Nah, lanjut ke chapter 3, makasih buat yang mau mampir 'n reviewnya mina-san ^^

Penasaran sama tokoh terakhir? Ikutin aja fic-nya

Happy reading! ^o^

.

.

.

Gardenia

Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto

Pairing : Naruto x Sasuke

Genre : Romance & Drama

BL, Shounen ai, Family, Slash, OC, OOC, AU, dll

.

.

.

.

.

Story by Ivy Bluebell

.

.

.

Naruto dan Sasuke tiba di rumah Shikamaru dan Kiba ketika hari menjelang malam. Rumah mereka terletak di pusat kota, 15 kilometer dari tempat kantor Perusahaan Nara Vinger berada. Naruto dan Sasuke berjalan melewati pekarangan rumah setelah memarkirkan mobil mereka di halaman depan. Selama berjalan, Sasuke tidak hentinya memandang kagum ke sekitarnya. Rumah berlantai dua bergaya modern klasik ini, dikelilingi taman hijau yang tertata rapi dengan hiasan bunga Lily putih. Bersih dan asri. Membuat pemuda raven itu selalu merasa nyaman saat berkunjung kemari.

Sesampai di pintu depan, Naruto langsung membuka daun pintu berkayu besar itu begitu saja. Dia melenggang masuk diikuti Sasuke di belakangnya. Bagi mereka berdua, rumah Shikamaru dan Kiba sudah seperti rumah kedua. Mereka sering datang untuk makan bersama atau menginap di sini. Makanya mereka terbiasa keluar masuk tanpa memberi salam pada pemiliknya. Shikamaru dan Kiba memang menganggap mereka layaknya keluarga sendiri.

"Yoo!" sapa Naruto saat melihat pria berambut coklat berjalan ke arahnya.

"Wah, kalian datang cepat sekali," balas Kiba yang senang menyambut mereka.

"Tentu saja, karena aku sudah lapar," Naruto nyengir lebar.

Sasuke mendengus, "Kau memang tukang makan."

Naruto menggaruk pipi tan bertanda lahir kumis kucingnya cengengesan.

"Ayo ke ruang makan, aku baru saja selesai memasak," ajak Kiba serambi berjalan menuju ruang makan.

Naruto melangkah mengikuti Kiba bersama Sasuke di belakangnya.

"Oh ya, mana Shika?" tanya Naruto yang melepas jas kerjanya sambil celingukan ke arah ruangan yang dilewatinya.

Pria Nara-Inuzuka yang memakai kaus coklat muda dan celana longgar berkantung banyak itu hanya mengedikkan bahu, "Tidur mungkin."

"Mau makan malam begini malah tidur? Dasar rusa pemalas," ejek pria pirang keki.

"Aku dengar itu rubah liar."

Mendengar suara baritone itu, mereka bertiga menoleh ke asalnya. Dilihatnya Shikamaru menuruni tangga sambil menggaruk belakang kepalanya malas. Tapi, iris kuacinya menatap Naruto tajam.

"Woo, sudah bangun rupanya," Naruto menyeringai. Mengabaikan ejekan Shikamaru tadi.

"Gara-gara mendengar suara bodohmu, tidurku jadi terganggu," dengus pria nanas sebel seraya melewati Naruto di hadapannya.

TWICH!

Urat pelipis Naruto berkedut, "Kalau begitu sumpal telingamu."

"Ogah," jawab Shikamaru acuh yang berkaus hitam motif sulur putih dan celana hijau tua selutut. "Lama tak bertemu, Sasuke," ucapnya tersenyum pada Sasuke yang berdiri di samping Kiba.

"Hn," pemuda raven mengangguk singkat.

"Ayo pergi, kita tinggalkan saja ayah bodohmu itu biar kelaparan," Shikamaru menyeret Sasuke dan Kiba bersamanya.

"Woi! Awas kau Shika!" pekik Naruto jengkel dengan menghentakkan kakinya keras-keras mengikuti mereka.

Mereka berempat masuk ke ruang makan yang bersatu dengan dapur. Tidak terlalu luas tapi nyaman dengan jendela besar di sisi dinding yang menghadap langsung ke halaman belakang. Mereka menuju meja makan yang berukuran sedang di tengah ruangan. Berbagai makanan telah tersaji di atas meja. Masing-masing mengambil tempat duduk dan bersiap menyantapnya bersama.

"WOOW, Kaiseki!" teriak Naruto menatap berbinar Mukozuke Sashimi di depannya. Tangannya terulur siap mengambilnya.

PLAAK!

"Itaaii!" keluh Naruto sakit memegang punggung tangannya yang baru saja digeplak Sasuke.

"Cuci tanganmu dulu, Dobe! Baru kau boleh makan," ujar Sasuke galak.

Naruto memanyunkan bibir, "Nggak usah pakai memukulku kenapa sih?"

"Kau yang membuatku melakukannya, dan berhenti bersikap kekanakan!" tukas si pemuda mendelik sadis.

Sang kepala Uzumaki menggerutu sebel sambil beranjak untuk cuci tangan.

Kiba tertawa geli, "Haha—Dasar. Pasti kau repot mengurus si Naruto, Sasuke."

"Yaah, aku bahkan ragu kalau dia berumur 26 tahun," sarkas Sasuke seraya mendudukkan diri di kursi.

"I'M HEAR THAT, TEME!" teriak Naruto yang berdiri di counter cuci piring tidak terima.

"Heh, berisik seperti biasa," dengus Shikamaru yang duduk di kursi hadapan Naruto tadi.

