Gomen2... buat yang menunggu Coppia kutunda sebentar ya... soalnya aku belum bisa nglanjutin karena belum dapet pencerahan... *)PLAAAKKK! (Tegaaa!)

Mau gimana lagi, aku takut kalau Coppianya jadi gak kebeneran gara-gara cerita ini melayang terus di benakku...T.T

Jadi aku buat dulu nih Fic baru...^^

.

.

.

Gardenia

Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto

Pairing : Naruto x Sasuke

Genre : Romance & Drama

BL, Shounen ai, Family (not incest), Slash, OC, OOC, AU, dll

.

.

.

.

.

Original Story

by Ivy Bluebell

.

.

.

Butiran salju turun dari langit, menandakan jika musim dingin telah tiba. Hamparan putih terlihat memenuhi berbagai tempat di tanah Konoha. Pagi ini, matahari tidak menampakkan sinarnya. Hanya gumpalan awan putih di atas sana yang menghalangi birunya langit. Membuat pagi tambah mendung dan dingin. Juga suram..., mungkin itulah yang dirasakan oleh anak lelaki berumur 10 tahunan yang sekarang duduk di depan altar.

Altar persembahan bagi mereka yang telah meninggal.

Salah satu rumah di kawasan perumahan Konoha —tepatnya di kediaman Uchiha— terlihat ramai dengan banyaknya orang dan mobil yang berdatangan. Orang-orang itu memakai pakaian berwarna sama, hitam gelap dengan membawa sebuket bunga Lily putih. Mereka berjalan memasuki rumah tersebut. Lalu, meletakkan buket bunga itu di depan ketiga foto orang yang telah meninggal dan melakukan penghormatan terakhir.

Di depan ketiga foto itu, terlihat seorang anak kecil berambut raven yang terbalut pakaian hitam. Dia duduk bersimpuh di depan altar yang berisikan ketiga foto keluarganya. Keluarganya yang telah meninggal akibat tertimbun longsoran salju saat dalam perjalanan pulang kemarin malam. Uchiha Fugaku, ayahnya, Mikoto, ibunya, dan Itachi, kakak lelakinya. Sasuke menatap redup foto datar berimage ketiga orang itu. Onyxnya tampak kosong seakan tidak ada tanda kehidupan. Diam, tidak bergeming sedikitpun tanpa mempedulikan kakinya yang sudah kram karena terlalu lama duduk.

Orang-orang yang berdatangan, duduk berbaris di belakang Sasuke. Mereka adalah kerabat jauh dan tetangga yang tinggal di dekat rumahnya. Mereka merasa iba dan kasihan dengan Sasuke yang merupakan keturunan terakhir di keluarga ini. Karena mulai sekarang, anak kecil itu akan hidup sendirian.

"Bagaimana nasib Sasuke nantinya?" bisik seorang wanita pada temannya di belakang Sasuke.

"Entah, adakah kerabat yang mau menampungnya?" tanya temannya pada kerabat Uchiha yang duduk tidak jauh dari Sasuke.

"Menampung? Maksudmu mengurusnya begitu?" tanya seorang pria mewakili kerabatnya sambil berbisik.

Teman wanita itu mengangguk, "Tentu saja, memang apa lagi?"

"Tidak-tidak, aku sudah punya tiga anak, aku tidak bisa," ujar pria itu sambil memposisikan kedua tangannya di depan dada.

Kerabat wanita mendukung, "Aku juga, aku single parent. Aku harus mengurus kedua anakku,"

"Sebenarnya aku mau saja mengurusnya. Tapi harta mereka..." kata pria kerabat lainnya sambil menggaruk tengkuk leher.

"Hartanya sudah..."

Sasuke diam, berusaha menulikan pendengarannya tentang pembicaraan mereka barusan. Dia tahu, mereka hanya datang untuk bersimpati tanpa niat untuk menolongnya. Hanya basa-basi sebagai kerabat dan tetangga yang baik. Mereka hanya memandang keluarganya dari hartanya yang melimpah. Tapi begitu keluarganya meninggal, otomatis hartanya disumbangkan untuk negara. Jadilah mereka menampakkan sifat aslinya yang selalu tertutup topeng palsu.

"Apa boleh buat, kita hanya bisa menyerahkannya ke panti asuhan..."

DEG

Panti asuhan?

"Yah, hanya di tempat itu Sasuke bisa diurus dengan baik."

"Lagipula hidupnya akan terjamin..."

Diurus dengan baik? Terjamin? Terjamin dalam artian harus kerja rodi dengan bayaran sesuap nasi tiap harinya? Mereka gila?

Panti Asuhan di Konoha memang terkenal dengan anak mereka yang baik dan patuh. Namun sebenarnya, itu hanya kedok untuk menutupi perbuatan mereka yang memperkerjakan anak-anak sebagai mengemis, pencuri, bahkan pelacur secara ilegal. Sasuke tahu hal itu dari desas desus orang yang pernah bekerja sebagai pembantu di sana. Dan, jujur saja, dia tidak mau pergi ke tempat buruk itu. Lebih baik dia hidup sendiri tanpa melakukan hal kotor yang akan menghancurkan hidupnya.

Tapi apa daya, menolak keputusan kerabatnya saja tidak bisa apalagi hidup sendiri. Sasuke masih terlalu kecil untuk bekerja menyambung kebutuhan hidupnya.

'Tou-san, Kaa-san, Nii-san...tolong aku,' batin Sasuke memohon seraya memejamkan matanya erat. Bahu mungilnya bergetar dengan kedua tangan yang terkepal di atas paha, menahan rasa getir yang memenuhi dadanya. 'Jangan biarkan mereka membawaku ke panti asuhan itu. Aku tidak mau...'

