan tangannya tadi yang bergerak sendiri.

Apa—?

.

.

.

.

[#H+21

Itu adalah sebuah taman.

"—chan! Gacchan!"

Gakupo terbangun karena panggilan yang terlalu akrab itu. Pemuda itu mengangkat tangan, bergerak menyibakkan helai merah bungur yang menutup dan menusuk mata. Pepohonan dengan daun yang menguning dan berguguran kadang kali karena angin adalah yang menyambut penglihatannya. Angin musim gugur berembus, menyusup, membelai pipi dengan nyaris malas-malas juga merayu. Pemuda itu pun menolehkan kepala malas karena melihat surai biru di sudut mata.

"Apa masalahnya?" Gakupo mengerang, "Kaito?" Dia tidak suka tidurnya diganggu.

"Kaito-senpai!" Kaito tidak perlu mengerucutkan bibir dan menggembungkan pipi untuk terlihat kesal saat mengatakan hal itu, sebenarnya.

Pemuda itu mungkin sudah duduk di samping Gakupo sedari tadi, membicarakan entah apa yang membuat dia tertidur. Pasti hal yang membosankan, dan pemuda yang bersangkutan kini sewot karena hal itu. Gakupo menatap Kaito dan lebih memikirkan bagaimana seorang pemuda yang berumur dua tahun lebih tua darinya dapat terlihat jauh lebih muda, ketimbang apa yang baru saja Kaito bicarakan dengannya. Pasti bukan sesuatu yang penting. Si rambut biru terlihat menyerah karena melihat perhatian Gakupo sedang tidak di tempat.

Kaito menghembuskan napas panjang, "Kau harus lebih perhatian pada sekitarmu, tahu."

"Hmm, ya." Gakupo menutup matanya lagi.

"GACCHAN!"

"Aduh!"

Pemuda itu merasakan cubitan di lengan kirinya, sebuah cubitan yang dihasilkan dari jepitan dua jemari yang kecil dan erat. Seperti gigitan semut, siapa bilang digigit semut itu tidak sakit? Mereka yang mengatakan suntikan itu seperti gigitan semut karena tidak sakit adalah pembohong paling besar yang harus dihukum karena telah membohongi banyak balita. Gakupo mengelus lengan kirinya yang terasa perih karena cubitan itu dan melotot pada Kaito, tertuduh utama. Si pemuda berambut biru terlihat sangat tidak suka.

"Kubilang, kau harus lebih perhatian pada sekitarmu," katanya.

"Atau apa?" Gakupo menantang.

"Atau kau akan kehilangan orang yang berarti bagimu."

"Tidak masalah."

"Hah?!" Kaito menatapnya kaget.

Seperti pemandangan di balik kaca yang jernih, ekspresi tidak setuju dengan kalimat terakhirnya. Kaito hanya terdiam dan memandangnya menganga, seperti ingin mengatakan banyak hal dalam pikiran tapi tak bisa. Sementara Gakupo balas memandang dengan tatapannya yang paling dingin, menanti, dan menantang. ("Apa kau tidak akan membantah kata-kataku, Kaito?"), dia sangat tergoda untuk mengatakannya. Pada akhirnya, dia menghembuskan napas dan memecahkan kesunyian.

"Dan ada apa dengan 'Gacchan'?"

Kaito terlalu mudah dialihkan perhatiannya. Pemuda itu terlihat cerah kembali dan bertanya, "Kenapa? Kau suka?"

"Yang benar saja. Itu terdengar konyol."

"Tujuanku memang membuatmu merasa konyol."

"Sungguh kakak kelas yang baik."

"Terimakasih." Kaito menepuk pundaknya.

Gakupo sempat lupa mahluk yang dia ajak bicara tak kenal yang namanya sarkasme.