"Tapi Kiba, kenapa kau masak Kaiseki sebanyak ini? Kita mungkin tidak bisa menghabiskannya lho," tanya Naruto sekembalinya dari dapur.

Kiba menyengir sambil duduk di samping kekasihnya, "Ini perayaan untuk Sasuke yang berhasil menjadi murid SMA."

"Padahal tidak perlu berlebihan. Kemarin kalian juga sudah memberi banyak novel padaku," ucap Sasuke melihat makanan di atas meja yang tersaji delapan jenis dalam piring-piring kecil. Satu set menu makanan jepang mewah yang biasanya terdapat di restoran, Kaiseki. Sasuke heran, bagaimana Kiba bisa memasak semua ini dalam waktu setengah hari?

"A-a-a, tidak boleh menolak," tolak Kiba yang menggoyangkan jari telunjuk kanannya kanan-kiri.

"Lagipula sudah telat, Kiba sudah masak banyak begini. Jadi sebagai gantinya, kau harus makan yang banyak juga," Shikamaru mendukung. "Paling nggak sampai tubuh kurusmu berisi," lanjutnya menunjuk Sasuke dengan sumpit.

"Kau mengolokku, Shikamaru-san?" pelipis Sasuke berkedut samar. Manik Onyxnya memincing tajam ke pria berkuncir nanas itu.

"Iya," balas Shikamaru menyeringai remeh.

Sasuke mendengus kesal membuang muka.

"Sudahlah, ayo makan. Keburu dingin nanti," ajak Kiba yang duduk di sebelah pacarnya pada mereka.

Mereka mulai mengambil makanan yang dipilihnya masing-masing. Menyantapnya serambi berbincang bersama.

"Oh ya, apa kalian akan menginap malam ini? Sudah lama lho kalian tidak menginap," tanya Kiba di sela-sela memakan nimono-nya.

"Maaf, kami tidak bisa. Sasuke harus sekolah besok. Apalagi aku harus mempersiapkan materi kerja di lapangan nanti," jawab Naruto menolak halus. Sasuke mengangguk mengiyakan.

"Materi lapangan? Maksudmu persiapan pembangunan hotel itu?" duga Kiba.

"Rancangan untuk pembangunan hotel sudah selesai dan disetujui. Jadi, kita harus mulai masuk ke tahap selanjutnya," tambah Shikamaru.

"Siapa yang berencana membangun hotel itu?" tanya Sasuke pada Naruto sehabis memakan tempura.

"Direktur muda pemilik Hotel Bintang Lima Sabaku, Sabaku Gaara," ungkap pria pirang itu.

"Gaara-san?" Sasuke mengerjap. "Bukannya dia ada di Suna sekarang?"

"Gaara memang ada di Suna mengurus cabang hotelnya. Tapi dia tetap memantau kerja hotel miliknya yang ada di sini," kata Shikamaru. "Lagipula banyaknya permintaan jasa yang masuk, membuatnya harus membangun hotel satu lagi di Konoha."

"Hotel milik Sabaku mempunyai pelayanan prima yang profesional. Tidak heran jika banyak orang yang menyukainya," lanjut Naruto tersenyum.

Sasuke mengangguk paham.

Sabaku Gaara adalah pewaris utama kepemilikan Hotel Sabaku. Hotel yang didirikan keluarganya. Saat ini lebih dari 100 hotel naungannya tersebar di berbagai kota besar. Dengan fasilitas mewah dan pelayanan prima yang profesional, hotel Sabaku menduduki peringkat 1 dalam kategori pelayanan jasa hotel terbaik di Jepang. Membuat para pesaingnya harus mati-matian bertahan agar tidak sampai gulung tikar.

Gaara bersahabat dekat dengan Naruto, Shikamaru, dan Kiba. Sejak kecil, mereka selalu bersama karena orang tua mereka berteman dekat. Sasuke sering bertemu Gaara sebelum pria berambut merah bata itu pindah ke Suna untuk mengurus cabang hotelnya. Gaara sering menemaninya bermain waktu kecil, juga membantunya dan Naruto selama itu.

"Benar juga, baru-baru ini aku juga menerima telepon darinya," ucap pria penyuka anjing teringat.

"Gaara telepon? Kapan?" tanya Naruto menaikkan sebelah alisnya.

Kiba meneguk tehnya dulu, "Dua hari kemarin. Dia bilang akan datang untuk melihat proses kerjanya, sekalian ambil liburan pulang ke rumah keluarganya."

"Kenapa dia tidak menelponku juga?"

"Awalnya dia mau menelponmu. Tapi hp-mu tidak bisa dihubungi."

Pantas saja, Naruto baru ingat kalau hp-nya jarang dia aktifkan karena banyak kerjaan belakangan ini.

"Kapan dia pulang kemari?" tanya Shikamaru setelah memakan yakimono.

"Besok. Orang itu selalu mengabari mendadak," jawab Kiba. "Dia juga bilang ingin memberi hadiah pada Sasuke."

"Lagi?" Sasuke menyerngit. "Aku tidak butuh hadiah. Kenapa sih kalian selalu memperlakukanku seperti anak kecil?"

"Itu tandanya kami sayang padamu, Suke-chan," kata Naruto dengan senyum menawannya.

"Jangan panggil aku 'chan'!" kilah Sasuke kesal dengan pipi bersemu merah. Meski tidak terlalu tampak karena tersamar oleh poni raven di kedua sisi wajahnya. Dia segera mengambil ikan gindara teriyaki di depannya dan memakannya. Berusaha menyembunyikan ekspresinya dengan mengunyah makanan.

