Disclaimer: I don't own Shingeki no Kyojin, Isayama Hajime does.

Untuk Rivetra Week hari ke lima

Prompt: Captain and Soldier—Kapten dan Prajurit

Lembar ke lima: Pasar, Kereta, Heichou dan Petra


Yang satu adalah kapten dengan sarkasme di segala segi, dan terkadang—maaf—bermulut kotor, hobi mengumpat, hobi menendang. Terakhir kali menghajar seseorang, ia merontokkan salah satu gigi dari seorang Eren Jaeger.

Yang satunya lagi adalah prajurit sekaligus bawahan yang patuh. Kalimat favoritnya adalah "Ya, Heichou!" atau "Dimengerti, Heichou!"

Mereka selalu terlihat sebagai pemimpin berkharisma dan bawahannya yang setia. Selalu seperti itu.

Setidaknya itu yang orang lain selalu pikirkan.


"Heichou, kau yakin kita butuh benda-benda ini? Aku tahu kau dan para pria di regu kita memang mahir kalau untuk urusan seperti ini, tetapi ..." Petra Ral mengambil napas, sebelum mengangkat dua keranjang dalam jinjingannya tinggi-tinggi. "Selusin botol anggur? Kalian ingin mabuk sampai bagaimana? Jangan lupa kalau ada Eren juga, dia masih belia, jangan memberinya contoh yang tidak layak ditiru."

Rivaille membetulkan posisi karung berisi bermacam sayur dan buah yang sedang dipanggulnya, kemudian melirik gadis yang tengah mengembungkan pipi dan menautkan alis di sisinya. Alih-alih mengenakan seragam resmi kemiliteran, Petra kini memakai kemeja putih berlengan pendek dengan renda dan pita kecil di kerahnya, dan rok sifon oranye pastel selutut yang melambai lembut ditiup angin yang berembus di jalan utama pasar Trost yang hiruk pikuk.

Sial, ia mengumpat dalam hati, dia terlihat manis, semanis neraka.

"Heichou? Kau mendengarkanku?"

"Jangan panggil aku Heichou jika kita tidak sedang berekspedisi atau di luar embel-embel kemiliteran, Petra, sudah berapa kali kubilang?" katanya, menatap Petra lurus-lurus di mata.

"A-ah," respon Petra gelagapan. "Kebiasaan susah dihilangkan, Hei—err, Ri-Rivaille."

Petra merona hebat, dan Rivaille tidak pernah melihat hal semanis kekasihnya yang wajahnya memerah ketika memanggil dirinya dengan nama.

Ya. Kekasihnya. Tidak ada kesalahpahaman dengan itu.

"Itu terdengar lebih baik," katanya, bersusah payah untuk tidak terbatuk. "Katakan itu lebih sering."

"Eh?" mata Petra melebar. "Ta-tapi, kau adalah atasanku, sangat tidak sopan kalau—"

"Kalau begitu jangan di hadapan banyak orang," Rivaille menukas, "Ketika kita hanya berdua saja, panggil aku dengan namaku."

Sebuah jeda, sebelum sebuah senyuman mengembang di wajah Petra. "Ryoukai!"


"Kaupikir ini sudah semua, Rivaille?"

Lance Corporal yang kini berpakaian ala masyarakat sipil (cravatnya masih ia kenakan, tentu saja) itu menatap satu per satu bahan makanan yang telah tersusun rapi di bak kereta pinjaman dari regu logistik Scouting Legion, persediaan pangan untuk timnya selama sebulan ke depan. Alisnya bertaut saat menyadari ada sesuatu yang kurang, sesuatu yang penting. "Kopi," katanya datar. "Kita melupakan kopi, Petra."

"Ah!" Petra menepuk dahinya keras-keras, suaranya menggema di lorong gang kosong tempat mereka berdiri saat ini. "Aku akan kembali untuk membelinya sekarang, tolong tunggu sebentar."

"Tidak," Rivaille menarik lengan Petra yang telah mengambil langkah pertama untuk pergi, membuat gadis itu diam di tempat. "Kau yang tunggu, biar aku yang membelinya."

Petra mengangkat alis, tetapi toh ia mengangguk juga.

Ia tidak bisa lagi menahan senyumannya ketika melihat punggung Rivaille semakin menjauh dan mengecil, kemudian menghilang di balik keramaian. Ia mengangkat lengannya, kemudian menaruh kedua telapak tangannya di dada, tepat di mana jantungnya yang kini berdetak kencang tertanam.

"Rivaille," ia berkata, menyukai bagaimana cara kata itu terdengar jika ia mengucapkannya, bagaimana jantungnya menggelepar ketika ia membayangkan sosoknya. "Rivaille ... Rivaille ...," ia berbisik, mengatakannya berulang-ulang. Jujur saja, ia lebih senang memanggilnya seperti itu dibanding dengan memanggilnya Heichou seperti yang biasa ia lakukan. Rasanya begitu pribadi, seolah pria itu hanya miliknya seorang.

Seperti dirinya, yang hanya dimiliki Rivaille seorang.

"Rivaille—"

"Apa?"

Petra tersentak, panas menjalari wajahnya ketika ia sadar jika kini Rivaille tengah menatapnya lekat, jarak mereka hanya sejengkal.

"Ri-Rivaille! Kau sudah kembali? Ce-cepat sekali!"

"Kedai kopinya terletak tepat sebelum tikungan gang ini, tidak jauh."

Petra terbatuk. "O-oh, begitu." Lengannya menyelipkan anak rambutnya ke telinga, tanpa dikomando. "Ka-kalau begitu semuanya lengkap." Katanya, menunduk. Ia malu, sangat-sangat malu.

"Hm," Rivaille bergumam datar. "Ayo kembali ke Headquarter, kita harus sampai sebelum sore, aku harus melatih Eren setelah ini,"

"Ba-baik," ujar Petra. Ia kecewa, tidak dipungkiri. Waktu-waktu seperti sekarang ini, ketika ia dan Rivaille bisa lepas dari peran mereka sebagi kapten dan prajurit, tidak sering terjadi. Maka ia hanya bisa menunduk ketika Rivaille meraih tangannya dan membimbingnya naik ke kursi kusir, sementara Rivaille menarik tali kekang kuda dan mulai memacu kereta mereka melewati gerbang dalam Trost.

Yang tidak Petra tahu, butuh kekuatan besar bagi Rivaille untuk menahan diri agar tidak mendorongnya ke dinding saat itu juga, di saat ia mendengar gadis itu menyebut namanya dengan nada yang hampir membuatnya gila, berkali-kali, lagi dan lagi.

Well, ia bisa melakukannya saat mereka sudah berada di ruangan pribadi Rivaille nanti malam. Rivaille menghibur dirinya sendiri.


Fin


A/N: Tinggal dua prompt lagi, hohohoho... well, chapter ini, saya sama sekali ga puas, entah kenapa... tapi ga bisa mikir ide lain jadi ya sudah pakai yang ini saja :'(

Makasih buat allihyun, Yumi Murakami dan menantu tertjintah WatchFang yang sudah mereview chapter sebelumnya, semoga kalian ga bosen saya kasih anu anu, ya? Mueheheh

Tinggal dua prompt lagi, tolong semangati saya /o/

Lembang, 27/11/13

Clarione.