Mereka kemudian duduk dalam diam, bersandar pada kursi dan menatap ke depan. Gakupo melihat sebuah daun yang menguning terlepas dari dahannya lalu dipermainkan angin hingga jauh. Kemudian, dia berkedip dan teringat akan sesuatu. "Jadi apa yang kita bicarakan tadi?"

Kaito bersedekap, wajahnya terlihat keruh lagi. "Mengenai absensi dan nilaimu yang jelek!"

"Oh, itu lagi."

"Heh, jangan mengatakannya seperti kau tidak tertarik begitu! Banyak yang khawatir tahu."

"Kau juga?"

"Apalagi aku! Duh!" Kaito kembali bersedekap, dahinya berkerut-kerut. "Tiap tahun akan diadakan empat kali tes. Tiap tes akan dirata-rata nilainya untuk dimasukkan ke dalam laporan hasil belajar. Kita telah melewati tes pertama tahun ini dan nilaimu sungguh sangatjelek!" Pemuda itu kelihatannya tidak bisa menahan diri lagi hingga berdiri dari tempatnya duduk dan membentaknya, "Ya ampun, Gacchan! Padahal kau bilang tidak ada lagi yang kau bingungkan! Kalau masih belum jelas aku pasti mau mengajarimu!"

Kelakuannya seperti ayah atau ibu pada anak saja, sampai dilihat oleh orang-orang lainnya.

Ouch. Gakupo akan tersanjung jika pemuda itu berkata, ['aku memarahimu karena menyayangimu'].

"Oke, oke," Gakupo berujar sembari mengangkat kedua tangannya pada Kaito di hadapan. "Aku mengerti inti dari kalimatmu. Jadi aku harus memperbaiki nilaiku di tes yang kedua," simpul Gakupo.

"Dan absensi!" sambar Kaito dengan kedua tangan di depan dada. "Kau tidak boleh membolos lebih dari empat hari tanpa keterangan dan tidak bisa terus-terusan kabur dari atap untuk menghindari pelajaran. Ya ampun, dari mana kau dapat kunci itu sih? Kembalikanlah pada sekolah!"

"Kalau aku tidak mau bagaimana?" tantang Gakupo. Pemuda itu menarik kedua sudut bibirnya lebar-lebar, sementara pemuda yang satunya terlihat terbakar amarah, mungkin bisa melelehkan es yang dia injak. Tetapi entah mengapa, Gakupo tidak menemukan amarah pemuda itu menakutkan. Justru—

Pemuda berambut biru itu menurunkan bahunya. "Aku peduli padamu, tahu," kata Kaito, bibirnya menekuk ke bawah.

Gakupo menyusuri sosok pemuda di hadapannya dengan pasang iris ungunya. Garis-garis wajah yang maskulin dan terlihat lelah, wajah itu terlihat tak suka. Pemuda berambut panjang itu memiliki penglihatan yang tajam kepada manusia, atau setidaknya begitu yang dia percaya. Kaito memandangnya dengan sepasang mata biru yang dalam. Di dalam sana tidak terlihat adanya kebohongan, hanya ada keseriusan sehingga Gakupo tergelitik untuk memecahkan keseriusan tersebut.

"Wah, aku tersanjung."

Kaito menghembuskan napasnya. "Sudahlah."

Usahanya gagal.

Di saat begini saja Kaito jadi terlalu sensitif, Gakupo mencibir dalam hati.

Kaito meraih gelas kertasnya yang telah kosong, kemudian melemparkannya masuk ke dalam keranjang sampah. Bersamaan dengan itu, dia membereskan buku-bukunya.

"Mau kemana?" tanya Gakupo, heran. Apa Kaito benar-benar marah? Kalau iya, marahnya seperti anak perempuan saja.

"Mau ke perpustakaan. Belajar. Di sini tidak bisa konsentrasi," jawab Kaito.

"Karena ada aku, ya?"

Kaito mendengus geli, "Mana mungkin bocah sepertimu membuatku tidak berkonsentrasi."

