Saat utasan tali-tali bernama kenafsuan duniawi berlomba untuk menjerat dunia,
pernahkah kau berpikir motif-motif apa saja yang menjadi dasarnya?
Karena menurutku, yang mereka lakukan tak ubahnya hanya seperti menembakkan peluru angin.
Terasa puas secara fisik, namun sesungguhnya tak ada hasilnya.
.
.
Malam kali ini begitu pekat, hitam mendominasi terang milik si bintang dan biasan cahaya matahari milik si bulan. Setidaknya deskripsi melankolis singkat tersebut akan menjadi sumber inspiratif jika dikembangkan lebih lanjut oleh para pujangga atau para filsuf kehidupan.
Sayangnya bagi Akashi Seijuurou, suasana yang membungkus malam kali ini sedikitpun tidak sanggup untuk mengais perhatiannya. Kesepuluh jemarinya masih bergerak separo statis, bekerjasama dengan sepasang mata heterochrome miliknya yang masih terfokus pada sebuah layar laptop kecil. Dua indra tersebut masih mencoba berkonsentrasi dalam waktu bersamaan guna menguak informasi-informasi yang berposisi jauh dari genggaman pemahamannya. Hela nafas pun tak jarang menjadi jeda aktivitas sebagai penenang, mengingat hal yang sedang ia kuak kali ini memang bukanlah suatu perkara yang masuk ke dalam golongan mudah.
Dua bola mata Akashi bergulir perlahan, mendarat pada kelima sosok yang saat ini sedang terbaring pulas serempak di atas deretan sofa berposisi tidak jauh dari ordinatnya. Alam bawah sadar dari sebagian mereka tak segan untuk menunjukkan ekspresi kelelahan. Terang saja, hari ini tenaga mereka sudah terforsir untuk bekerja di atas titik batasnya. Kendati demikian Akashi selalu mengetahui dan mengakui bahwa teman-temannya ini adalah tetap yang terbaik, mereka selalu memberikan hasil nyaris—atau bahkan sesekali—mencapai titik sempurna dalam setiaptugas. Hal tersebut adalah satu fakta yang tidak bisa terbuang dari sela otaknya, membentuk satu prinsip bahwa ia tidak pernah salah untuk memilih kelima orang tersebut. Perlahan dan tanpa sadar, pria heterochrome tersebut pun mengulas senyum kecil nan singkat sebelum ia kembali menjatuhkan seluruh perhatiannya pada pekerjaan yang beberapa waktu lalu sempat terjeda.
Drrrrt drrrrt
Bunyi getar ponselnya menjadi jeda kedua.
"Akashi-kun ..."
Tampaknya bukan hanya Akashi yang merasa sedikit terganggu oleh vibrasi ponselnya itu, layar ponsel yang berkelap-kelip dalam ruangan temaram tersebut juga telah membuat salah satu temannya terjaga. Diliriknya sepasang mata biru muda itu yang terlihat sayu, tanda si pemilik belum dalam kondisi sepenuhnya sadar terbangun.
"... belum tidur, Akashi-kun?"
Jeda sejenak, hanya ada respon dari keheningan.
"Akashi-kun?"
"Sebentar lagi, Tetsuya." Jawaban singkat yang dilontarkan Akashi membuat Kuroko mengerjapkan mata, ia merasakan segelintir harmonisasi yang tidak pas dari getaran suara pria tersebut. "Kau kembalilah tidur. Murid-muridmu masih membutuhkanmu besok pagi."
Kuroko dapat melihat Akashi yang melayangkan pandangan singkat ke arahnya sebelum pria tersebut perlahan bangkit dari posisi duduknya untuk melangkah menjauh—mengakhiri interaksi.
Pada detik selanjutnya, helaian rambut biru muda milik Kuroko sudah kembali tersibak di atas bantal dan tertindih oleh kepalanya. Ia memutuskan menuruti perintah Akashi, meski dua sudut matanya masih awas untuk mengikuti gerakan pria heterochrome tersebut. Penglihatannya saat ini memang hanya dapat memproyeksikan tampak belakang dari figur seorang Akashi Seijuurou, ia tidak tahu guratan macam apa yang sedang terpampang di wajahnya.
Namun Kuroko tidak mengerti kenapa ia masih tidak bisa melepaskan arah pandangannya dari sosok tersebut, bahkan ketika Akashi sudah lenyap dari pandangannya.