"Aku akan memanggil kepala panti itu ke sini..." kata seorang pria sambil mengeluarkan hp-nya.

"aku akan mengurus perlengkapan Sasuke. Nah Sasuke, ayo..." ajak seorang wanita berdiri dari duduknya untuk menghampiri Sasuke.

'TIDAAK!' teriak Sasuke dalam hati. Air matanya mulai menyeruak keluar.

"Biar aku yang mengurusnya,"

Suara baritone tegas itu mengintruksi semua orang dalam ruangan menghentikan debatnya. Mereka langsung mengalihkan perhatiannya ke satu tempat dimana suara itu berasal. Sasuke yang terkejut, ikut menoleh ke belakang melihatnya.

Di ambang pintu masuk, berdiri seorang pemuda berumur 20 tahunan. Pemuda jangkung itu memiliki postur tubuh layaknya blesteran amerika –berambut pirang jabrik dan berkulit tan—. Mata Shappirenya menatap tajam dan penuh atensi pada orang-orang di hadapannya. Wajah bergurat kumis kucing tampannya yang tegas, menambah kesan gentle dan maskulin. Seolah tidak mengijinkan mereka mengabaikan keberadaannya.

"...Siapa kau?" tanya pria tadi yang berniat memanggil kepala panti. Diikuti orang-orang yang memandangnya penasaran.

Pemuda berpakaian tuxedo hitam itu membungkukkan badannya sekilas sebelum kembali menatap mereka tajam, "Namaku Uzumaki Naruto. Teman dekat dari Fugaku-jii-san. Yoroshiku onegaishimasu," ucapnya mengenalkan diri sopan. "Aku datang berkunjung untuk memberikan penghormatan terakhir, sekaligus menjalankan niat beliau,"

"Niat beliau?" pria itu menaikkan alis heran. Sasuke yang duduk jauh dari mereka, memandang Naruto yang mengaku teman dekat ayahnya penuh minat.

Naruto melangkah memasuki ruangan. Dia menghampiri Sasuke yang masih terduduk menatapnya dalam diam. Naruto berjongkok dengan satu kaki sebagai tumpuan di hadapan Sasuke, tersenyum lembut padanya sambil mengusap surai ravennya. Sasuke tersentak saat mata Onyxnya yang berkabut tipis bertemu pandang dengan iris biru Shappire Naruto. Sorot mata hangat yang lembut namun tegas di saat yang sama. Membuat Sasuke terpaku terpana.

"Sebelum wafat, Fugaku-jii-san memintaku untuk menjaga putra bungsunya, Sasuke, bila mereka telah tiada. Karena itu, aku yang akan mengurusnya," ungkap Naruto pada mereka. "Aku akan mengadopsinya, sebagai putraku," lanjutnya tegas seakan tidak menerima penolakan.

Mendengar kalimat tadi, semua orang yang berkumpul di sana termasuk Sasuke membelalakkan mata lebar. Tidak percaya dengan apa yang baru saja diungkapkan pemuda pirang di hadapan mereka.

.

.

.

.

.

6 years later...

.

.

.

Matahari terbit di ufuk timur. Membawa pagi yang cerah datang menyinari kota Konoha. Burung-burung kecil berkicau dengan riangnya di atas dahan pohon. Seolah membangunkan para mahkluk untuk segera memulai hari mereka. Ditambah angin sepoi yang berhembus pelan, menjadikan suasana pagi begitu damai dan tentram.

DRAP! DRAP! DRAP!

Atau mungkin tidak bagi penghuni salah satu kamar apatemen yang terletak di pusat kota ini.

BRAK!

"BANGUN, DOBE! Kau pikir sekarang jam berapa, hah?!" teriak pemuda bersurai raven begitu membuka pintu kamar. Saking kerasnya hingga sanggup membuat burung-burung yang ada di depan jendela kamar itu terbang menjauh ketakutan.

"Uung, berisik Teme..." keluh pria berambut pirang yang masih terbalut selimut hangat diatas ranjang Queen size dalam kamar luas itu.

Pelipis pemuda raven yang dipanggil Teme a.k.a Sasuke, berkedut kesal. Dia mendecak lidah sambil melangkah ke arah jendela besar di kamar itu. Menyibak gordennya dan membuat sinar mentari masuk sepenuhnya menyinari kamar yang semula gelap remang.

"Uugh, tutup gordernya..." kata pria yang dipanggil Dobe a.k.a Naruto pelan seraya menarik selimutnya untuk menutupi wajahnya yang terkena terpaan sinar matahari.

"Bangun, Dobe! Ini sudah jam 7 pagi, kau mau terlambat kerja apa?!" teriak Sasuke menarik selimutnya kasar. Seketika dia menahan nafas, saat Onyxnya melihat dada bidang Naruto yang berkulit tan atletis terekspos sempurna.

Naruto mengerang, menggeliat bangun dari tidurnya. Dia melirik Sasuke yang sudah berseragam rapi di hadapannya sambil menguap lebar karena kantuk, lalu menoleh ke arah jam dinding dalam kamarnya. Jam 7.05. Naruto terdiam sejenak sebelum membulatkan Shappirenya menyadari jam berapa sekarang.

"KENAPA KAU TIDAK SEGERA MEMBANGUNKANKU, TEMEE?!" teriak Naruto histeris yang langsung turun dari ranjangnya. Dia berlari menuju ke kamar mandi setelah sempat menyabet handuk yang tersampir di gantungan baju. Membanting pintunya keras dan melakukan ritual pagi.

Sasuke menghela nafas lelah, "Makanya pasang jam alarm, Baka Dobe," katanya sambil berjalan keluar kamar menuju dapur menyiapkan kopi dan sarapan.