Gakupo menatap Kaito dengan teliti, tetapi pemuda itu mengibaskan tangannya seperti menghalangi tatapan Gakupo.

"Kau mau ikut?" tanya Kaito.

.

.

]

.

.

Kota ini seperti album foto raksasa, setidaknya bagi Gakupo.

Setelah keluar dari sekolah, menyerah untuk menemukan Kaito di dalam sana dan merasa tidak mungkin diizinkan mengutak-atik bagian administrasi untuk mencari orang yang dipercaya tidak ada, Gakupo berjalan dari sekolahnya menuju perpustakaan kecil di sudut kota. Tempat lain yang mungkin membuatnya ingat lebih banyak, atau menemukan orang yang mengingat sama sepertinya. Karena berdasarkan kilas ingatan yang dia lihat tadi, mereka cukup sering berada di sana.

Di sepanjang perjalanan, dia terus berusaha mengingat—menggali di sudut ingatannya. Entah bagaimana dia bisa membayangkan berjalan bersisian dengan Kaito di jalanan. Mereka berdua akan membicarakan banyak hal, mulai dari kegiatan sehari, tugas-tugas, kuis, pelajaran, kawan-kawan, pergaulan mereka. Biarpun kebanyakan obrolan itu didominasi oleh Kaito sementara Gakupo menimpali, berkomentar pendek, dan mendengarkan. Saat itu adalah musim dingin yang sama seperti hari ini.

Mengapa hanya dia yang ingat?

Apa Kaito hanya khayalannya?

Pemuda itu tidak nyata?

.

(surai merah muda panjang berkibar di penglihatannya)

"Wah, halo, Gaku-sama, kebetulan sekali bertemu. Bagaimana istirahatmu?"

Gakupo tidak menyangka akan bertemu Luka di depan perpustakaan. Gadis itu terlihat sempurna dengan mantel musim dingin dan syalnya yang tebal melilit leher. Rambut merah mudanya yang panjang diikat kuda di belakang kepala. Gadis Megurine itu tersenyum padanya dengan sangat manis dan hangat, seperti dapat mencairkan salju. Di tangannya ada kantung kertas yang terisi penuh dengan buah-buahan.

Si pemuda tersenyum sopan, "Halo, Luka. Aku merasa lebih baik dari kemarin."

"Ya ampun, Gakkun, kau ini memang formal sekali, ya," komentar Luka. Gadis itu mengernyit, kemudian tersenyum kembali. "Kau mau ke mana?"

"Perpustakaan," Gakupo mengisyaratkan dengan dagunya, bangunan di belakang Luka.

"Belajar?"

Gakupo mengangkat bahunya. "Mungkin aku memang akan belajar."

"Belajar mengenai apa?" tanya Luka.

"Mengenai ..." Gakupo berpikir sejenak. Masalahnya, ketika dia bertanya mengenai Kaito pada Luka, gadis itu menatapnya seperti dia sudah gila. "... Kaito," gumam Gakupo.

"Apa?" Luka mencondongkan tubuhnya.

"Bukan," sambar Gakupo cepat. "Bukan apa-apa."

Luka menatapnya tidak percaya bercampur khawatir. "Apa kau tidak apa-apa, Gakkun?"

Gakupo menarik sisi-sisi bibirnya. "Tak pernah lebih baik. Apa yang akan kau lakukan setelah ini, Luka?"

Luka kelihatannya ragu-ragu untuk mengganti topik pembicaraan, tetapi gadis itu kemudian tersenyum. "Aku mengadakan pesta lagi khusus untuk gadis-gadis," jawabnya, "kami akan berpesta salad." Gadis itu kemudian meraih sebuah apel dari dalam kantung belanjaannya, melemparkannya ke udara dan menangkapnya kembali. Gadis itu tersenyum dan menyodorkan apel kepada Gakupo. "Mau apel?" tawar gadis itu dengan senyuman yang—semua pria dewasa tahu artinya.