Shikamaru tersenyum kecil menyadari reaksi dari remaja raven itu.

"Bagaimana kalau kau telepon Gaara, Sasuke?" usul Kiba. "Waktu menelponku kemarin, dia menanyakanmu terus lho. Sepertinya dia kangen denganmu," jelasnya.

Sasuke mengerjap.

"Benar juga. Gaara 'kan sudah menganggapmu seperti adiknya sendiri," Naruto menambahi. "Tapi, itu berarti dia tidak kangen padaku..." lanjutnya berpundung ria yang membuat ketiga orang di hadapannya sweat drop.

'Kalau begitu kenapa dia tidak langsung menelponku saja, sih?' batin Sasuke. "Hn, aku akan menelponnya nanti."

.

.

.

.

.

Percakapan mereka berlanjut hingga makan malam itu selesai. Kiba langsung membawa piring-piring bekas makanan mereka dan membersihkannya di dapur. Sasuke meminjam telepon rumah untuk menghubungi Gaara. Sementara Naruto dan Shikamaru, beralih duduk di teras belakang mengobrol serambi menyesap kopinya. Naruto menyalakan sebatang rokok yang baru saja diambilnya dari bungkusnya.

"Kopi dan rokok akan cepat merusak tubuhmu lho, Naruto-sama," kata Shikamaru memanggil sahabatnya dengan lafal tidak biasa.

Naruto menatap langit malam sambil menghembuskan asap rokoknya berlahan, "Sudah lama kau tidak memanggilku begitu, Shika."

"Mau kupanggil begitu lagi?" Shikamaru menyeringai tipis.

"Mau kubakar kasur kesayanganmu?" ucap Naruto bernada dingin. Iris Shappirenya melirik kawannya datar tanpa emosi.

"Heh, ancamanmu tidak berpengaruh lagi padaku," remeh Shikamaru sebelum menyeruput kopinya.

Naruto diam menghisap rokoknya kembali. Manik birunya memandang taman hijau halaman belakang rumah milik ShikaKiba di hadapannya. Lampu-lampu taman yang bersinar remang, menambah kesan elok di lahan subur bertumbuh bunga-bunga Lily berbagai warna. Tapi pria ini tidak merasa kagum melihatnya. Matanya hanya menatap kosong seolah memikirkan sesuatu.

"Bagaimana kabar 'Orang itu'?" tanya Naruto bersuara rendah tanpa menoleh pada saudaranya.

Sang Nara mengerjapkan mata terkejut kecil. Dia terdiam sejenak setelah meletakkan cangkir kopinya di atas meja yang memisahkan kursi Naruto dan kursinya. "Kupikir kau sudah melupakannya."

"Aku memang meninggalkannya, tapi bukan melupakannya," kembali Naruto menatap ke arah Shikamaru datar.

Sang direktur muda balas menatap Naruto dalam, "Sudah hampir 8 tahun kau tidak menanyakannya lagi. Ada angin apa?"

"Tidak ada."

"Lalu? Untuk apa kau ingin mengetahuinya?"

Naruto mengetukkan rokoknya di asbak untuk membuang abunya, "Apa salahnya?"

Shikamaru mengerutkan alisnya, tidak suka dengan jawaban sekretarisnya itu. Pria pirang ini selalu mengelak untuk berterus terang. 'Keras kepala,' batinnya.

Mendesah panjang, Shikamaru mengulurkan tangan kanannya pada Naruto. Pemilik marga Uzumaki yang tahu maksud gestur itu, langsung mengambil bungkus rokok dari saku celananya dan memberikan sebatang padanya. Pria jangkung itu menerimanya dan segera membakar ujungnya.

"'Orang itu' biasa saja seperti dulu," kata Shikamaru setelah meniupkan asap nikotinnya. "Perusahaan masih dalam kendali penuh di tangannya. Omzet penjualan produk-nya meningkat drastis selama 2 tahun ini. Pelanggannya kebanyakan dari masyrakat menengah atas dan pemerintah. Tapi meski perusahaan berjalan baik, di 'belakang', 'Orang itu' tetap bergelut di dunia 'Hitam'-nya."

Naruto mengangguk paham. Otaknya berputar membayangkan hal yang sesuai dari informasi yang di berikan Shikamaru. "Bagaimana dengan para pemegang saham?"

"Mereka ikut andil dalam pengembangan bisnis 'belakang' milik 'Orang itu'. Akibatnya makin marak di beberapa sudut kota. Polisi saja sampai kesulitan melacak dan menanganinya."

Naruto menyeringai lebar. Mata birunya menyorot rendah dan dingin, "Heh, kacau sekali."

Iris kuaci Shikamaru memandangnya dalam diam. Sudah lama, dia tidak melihat sorot mata tajam mengintimidasi yang terpancar di mata Shappire sahabatnya. Karena sudah hampir 8 tahun ini, sorot mata Naruto yang itu hilang terganti oleh tatapan hangat dan teduh. Terutama bila empunya menatap pemuda raven putranya, Sasuke.

"Untuk apa kau menanyakannya?" tekan Shikamaru bertanya lagi. "Kau tidak bermaksud untuk kembali pada-'nya', 'kan?"

Naruto menghisap rokoknya dalam-dalam sebelum melepaskannya, "Kau tahu aku sudah meninggalkannya," dia menatap Shikamaru dalam, "Aku tidak ada hubungannya dengan 'Orang itu' lagi. Aku menanyakannya untuk mengetahui pergerakan orang-orang suruhan-'nya'."