Sasuke sekarang tinggal di salah satu kamar apartemen elit berlantai 20 bersama Naruto. Seorang sahabat dekat ayahnya, sekaligus rekan kerja di perusahaan. Dia bekerja sebagai arsitektur muda yang terkenal berbakat karena berhasil merancang aquarium bawah laut, hotel-hotel berbintang lima, serta gedung-gedung megah yang ada di kota besar Konoha. Naruto membawa Sasuke pergi 6 tahun lalu untuk hidup bersama, jauh dari kerabat dan orang-orang egois yang hanya mementingkan harta keluarganya. Dia mengadopsi Sasuke sebagai anaknya. Memenuhi kebutuhan hidup si bocah raven yang masih berumur 10 tahun sampai sekarang dan seterusnya. Tanpa mengharapkan balasan apapun. Awalnya, Sasuke ragu. Tapi mendapat perlakuan baik dan hangat dari Naruto, membuat Sasuke akhirnya menerima keputusannya. Dan dia sangat bersyukur menjalani hidupnya yang sekarang.

Tahun ini Sasuke berumur 16 tahun. Marganya berganti menjadi Uzumaki, sama seperti marga pria berumur 26 tahun yang menjadi ayah angkatnya sekarang. Walau Naruto menjadi ayahnya, Sasuke tidak pernah memanggilnya Tou-san, selalu Naruto-san atau Dobe saat adu mulut. Baginya, Naruto bukan ayahnya, tapi seseorang yang spesial yang telah menempati ruang hatinya. Ya, Sasuke menyukai Naruto. Cinta sesama jenis yang masih dipandang asing di mata masyarakat Konoha. Tapi dia sadar, perasaannya pasti tidak terbalaskan, sebab, Naruto hanya menganggapnya sebagai anak.

Menghela nafas, pemuda yang mulai memasuki tahun ajaran baru di Konoha High School ini menghentikan lamunannya. Sasuke mengambil piring dari rak counter dapur untuk memindahkan omelet yang baru saja selesai dimasaknya. Lalu membuat kopi untuk Naruto dan jus tomat untuk dirinya. Sasuke selalu mengerjakan urusan memasak, mencuci, dan kebersihan rumah mereka. Naruto yang workaholik tidak punya waktu untuk hal itu, makanya dia yang mengambil alih urusan rumah. Bahkan saking sibuknya, Sasuke juga harus mengingatkan waktu makan dan istirahat Naruto.

Tepat selesai menata makanan di meja makan, Naruto memasuki ruangan. Meletakkan jas dan tas kerja di kursi kosong.

"Haah, lapar, lapar," kata Naruto mendudukkan diri di kursi sebelah perlengkapannya.

Sasuke memperhatikan dasi yang terpasang kurang rapi di leher Naruto. Dia menghampirinya berniat membetulkan, "Dasimu miring," ujarnya mulai membuka ikatan dasi berwarna biru muda itu.

"Oh ya, thanks," Naruto nyengir membiarkan Sasuke membenarkan ikatan dasinya.

"Lain kali, pasang jam alarm. Biar kau tidak telat bangun," kata Sasuke selesai membenarkan dasi Naruto.

Naruto mendengus, "Ya,ya. Aku tahu," balasnya mulai menyantap makanan.

"Apanya yang tahu? Tiap pagi selalu aku yang membangunkanmu. Harusnya kau bisa bangun sendiri tahu," kilah Sasuke mendudukkan diri di hadapan Naruto.

"Well, sorry," ucap Naruto enteng sambil mengangkat bahunya. Membuat Sasuke mendengus sebel.

"Hari ini hari pertamamu masuk ke Konoha High School, 'kan?" tanya Naruto disela-sela mengunyah omeletnya.

"Hn," gumam Sasuke setelah menelan makanannya.

"Ono juga masuk ke sana?,"

Sasuke mengangguk, "Hn, dia juga sekelas denganku,"

"Baguslah, setidaknya kau tidak sendirian di tempat asing itu," kata Naruto sebelum meminum kopinya.

Sasuke merona tipis. Dia memang senang Naruto memperhatikannya. Tapi dia tahu bahwa hal itu hanya perasaan seorang ayah terhadap anaknya, bukan sesuatu yang lebih. Entah kenapa membuat dadanya sedikit nyeri.

Shappire Naruto melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya sebelum meneguk habis kopinya, "Cepat habiskan sarapanmu. Aku akan mengantarmu ke sekolah,"

Sasuke mengangguk dalam diam. Dia menghabiskan sarapannya, lalu membawa piring-piring kotor ke counter cuci piring. Selesai mencuci piring, Sasuke segera menuju ke pintu depan dengan ransel di tangan. Menghampiri Naruto yang sudah menunggunya untuk berangkat bersama.

Sebuah mobil silver Audi R8 berhenti di depan gerbang Konoha High School. Sekolah elit yang terletak di pusat kota Konoha. Murid-murid yang berlalu lalang memasuki gerbang itu, berhenti memandang kagum pada mobil mewah yang terpakir di sana. Berpikir, orang kaya seperti apa yang kira-kira mengendarai mobil seharga 150.000 USD itu? Dan pertanyaan mereka terjawab dengan keluarnya pemuda tampan berambut raven berkulit pucat dari mobil. Diiringi pria tampan berawakkan blesteran amerika yang membuka jendela mobil bagian kemudi. Seketika mereka semua –terutama cewek—langsung terdiam terpesona.

"Ada yang tertinggal?" tanya Naruto pada Sasuke yang sudah berdiri di samping luar mobilnya.

