TITLE

Angel

CHAPTER

3

PAIRING

YunJae (Yunho x Jaeoong)

DISCLAIMER

This story is a work of pure fiction

WARNING

OOC : Typos : DLDR :

STRAIGHT alias GENDERSWITCH (for UKEs)

.


.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang kerjaku. Sudah 3 tahun aku menempati ruangan i ni.

Ruanganku berukuran sekita meter. Paling kecil dibandingkan ruangan rekan-rekanku yang lain. Ya, konselor di kantorku memang mempunyai ruangan sendiri-sendiri. Mereka adalah Park Yoochun, Shim Changmin, Kim Junsu dan Cho Kyuhyun.

Tentu saja, karena kami juga menangani klien yang berlainan, jadi membutuhkan privasi dan ketenangan.

Ruangan-ruangan konselor sangat mencerminkan metode yang dipakai oleh masing-masing orang. Contohnya aku, di ruanganku mayoritas berwarna putih, entah itu sofa, dinding, atau yang lainnya.

Aku ingin supaya klien yang memasuki ruanganku akan merasa tenang, sebab warna putih memancarkan ketenangan. Netral.

Aku ingin mereka merasa tanpa beban ketika bertatap muka denganku.

Aku ingin mereka bisa mengeluarkan uneg-unegnya dengan bebas.

Aku ingin membantu mereka memecahkan masalah yang dihadapi.

Aku melaksanakan tugas yang diberikan oleh Sang Waktu.

Harus.

Wajib.

Oohh, memikirkan itu membuat kepalaku jadi pening :(

.

Tunggu!

Aku teringat sesuatu sebelum aku diantar kembali ke ruanganku.

Aku merasakan sesuatu. Merasakan.

Ini adalah hal yang sama sekali belum pernah aku alami sebagai malaikat

Hari ini pertama kali mengalami sesuatu yang bernama 'merasakan' itu.

.

Aku merasakan hatiku berdebar-debar.

Aku merasakan kepalaku pusing.

Yang paling parah, aku baru saja mengalami pingsan.

Entahlah. Bingung sendiri.

Bahkan sekarang pun aku masih berdebar. 'Jantung' manusiaku ini berdetak lebih cepat. Rasanya seperti akan meloncat keluar dari tubuhku.

.

Aku tidak tahu harus bertanya kepada siapa.

Tidak pernah mengalami hal seperti ini.

Sang Waktu? Ah, siapalah aku sehingga berani mengajukan pertanyaan kepadanya.

Aku berada dalam kasta terbawah di urutan hirarki. Malaikat rendahan. Pesuruh Sang Waktu yang tidak mempunyai hak apapun.

.

Ah, aku butuh sesuatu. Apa ya yang biasanya dilakukan manusia ketika jantung mereka berdebar?

Aku melirik laptop yang menyala di meja. Empat orang rekanku sedang online di chatroom semua. Mungkin kucoba saja bertanya kepada mereka.

Sexy JaeJae to: BubbleButt unnie - Unnie, apa obat untuk jantung berdebar?

Pertanyaan yang sama kutujukan untuk 3 rekanku yang lain: Yoochun oppa, Changmin oppa, dan Kyuhyun unnie.

Sexy JaeJae to: Mr. Forehead - Oppa, apa obat untuk jantung berdebar?

Sexy JaeJae to: Max is Min - Oppa, apa obat untuk jantung berdebar?

Sexy JaeJae to: Skinny unnie - Apa obat untuk jantung berdebar?

5 menit.

10 menit.

15 menit.

Tidak ada jawaban dari mereka. Biarlah, mungkin mereka masih melayani klien.

Kepalaku masih sedikit pusing. Kucoba untuk memijit pelipis, seperti yang biasa dilakukan Junsu unnie sewaktu pusing ketika Pak Direktur memberinya pekerjaan tambahan.

Rasanya agak lumayan.

Pijatan di pelipis menimbulkan efek yang lumayan. Rasa cenat-cenut yang tadi kualami, sekarang agak menghilang. Sedikit.

Tapi tetap saja jantungku berdebar di atas normal.

Ping!

Max is Min - "Kau butuh berkencan."

Aku memutar bola mata. 3 kata darinya sudah cukup menggambarkan kepribadiannya: tajam dan tanpa basa basi. Untung saja dia tidak begitu dalam urusan pekerjaan.

Segera kuketik balasannya, "Seriuslah, oppa."

Max is Min - "Aku sangat serius, Jaejoong-ah."

Lampe kembali menyala. Kali ini dari Kyuhyun unnie. "Kau kenapa?" Dia balik bertanya.