Shikamaru membisu sebentar, "Tidak ada kabar tentang pengejaran 'mereka' lagi sejak saat itu. Selain isu bahwa kepemimpinan-'nya' akan digantikan oleh adikmu."

"Bagus," Naruto tersenyum kecil. "Impian anak itu terkabul rupanya."

"—Tapi itu tidak menutup kemungkinan, kalau pengejaran 'mereka' terhadapku masih terus berlanjut,"

Menghela nafas, pria nanas ini menaruh rokoknya di asbak dan meraih cangkir kopinya. "Benar, makanya kau harus siap kalau 'mereka' muncul di hadapanmu suatu saat nanti. Apalagi Sasuke bisa jadi korbannya meski tidak tahu apa-apa."

"Tidak akan pernah kubiarkan itu terjadi," ucap Naruto bersuara berat dengan tatapan mata tajam berkilat membunuh. "Aku akan melindungi Sasuke meski harus mengobankan orang lain."

Shikamaru sempat bergidik melihatnya, tapi langsung bisa mengendalikan diri. Rupanya tatapan Naruto yang itu masih tersimpan baik selama ini.

"...Asal jangan mengorbankan kami saja," desah pacar Kiba itu selepas meminum kopinya.

"Heh, tenang saja. Mana mungkin aku mengobankan saudaraku sendiri," Naruto menyeringai kecil, "Aku heran, bagaimana kau tetap bisa mendapatkan informasi sebanyak itu? Padahal kau juga sudah meninggalkannya."

"Untuk mengantisipasi kejadian yang akan datang," ucap Shikamaru bernada bosan.

"Heh," Naruto mematikan paksa rokoknya yang hampir habis di asbak, "Semoga saja begitu."

Pembicaraan itu berakhir bersama keheningan yang menyelimuti mereka selama beberapa saat.

"Tadi pagi, Sakura datang ke ruang kerjaku," Pemilik Nara Vinger itu tiba-tiba menyinggung Sakura.

Naruto menaikkan sebelah alisnya, "Hm? Untuk apa?"

"Dia bilang telah memberikan buku Omiai padamu," lanjut Shikamaru. "Katanya dia tidak tahan melihatmu melajang terus."

Sang single parent mendesah, 'Soal itu lagi.'

"Kau terima tawarannya?"

"...Aku masih memikirkannya."

Shikamaru terdiam sesaat, "Karena Sasuke?"

Naruto mengalihkan perhatiannya ke langit malam yang berhias cahaya bintang, "...Kau tahu, aku harus memutuskan apapun berdasarkan pertimbangan matang untuk Sasuke ke depannya."

Shikamaru paham. Dia juga tahu tabiat Sasuke yang tidak ingin merepotkan orang lain. Anak itu selalu ingin berlaku mandiri.

"Aku ingin anakku hidup mapan dan bahagia. Aku tidak ingin dia menderita. Tidak ingin dia lepas dariku. Makanya, kalau pun aku harus mengobankan kebahagiaanku sendiri demi Sasuke, aku rela."

Naruto memejamkan matanya.

"Asalkan dia selalu ada di sisiku."

Terkadang Shikamaru tidak mengerti. Apakah keposesifan Naruto pada Sasuke ini adalah perasaan seorang ayah pada anaknya atau— perasaan seseorang pada kekasihnya? Secara logika, pikiran itu seperti seorang psikopat gila saja.

'Apa yang kau rasakan pada Sasuke sekarang, Naruto?' batin Shikamaru menyerngit dahi penasaran.

Sementara di tempat Sasuke, dia berdiri di samping meja kecil yang ada di dekat tangga ke lantai dua. Satu tangannya memegang gagang telepon rumah yang ditempelkan ke sebelah telinga. Sasuke tersenyum kecil saat berbicara dengan Gaara.

"Ya, kabarku baik-baik saja, kau sendiri bagaimana?" tanya Sasuke.

"Baik. Syukurlah kau sehat, sepertinya Naruto menjagamu dengan baik, ya," jawab Gaara dari seberang sana yang sedang bersandar di kursi kebesarannya dalam ruang kerja direkturnya.

Sasuke mendengus, "Yang ada aku yang mengurus si Dobe itu."

Pria bersurai merah bata ini terkekeh, "Haha, benar juga."

"Kudengar dari Kiba-san, kau akan kembali ke Konoha untuk liburan."

"Hm? ya. Aku ingin memeriksa hasil kerja hotelku di Konoha, sekalian melihat proyek pembangunan hotel baru. Makanya aku ambil libur seminggu."

"Apa tidak apa?" ragu Sasuke. "Kau masih sibuk mengurus kerja di Suna, 'kan?"

"Tidak masalah. Matsuri akan mengambil alih kerja di sini sementara waktu," jelas Gaara.

Sasuke ingat pernah bertemu beberapa kali dengan wanita berambut coklat sebahu yang menjadi sekretaris pribadi Gaara ketika berkunjung ke Konoha dulu.

"Lagipula, aku kangen pada adik kecilku ini," lanjut Gaara tersenyum tipis. "Sudah lama kita tidak bertemu dan tahu-tahu, kau sudah jadi murid SMA."

"Aku bukan anak kecil terus," jengkel remaja Uzumaki karena selalu dikatai anak kecil.

"Haha, benarkah? Memang tinggi badanmu sudah bertambah?"

Sasuke merengut, "Sudah tambah 5 centi."

"Oh ya, kita lihat seberapa banding tinggiku dan tinggimu nanti."

"Kau meremahkanku? Awas saja nanti."

