Dorm XOXO
.
.
.
.
.
-flashback-
"YA! YA! BARIS! HEH, KAU YANG DISANA! JANGAN BERCANDA CEPAT BARIS YANG RAPI!"
"KAU! JANGAN NGERUMPI DISITU! BARIS!"
Seruan Luhan terhenti ketika seseorang menepuk bahunya. Ia menoleh, ternyata seseorang itu adalah Fei. Satu-satunya teman yang berkewarganegaraan sepertinya sekaligus ketua OSIS di sekolah ini. "Jangan galak-galak, Lu."
Luhan mendengus. "Mereka susah sekali diatur. Aku jadi pusing—YA! YA! BARIS CEPAT!" gerutunya lalu ia berseru ketika melihat ada yang masih berlari-lari. Maklum saja Luhan adalah wakil ketua OSIS yang diwajibkan mengorientasi adik-adik kelasnya yang baru masuk.
"Hahaha~ baiklah, baiklah," Fei tertawa pelan sambil menepuk-nepuk bahu Luhan. Luhan lagi-lagi hanya bisa mendengus.
"FEI! LUHAN!"
Tiba-tiba, Taeyeon—seorang anggota OSIS—memanggil mereka. Luhan dan Fei spontan menoleh. Ada seorang anak lelaki berwajah pucat berjalan di belakang Taeyeon sambil menundukkan kepalanya. "Ada apa?" tanya Fei.
Raut wajah Taeyeon terlihat khawatir. "Dia demam," Taeyeon menunjuk anak lelaki di belakangnya. Fei menghampiri anak itu dan meraba dahinya. "Panas sekali!" serunya. "Hei, apa kau tidak—"
"FEI!"
Fei menoleh ke asal suara. Itu Yongguk yang memanggilnya. "Fei, Guru Im memanggilmu. Sepertinya ada masalah," Yongguk tersengal. Tentu saja karena dia habis berlari. Fei mengacak rambutnya. "Baiklah. Luhan! Kau bawa anak itu ke UKS, oke? " titahnya setelah itu ia pergi bersama Yongguk meemnuhi panggilan.
Luhan mengangguk mantap. "Ayo kita ke UKS," Luhan menarik tangan anak itu. Anak itu tidak berkata apapun selain hanya bisa mengikuti langkah Luhan yang menarik tangannya. Tiba-tiba dia merasakan sesuatu mengalir di hidungnya. Dia menyeka hidungnya dan membulatkan matanya ketika tangannya berlumur darah.
"Sunbae, aku—"
Ucapannya terpotong, dia tiba-tiba pingsan.
Luhan membulatkan matanya. "Astaga!"
Dia membopong anak yang tak sadarkan diri itu. Itu karena Luhan tidak mungkin menggendongnya karena tubuh anak itu pun hampir sebesar Luhan. Sesampainya di UKS, lelaki Cina itu dengan hati-hati menidurkannya di brankar. Ia mengambil tisu lalu membersihkan darah yang mengalir di hidung anak itu. Lalu Luhan tidak tahu harus apalagi makanya dia hanya menatap anak itu dan menggigit jairnya.
"Ah, iya. Kompres," dia menjentikkan jarinya. Luhan mengambil kompres instan di lemari lalu menempelkannya pada dahi anak itu. Ia menghela anfas lega. "Mukanya pucat sekali. Seperti mayat hidup."
Luhan melirik name-tag yang bertengger di seragam anak itu. "Oh... Se...Hyun? Han? Heun? Eh, ini tulisannya apa kok tidak jelas, ya," ia memicingkan matanya.
Penasaran, ia mencoba untuk melepas name-tag-nya. Tapi anak itu membuka matanya dan Luhan salah tingkah karena sudah tertangkap basah. "Apa yang kau lakukan?" tanya anak itu dengan suara parau.
Luhan agak kaget mendengar ucapan—yang menurutnya—kasar dari anak itu. "Kau mau memperkosaku?" anak itu menatap Luhan dengan mata setengah terbuka.