Sasuke yang merasa risih diperhatikan oleh murid-murid sekolahnya, hanya menggeleng pelan. "Tidak, cepat pergi sana. Nanti terlambat,"

"Baiklah, setelah kau mengabulkan kemauanku," kata Naruto menyeringai tipis. Sadar dengan sekeliling yang memandang dirinya dan Sasuke.

Sasuke menaikkan sebelah alisnya tanya. Dia membungkuk rendah saat Naruto memberi isyarat untuk membisikkan sesuatu.

"Panggil aku Tou-san,"

Sasuke tersentak. Dia kembali menegakkan badannya kaget, "Baka, tidak mau," tolaknya.

"Ooh, ayolah. Aku ingin kau memanggilku begitu sekali saja, Teme. Apa susahnya, sih? Kau anakku, 'kan?" berondong Naruto tidak terima penolakan.

Sasuke terdiam. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Menahan ngilu yang melanda dadanya tiba-tiba. Bibirnya terkatup rapat, menolak bersuara karena takut mengatakan kata itu. Kata yang menjadi penghalang antara perasaannya pada Naruto.

"Sasuke..." panggil Naruto melas melihat Sasuke yang menundukkan kepala diam.

Sasuke memejamkan mata sejenak sebelum menghela nafas lemah. Dia mengangkat wajahnya, menatap Naruto dengan Onyxnya yang agak redup, "...Ittekimasu, Tou-san," ucapnya lirih.

Naruto nyengir senang, "Itterashai, Suke-chan,"

Sasuke merengut, "Jangan panggil aku 'chan'!"

"Hehe, kau manis, sih," kekeh Naruto saat mendapati wajah Sasuke yang memerah malu. "Baiklah, aku pergi. Aku akan menjemputmu nanti jika tidak lembur," ucapnya menyalakan mesin mobil.

"Hn," jawab Sasuke membalas lambaian tangan Naruto yang mulai menjalankan mobilnya.

Sasuke terus mengamati mobil Naruto hingga menghilang di tikungan jalan raya. Dia melangkah cepat memasuki halaman sekolah menuju gedung aula tempat upacara penerimaan murid baru diadakan. Menghindari tatapan kagum, tajam, dan penasaran dari para murid yang seolah berniat menelanjanginya.

"SASUKEE!"

Merasa ada yang memanggil, Sasuke menoleh dan mendapati seorang gadis berlari ke arahnya. Gadis berambut hitam sebahu itu memakai seragam berwarna putih dan rok hitam. Dipermanis dengan blazer hitam senada dengan seragam yang dipakainya.

"Lama sekali kau datang. Aku sudah menunggumu dari pagi, tahu," sungut gadis beriris mata coklat susu yang bernama Ono Yuu.

"Salahkan saja si Dobe yang telat bangun," dalih Sasuke melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.

Yuu yang menyamakan langkahnya, mengerjapkan mata, "maksudmu karena Tou-sanmu, kau jadi datang kesiangan begitu?"

Sasuke menoleh cepat, "Jangan mengatakan dia Tou-sanku. Aku tidak akan pernah mengakuinya,"

"Hhh, aku tahu," desah Yuu. "Bagimu dia orang yang spesial, makanya kau tidak mengakuinya sebagai ayahmu," lanjutnya tahu maksud sahabatnya.

"Hn,"

Yuu melirik Sasuke yang kembali menghadap depan, "...Sampai kapan kau akan terus menyimpan rasa itu Sasuke? ketahuilah kalau itu hanya akan menyakiti dirimu sendiri,"

"...Hn,"

"Aku menasehatimu sebagai seorang sahabat, okay? Jadi pikirkanlah baik-baik," ujar Yuu lagi.

Sasuke membisu. Dia sudah tahu dari dulu jika perasaannya bertepuk sebelah tangan. Tapi tinggal bersama Naruto selama 6 tahun ini, membuatnya tidak mampu melepas rasa cintanya pada pria itu yang kian hari makin menumbuh di hati. Yuu, sahabatnya dari SMP tahu hal ini. Dari sekian banyak teman, Sasuke hanya mempercayakan masalah pribadinya pada Yuu seorang. Baginya Yuu sudah seperti seorang kakak perempuannya.

Mungkin ada benarnya, bila Sasuke melepas rasa cintanya pada Naruto suatu saat nanti. Karena pria itu harus menikah, dan dia tidak mau membebaninya dengan rasa sepihak yang memenuhi hatinya. Sudah cukup Naruto menyokong dan hidup bersamanya selama ini.

.

.

.

.

.

Di salah satu gedung pencakar langit Konoha, berdiri perusahaan yang bergerak di bidang arsitek, Nara Vinger. Perusahaan ini sukses di mata dunia karena memiliki sumber daya manusia yang berbakat dalam membangun dan merancang tempat-tempat di berbagai kota besar. Naruto bekerja di sana. Sebagai salah satu arsitek muda yang sukses, dia memiliki peran penting sebagai pengeksekusi terakhir yang menguji proposal arsitektur para karyawannya. Pasalnya, Naruto adalah asisten direktur utama di perusahaan itu.

Naruto menyandarkan punggungnya di sandaran kursi jabatannya. Dia memijit pangkal hidungnya pelan, berusaha menghilangkan rasa kantuk yang kembali menderanya. Wajar saja, dia hanya tidur 5 jam tadi malam karena lembur mengoreksi rencana dan konsep rancangan gedung dari bawahannya. Malah kalau Sasuke tidak menyuruhnya istirahat dan tidur, dia pasti akan terus kerja tanpa henti. Sepertinya Naruto harus memberikan hadiah pada anaknya itu karena sudah berhasil menghilangkan sedikit rasa lelahnya semalam.

"Ngantuk lagi?"