Sang direktur Sabaku tergelak tertahan, "Ya ya, akan kubawakan oleh-oleh untukmu waktu pulang nanti."

"Akh—sudahlah, tidak perlu," tolak Sasuke cepat. "Sudah cukup bagiku kau balik ke sini dengan selamat."

Gaara terdiam sebelum tersenyum teduh. Matanya melembut senang meski tahu Sasuke tidak bisa melihatnya, "Kau merindukanku ternyata."

Wajah putih Sasuke memerah tipis. "Ehem. Naruto juga menunggu kedatanganmu," ucapnya mengalihkan topik.

"Ya, katakan padanya aku akan pulang besok. Mungkin aku akan mampir ke kantornya nanti."

"Hn," Sasuke melihat ke arah jam dinding yang terpaku tak jauh dari tempatnya berdiri. Jam 9 lewat. "Sudah larut, kami harus pulang."

"Aku juga. Aku harus bersiap untuk berkemas," sahut Gaara saat mata Jade-nya melirik ke jam di pergelangan tangan kirinya. Dia berdiri membereskan kertas-kertas dan map yang berserakan di atas mejanya. "Kita akan bertemu besok. Salam buat Shika dan Kiba."

"Hn, hati-hati pulangnya," ucap Sasuke dengan nada menahan malu.

Gaara terkikik kecil, "Aku tahu, Oyasumi Sasuke."

"Hn, Oyasumi," balas Sasuke. Dia menutup teleponnya setelah Gaara memutuskan sambungannya lebih dulu.

"Kau sudah selesai mengobrol dengan Gaara?"

Sasuke berbalik melihat Naruto yang bertanya tadi sedang berjalan bersama Shikamaru ke arahnya.

"Hn," pemilik iris malam ini mengangguk. "Apa kita akan pulang?" tanyanya saat melihat tangan Naruto yang membawa jas miliknya.

"Ya, sudah larut malam," jawab Naruto.

Kiba muncul dari tangga lantai dua, "Mau pulang? Cepat sekali. Padahal lebih baik menginap saja,"

"Sorry Kiba. Tidak bisa," elak Naruto sekali lagi.

"Gaara-san akan datang besok. Mungkin dia akan berkunjung ke kantor kalian. Dia juga titip salam untuk kalian," terang Sasuke menatap Shikamaru dan Kiba bergantian.

"Baiklah," Shikamaru mengangguk mengerti.

"Kalau begitu, kami pulang dulu," ucap Naruto melambaikan tangan.

"Okay, datanglah kapan saja," balas Kiba tersenyum senang.

Naruto dan Sasuke berjalan keluar rumah meninggalkan pasangan itu untuk perjalanan pulang.

.

.

.

.

.

Di tempat lain –masih di dalam Konoha—, terdapat sebuah taman yang dibangun di daerah pinggiran kota. Tempat hijau yang ditumbuhi berbagai bunga ini sepi senyap, mengingat hari sudah larut malam. Di salah satu bangku kayu yang tersedia di sana, duduk seorang pria berambut hitam klimis dengan setelan mantel abu-abu dan celana panjang. Dia duduk menyandarkan punggungnya di kursi itu sambil mendengarkan musik dari earphone yang disematkan di telinganya. Sesekali, dia menganggukkan kepala mengikuti alunan lagu yang dihayatinya.

Tak lama, beberapa orang pria berbaju punk datang menghampirinya.

"Ada apa kau memanggil kami, Sai?" tanya pria yang memakai masker dan penutup kepala –Kakuzu— to the point.

Pria berambut hitam klimis yang dipanggil Sai menegakkan badannya. Dia memandang datar keempat pria di hadapannya seraya melepas earphone-nya. "Kenapa kalian datang lama sekali?"

Hidan berdecih, tangannya menyisir rambut putihnya ke belakang. "Yang penting kami 'dah datang, 'kan?"

"Kalian tahu aku tidak suka dengan orang yang mengabaikan waktu," ucap Sai bersuara berat. Mata Opal hitamnya menatap mereka tajam.

"Kami terlambat karena harus menghajar para preman kacangan yang menantang kami berkelahi," bela pria berambut merah –Sasori— menerangkan.

"Benar, perlu waktu untuk menghabisi 10 orang lemah itu," tambah pria berambut pirang berkuncir kuda —Deidara— sambil menyeringai tipis.

Sai diam mencari kebohongan di mata mereka bergantian. Tapi dia tidak menemukannya, "Baiklah, aku percaya."

"Lalu ada urusan apa?" tanya Kakuzu lagi.

Sai melirik ke belakangnya, "Utakata."

Panggilan tersebut membuat seseorang muncul dari balik kegelapan pepohonan. Pria berambut hitam klimis agak memanjang itu, berjalan angkuh mendekati mereka dengan kedua tangan dimasukkan dalam saku mantel hitamnya. Dia berhenti dan berdiri tegap di belakang bangku Sai.

"Kau memanggilku?" tanya Utakata datar.

"Jelaskan soal tugas mereka," perintah Sai sambil merileskkan punggungnya di sandaran kursi kembali.

Keempat pria punk itu menatap Utakata datar menunggu penjelasannya. Utakata mendengus kecil sebelum mengeluarkan sesuatu dari saku mantelnya. Lalu menunjukkannya pada keempat orang itu. Sebuah foto dengan image seseorang di dalamnya.

"Itu—" Sasori membelalakkan kaget melihat gambar orang di foto itu. Disusul ketiga kawannya yang juga membolakan matanya terkejut.