"APA YANG KAU KATA—hei. Aku baru saja menolongmu," Luhan menyilangkan tangannya di depan dada. "Dan tadi aku mau melihat siapa namamu di name-tag tapi tidak terlihat jadi mau kulepas. Enak saja memperkosa," ia memanyunkan bibirnya. Terlihat sangat imut.
Anak itu tertawa pelan. "Kau manis, sunbae."
Luhan menaikkan alisnya. Pastikan jantungnya tidak apa-apa karena sekarang jantungnya mempompa darah lebih cepat. Walaupun begitu namun Luhan, "t-t-terima kasih."
"Sama-sama," anak itu mengulas senyum tipis. "Ngomong-ngomong, namaku Oh Sehun. Kalau kau?"
-flashback end-
.
.
.
Lelaki itu bergeliat dalam selimutnya ketika merasakan ada sesuatu yang bergetar di punggungnya. Tangannya meraba-raba pungggungnya, mencari sesuatu yang bergetar itu. Benda yang bergetar itu adalah ponselnya, alarm. Dengan mata yang setengah terbuka, ia mematikan alarmnya.
Luhan merubah posisinya menjadi duduk. Lalu ia menatap ke seluruh penjuru kamar. Xiumin, masih memejamkan matanya dengan mulut sedikit menganga. Tao juga masih memeluk gulingnya. Seluruh tubuh Lay masih ditutupi selimut.
Lelaki manis itu menoleh ke samping kanannya, melihat Baekhyun yang—entah bagaimana bisa—selimutnya sudah jatuh ke bawah dan air liurnya mengalir karena mulutnya mangap. Kyungsoo yang semalam mengamuk, juga masih dalam posisi bobo cantik.
"Wow, aku yang pertama bangun," gumamnya entah pada siapa. Setelah itu dia benar-benar beranjak dari kasurnya dan melangkah keluar kamar.
Keadaan dorm benar-benar sepi. Tentu saja karena ini masih jam lima pagi, suara jangkrik di luar pun masih terdengar. Biasanya Xiumin, Lay, dan Chen—orang-orang yang selalu bangun pertama—akan bangun jam setengah enam.
Dia berjalan menuju dispenser untuk mengambil minum, tenggorokannya terasa kering. Setelah itu dia menuju meja makan yang sayangnya kosong melompong, bersih dan tidak terdapat apapun disana. Luhan menghela nafas. "Aku lapar."
Luhan melongok ke luar jendela. Ia mencari kedai yang sudah buka untuk mengisi perutnya yang keroncongan dari semalam. "Ah! Itu paman penjual tteokbokki sudah bersiap membuka kedainya," gumamnya.
Dengan segera, ia meraih kunci yang terletak di dekat televisi dan membuka pintu yang sempat terkunci. Pintu terbuka, angin malam menjelang pagi (?) pun menerpa wajahnya. Dia bergidik, kedinginan.
Kaget bukan kepalang ketika Luhan tiba-tiba melihat sosok seseorang yang familiar di matanya berdiri membelakanginya. Pikiran negatif mulai bermunculan di kepalanya. Jantungnya bertalu-talu. Namun saat orang itu membalikkan badannya, pikiran negatif Luhan sirna seketika.
"Sehun?" ia menaikkan alisnya. Sehun menatap Luhan dengan lurus seperti biasanya. "Kau—kau mau kemana?" tanya Luhan. Ia memandang Sehun dari atas ke bawah. Seragamnya masih seragam yang harusnya dipakai kemarin. "Oh salah. Harusnya aku bertanya, kau habis darimana?"
Yang ditanya tidak menjawab, Sehun malah melangkahkan dirinya mendekat pada Luhan. Menatapnya intens. Luhan memasang tampang bodoh yang terlihat lucu. Melihat Sehun yang tidak bergeming, Luhan melambaikan tangannya di depan wajah Sehun. "Halooo~? Earth to Sehun~ earth to Sehun~"
Tiba-tiba Sehun meraih tangan Luhan yang melambai-lambai di depan wajahnya. "Hyung," Sehun bersahut pelan. Luhan mendengus. "Wah, wah. Ada apa ini? 'Hyung'? Tumben sekali..."