Rasanya dua sisi bibir Kuroko sejenak ingin kembali terbuka untuk melontarkan rangkaian kata-kata tanya.
'Apa isi pesan yang baru saja sampai ke ponselmu? Apa yang akan kau lakukan?'
Dan yang terpenting—
'Apakah semua baik-baik saja?'
Namun ia memutuskan untuk merapatkan mulutnya, menyimpan pertanyaan-pertanyaan tersebut sampai dua jarum jam penunjuk waktu membawanya pada esok hari. Lagipula seperti yang Akashi katakan, murid-murid kecilnya di taman kanak-kanak masih membutuhkan dirinya besok pagi-pagi sekali.
.
.
Judul: Conspiracy Control
Genre: General, Crime, future!AU
Karakter: GoM, Kagami Taiga, Himuro Tatsuya, Takao Kazunari, Haizaki Shougo, Nijimura Shuuzou
Warn(s): Future!AU, maybe Out of Character, Typo, Characters death, OCs
Rating: T
Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi
Image © 弥生 pixiv
Chapter 1
.
.
"Tatsuya! Oi, Tatsuya!"
Seseorang yang namanya baru terpanggil itu menggulirkan bola matanya pada sumber suara, menunjukkan rasa penasaran yang perlahan merambati sirkuit otaknya. Jelas saja, penunjuk waktu yang melingkar di pergelangan tangan kanannya belum menunjukkan pukul delapan pagi namun Kagami Taiga tiba-tiba sudah menginjakkan kaki di depan pintu kamarnya. Hal yang tidak biasa, mengingat Himuro Tatsuya selalu menjadi orang yang menjemput—bukan yang dijemput.
Pria bersurai hitam tersebut pun menepuk meja di hadapannya, secara nonverbal memberi perintah Kagami untuk duduk, "Ada apa, Taiga?"
"Kau sudah melihat berita pagi ini?"
Himuro mengangkat alis, kepalanya pun menggeleng kemudian, "Tidak. Aku belum sempat. Ada apa memangnya?"
Smartphone milik Kagami mendadak terangkat naik sampai sejajar di hadapan wajah Himuro, memperlihatkan kumpulan kata yang membentuk baris kalimat—berita pagi dengan headline yang menggunakan font besar—dan cukup membuat dua bola mata Himuro membulat dalam satu keterkejutan.
"Leader tim konspirasi ... dia ... duh, kau baca saja sendiri." Kagami mendesah gusar sembari mengacak belakang kepala, tampak tidak sanggup untuk meneruskan kalimat. Ia memutuskan untuk memindah tangankan gadget miliknya itu pada pria raven tersebut.
Himuro menerima serta menarik barang tersebut ke dalam genggamannya, menggulirkan tatapan singkat sebagai balasan sebelum perhatiannya beralih pada bacaan berita yang belum sempat ia selesaikan.
"Akashi Seijuurou. Mengejutkan sekali, 'kan, Tatsuya?"
Sepasang manik hitam itu masih menelusuri rangkaian kalimat yang terbingkai oleh si benda elektronik tersebut, guliran waktu setengah menit ia habiskan untuk menyerap informasi dari isi berita. "Well, aku harus mengatakan bahwa berita ini sangat mengejutkan. Kau yakin berita ini benar? Maksudku ... Akashi ... aku tidak percaya orang seperti dia bisa mengalami hal seperti ini."
Kagami menghela napas ketika melihat respon Himuro yang sudah sempat ia prediksi, "Aku sudah menelepon Kuroko lima menit setelah membaca berita tersebut, dan katanya berita itu memang benar. Ada yang mengincar kediaman mereka tadi malam, sekitar tujuh atau delapan orang ... dan malam itu yang menyadari hal itu hanya Akashi."
Alis Himuro bertaut seolah kesulitan untuk memasukkan kalimat tersebut ke dalam jalur logis otaknya, "Akashi tidak mampu menghadapi mereka semua?"
"Kau bandingkan saja, Tatsuya. Satu lawan tujuh. Kalau dengan tangan kosong memang tidak masalah, tapi yang namanya handgun selalu bisa dipakai dari berbagai arah. Heh. Dan jangan meremehkan Akashi, Kuroko mengatakan enam orang dari mereka itu berhasil Akashi bunuh meskipun pada akhirnya dia sendiri tidak selamat. Mereka berhasil membawa Akashi."