Mendengar suara itu membuat Naruto mendecak. Dia memandang tajam pada empunya yang berdiri sambil menutup pintu masuk ruang kerjanya. "Bisakah kau mengetok pintu dulu? Walau kau direktur, sopanlah pada bawahan," katanya ketus.

Pria jangkung berambut hitam yang dikuncir tinggi itu, berjalan mendekati meja kerja Naruto, "Aku tidak perlu melakukannya karena yang kutemui adalah kau," balas sang direktur muda a.k.a Shikamaru Nara santai.

"Apa yang kau bawa?" dalih Naruto langsung ke intinya. Dia butuh istirahat setelah selesai mengoreksi konsep rancangan yang menumpuk di sudut mejanya.

"Tidak biasanya kau langsung ke inti. Apa kau begitu lelah?" tanya Shikamaru menaikkan sebelah alisnya.

"Kalau sudah tahu ya cepat katakan," tuntut Naruto menegakkan badannya.

Shikamaru menghela nafas sebelum meletakkan map biru tebal yang berisi data kantor di atas meja. "Itu data rencana pembangunan hotel yang akan dirancang bulan depan. Aku melihat masih ada beberapa bawahan yang salah dalam menghitung total pembangunan, jadi aku ingin kau mengoreksi ulang,"

Shappire Naruto menyusuri tiap kata dan angka yang tertera di sana. Lalu dia membalikkan kertas untuk meneliti detail rancangan. Kembali dia mendesah saat menemukan kesalahan dan harus memperbaikinya lagi, "Fine, aku akan memanggil mereka nanti,"

Iris kuaci Shikamaru mendapati sebuah pigura duduk di sudut meja Naruto. Ini pertama kalinya dia melihatnya. Merasa tertarik, tangannya terulur untuk mengambilnya. Dalam pigura itu, terdapat foto Naruto dan seorang pemuda yang berusia sekitar 15 tahunan. Pemuda itu memiliki rambut raven dan berkulit putih. Tatapan Onyxnya terkesan datar, berbeda dengan image Naruto yang tersenyum lembut sambil memegang bahunya.

"Bagaimana kabar Sasuke?" tanya Shikamaru saat menyadari siapa pemuda bersurai raven itu.

Naruto melebarkan matanya sedikit, sebelum mendongak menatap Shikamaru yang berdiri di hadapannya. "Baik, sekarang dia memasuki tahun ajaran baru di Konoha High School," jawabnya.

"Apa tingginya sudah bertambah?" ucap sang direktur meletakkan kembali pigura itu pada tempatnya.

"Uum, sudah, dia setinggi telingaku sekarang,"

"Hoo, baguslah,"

"Kenapa tiba-tiba kau bertanya soal Sasuke?"

"Apa salahnya? Aku ingin tahu kabar anakmu karena sudah lama tidak bertemu, terakhir— tujuh bulan yang lalu mungkin," Shikamaru menanggapi. "Kau tahu, dulu waktu pertama kali kau membawa Sasuke untuk berkenalan dengan kami, aku agak sensi dengan sikapnya yang pendiam dan acuh,"

Naruto menyandarkan punggungnya kembali, "Begitukah?"

"Yaah, singkatnya aku kurang suka perbedaan sikap yang ditunjukkannya pada kami dan padamu waktu itu,"

"Kenapa?" Naruto memandang Shikamaru tanya.

Shikamaru menggaruk tengkuk lehernya, "Dia selalu diam saja saat aku dan yang lain mengajaknya bicara, tapi kalau kau, dia pasti langsung menjawabnya," terangnya.

"Ooh, aku ingat," ujar Naruto mengingat kala itu. "Wajar saja, Sasuke baru sebulan kehilangan keluarganya saat itu. Makanya dia menjadi pendiam karena belum sepenuhnya menerima keadaan,"

"Aku tahu, tapi baguslah. Sasuke sudah berubah sekarang, setidaknya dia tidak menunjukkan sikapnya yang seperti dulu," Shikamaru mengalihkan pandangannya kembali menuju pigura tadi. "Aku tidak suka melihatnya kembali berwajah datar dengan tatapan mata kosong,"

Naruto terdiam mendengar ucapan Shikamaru barusan. Dia ingat, saat dirinya mengajak Sasuke untuk tinggal bersama dengannya dulu. Waktu menjemputnya dari rumah duka, Naruto tertegun melihat Sasuke kecil yang menangis dalam pelukannya. Dia baru menyadari jika anak itu terlalu lama menahan air mata agar terlihat tegar di mata kerabat dan tetangganya. Lalu beberapa hari semejak mereka tinggal bersama, Sasuke menjadi pendiam. Tatapan Onyxnya datar dan kosong, seolah tidak ada tanda kehidupan. Dia hanya membisu dan acuh saat diajak bicara, apalagi makannya pun sedikit. Membuat Naruto khawatir dengan keadaannya. Naruto berusaha menyemangati Sasuke dengan berada di sisinya, bersikap hangat dan sabar untuk mencoba meluluhkan hati anak itu. Hingga akhirnya, kesabarannya berbuah manis dengan kembalinya Sasuke seperti semula sedikit demi sedikit.

Naruto bersumpah akan selalu berada di sisi anaknya. Dia tidak akan membiarkan Sasuke terluka dan mengalami hal itu untuk kedua kalinya. karenanya, Naruto akan selalu menjaga dan melindunginya.

"Arigato atas perhatianmu pada Suke-chanku," kata Naruto tersenyum pada atasan sekaligus sahabat baiknya. Baginya, Shikamaru sudah seperti saudaranya sendiri.

Shikamaru menyinggungkan senyum tipis, "Doushite, aku senang punya keponakan yang manis sepertinya,"

"Sayangnya, jangan harap aku membiarkanmu menyentuh anakku, Shika," Naruto menyeringai sinis.