"Jantungku berdebar, unnie."

Skinny unnie - "Itu normal, karena kamu manusia."

Aku bisa membayangkan wajah serius Kyu unnie ketika dia mengatakan hal ini secara lisan. Itu normal, karena kamu manusia, Jaejoong, bla..bla..bla... dan sederet teori akan diberikannya tepat di depan hidungku.

"Tapi jantungku berdebar melebihi normal."

Skinny unnie - "Oh ya, berapa kali per menit? Sudah kau ukur? Jantung pria berdebar 60-80 kali/menit. Kalau wanita biasanya 70-90 kali/menit."

Tuh kan, apa kubilang. Sepertinya Kyu unnie lebih cocok menjadi dokter daripada seorang konselor.

"Eh, aku tidak tahu. Belum mengukurnya," jawabku. Lagipula aku tidak tahu bagaimana cara mengukur denyut jantung. Aku tidak pernah mengikuti pelatihan medis sebelumnya.

BubbleButt unnie - "Periksa ke dokter saja." Kali ini Junsu unnie membalas pertanyaanku. "Apa ini efek dari pingsan tadi?"

"Tidak usah deh. Sudah mendingan," tolakku.

Menurut pengamatanku selama di dunia manusia ini, jantung berdebar keras tidaklah membahayakan. Kecuali jika diikuti dengan pingsan.

Dalam kasusku, aku pingsan duluan, baru merasa berdebar. Selain itu, aku merasa sehat.

Ah, kata itu lagi. Rasa.

Mr. Forehead - "Kau yakin, Jaejoong-ah? Aku bisa mengenalkanmu kepada temanku yang masih single." Yoochun oppa menyahut.

"OPPPPPAAAAA ! JANTUNGKU BERDEBAR BUKAN KARENA INGIN BERKENCAN !"

Tak lama kemudian icon 'tertawa' memenuhi chatroom. Ketiga orang rekanku rupanya geli melihat reaksiku terhadap kata-kata Yoochun oppa.

BubbleButt unnie - "Sudahlah oppa, jangan kau goda dia" :))))))))))) Junsu unnie mengetik kata-kata dengan icon tertawa yang sangat panjang.

Mr. Forehead - "Hey kalian, Jaejoong butuh bergaul dengan pria selain di kantor kita." Yoochun oppa bersikukuh.

Skinny unnie - "Jangan sok tahu. Pasti Jaejoong sudah memiliki pacar. Siapa yang bisa menolak gadis secantik dia." Kali ini Kyuhyun unnie nimbrung.

Loh.. loh.. kenapa kalian jadi meributkan urusan pribadiku begini sih?

Tapi lucu juga. Aku melihat mereka bertengkar sendiri di chatroom.

Hatiku merasa gembira. Pusingku berangsur hilang. Jantungku juga sudah berdetak dengan normal lagi.

Hah? Sesederhanakah itu obatnya? Hanya perlu merasa gembira?

"Kepalaku sudah mendingan. Dadaku juga sudah tidak berdebar lagi."

BubbleButt unnie - "Kau yakin Jaejoong-ah?"

"Yakin 100%."

Mr. Forehead - "Sudah minum obat?"

"Iya."

Mulanya aku ingin menjawab bahwa dengan merasa gembira aku sudah bisa sembuh, tapi kurasa itu jawaban yang absurd. Pasti akan memancing rekan-rekanku untuk bertanya lebih jauh.

Telepon di mejaku tiba-tiba berdering. Rupanya dari resepsionis.

"Jaejoong-ssi, klien dengan nama Kim Ryeowook datang bersama ibunya."

"Kamsahamnida. Persilakan mereka ke ruangan saya."

Sebelum offline dari dunia maya, aku mengetik, "Aku off dulu. Ada klien."

.

Jam makan siang tiba tepat ketika nyonya Kim dan Ryeowook meninggalkan ruanganku. Biasanya aku makan siang bersama Kyuhyun unnie dan Junsu unnie di kedai depan kantor. Jika sedang ingin, Yoochun oppa dan Changmin oppa juga bergabung bersama kami.

Kali ini aku tidak bersemangat untuk makan siang.

"Jaejoong-ah, tidak makan siang?" Kepala Junsu unnie muncul dari balik pintu ketika aku sibuk berpikir.

"Makan dimana, unnie?" tanyaku tidak bersemangat. Aku berdiri dan meregangkan tubuh.

"Seperti biasanya. Atau kau sudah bosan? Kita bisa coba tempat yang baru buka di ujung jalan."