"Ah ... ya, aku mengerti." Himuro hanya bisa melontarkan kalimat sederhana itu sembari mengangguk kecil meski ia masih merasa ada sensasi kecil dari kalimat tersebut yang membuatnya tidak nyaman. "Dan aku sangat menyayangkan bahwa Akashi yang tidak beruntung. Kita semua tahu bahwa pemimpin tim itu yang terhandal."
Depresi kecil merasuk seketika Kagami menyadari bahwa rangkaian kata tersebut masuk ke dalam lingkaran fakta. "Aku tahu bahwa hal itu sudah menjadi resiko mereka sendiri saat pembentukan tim. Bahkan bukan hanya lima anggota lain yang terancam nyawanya. Tapi kita sebagai orang yang meminta bantuan juga ikut terancam, 'kan?"
"Resiko paling besar tetap saja ada pada mereka, Taiga."
Helaian merah rambut Kagami merosot turun seiring dengan kepalanya yang menunduk, "Kau benar ..."
"Dan sepertnya orang-orang kita masih tidak cukup untuk melindungi mereka, aku akan meminta Alex untuk memperketat pengamanan." Himuro mendesah gusar, mengusap pelipisnya sejenak sebelum tangannya bergerak dan mengamit ponselnya untuk mengkonversi kata-kata yang baru saja ia ucapkan untuk menjadi realita.
"Kau punya prediksi kira-kira siapa yang melakukan hal ini? Aku tahu musuh mereka banyak, tapi kira-kira yang bisa membuat satu penyangga terkuat tim itu runtuh ...," Kagami menggumam pelan, dua bola matanya sedikit menerawang. "Bahkan saat kutanya Kuroko tentang hal ini, katanya mereka juga masih belum bisa memastikan."
"Terlalu banyak list musuh. Lagi pula tim itu tidak akan begitu bodoh untuk tidak mengetahui resiko-resiko yang ada saat mereka menyetujui untuk bekerjasama dengan kita. Meskipun ini adalah hal terberat pertama yang pernah mereka alami, namun aku yakin kejadian seperti ini tidak luput dari prediksi mereka." Napas berat untuk yang kesekian kalinya terhela, mengiringi getaran ponselnya yang kembali menarik perhatiannya. Setelah membaca singkat isi pesan tersebut, satu pikiran terlintas di putaran otaknya. Dalam satu gerakan Himuro bangkit berdiri serta menepuk pelan bahu Kagami. "Sebaiknya kita pergi menemui mereka, Taiga."
.
.
"KISE!"
Pilot muda itu sontak mengangkat satu tangannya dan dilambaikannya kemudian. Satu lengkung senyum masih terukir dengan awet pada wajahnya, mengiringi derap-derap langkah kakinya yang bergerak cepat menuju sang oknum yang baru memanggilnya tadi, "Yo, Aomine-cchi!"
Aomine Daiki menggeram kesal, dalam hitungan detik polisi itu pun mendaratkan satu jitakan mulus pada kepala sang blondie, "Idiot! Siapa yang menyuruhmu untuk mengambil alih jam penerbangan yang bukan tanggung jawabmu, hah?!"
Dua sisi bibir Kise mengerucut. Respon care dari Aomine sungguh Kise hargai, tapi rasa sakit yang berdenyut tanpa ampun di kepalanya ini sangat tidak bisa dihargai jika harus selalu ia rasakan secara kontinu.
Dua bahu Kise pun terangkat kemudian, mengiringi garis lengkung bulan sabit yang secara simetris kembali muncul di wajah porselen sang mantan model tersebut, "Lalu aku harus membiarkan rencana mereka berhasil? Membiarkan kecelakaan pesawat itu benar-benar terjadi dan heboh menjadi berita … kemudian menutupi kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah satu anggota direktur itu? Aomine-cchi juga tahu 'kan cuma aku yang bisa menghentikan pesawat itu dari kita berlima."
Aomine hanya mendecih sebal.
"Leader tahu anggotanya bisa melaksanakan hal ini dengan baik kok, Aomine-cchi. Akashi-cchi kan selalu benar."
Senyum bangga sang pilot muda—yang sebenarnya cukup memuakkan untuk Aomine—mau tidak mau harus ditelannya juga, bagaimanapun kata-kata yang baru saja tercelat dari Kise itu memang benar berporos pada faktanya.