"Kalian pasti sudah kenal siapa orang ini," kata Utakata. "Orang yang telah meninggalkan kita 8 tahun lalu," matanya ikut melirik foto pria berambut pirang jabrik dengan mata Shappire di tangannya.

"Namikaze Naruto," ungkap Kakuzu menyebutkan namanya dengan suara pelan.

Hidan, Sasori, dan Deidara masih tercengang tidak percaya. Sai membisu mendengarkan percakapan mereka.

"Sekarang namanya berganti menjadi Uzumaki Naruto. Dia tinggal di pusat kota dan bekerja sebagai arsitek," terang Utakata.

"Lalu?" Hidan menaikkan sebelah alisnya setelah tersadar dari keterkejutannya.

"Kalian harus membawanya kembali," tegas Utakata menatap keempatnya tajam.

"Tu—tunggu, bukannya dia sudah pergi meninggalkan kita?! Buat apa kita mengejarnya lagi?!" tanya Deidara kaget.

"Benar," dukung Sasori. "Bisa-bisa, timbul kerusuhan yang tidak diinginkan."

"Apalagi 'Orang itu' dulu sudah melepasnya, 'kan?," lanjut Kakuzu.

"Memang, tapi 'Dia' jugalah yang menginginkannya kembali."

Kakuzu, Hidan, Sasori, dan Deidara serentak menoleh ke arah Sai. Utakata terdiam memandang atasannya datar.

Mata Sai menyorotkan tatapan dingin. "'Dia' membutuhkannya sebagai pion. Selama ini 'Dia' melepaskannya hanya untuk rencana yang disusunnya di masa mendatang. Tentu saja menyangkut bisnis 'belakang'."

"—Kalian tidak lupa itu, 'kan?"

Seketika keheningan menyelimuti mereka. Diiringi atmosfer berat yang tercipta dari keenam orang yang sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Lalu bagaimana dengan putra-'nya' yang satu lagi?" tanya Kakuzu mengintruksi percakapan kembali.

"Anak-'nya' yang itu belum matang, jadi belum bisa digunakan," ujar Sai. "Ini perintah langsung dari 'Orang itu'. Kalian harus selesaikan misi ini secepatnya. Gunakanlah cara apapun. Termasuk melenyapkan apapun yang mengganggu misi kalian. Dan jika gagal, kalian tahu konsekuensinya."

Keempat pria berpakaian punk itu menundukkan kepala kaku bersamaan, sebagai tanda bersedia menjalankan perintah. Mereka pergi setelah mendapatkan data berisi informasi tentang Uzumaki Naruto dari Utakata. Meninggalkan kedua atasan mereka yang terdiam di tempatnya masing-masing.

"Dengan ini, penangkapan rubah itu akan dimulai," Sai menghela nafas. "Kau senang, 'kan?" tanyanya melirik ke arah pohon rindang yang tak jauh dari bangkunya.

Utakata ikut memperhatikan.

Dari balik pohon besar itu, muncul seorang pemuda berambut coklat gelap panjang. Mantel biru gelap panjangnya berkibar tertiup angin. Mata Lavender keperakannya menatap datar Sai dan Utakata bergantian. Bibirnya menyinggungkan seringaian dingin.

"Tentu saja," katanya bersuara berat mengintimidasi. "Sayangnya, aku tidak bisa membalasnya dengan tanganku sendiri."

Sai membalas seringaiannya.

"Kau akan mendapatkan bagianmu nanti—

.

.

—Neji-sama."

.

.

.

.

.

Malam semakin larut. Tapi Konoha adalah kota besar yang tidak pernah tidur. Masih banyak kendaraan dan orang-orang yang berlalu lalang mengisi tiap tempat di kota ini. Menjelajahi dunia malam yang ramai dan penuh gemerlap lampu warna-warni.

Di antara lautan kendaraan itu, terlihat sebuah mobil Audi silver mewah yang membelah jalanan kota. Pemilik mobil ini –Naruto— fokus menatap jalanan, karena dia sedang mengemudikannya untuk membawa dirinya pulang bersama Sasuke ke apartemennya. Saat sampai di jalan padat kendaraan, Naruto membelokkan mobilnya ke jalan lain yang lenggang. Memutar arah agar segera sampai di tempat tinggal mereka.

Shappire Naruto melirik ke arah anaknya yang duduk di sampingnya. Dilihatnya, Sasuke sudah tertidur pulas dengan bersandar nyaman di kursinya. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Matanya tertutup rapat dengan ekpresi wajah putihnya yang terlihat damai. Naruto melihat jam digital di dashboard mobil. Jam 10.05 malam. Pantas jika Sasuke sudah mengantuk, sebab remaja itu tidak tahan bergadang hingga larut malam.

"Sebentar lagi kita sampai rumah, Suke," gumam Naruto tersenyum kecil. Sebelah tangannya yang bebas dari roda kemudi, mengusap rambut halus Sasuke sayang.

Sasuke yang merasakan kehangatan dari tangan Naruto, hanya bergerak kecil menyamankan diri dan melanjutkan mimpinya.

Mobil mereka sekarang melewati jalan sepi yang di kanan-kirinya hanya terdapat pepohonan dan tumbuhan ilalang. Hanya lampu penerangan jalan yang menjadi kawan pengiringnya. Naruto menambah laju mobilnya, sebelum matanya mengerjap menangkap sesuatu yang berdiri di tengah jalan dari kejauhan. Semakin mendekat, Naruto bisa melihatnya dengan jelas. Namun, detik selanjutnya, matanya melebar menyadarinya. Naruto segera menghentikan mobilnya di hadapan sesuatu yang ternyata seseorang itu. Orang itu sengaja berdiri di tengah jalan untuk menghalangi apapun yang lewat. Atau lebih tepatnya, menghalangi mobil Naruto lewat.