"Hmmm..."

"Kau tidak apa-apa, Jaejoong? Sepertinya kau masih sakit."

"Hah? Tidak eonnie, aku baik-baik saja," elakku halus. Jika ada seseorang yang bercerita kepadanya, Junsu unnie mempunyai kebiasaan membahas sesuatu dengan panjang lebar. Saat ini aku sedang tidak ingin mendengar ceritanya.

"Kalau begitu ayo kita makan!" ajaknya dengan penuh semangat. "Aku traktir deh."

Kugelengkan kepalaku. "Tidak usah, unnie. Minggu lalu kau sudah mentraktirku." Aku mengambil tas kerja dan meraba dompetku di dalamnya. "Duluan saja, nanti kususul. Aku mau ke toilet dulu."

"Oke. Kutunggu di resepsionis ya."

Aku mengangguk.

Setelah mengambil dompet dan handphone, aku menuju ke toilet yang ada di pojok lantai empat ini. Di sana sepi. Kucuci bersih-bersih tanganku dan kukeringkan. Ah, ingin cuci muka juga. Air dingin itu membasahi wajahku. Kutarik serbet kertas yang ada di depanku untuk mengeringkan wajah. Segar sekali. Lipsglossku luntur, tapi tidak masalah. Toh aku akan makan dulu. Setelah makan baru touch-up.

Ketika mengangkat wajah untuk berkaca, aku mendapati bayangan seraut wajah di belakangku. Seketika jantungku rasanya berhenti berdetak. Aku tidak bisa lari. Di sini tidak ada siapa-siapa selain kami.

Demi Sang Waktu, entah kenapa kemunculannya mengejutkan aku. Setelah bisa menguasai diri, aku membalikkan tubuh menghadapnya sambil sedikit membungkuk, "Selamat siang, pengawas Jung."

"Aneh, rasanya tadi pagi anda memanggil nama depan saya. Kenapa sekarang memanggil saya dengan nama keluarga." Bukannya menjawab salamku, Jung Yunho-ssi malah berbicara tentang kejadian tadi pagi. Rupanya dia tidak lupa jika aku memanggilnya dengan nama depan.

Aku tidak bergeming. Tapi aku juga tidak mau memandang matanya. Tidak kujawab sindirannya. Kubungkukkan tubuhku sekali lagi. Bisa kurasakan wajah dan leherku panas.

"Nona Kim, anda mau kemana?"

Oh, mau tidak mau aku terpaksa memandangnya. Kudongakkan leherku supaya bisa menatap matanya.

"Saya... saya hendak istirahat siang," jawabku. Jantungku berdebar kencang. Ini kejadian yang kedua kali hari ini tiap kali berinteraksi dengan pengawas baru ini.

Be still, my heart.

Yunho melirik arlojinya. "Sekarang masih jam dua belas lebih sepuluh menit."

Kuberanikan diri bicara. "Apa ada yang aneh? Bukannya waktu istirahat jam dua belas siang sampai jam satu?" tanyaku.

"Nona Kim, rupanya kau belum membaca memo internal ya? Waktu istirahat bergeser menjadi jam satu sampai jam dua siang."

Mataku membulat. Entah kenapa, sedetik kurasakan wajahnya melongo namun cepat-cepat berubah masam seperti biasanya.

"Saya belum menerimanya."

"Memo itu beredar jam setengah dua belas tadi."

"Maaf, jam segitu saya masih ada klien," belaku.

"Terserahlah. Yang jelas, anda baru boleh istirahat jam satu nanti," ujar Yunho sambil menuju pintu keluar toilet. "Sekarang, anda masih dalam waktu jam kerja."

"Tapi... tapi saya..."

"Tidak ada tapi-tapian, nona Kim. Kembalilah bekerja."

Orang ini menyebalkan ! Seenaknya saja membuat memo tanpa memberitahu karyawan.

Dengan berani aku berkata, "Baiklah jika anda ingin saya kembali bekerja. Tapi... tapi saya juga ingin berbicara dengan anda."

Ucapanku itu membuatnya membalikkan badan. "Apa tepatnya yang ingin anda bicarakan, nona Kim?"

"Tentang klien saya."

Dia terdiam sejenak sebelum berkata. "Baiklah. Mari ke ruangan saya."

Aku berjalan cepat mengikuti Yunho-ssi ke ruangannya. Baru ingat jika Junsu unnie menungguku. Segera kuketik sebuah sms untuknya lalu cepat-cepat kumasukkan handphoneku ke saku blazer.