"Jadi, bagaimana kejadian persisnya? Apa benar seperti yang Akashi prediksi tentang kesengajaan petugas ATC tentang panduan pengambilan arah?" Polisi ini baru fokus pada pekerjaannya setelah kurang lebih menghabiskan waktu sepuluh menit untuk urusan di luar interogasinya.
Kise mengangguk cepat sebagai satu jawaban lugas.
"Benar-benar persis dengan yang Akashi prediksi?" Aomine mengangkat alis, memastikan satu kali lagi.
"Ahomine-cchi, kalau aku tidak melakukan sesuai apa yang ditulis di pekerjaan terakhir Akashi-cchi pasti aku sekarang sudah mati dan tidak akan bisa berdiri di hadapanmu." Kise merengut, kesal akan pertanyaan yang baginya nyaris bertele-tele.
"Kau sudah mengerti hal itu maka jangan salahkan aku menjitakmu tadi. Kalau prediksi Akashi salah, kau bisa mati." Aomine mendengus kesal, jujur saja jari-jemarinya gatal untuk mendaratkan jitakan kedua pada kepala pirang itu.
"Hmph." Jelas, Kise tidak ingin menjamah pembahasan ini. "Masalahnya kalau aku tidak melakukannya, aku merasa jadi orang pengecut. Harga diriku bisa turun kalau aku tidak mampu melakukannya, tahu?"
Aomine menarik satu sudut bibirnya, kepalanya menggeleng dan ia terkekeh perlahan. "Sejak kapan kau peduli soal harga diri?"
Pria blondie tersebut memutar dua bola matanya, "Konspirasi yang ini ... duh, kau tahu berapa bayarannya? Sangat tinggi, Aomine-cchi! Sangat sepadan dengan resikonya."
"Aah, jadi harga dirimu itu sepadan dengan harga bayaran untuk mencegah konspirasi ini?"
"Aomine-cchi!"
"Haha. Ya sudah. Terserah kau lah, yang penting aku sudah tahu kau baik-baik saja." Polisi itu menjentikkan jemari telunjuknya pada bagian atas topi hitam sang pilot, membuat benda tersebut merosot menutupi setengah helaian poni pirangnya. "Aku masih ada urusan. Jangan lupa juga masih ada beberapa list yang masih berhubungan dengan pekerjaan-pekerjaanmu. Urutkan dari yang terpenting."
Kise menyeringai sembari membenarkan letak topinya, "Dari yang termahal maksudmu?"
Tidak ada jawaban tercelat dari yang bersangkutan. Kise hanya memincingkan mata ketika melihat Aomine mengangkat jari telunjuknya dan menaruhnya di pelipis sebelum sepasang kaki sang polisi tersebut mengambil langkah untuk beranjak pergi dari posisinya. Kise merengut sebagai reaksi, sedikit kesal karena yang ia dapati hanya jawaban nonverbal. 'Gunakan saja otakmu~', apakah itu yang baru saja Aomine isyaratkan? Sejak kapan seorang Aho mempunyai hak untuk menasihatinya agar menggunakan otak? Mendesah setengah kesal, sang pilot kemudian hanya menggelengkan kepala dan memutuskan untuk meredam gerutuan kecilnya.
"Ah, aku lupa memberi laporan." Satu realita menyentak sela memori, menghasilkan reaksi pada tangan kanannya untuk menarik ponsel dari saku celananya. Kise mengetik isi pesan dengan kecepatan kilat, dan setengah menit kemudian pun seseorang yang terkait dengan mulus menerima laporan kecil tersebut.
.
.
"Kise-chin berhasil menghentikan kecelakaan pesawat itu ... Mine-chin juga sudah memberitakan kasus direktur—ukh, aku lupa siapa namanya—pada media secara resmi atas nama kepolisian." Satu jilatan pada dua jemari kanannya yang sedang mengapit batang cokelat tidak membuat Murasakibara kehilangan fokus pada layar ponselnya. "Kurasa Kuro-chin sudah bisa menghapus pekerjaan itu dari daftar list, ah, mungkin juga sekaligus mengecek rekening kita apakah sudah bertambah atau belum ...,"
Sreet
Gerakan lurus dari si telunjuk dan ibu jari yang mengapit spidol, Murasakibara mencoret ringan deretan huruf pada paper job yang tergantung di ruangan. Sementara Kuroko sedang terfokus pada layar laptop yang menampakkan duplikat dari paper job versi soft copy, ia memasukkan satu poin ke dalam kelompok completed.