Memang selama ini Sehun tidak pernah memanggil Luhan dengan sebutan 'hyung'. Sehun selalu memanggil langsung namanya atau 'hei' atau juga 'kau'. Hal yang tidak biasa bagi Luhan, bukan?
Sehun tidak mengatakan apapun. Dia masih saja mentap mata Luhan dengan intens. Luhan mengernyit. Heran kenapa Sehun menatapnya seperti ini. "Ya. Ya. Ada apa? Ada apa?" Luhan menunjuk wajah Sehun.
"Hyung."
"Apa?"
"Aku..."
Laki-laki berkulit pucat itu meraih kedua pergelangan tangan Luhan, menggenggamnya. Luhan menelan ludahnya kasar, dia ingin menarik tangannya tapi ia pikir itu mustahil karena Sehun memegang pergelangan tangannya cukup erat. Wajahnya menggambarkan kegugupannya.
"Ya. Ya. Oh Sehun—" Luhan tidak mampu melanjutkan kalimatnya karena sekarang Sehun mendekatkan wajahnya. Luhan hanya bisa memejamkan matanya dengan erat.
Deru nafas Sehun benar-benar menyapu wajahnya dan bibir mereka—
PRAAAANNNG
"AAAAAAAAAAA KECOAAAAAKKKK!"
Spontan Luhan mendorong Sehun ketika mendengar suara gaduh dari dalam. Ia berani bertaruh kalau itu adalah suara Tao. Dan benar saja, ketika Luhan mengeceknya, Tao sedang berdiri di sofa memegang sapu.
"GEGE! ITU ADA KECOAK!" histeris Tao ketika ia melihat Luhan. Ia menunjuk ke arah dapur.
Luhan berdecak. "Mana, sih? Enggak ada—WAH, KECOAKNYA TERBANG! TIDAAAAAAAAAAAAAK!"
Ketika Luhan melongok ke dapur, ternyata kecoaknya terbang. Tiba-tiba terdengar pintu dibuka dengan kasar dan terlihatlah Kai bersama wajah bangun tidurnya.
"APA SIH KALIAN BERISIK SEKALI"
"ITU, ADA KECOAK TERBANG!"
"EEEWWWWW"
"Apa sih, cuma kecoak terbang—AAAAA DIA TERBANG DI ATAS KEPALAKU!"
CUUUUUUSHHHH
"UHUK! APA INI! BWEH!"
Secara tiba-tiba seseorang menyemprotkan pembunuh serangga ke kepala Kai. Tentu saja Kai batuk-batuk dan protes. Itu Sehun yang menyemprot. Setelah itu dia melempar obat semprot pembunuh serangga itu asal—tapi entah Luhan bisa menangkapnya.
Tao dan Kai menganga. "Dia darimana?" tanya mereka secara bersamaan sambil menatap punggung Sehun yang berjalan menuju kamar nomor satu. Luhan, yang merasa pertanyaan itu ditujukan untuknya, menggeleng."Aku tidak tahu..."
.
.
.
"AH! YAAAAH TUMPAAAH!"
"GRRR KAU ITU BEGINI SAJA TUMPAH SIH?"
"MANA KUTAHU KALAU INI AKAN TUMPAH?!"
"MAKANYA HATI-HATI!"
Pukul 06.45.
Para penghuni dorm XOXO duduk di meja makan, mereka terlihat jengah dan bosan. Mereka sedang menunggu Tao yang—katanya—bisa membuat pancake. Luhan, Sehun, dan Chanyeol melamun—entah melamunkan apa. Suho mengerjakan pekerjaan rumahnya. Sementara Lay yang di sebelahnya menggerutu tidak jelas karena Suho merebut pekerjaan rumahnya untuk dicontek.