Ruangan yang digunakan Yunho-ssi adalah bekas ruangan Wakil Direktur yang terdahulu. Aku memasukinya dengan sedikit ragu. Rasanya ruangan itu penuh dengan aura pemiliknya. Dan itu agak mengintimidasiku.

"Baiklah nona Kim, apa yang mau anda bicarakan?"

Dia duduk di depanku. Di belakang mejanya terdapat jendela bening. Pemandangan jalanan bisa dilihat disitu.

Sreett...

Sesaat seperti kulihat ada sebuah cahaya di belakang Yunho-sshi. Aku melongo, lalu segera menggelengkan kepala. Itu pasti hanya pantulan cahaya matahari yang menimpa jendela. Ya, pasti itu.

"Nona Kim, bisakah kita mulai pembicaraan ini?" Dia menatapku dengan intens.

Aku tersentak. Hampir lupa pada tujuanku semula.

"Baik."

Segera kumulai penjelasan tentang kondisi klienku. Dan selama lima belas menit kemudian, kebanyakan aku yang berbicara dan Yunho-sshi mendengarkan.

"Sebelum saya jawab usulan anda, saya ingin bertanya. Ada berapa klien yang anda tangani saat ini?"

"Anda ingin saya menangani berapa klien?" Aku balik bertanya.

"Nona, kelihatannya anda tidak paham pertanyaan saya. Saya tanya, ada berapa klien anda saat ini?"

Aku berusaha menjelaskan. "Terserah anda memberi saya tugas menangani berapa klien."

Yunho-sshi mencibir. "Nona Kim, tidak mungkin kan anda menangani sepuluh klien sekaligus dalam satu periode?"

Aku tersinggung. "Tiap klien selalu saya tangani dengan baik. Saya tidak pernah gagal. Berapapun jumlah kliennya. Cuma, mungkin saya membutuhkan waktu yang lebih lama jika menangani banyak klien sekaligus. Saya bisa membuktikan kepada anda!"

Aku belum pernah gagal sebelumnya. Dia kan bisa mengeceknya di portofolioku !

Napasku terengah-engah ketika berbicara. Wajahku memerah. Seenaknya saja dia meremehkan kemampuanku. Aku berdiri dari kursi dan menghentakkan tanganku ke meja di depanku.

Dadaku terasa sesak dan mataku panas. Pertama kalinya aku mengalami ledakan emosional seperti ini. Dan sialnya, kenapa harus terjadi di depan pengawas baru ini.

Sudahlah, aku tidak peduli jika dia memecatku. Aku tidak butuh pekerjaan ini. Aku kan bukan manusia.

Atasan baruku ini tidak bergeming. Wajahnya tetap datar. Tiba-tiba...

"Ah, mianhaeyo nona Kim."

Seulas senyuman tiba-tiba muncul di wajah masam itu. Aku terpana. Secara keseluruhan itu merubah efek di wajahnya. Wajahnya terlihat lain. Terlihat... tampan (?)

Otakku tiba-tiba berhenti berpikir.

"Ne?" tanyaku. "Kenapa anda meminta maaf?"

Yunho-sshi masih saja tersenyum. "Maafkan saya, nona Kim. Saya hanya ingin melihat reaksi anda saja."

Apa maksudnya ?

Dia mengeluarkan sebuah berkas dan meletakkan di atas meja. Berkas itu bertuliskan namaku. Aku mengerutkan dahi.

"Saya sudah membaca hasil kerja anda selama 3 tahun bekerja disini. Semuanya memuaskan. Tidak ada yang gagal."

Lalu? Aku masih menunggu. Kulipat tanganku di depan dada.

"Anda memang layak bekerja di sini."

Aku langsung sweatdrop mendengar ucapannya. "Itu sih dari dulu. Malah saya kan ada disini lebih dulu daripada anda," ucapku ketus. Masih merasa dongkol.

Yunho-sshi tidak mengacukan omonganku. "Saya hanya ingin mengetes anda tadi."

Aku terduduk di kursi dengan wajah ditekuk. "Untuk apa?"

"Ada karyawan yang tidak mudah menyesuaikan diri dengan atasan yang baru."

"Menurut anda sendiri, saya bagaimana?"

Atasanku ini mengangkat bahu. "Sejauh ini kinerja dan prestasi anda bagus. Menurut indeks prestasi anda. Saya harap anda bisa menyesuaikan dengan kinerja saya."

Aku masih belum puas dengan jawabannya yang tidak nyambung itu. Tapi biarlah. Aku menunggunya bicara lagi.

.

~ TBC ~

.

June.16.2014