Perhatian Murasakibara teralih untuk yang kedua kalinya selang beberapa detik kemudian ketika ponselnya kembali bergetar, "Mido-chin juga sudah berhasil mengungkap hasil otopsi yang salah oleh dokter Minamoto ... ne, Kuro-chin, hapus juga yang itu."
"Hai, Murasakibara-kun."
TOK. TOK.
Hitungan ke-dua ketukan pintu menyeruak suasana, membuat dua orang di dalamnya mengangkat kepala secara bersamaan. Beberapa detik kemudian, Murasakibara segera bangkit dari posisi duduknya ketika gendang telinganya menangkap dua suara familiar di balik pintu tersebut.
"Ara ... itu Muro-chin dan Kagami-chin!"
"Sepertinya aku juga mendengar suara selain mereka, Murasakibara-kun."
Kalimat tersebut sejenak sukses menahan langkah Murasakibara, "Huh?"
Alih-alih mendapat balasan, Kuroko hanya mengangkat bahunya dengan ekspresi statis.
.
.
.
"YO!"
Batang cokelat yang masih bermain di mulut Murasakibara refleks tertelan begitu engsel pintu berderit terbuka, dalam sekejap menampilkan sosok-sosok di balik pintu.
"Himuro-kun, Kagami-kun, dan ... Takao-kun." Kuroko mengabsen satu persatu para tamu.
Kedatangan Kagami dan Himuro sudah dapat diprediksi oleh Kuroko dan Murasakibara sebelumnya, pengecualian untuk seorang Takao Kazunari.
"Aku dan Tatsuya tidak mengundangnya. Sungguh." Nada suara Kagami sedikit mengalami panjatan naik, menyadari dua pasang mata biru muda dan ungu yang saat ini tertancap intensif ke arahnya pertanda meminta penjelasan. "Dia sudah ada di depan pintu apartemen kalian saat aku dan Tatsuya datang."
"Stalker ..." Murasakibara mendecih.
"Jahat sekali! Aku kan hanya menjalankan tugas." Garis lengkungan ke bawah tergores pada raut wajah yang bersangkutan. "Lagi pula kalian susah sekali dimintai informasi, coba kalau kalian mau diajak kerjasama."
"Karena itulah kau menjadi wartawan yang menyebalkan!" Kagami tidak bisa menahan dirinya untuk tidak mencelatkan bentakan kesal. "Tidak ingat apa saja yang pernah kau lakukan? Tim ini terekspos ke media karena kau! Mungkin apa yang menimpa Akashi juga terjadi karena kau, Takao!"
Dua sudut lengkungan bulan sabit terbalik itu menjadi semakin tertarik ke bawah, "Sudah berapa kali aku minta maaf? Saat itu kan aku masih tidak tahu bahwa tim ini rahasia."
"Cukup." Himuro mengambil nafas dalam-dalam, menarik ribuan kesabaran masuk ke dalam dirinya. "Sekarang langsung saja katakan informasi macam apa yang kau butuhkan, Takao-kun. Biar Kuroko-kun dan Atsushi sendiri yang akan memilah mana saja yang bisa diekspos dan tidak."
Dua manik Takao mengerjap selama sepersekian detik, menunggu reaksi negatif dari ketiga orang lainnya yang tak kunjung muncul. Tidak ada yang protes—mereka diam, berarti tanda setuju?
"Ehm. Shin-chan tidak mau memberitahuku lebih lanjut dan dia sendiri yang menyuruhku untuk bertanya pada kalian, tentang Akashi Seijuurou."
Sang wartawan masih menunggu respon yang sepaket dengan penolakan, namun kalimat yang ia terima pada detik selanjutnya justru kontradiktif dengan ratusan kemungkinan yang menempati otaknya.
"Baiklah. Kami mengerti. Meskipun maaf, Takao-kun ... kami masih belum sepenuhnya menyelesaikan kasus ini, tapi kami akan mencoba memberi keterangan."
Takao tersenyum lega, "Tampaknya masih tidak ada yang berubah dari kalian, meskipun kalian baru saja kehilangan Akashi-san."
"Kami profesional, Takao-kun."