Naruto menghela nafas sebelum mematikan mesin mobilnya. Dia menoleh pada Sasuke yang masih tertidur, "...Aku segera kembali," janjinya sebelum mengecup kening Sasuke lembut. Berharap remaja raven itu tidak terbangun dan mengetahui hal ini.

Naruto keluar dari mobilnya. Mengunci pintunya dan berjalan mendekati orang yang menghalangi jalannya tadi.

"Jadi, apa yang kau inginkan dariku setelah berhasil menghentikan mobilku?" ketus Naruto bernada datar. Matanya menatap dingin pria berambut orange kemerahan jabrik yang memanjang di bagian tengkuknya.

Pria bermantel merah gelap itu terkekeh kecil. Mata merah Rubi-nya tersembunyi di balik kelopaknya yang menyipit. "Kau masih mengenaliku rupanya, Naruto-sama."

Naruto mendelik tidak suka, "Sebaiknya kau punya alasan bagus karena sudah menyita waktu pulangku, Kurama," geramnya seraya mengeluarkan aura seram.

"Pedasnya, sepertinya kau sedang bad mood," pria yang dipanggil Kurama menghentikan kekehnya. "Apa begitu caramu menyapa teman lama?"

"Aku bisa menanggapimu baik-baik jika kau tidak datang seperti ini," sarkas Naruto.

"Apa karena Sasu-chan?" tanya Kurama menengok ke arah Sasuke yang tidur di dalam mobil Naruto.

Naruto berdecih, "Tsk, cepat beritahukan urusanmu!" perintahnya.

"Alright, just give me 10 minutes, okay?" desah Kurama mengalah. Rupanya Naruto benar-benar dalam mood buruk. "Ini soal pengejaranmu," mulainya bersikap serius.

Naruto bersandar di kap mobil, terdiam menunggu penjelasan pria di hadapannya.

"Klan Namikaze mulai bergerak untuk memburumu kembali," jelas pria bermarga Kyuubi itu.

"Aku sudah meninggalkannya dan keluar dari Klan. Untuk apa mereka mengejarku lagi?" tanya Naruto datar.

"Kau tahu sendiri kalau kau adalah pion yang berharga bagi 'Orang itu'," sahut Kurama.

"Aku bukan bonekanya," desis sang Uzumaki kesal.

"Tapi itulah artimu bagi 'Dia'."

Naruto akui perkataan Kurama benar. Dirinya adalah pion atau boneka berharga bagi 'Orang itu' dulu. Makanya 'Dia' tidak mau melepaskannya begitu saja saat Naruto pergi 8 tahun lalu dari Klan Namikaze.

"Jadi, menurutmu siapa yang ingin memburuku?" lanjutnya menatap Kurama dalam.

Pria jangkung di depan Naruto ini membisu sebentar, "Sai dan Hino."

"Heh," bibir si pria pirang menyeringai lebar, "Kaki tangan-'nya' ya."

"Mereka setia dengan 'Orang itu', jadi mereka pasti menjalankan perintah-'nya'."

Shappire Naruto menyorotkan mata dingin yang angkuh, "Aku siap menghadapinya kapanpun mereka muncul," ungkapnya.

Kurama terdiam. Sudah lama dia tidak melihat sorot mata biru Naruto yang menggelap serta merendahkan apapun itu. Rasanya, seperti kembali ke pada masa lalu. Dimana sang Uzumaki tersebut masih memiliki eksistensi kuat di Klan Namikaze.

"Jadi apa rencanamu, Naruto-sama?"

"Kenapa kau ingin tahu?" selidik Naruto.

"Sebagai mantan bodyguard-mu , kupikir aku bisa membantumu," jelas Kurama memiringkan kepalanya sambil tersenyum kecil.

Naruto menautkan alisnya. Dia masih belum percaya sepenuhnya dengan Kurama. Walau mereka berdua pernah dalam kubu yang sama dulu, bukan berarti sekarang juga tetap sejalan. Bisa jadi pria merah itu adalah sekutu musuh yang datang untuk memberikan salam pembuka, bukan?

Kurama kelihatannya bisa membaca arti tatapan Naruto padanya, "Aku bukan sekutu musuh, Naruto-sama. Kau masih ingat sumpahku, bahwa aku tidak akan pernah mengkhianati orang yang menjadi tuanku," ucapnya balas menatap dalam.

"...Dan aku masih tetap menjadi tuanmu sampai sekarang? Meski aku sudah 'lepas'?" tanya Naruto.

Kurama tersenyum manis sambil menyipitkan matanya, "Tentu saja."

"...Apa yang membuatmu begitu setia padaku, Kurama?" ujar Naruto bersidekap dada angkuh. Matanya menatap intens.

Kurama menyeringai, sepasang iris Rubi-nya memancarkan keinginan kuat akan sesuatu, "That boy."

Naruto membisu sejenak, "Ooh, I see."

"Apa rencanamu, Naruto-sama?" tanya Kurama kembali.

"Susun persiapan matang untuk menghadapi mereka. Aku yakin mereka akan mengirim orang-orang terkuat untuk mendatangi kita nanti. Beritahu Gaara, Shikamaru, dan Kiba tentang masalah ini," titah Naruto tegas.

Kurama menyilangkan sebelah tangannya di depan dada. Dia membungkukkan badan layaknya pelayan yang akan menjalankan perintah tuannya, "Baik."