"Heh, aku tidak berminat. Aku sudah punya puppy," Shikamaru balas menyeringai.

"Hahh, aku jadi kasihan dengan Kiba yang harus menderita tiap pagi gara-gara ulahmu,"

"Haha, tidak perlu—"

"Tidak perlu apa, hah?!"

Ucapan Shikamaru terpotong oleh suara dari orang yang membuka pintu ruang kerja Naruto. Naruto dan Shikamaru menoleh ke arahnya, dan melihat seorang pria berambut coklat jabrik dengan iris mata hitam berdiri di sana. Pria bertage-name Kiba Inuzuka itu menatap jengkel kedua orang yang merupakan atasannya.

"Apa yang sedang kalian berdua bicarakan?" tanya Kiba menuntut sambil bertolak pinggang. Pelipisnya berkedut menahan rasa kesal.

"Haha,tidak ada kok, Kiba," kata Naruto takut-takut.

"Oh ya?" Kiba menatap tajam tidak percaya.

"Eng, ada apa kau datang kemari?" dalih Shikamaru mengganti topik.

"Aku datang menyerahkan konsep rancangan hotel bulan depan yang lain," jelas Kiba berjalan mendekati meja Naruto. "Setelah membacanya, segera datang ke ruang rapat untuk melihat presentasi kami," lanjutnya menyerahkan map merah pada atasannya.

"Baiklah," Naruto menghela nafas, tambah lagi pekerjaannya.

Kiba terkejut kecil saat melihat pigura duduk di sudut meja Naruto. "Hari ini Sasuke masuk ke Konoha High School, 'kan?" tanyanya.

"Hm," jawab Naruto.

"Bagaimana kau tahu?" tanya Shikamaru menoleh pada kekasihnya.

Kiba menjawab, "Tentu saja aku tahu, aku yang memberinya data tentang sekolah itu,"

"Hoo,"

"Sampaikan selamat dariku padanya, okay?" kata Kiba pada Naruto. "Kalau ada waktu, mainlah ke rumah kami untuk makan malam,"

"Thanks Kiba, Suke-chan akan senang mendengarnya," Naruto nyengir lebar.

.

.

.

.

.

TENG! TENG! TENG!

Bel jam pulang sekolah berbunyi nyaring. Murid-murid berjalan keluar sekolah dengan riangnya, bebas dari jam belajar setelah seharian penuh. Di antara mereka, ada dua orang yang berjalan santai menuju gerbang sekolah.

"Nee, Sasuke, apa kau akan dijemput Naruto-san lagi?" tanya Yuu yang berjalan di samping Sasuke.

"Hn, Jika tidak lembur," gumam Sasuke.

Yuu terkekeh kecil, "Dasar overprotektif, kau pasti senang Naruto-san sangat perhatian padamu,"

Sasuke terdiam sebentar, "...Tidak juga," lirihnya. "Aku malah ingin dia berlaku sama, tapi dalam artian berbeda,"

Yuu menoleh ke arah Sasuke yang terlihat murung. Pemuda yang sudah seperti adiknya ini, pasti sudah jatuh terlalu jauh dan tenggelam dalam rasa cinta sepihaknya. Rasanya sedih juga, bila harus melihat sinar Onyx hitam malam itu meredup. "Hei, Sasuke,"

"Hn?" Sasuke melirik Yuu tanya.

Yuu tersenyum kecil, "Bagaimana kalau kau berterus terang padanya?"

Sasuke tersentak kaget, "APAA?!"

Para murid di sekitarnya berhenti berjalan dan menoleh ke arah Sasuke dan Yuu heran. Sasuke yang sadar diperhatikan karena bersuara keras barusan, hanya menunduk kepala salah tingkah.

Yuu tersenyum melambai pada mereka, "Tidak ada apa-apa, kok," katanya ramah.

Murid-murid yang masih terdiam heran hanya kembali berjalan mengabaikan mereka berdua.

"Aku baru tahu kalau kau bisa bersuara sekeras itu," ujar Yuu sarkatis.

"Gara-gara siapa, hah?" pelipis Sasuke berkedut jengkel.

Yuu hanya mengangkat bahunya, lalu berjalan ke arah bangku panjang yang terletak di tepi taman sekolah. Sasuke mengikuti dari belakang.

"Lalu, apa maksudmu dengan aku harus berterus terang pada Dobe?" tanya Sasuke menatap gadis itu tajam sambil bersidekap.

"Well," Yuu menduduki bangku itu. "Kau selalu saja melamun dan memikirkan Naruto-san sampai kurang konsentrasi pada pelajaran. Kau harus bersyukur karena sudah diberkahi otak jenius agar bisa menjawab pertanyaan dari guru tadi,"

"To the point," tuntut Sasuke tidak sabar.

"Fine, aku bilang, cobalah untuk berterus terang padanya," dengus Yuu. "Paling tidak, utarakan perasaanmu dalam bentuk orang lain,"

"Hn?" Sasuke menaikkan sebelah alis tidak mengerti.

"Nanti aku hubungi, deh. Karena kau sudah dijemput," balas Yuu tersenyum sambil menunjuk ke arah pintu gerbang.

Sasuke mengikuti arah tunjukkan Yuu, dan menemukan mobil Naruto yang berhenti di depan gerbang sekolah yang lenggang. Pintu mobil bagian kemudi terbuka dengan keluarnya Naruto dari sana. Naruto melambai ke arah Sasuke dan Yuu seraya tersenyum lebar.

"...Dobe,"

Yuu terkekeh geli melihat wajah Sasuke yang bersemu tipis.