"Ahaha, maaf, jujur saja aku sempat menyangka hal ini hanya sebuah konspirasi."
Alis Murasakibara berkedut jengkel, bungkusan coklat yang baru saja habis isinya itu teremas keras menimbulkan bunyi plastik tidak nyaman yang mengisi ruangan, "Nee, Takao. Kuro-chin sudah memutuskan untuk mau memberimu informasi jadi lebih baik kau tidak bicara macam-macam." –atau kau mau kuremas juga seperti bungkusan plastik ini?
Seolah dapat mendengar kata-kata terakhir Murasakibara yang tergolong imaji, Takao hanya bisa tertawa dalam ketegangan dan mengangguk cepat.
.
.
Jemari berplaster milik Midorima Shintarou terangkat untuk membenarkan letak kacamatanya, menyembunyikan sekilas dua manik hijaunya yang acapkali bergulir tidak nyaman. Sementara raut wajah sang dokter muda sedikit mengeras, jelas sekali pada detik ini ia sedang tidak bersahabat dengan situasi.
"Jangan pernah bermimpi untuk bisa merampas jabatanku, kohai brengsek."
Minamoto Keiji, seorang dokter bedah yang sedang terkenal dalam kurang lebih kurun waktu dua tahun ini, melontarkan geraman keras yang nyaris membahana di seluruh koridor lantai empat rumah sakit tersebut. Tatapan predator yang membalut kedua retina mata sang dokter senior tersebut tidak membuat Midorima menarik langkahnya ke belakang, ia masih berdiri tegap di posisinya dan membalas tatapan tersebut dengan guliran malas.
"Berlagak sok hebat hanya karena kau adalah salah satu tim pengungkap konspirasi, tsche. Puas kau sekarang melihat wajahku terpampang di berbagai media?"
Ratusan kalimat nonsense yang jelas saja membuat Midorima muak. Kalau saja Oha Asa hari ini tidak melarangnya untuk melewati garis batas kesabarannya, sudah pasti ia akan membalas serapahan tersebut dengan tidak kalah barbarnya.
"Saya tidak pernah berniat untuk mengambil jabatan Anda, Minamoto-sensei. Lagipula semua ini terjadi akibat perbuatan Anda sendiri, jika Anda benar-benar melakukan saran saya pada pasien itu, mungkin kesalahan diagnosa Anda tidak akan terjadi. Anda juga tidak perlu mengarang alasan tentang kesalahan pasien di masa lalu yang menyebabkan kegagalan kesembuhannya, yang Anda lakukan sudah mencemarkan nama baiknya."
Seiring dengan berakhirnya kalimat tersebut, punggung Midorima nyaris terpelanting pada lantai rumah sakit jika ia terlambat melakukan gerak refleks untuk menghindari tinju yang nyaris mengenai wajahnya. Midorima membuang nafas, setengah jengkel namun juga setengah terperangah melihat senpai-nya yang mulai berani melakukan hal tersebut.
"Ngomong-ngomong, polisi-polisi sudah menunggu Anda di luar."
"Bangsat!"
Grep
Satu cengkraman tak familiar mendadak mengunci kedua lengan dokter senior tersebut, membuat sang oknum kembali menggeram keras-nyaris meraung. Minamoto kembali meluncurkan kata-kata serapahan sembari menilikkan mata untuk melihat siapa yang berani menginspeksi gerakannya.
"Siapa kau?"
Satu seringai tergores pada oknum yang ditanya, "Polisi-polisi sudah menunggumu di lantai satu, Pak Tua. Cepatlah ke sana. Kalau mereka tahu apa yang sedang kau lakukan, hukumanmu bisa lebih berat dengan tambahan kasus bullying."
"Oi!" Midorima refleks menyela, tidak terima dengan perannya yang seakan disejajarkan dengan kasus bullying anak sekolah. "Jangan bicara yang tidak-tidak, Haizaki."
Kekehan kecil meluncur dari pria berambut keperakan tersebut, perlahan ia melepaskan cengkramannya pada lengan sang dokter dan menatap lurus pria tersebut. "Yang tadi itu lucu sekali, Pak Tua. Foto-fotonya bisa langsung kuserahkan pada bosku dan menjadi pemanis dari headline. Selain melakukan malpraktek dan pencemaran nama baik, Minamoto Keiji juga sempat mengancam dokter juniornya yang telah berhasil membongkar kasusnya."