Baekhyun berkaca di sendok sambil membenarkan rambutnya. Lalu Kai, dia menundukan kepalanya, tidur. Chen sibuk dengan ponselnya sementara Xiumin memainkan alat makan yang ada di meja. Dan Kris sendiri berada di dapur bersama Tao membantu Tao membuat pancake mudah-tapi-memakan-waktu-selamanya.
Lalu, Kyungsoo?
Dia pergi saat mereka semua mengeluh lapar. Entah kemana, mungkin langsung ke sekolah.
Tadi semuanya sempat menyuruh Kai untuk meminta maaf tapi sayang seribu sayang. Kai gengsinya selangit. Kai bersikeras tidak mau meminta maaf kepada lelaki bermata bulat itu. Mereka berhenti memaksa Kai saat Tao bilang bisa membuat pancake.
Eh, jadinya begini.
Padahal yang dibuat adalah pancake instan yang tinggal diberi air dan masak di teflon. Tapi sepertinya Tao membuatnya rumit. Entah airnya terlalu banyak, terlalu sedikit, adonannya tumpah tersenggol, gosong, dan lain-lain.
"KAU ITU GINI DOANG GAK BISA?!"
"KAU SENDIRI DARITADI HANYA MENGOMELIKU TERUS, HA?!"
"BAGAIMANA AKU TIDAK MENGOMEL KALAU KAU MEMBUATKU EMOSI."
"YANG MAU MEMBUAT EMOSI SIAPA, SIH?!"
"ARGGGGGGG HUANG ZITAOOOOO—" Kris frustasi.
"TUHKAN GOSONG LAGI!"
Segera saja Tao mengangkat pancake gosong itu. Memindahkannya ke sebuah piring. Lupa dibalik, jadinya gosong. Sayang sekali itu adonan pancake yang terakhir. Tao menatap tajam Kris. Tamatlah riwayatmu, Kris.
Ada pesan terakhir?
"GARA-GARA KAU MENGAJAK NGOBROL JADI GOSONG, KAN?!"
"SIAPA YANG MENGAJAKMU MENGOBROL?!"
"KAU TADI!"
"TIDAK!"
"TADI AKU LAGI TENANG MALAH KAU OMELI DAN AJAK NGOBROL!"
Para penghuni dorm XOXO hanya bisa menghela nafas. Apalagi bagi bukan yang berkebangsaan Cina. Wajah mereka sekarang seperti 'dafuq, dude?' , tidak mengerti karena Kris dan Tao adu mulut menggunakan bahasa mandarin.
Elus dada aja, ya.
.
.
.
Kini Lay dan Xiumin sedang berada di kantin. Mereka membawa nampan di tangan mereka. Xiumin menjijitkan kakinya, mencari tempat yang kosong. Sementara Lay hanya berdiri dengan muka orang ngantuknya. Eh, mukanya memang begitu, ya.
Biasanya kantin memang penuh tapi tidak sepenuh hari ini. Mereka berpikir apakah orang-orang ini bernasib sama—tidak ada yang memasak di dorm dan belum makan. Itu memiliki kemungkinan yang besar mengingat semuanya adalah laki-laki. Jarang kan, laki-laki memasak?
Tiba-tiba Lay menunjuk sesuatu. Xiumin melihat kemana laki-laki Changsa itu menunjuk. Ternyata ke salah satu meja yang orang-orangnya sudah pergi. Mereka pun sepakat duduk di meja itu, walaupun masih ada bekas makannya.
Mereka memakan makanan mereka dengan khidmat(?). Sampai Lay tersedak. "Uhuk—akhhh, aku lupa beli minum!" ia menepuk-nepuk dadanya. Xiumin berdiri, menepuk-nepuk punggung Lay. "Wajahmu memerah! Ayo beli minum!"
Tanpa babibu, Xiumin langsung menarik tangan Lay untuk membeli minum.
Dan meninggalkan meja mereka.
.
.
.
"Woah, kantin begitu penuh," Chen mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Para siswa sekolah elit ini berlalu lalang membawa nampan makanan. Suho yang berdiri di sebelahnya mengamini. "Kudengar ada menu baru," ujarnya.
Yang lebih muda menaikkan alisnya. "Benarkah? Apa itu?"