"Aku duluan," pamit Sasuke pada Yuu yang dibalas mengangguk sambil melambaikan tangan.

"Lho, Ono tidak ikut pulang?" tanya Naruto pada Sasuke begitu pemuda itu sampai di hadapannya.

Sasuke menggeleng pelan, "Dia nunggu jemputan dari pengawalnya,"

"Hm, dia memang tuan putri sih," Shappire Naruto memandang Yuu di depan sana yang duduk serambi memainkan hp-nya.

Yuu adalah putri tunggal dari keluarga Ono yang memiliki perusahaan ternama di Konoha. Anak dari orang kaya yang menguasai pasar elektronik. Namun, dia tidak pernah memandang derajat seseorang dan mudah bergaul dengan siapa saja. Naruto mengenalnya sebagai sahabat dekat Sasuke. Dia senang anaknya mendapat teman yang baik dan penuh perhatian. Makanya, Naruto merasa tenang bisa mempercayakan Sasuke pada Yuu bila dia tidak ada di sampingnya.

Naruto dan Sasuke masuk dalam mobil. Bersiap untuk perjalanan pulang.

"Oh ya, ini dari Kiba dan Shikamaru," Naruto yang duduk di depan kemudi, menyerahkan tas kertas putih pada Sasuke di sampingnya. "Hadiah untukmu sebagai tanda selamat telah menjadi murid SMA,"

"...Berlebihan deh," ucap Sasuke pelan sambil membuka paper bag itu. Begitu melihat Isinya, dia mendapati beberapa novel tebal keluaran terbaru dan sebuah kotak kecil tranparan. "Ini..." kata Sasuke saat melihat isi kotak kecil itu yang ternyata kalung dengan bandul permata berbentuk prisma.

"Hadiah dariku," ungkap Naruto, "Selamat ya, Suke-chan," lanjutnya tersenyum lebar sambil mengacak rambut raven Sasuke.

Wajah Sasuke merona merah. "Arigato..." balasnya pelan, menundukkan kepala membiarkan Naruto mengusap kepalanya.

"Baiklah, ayo kita pulang," Naruto mulai menjalankan mobilnya berlahan. "Aku sudah lapar,"

Sasuke mendengus geli, "Tukang makan,"

Naruto nyengir kekanakan menganggapinya.

.

.

.

.

.

Menjelang petang, Naruto dan Sasuke tiba di apartemen mereka. Naruto memarkirkan mobilnya di besement, lalu keluar dari mobil diikuti Sasuke. Saat mereka berdua berjalan menuju lift yang tersedia di sana, mendadak Naruto menghentikan langkahnya. Sasuke yang di belakang pun ikut terhenti.

"Ada apa?" tanya Sasuke heran.

Naruto diam tidak menjawab. Hanya terpaku memandang ke depan. Sasuke memiringkan kepala melihat arah pandang Naruto. Di dekat lift, berdiri seorang wanita berambut merah muda sepunggung. Dilihat dari pakaiannya, sepertinya dia baru pulang bekerja. Wanita bermata Emerald hijau itu melirik jam tangannya beberapa kali sebelum menyadari kehadiran Naruto dan Sasuke. Onyx Sasuke membola begitu mengenali siapa wanita itu.

"Aah, Naruto, Sasuke!" sapa wanita itu riang seraya tersenyum lebar.

Naruto mengerjapkan Shappirenya, "Sakura-chan? Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya setelah sadar dari keterkejutannya.

Wanita yang dipanggil Sakura itu mendengus, "Tentu saja aku aku ingin mampir ke rumahmu, tidak boleh?" ujarnya menghampiri Naruto.

"Bu—bukan begitu," gagap Naruto. "Kau 'kan bisa telepon aku dulu jika mau mampir,"

"Aku mendadak, sih," Sakura beralih pada Sasuke yang ada di belakang Naruto. "Aah, lama tidak ketemu ya Sasuke,"

Sasuke mengangguk singkat, "...Konbanwa,"

"Wah, seragam Konoha High School. Kau masuk ke SMA itu, ya?" kata Sakura riang menghampiri Sasuke. "Masuk kelas apa?"

"...Kelas 1-A,"

"Ahaha, pantas, dari dulu kau memang pintar, sih," Sakura mengacak rambut Sasuke gemas. Membuat Sasuke memendam jengkel dalam diam.

"Sakura-chan—" panggil Naruto.

"Aah, ya. Tidak baik ngomong di luar begini, apa kau tidak mau mengundangku masuk ke rumahmu, Naruto?" potong Sakura menoleh pada Naruto cepat.

"Kau ini, makanya aku memanggilmu untuk mengajakmu masuk ke dalam," Naruto mendesah.

"Ok," Sakura tersenyum lebar, berlari kecil ke arah Naruto dan langsung merangkul lengan kiri pria itu. "Kalau begitu ayo cepat,"

Naruto menghela nafas membiarkan Sakura menyeretnya menuju ke lift. Sasuke yang ada di belakang, berdiri kaku sejenak sebelum mengikuti langkah mereka. Sasuke merasa nyeri kembali menghampiri dadanya. Melihat Sakura merangkul lengan Naruto dengan gampangnya, membuat hati Sasuke jadi memanas. Dia bahkan belum pernah melakukannya, walau dia pernah digandeng atau digendong Naruto waktu kecil. Tapi, tetap saja berbeda. Sayangnya, rasa sakitnya harus tertelan dalam-dalam di dasar hatinya.