(apel, apel, perlambang kesucian. dimakan adam yang ditawarkan oleh hawa dan kemudian mereka diusir dari surga)

Gakupo hanya tersenyum. "Apa pun selain apel, mungkin?"

"Aku punya pisang."

"Tidak."

Luka tertawa kecil. "Omong-omong, aku menanti untuk melihatmu di Yuki Matsuri besok lho."

Gakupo mengangkat alisnya, seperti tidak percaya. "Begitu?"

"Yaa," Luka membetulkan barang bawaannya. "Sudah lama tidak melihat Gaku-sama bermain biola lho. Kangen jadinya," Luka berkata panjang lebar. Gadis itu terlihat menerawang ke balik punggung Gakupo, pandangannya tak terbaca. Beberapa saat kemudian, gadis itu menghembuskan napas, "Haah, seharusnya kemarin aku memintamu untuk bermain sedikiiit saja. Yukari saja mau memainkan satu lagu untukku tanpa diminta!"

"Yukari memang pianis yang baik."

"Dan murah hati. Kenapa kau tidak seperti itu, ya?"

"Aku mengambil bayaran secara profesional."

"Benar sekali," Luka memutar bola matanya. "Sana masuk perpustakaan, sebelum ditutup."

"Yah, baiklah. Aku yakin kawan-kawanmu menunggu."

"Tidak, pestanya baru mulai nanti petang. Mau mampir?"

"Aku bukan gadis, terakhir kali aku mengecek."

"Benar juga." Luka menepuk bahu Gakupo, masih tersenyum.

Gakupo balas tersenyum. "Oke. Dah. Jaga dirimu. Hati-hati di jalan."

"Rumahku dekat, kok. Sampai besok, ya!"

Gakupo tersenyum pada Luka untuk yang terakhir kalinya sebelum berbalik sepenuhnya.

.

Luka tersenyum sendiri melihat Gakupo masuk ke dalam perpustakaan, menatap punggung tegap pemuda itu. Gakupo memang... memiliki tempat sendiri di hati Luka. Sedari dulu hingga sekarang, kehadiran pemuda itu di dekatnya masih membuat jantungnya berdebar tidak terkendali. Untung saja dia bisa secara mudah menutupinya.

Selain itu, Gakupo juga sudah banyak berubah sejak pertama kali si gadis bertemu; seorang pemuda acak-acakan dengan bau rokok di tubuhnya. Gakupo yang dulu adalah pemuda yang bahkan tidak peduli kalau orang yang dia tabrak seorang gadis, dia tidak repot-repot membungkuk apalagi menolong. Sekarang Gakupo telah berubah, sejak bertemu dengan pemuda itu... pemuda yang satunya... Semuanya berkat pemuda itu ...

.

.

Luka menyentuh dahinya dan mengernyit, berusaha mengingat sesuatu yang sudah ada di ujung lidahnya, tapi ...

... siapa yang dia pikirkan?

.

.

.

.

[02: WINTERS]—end.

Vocaloid © Yamaha & Crypton Corporation (saya tidak mengambil profit apapun dari penulisan fanfiksi ini.)

Some concept inspired by SILENCER © 紅零

memento © melted sunflower

.

.

.

End Note:

Yuki Matsuri: Festival Salju—"The Sapporo Snow Festival (Sapporo Yuki Matsuri) is held during one week every February in Hokkaido's capital Sapporo. It is one of Japan's most popular winter events." (japan-guide dot com). Anggap saja kebetulan sedang diadakan mulai tanggal satu Februari (karena ultahnya Luka kan bulan Januari—setidaknya di fic ini)

Thanks to: MimoruGK, Funka Tokio (anw, saya suka lagu Tokio Funka lho! 8D), VermieHans, dan ShilaFantasy for the reviews and faves and alerts! Reaaaaly made my day!