"Wartawan sialan!"
Tinju ketiga untuk hari ini dari Minamoto, sayangnya meleset juga dalam jumlah yang sama.
Bahu si wartawan bergetar dalam tawa atas kemarahan sang dokter yang tersulut, "Oh! Dan juga mengancam wartawan yang melihat kejadian tersebut. Aah, menarik sekali."
"DIAM! SIAL KALIAN SEMUA!"
DAKH
Setengah terkesiap, Midorima mengerjapkan mata satu kali sebagai respon dari suara tersebut, meskipun juga ia masih mencoba anteng pada posisinya. Pandangannya turun ke bawah pada dokter seniornya yang sudah terbekuk di lantai dengan cengkraman jauh lebih erat dan kencang dari yang diberikan Haizaki sebelumnya.
"Aaah. Kau selalu lama muncul saat dibutuhkan, Chief Nijimura." Nada satu ejekan di sana, sinkron dengan kelugasan kalimat dari Haizaki tersebut.
Pria dengan balutan seragam biru tua yang barusan disuarakan namanya itu tidak menampilkan ekspresi yang berarti sebagai respon, meskipun kalimat yang dicelatkannya setengah kontradiktif. "Tidak usah mencampuri urusanku, Haizaki. Atau kami tidak akan pernah lagi memberi kau dan anak buahmu informasi."
"Namun nyatanya kau akan selalu memberiku informasi, Chief."
Nijimura hanya menggulirkan matanya, memilih untuk tidak merespon kalimat menjengkelkan tersebut. "Kemudian untuk Anda, Minamoto-sensei … saya rasa sudah cukup jelas. Chief Shuuzou Nijimura, kepala kepolisian Prefektur Tokyo, bertugas untuk menjemput Anda untuk diminta keterangan sebelum persidangan."
Tampak tiga anggota polisi lain datang dan dengan sigap mengurus dokter—berstatus tersangka—kemudian meringkusnya dengan cepat. Decihan dan rutukan tak berguna yang keluar dari pria malang tersebut tak ayal hanya membuat pemandangan yang tertangkap oleh lensa kamera Haizaki menjadi semakin komersial. Puluhan take dari kamera-nya yang membingkai fakta eksistensi kejadian adalah salah satu hal yang membuat pria tersebut menikmati pekerjaannya, merasa menjadi orang nomor satu yang terlebih dulu mengetahui segala perkara dari orang lain. Pandangan matanya keluar dari bingkai lensa seiring dengan kamera digital SLR-nya yang ia turunkan, tentunya setelah merasa cukup akan foto dan gambaran berita yang ia peroleh.
"Midorima, salah satu tim otopsi kami mengatakan bahwa Minamoto sudah menutupi sangat rapi dan detail atas kesalahannya pada tubuh si korban. Kau dapat mengungkap kesalahan diagnosanya, beliau mengatakan bahwa kau jenius." Nada suara yang dikeluarkan sang deputi tersebut memang cenderung datar, namun segentir respek pada matanya tidak luput untuk dapat tersembunyikan. "Tim pengungkap konspirasi lagi-lagi membantu pekerjaan kepolisian. Kerja yang sangat bagus dan kami mengucapkan terima kasih."
Oknum yang baru saja disanjung itu hanya terdiam nyaris seperti batu, bahkan saat Haizaki menyenggol tulang rusuk si dokter muda tersebut untuk merangsangnya bersuara.
"Klien-klien kami yang harus kau ucapkan terima kasih karena mereka yang meminta bantuan untuk kasus ini. Kalau tidak ada mereka, kami tidak akan bergerak. Lagipula masalah diagnosa itu bu-bukan apa-apa—nanodayo."
"Heh. Mau bilang kau bisa mengungkap kasus ini karena lucky item yang selalu kau bawa?"
"Petunjuk yang kuterima sebagian besar kudapat dari hasil inspeksi Akashi, nanodayo."
"Ah, Haizaki." Nijimura berujar ketika salah satu dari sela otaknya terasa mengingat sesuatu, segelintir ketegasan bertengger pada nada suaranya. "Kutebak kau ke sini untuk mencari informasi dari Midorima tentang apa yang terjadi dengan Akashi Seijuurou."