"Dan juga—"

Kurama menunggu kelanjutannya.

"Pastikan orang-orang di sekitar kita tidak terlibat. Khususnya, Sasuke," tekan Naruto menatap Kurama nyalang.

Kurama mengangguk sebelum berlalu dan menghilang di kegelapan malam.

"Benar kata Shika," Naruto berdesis pelan.

.

.

"—Akhirnya 'mereka' akan muncul."

.

.

.

.

.

Sementara itu di suatu tempat di Suna, seorang pria berambut merah bata, berdiri di balkon ruang kerjanya yang menghadap ke pemandangan malam dengan jendela besar yang terbuka lebar. Gaara terdiam memandang bulan yang bertengger manis di angkasa ditemani oleh ribuan bintang. Menikmati angin yang berhembus menerpa tubuhnya yang terbalut kemeja merah dan celana panjang hitam. Dia terpaku sibuk berpikir sesuatu. Sesuatu yang menjadi alasannya kembali ke Konoha untuk menyapa kawan-kawannya besok.

"Kau tidak istirahat?"

Gaara menoleh sedikit ke belakang, mendapati seorang wanita berambut coklat sebahu dengan sepasang iris mata hitam yang baru masuk ke ruangannya.

Wanita berseragam kerja biru tua itu tersenyum tipis, "Kau bisa kelelahan di perjalanan besok, lho," tegur Matsuri.

"...Sebentar lagi," jawab Gaara pelan.

"Memikirkan sesuatu?" tanya Matsuri mengambil langkah untuk mendekati atasannya.

"..."

Mendengar Gaara tidak menjawab, wanita itu memberanikan diri untuk berdiri menjajarinya, "Naruto-san akan baik-baik saja. Aku yakin dia sudah mengetahui hal itu."

"...Kupikir semua sudah berakhir," lirih sang pewaris Sabaku menatap datar keluar. "Tapi ternyata, itu hanya tanggapan kami saja. Selama urusan yang pernah kami tinggalkan belum selesai, kami hanya akan hidup di dunia khayalan."

"Tidak Gaara," Matsuri menyentuh lengan atas pria yang bertubuh lebih tinggi darinya. "Semua yang terjadi hingga sekarang adalah kenyataan. Kehidupan dan kenangan itu akan terus ada di hati kita, meski masa lalu masih membayangimu," sang sekretaris itu tersenyum. "Sasuke-kun dan aku adalah bukti nyata di matamu sekarang, bukan?"

Gaara membisu sejenak sebelum tersenyum tipis mengerti, "...Kau benar," dia meraih tangan Matsuri dari lengannya dan menggenggamnya erat. "Semua karena Sasuke yang berhasil mengubah sudut pandang kehidupanku, Naruto, Shika, dan Kiba 8 tahun yang lalu."

"—Tapi sayangnya, Sasuke-kun tidak ingat, ya," kata Matsuri pelan. Dia menunduk dengan mata meredup.

"Lebih baik dia tidak mengingatnya," sahut Gaara menatap tajam. "Aku tidak ingin dia terlibat dalam masalah ini. Naruto, Shika, dan Kiba juga pasti berpikir demikian."

"Kau benar..." Matsuri balas menggenggam tangan Gaara. "Walau cepat atau lambat Sasuke-kun akan mengetahuinya, kuharap dia tidak kaget dengan hal yang akan menimpanya nanti."

"—Karena Sasuke adalah harta kami yang berharga,"

.

.

.

.

.

Naruto menggendong tubuh Sasuke yang masih tertidur lelap di kedua tangannya –bridal style—. Membawanya masuk ke dalam apartemen tempat mereka tinggal. Segera saja, dia merebahkan Sasuke di ranjangnya begitu sampai di kamar pemuda itu. Melepaskan sepatunya dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal hingga sebatas leher. Naruto mendudukkan diri di sisi ranjang Sasuke. Dipandanginya wajah damai anaknya yang masih mengarungi mimpi. Tangannya kembali membelai rambut ravennya lembut.

Benak Naruto masih dipenuhi oleh informasi baru yang didapatnya dari Shikamaru. Juga Kurama, bodyguard setianya yang masih melayaninya meski dia sudah pergi dari Klan itu. Dia tahu cepat atau lambat, masa lalunya akan kembali menyapanya. Siap atau tidak siap, Naruto harus menghadapinya. Demi melindungi orang yang terpenting dalam hidupnya, Naruto harus segera menyelesaikannya urusannya dulu.

"Rupanya hidup damai yang selalu kita inginkan, tidak mesti tetap berlanjut," ucap Naruto menatap Sasuke sendu. Tangannya beralih mengusap pipi putranya. "Walau begitu, aku tetap ingin selalu bersamamu, Suke..."

"Bersama seperti janji kita dulu..."

.

.

.

"Paman sendirian di sini?"

"Hmm, aku menunggu seseorang."

"Siapa?"

"Seseorang yang mau menjadi tujuan hidupku."

.

.

.

.

.

◊≈◊≈◊≈◊≈◊≈Tsudzuku≈◊≈◊≈◊≈◊≈◊

.

.

.

Yaak, fic ini sepertinya bakal panjang chapternya seperti Coppia dan Eager...

Ada unsur action-nya sih, entah kenapa aku senang bikin fic bergenre action begini, padahal ada dua fic yang masih nunggu kelanjutannya...

Salahkan si Ottobre II yang ikut campur dalam pengembangan fic ini! .

Semoga sesuai dengan selera kalian^^

REVIEW!