Begitu mereka bertiga masuk ke dalam lift, Naruto segera menekan tombol lantai 15 tempat dia dan Sasuke tinggal. Sasuke berdiri di belakang Naruto dan Sakura yang mulai mengobrol. Sesekali Sakura tertawa sambil menepuk lengan Naruto yang tersenyum akibat obrolan mereka. Haruno Sakura adalah mantan pacar Naruto dan mereka telah berpisah setahun lalu. Walau mereka putus, mereka tetap berteman. Layaknya sahabat biasa tanpa pernah terjadi apapun. Itulah yang membuat Sasuke kesal.

Mata Sasuke meredup ketika memandang keakraban mereka berdua. Rasanya dirinya seperti diabaikan oleh mereka—khususnya Naruto—. Dia hanya bisa mengepalkan tangannya kuat serambi menahan sesak yang memenuhi dadanya. Kesal. Iri. Dan...cemburu. Sasuke kesal dengan Sakura yang membuat Naruto menikmati obrolan mereka. Sasuke iri dengan Sakura yang bisa membuat Naruto selalu tersenyum dalam artian berbeda darinya. Sasuke cemburu dengan Sakura yang hanya diperhatikan Naruto, padahal dirinya ada di belakang mereka. Ya, Sasuke tidak suka dengan keberadaan Sakura yang menjadi penghalang di antara Naruto dan dirinya sekarang.

Tapi, walau rasa ini menyesakkan dada, Sasuke tidak bisa mengungkapkannya. Rasa cinta sepihaknya adalah cinta sesama jenis yang masih dipandang asing di mata orang lain. Mungkin Naruto juga. Apalagi selama ini, Naruto hanya memandangnya sebagai anaknya.

Lalu, bagaimana bila Naruto tahu perasaan Sasuke? Apa jadinya jika dia menyatakan perasaannya pada pria pirang itu? Apakah Naruto akan menerimanya atau jijik padanya? Apakah Naruto malah akan membencinya?

Mungkin...ya.

Dan dugaan itulah yang menjadi titik Sasuke untuk berhenti menyukai bahkan mencintai Naruto. Karena pria itu adalah ayahnya.

Di saat ketiga orang ini sedang asyik dengan kegiatan masing-masing, tiba-tiba lampu lift berkedap-kedip.

"Ada apa ini?" tanya Sakura terkejut sambil menegadahkan kepalanya.

Sasuke menghentikan lamunannya saat lantai lift yang dipijaknya bergetar, diikuti suara keras yang akhirnya menggucang lift.

GRAAKK!

"Kyaa!" pekik Sakura kaget ketika terjadi guncangan.

Lift berguncang diiringi lampu yang berkedap-kedip. Naruto segera berpegangan pada dinding lift di sampingnya, berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya. Sakura bersandar di dinding belakangnya, sedang Sasuke berpegangan pada gagang besi yang menyatu di dinding lift belakangnya. Guncangan lift itu awalnya kecil, namun makin keras dan kuat hingga membuat lampu lift mati dan ruangan menjadi gelap. Saat guncangan itu berhenti, mereka menyadari jika lift juga berhenti bergerak.

"Apa yang terjadi?" kata Sakura dengan nada bergetar. Dia tidak bisa melihat apapun karena cahaya remang di hadapannya.

Naruto meraih hp flip hitamnya dari saku celana. Menghidupkan lampu display hp untuk menjadi penerangan sementara. "Sepertinya, liftnya macet," katanya.

"Coba tekan tombol bel untuk menghubungi petugas apartemen," saran Sasuke menunjuk pada satu dari kumpulan tombol di sisi pintu lift.

Mendengar itu, Naruto langsung bergerak menekan tombolnya. Begitu ditekan, cahaya merah muncul dari sana dengan bunyi bel alarm. Sinyal itu yang menjadi tanda untuk petugas apartemen bila terjadi sesuatu di dalam lift.

"Sekarang, kita tinggal menunggu bantuan, paling 5-10 menitan," ucap Naruto bernafas lega.

"Hahh, syukurlah," lega Sakura seraya merilekskan rasa tegangnya. "Ini pertama kalinya aku terjebak lift macet begini,"

Naruto menyeringai tipis, "Kau takut?" remehnya.

Sakura mendengus, "Bagi seorang wanita itu wajar tahu,"

"Tidak kusangka seorang karateka sepertimu takut pada lift macet daripada menghajar lelaki hidung belang," kata Naruto enteng mengangkat bahunya.

"Itu nggak ada hubungannya baka!" geram Sakura menginjak sebelah kaki Naruto kasar. Naruto meringis sambil berjongkok memegang kakinya yang sakit.

Sasuke hanya terdiam menghela nafas. Meski rasa nyeri masih menyerang dadanya.

Beberapa menit kemudian lampu lift kembali berkedip. Diikuti guncangan yang lumayan keras. Naruto, Sasuke, dan Sakura yang belum siap jadi kehilangan keseimbangan dan terjatuh.

"Kyaa!"

"Auw!"

Tak berapa lama, lampu lift menyala terang. Guncangan pun berhenti dan lift berjalan normal. Sasuke duduk bersandar pada dinding lift pasca jatuh sambil memegangi kepalanya yang agak berdenyut. Dia mengerjapkan matanya pelan, berusaha menyesuaikan penglihatannya. Namun, seketika dia membolakan mata Onyxnya begitu melihat apa yang tersaji di hadapannya.

Di depannya, kedua orang berbeda gender jatuh bertumpuan. Sakura jatuh terbaring menimpa Naruto di bawahnya. Tapi bukan itu, yang membuat Sasuke terbelalak kaget adalah...

Naruto dan Sakura—berciuman?!

.

.

.

.

.

~~~~~~~~~~Tsudzuku~~~~~~~~~~

.

.

.

Yak, fic baru tentang family, tapi sekali lagi ini bukan incest ok?

Jadi aku ingin kalian beri kritik dan review ya ^^

.

.

.