"Sepertinya dalgona."
Sekarang yang lebih muda mengernyit. "Dalgona? Tidak salah? Bukannya itu makanan kalangan bawah? Kenapa bisa dimasukkan ke menu kantin?" tanya Chen bertubi-tubi. Dan Suho hanya menjawabnya dengan menggedikan bahunya. "Entahlah. Tapi aku tertarik mencobanya, aku mulai bosan makan makanan mewah setiap hari. Sekali-kali mencoba makanan kalangan bawah, tak masalah~"
Tahan dulu, guys. Suho emang gitu orangnya. Jangan lemparin heels, oke?
Chen mengangguk setuju. "Aku juga," katanya. "Hyung, kau cari tempat duduk. Biar aku yang beli," Chen menepuk bahu Suho setelah itu dia berlalu.
Suho pun mengedarkan pandangannya dan ia langsung melihat sebuah meja kosong. Walaupun di atasnya terdapat banyak bekas makanan. Ia melangkah menuju meja itu dan duduk disitu sambil mengetuk-ngetuk meja. Alisnya mengernyit ketika melihat makanan yang masih utuh di atas meja yang sekarang ia duduki.
Dia celingukan. "Punya siapa ini? Sayang sekali..." katanya pada diri sendiri. Siapa tahu ada orang yang menghampirinya dan mengambil makanan utuhnya ini. Namun tak ada. Suho mengendus makanan itu. Masih baru.
"Hmmm... wangi supnya masih teras—"
"YA! YA! KIM JUNMYEON!"
CEPROT
Secara tiba-tiba, seseorang memanggil namanya dengan tidak santai. Mengakibatkan kaget hingga akhirnya mukanya masuk ke dalam mangkuk sup. Ia langsung mengangkat mukanya lagi. Mukanya terasa begitu panas.
Ternyata yang memanggilnya tadi adalah Lay dengan muka garangnya dan Xiumin di belakang—memasang wajah ngeri, ngeri mereka bertengkar.
"Kau sedang apa disini mengendus makananku, hah?" tanya Lay, ia terlihat seperti preman. Atau mungkin yang lebih tepat adalah anak baik menjadi preman. Suho menganga, wajahnya basah kena kuah sup. "Aku sedang duduk."
Lay bergidik, entah jijik atau apa. Tapi dia mengambil tisu lalu menempelkannya ke wajah Suho. "Bersihkan wajahmu. Itu menjijikkan, kau tahu," kata Lay. Suho berdecak kemudian mengelap wajahnya dengan tisu.
Setelah wajah Suho bersih dari sayuran dan kuah sup, Lay memberi gestur 'pergi dari sini' (?). "Ini tempatku, aku mau duduk," Lay membuat mukanya garang. Tapi menurut Suho malah terlihat seperti lagi high(?).
"Sejak kapan ini tempat dudukmu?"
"Lima belas menit yang lalu."
"Tapi aku tidak melihatmu bahkan lima menit yang lalu."
"Itu karena aku sedang membeli minum," Lay menatap Suho tajam. "Ya kan, Xiu?" ia menoleh ke Xiumin di belakangnya. Yang hanya bisa Xiumin lakukan hanya mengangguk, membela Lay.
"Meh. Angkat pantat hilang tempat."
(diatas itu adalah kalimat yang paling saya benci)
Suho menopang dagunya. "Lagipula, kenapa kau tidak membeli minum sendiri dan meminta Xiumin tunggu disini?"
"Xiumin itu teman yang baik, jadi dia menemaniku membeli minum. Memangnya kau?" Lay berkacak pinggang. Ia jadi persis ibu-ibu yang sedang memarahi anaknya. "Huh, untung aku datang ke sini bersama Xiumin. Kalau aku bersama kau, aku sudah mati tersedak."
"Huh, coba aku datang bersamamu, pasti aku bisa melihatmu mati tersedak."