"Yeah, berita itu memang sedang menjadi incaran para wartawan mengingat dia adalah leader tim konspirasi." Yang namanya barusan dipanggil itu hanya mengangkat bahu, sewajarnya menjawab. "Tadi pagi Kazunari baru menghubungiku, mengatakan bahwa teman-temanmu sudah bersedia untuk memberi keterangan. Yang belum kuketahui hanya dari sisi pemeriksaan yang dilakukan olehmu."
Alis Midorima mengedut jengkel, "Aku belum menyelesaikannya."
"Bukan masalah. Aku hanya ingin meminta keterangan yang kau tahu." Haizaki bahkan sudah menunjukkan recorder-nya, tanda ia sudah siap untuk memulai pekerjaan.
"Terus terang aku juga membutuhkan keterangan darimu, tapi seharian ini ada beberapa persidangan yang harus aku hadiri." Pandangan Nijimura turun pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya, kemudian ia nampak berpikir sejenak. "Haizaki, gunakan nama deputi kepolisian prefektur untuk meminta informasi secara formal."
Haizaki menyeringai, kilat kesenangan sontak terpancar begitu saja pada bola mata kelabunya, "Aye aye, Chief!"
Facepalm.
Midorima menghela nafas jengkel, entah untuk yang keberapa kali pada hari ini. Terang saja, masalah wawancara sama sekali bukan keahliannya.
.
.
"Aku ingin tahu pendapatmu tentang apa yang harus kita lakukan pada Takao Kazunari, roommate-mu sekaligus wartawan yang dengan bodohnya sudah menyebarluaskan keberadaan tim."
"Takao sama sekali tidak mengetahui kerahasiaan tim, Akashi. I-ini salah satu kesalahanku karena tidak mengawasinya."
"Kau bisa mempertanggungjawabkan hal ini?"
.
.
"Selama ini kita terus menghindari media. Sudah terlanjur basah ... mungkin kita bisa mulai untuk melakukan kerjasama dengan mereka."
11/06/ 20:56
From: Kuroko Tetsuya
Tujuan kami untuk terbuka hanyalah karena kami ingin berita ini tersebar sehingga pelakunya segera diketahui dengan cepat, Takao-kun. Kuharap itu bisa menjawab pertanyaanmu. Maaf baru membalas pesanmu, ngomong-ngomong.
11/06/ 21:04
From: Takao Kazunari
Ah! Terima kasih, Kuroko. Aku berjanji akan memberikan berita yang terbaik! Aku dan Haizaki-kun sedang memilah-milah isi beritanya, kami sangat berterimakasih dengan keterbukaan kalian hari ini! (**)
11/06/ 21: 10
From: Kuroko Tetsuya
Aku lupa mengatakan satu hal, Takao-kun. Setelah berita itu dimuat, aku harap kalian harus bisa untuk lebih berhati-hati dan menjaga diri. Sebagai seorang wartawan aku tahu kau sudah menyadari bahwa media adalah tempat yang sangat berbahaya.
.
.
.
To be continued
A.N.:
Hah. Thank you for reading! Sebenernya fanfiksi ini dulu pernah saya post di sini tapi… pakai akun yang niatnya khusus untuk menulis. Yah, tidak ada inspirasi untuk chapter berikutnya jadi sempat saya hapus /grins Ya, sekarang sedang mencoba melanjutkannya kembali ahahaw~ :'D
Edit: Review kalian :') Ah, baca-baca review kalian saya jadi ingin mempertegas bahwa di sini Akashi tidak mati desu~ Takut ada yang salah paham :'D Maaf deskripsi kurang jelas m(_)m Maaaf m(_)m
Saya tahu chapter ini agak awkward, bahasa belibet dan plot muter-muter dan cenderung membosankan. Tapi semoga ke depannya bisa improve lagi! Salah EYD dan segalanya pasti ada yang luput, dan saya nggak terlalu menguasai KBBI hehe. Ya kalau ada salah nanti saya edit *winks* Terus plotnya sebenarnya saya juga tidak tahu ini mau bagaimana HAHAHHA *ngikut Fujimaki-sensei yang nggak tau juga tentang kelanjutan plot* =)) Ah, kalau ada yang mempertanyakan apakah plot ini akan cenderung ke BL atau tidak… kayaknya nggak dulu. Hehehe. Tapi hints pasti tetep ada, saya fujoshi juga soalnya HAHAHHAA /kalap
Sekali lagi terima kasih yang sudah membaca, silent reader is welcomed, review will be so much appreciated~