Kalimat sarkastik Suho berhasil membuat emosi Lay naik ke ubun-ubun sampai rasanya mau meledak dari pucuk kepalanya. Seperti gunung berapi yang siap untuk meledak. Dada Lay naik turun, matanya menatap Suho sengit seakan ia bisa membunuh Suho dengan tatapannya. Oke, dia harap begitu.
"Pergi kau! Jangan duduk disini!"
Suho menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku bilang, pergi."
Suho tetap menggelengkan kepalanya dan tetap duduk.
"Get out of my seat, Mr. Kim."
Suho meniru gaya bicara Lay dengan wajah dibuat sejelek mungkin, mengejeknya.
Oh, Junmyeon. Bersiaplah untuk—
BYURRRR
—siraman dari Zhang Yixing.
Tepat saat Lay menyiram Suho dengan minuman itu, Chen datang sambil membawa dalgona. Lelaki dengan rahang tegas itu memasang tampang bingung. Ia menatap Lay dan Suho bergantian. Melihat ada Xiumin di belakang Lay, Chen memandang lelaki berpipi tembam itu seperti ada-apa-ini.
Dengan gerak bibir, Xiumin mengatakan bahwa mereka berebut kursi. Chen membentuk 'o' dengan bibirnya sambil mengangguk-angguk. Ia sweatdrop ketika melihat ada empat bangku disini. Kenapa mereka harus rebutan kursi?
"U-uhm, guys," Chen mencoba memecah atmosfir menakutkan yang menguar di antara Suho dan Lay. Mereka saling menatap tajam. Suho terlihat lucu dengan wajah basahnya—lagi. "Kursi ini ada empat, jadi Suho hyung bisa pindah dan Lay hyung bisa duduk disitu. Kita duduk bersama, oke?"
Tanpa melepaskan tatapan mereka, Suho pindah ke tempat duduk yang lainnya, sedangkan Lay duduk di kursi yang Suho duduki tadi. Kemudian Xiumin dan Chen menempati kursi yang tersisa.
"Selamat makan," ucap Lay datar. Ia mulai menyeruput supnya, tapi ia teringat sesuatu. Kemudian—
BRUUUUSSSHHHHH
Lay menyembur kuah supnya ketika ingat supnya itu sudah terkontaminasi dengan kuman-kuman yang ada di wajah Suho(?).
Dan kali ini Suho lagi yang menjadi korban Lay.
Suho yang hendak memasukkan dalgona ke mulutnya, mematung ketika Lay menyemburnya. Chen dan Xiumin meringis. Chen menyodorkan tisu kepada Suho."H-h-hyung, ini tisu—"
"YA! JANG ISHING!"
Suho berdiri, menggebrak meja.
"NAMAKU ZZHHH—AAAAANNGG YIIIIIIXIIIINGGG! BUKAN JANG ISHING!"
"BODO AMAT! SEKARANG TANGGUNG JAWAB KAU SUDAH MENGOTORI MUKAKU TIGA KALI!"
"TIGA KALI? YA! KAU JUGA MEMBUAT SUPKU TERKONTAMINASI KUMAN DI WAJAHMU, TAHU?!"
"KAU MEMBUAT WAJAHKU MELEPUH!"
"KAU MEMBUAT SUPKU KOTOR, DASAR KUMAN!"
"KAU MEMBUAT WAJAHKU KOTOR, DASAR PENGOTOR!"(?)
"KAU MEREBUT KURSIKU! DASAR PEREBUT!"
"SAUS TARTAR!"
"PENGGILA UANG!"
"TANTE GIRANG!"
Mereka adu mulut sampai tidak sadar orang-orang di kantin menontoni mereka. Sementara Xiumin dan Chen hanya bisa mengelus dada karena air liur Suho dan Lay muncrat-muncrat ke wajah mereka. Ew.
.
.
.
Lelaki berkulit tan itu sibuk berkutat dengan laptopnya, bermain game. Seperti biasa yang ia lakukan ketika tidak ada guru masuk. Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya, itu Kim Namjoon. "Yo, Kai! Kau sedang main apa?" tanyanya sambil duduk di sebelah Kai.
"Oh, ini. Five Nights at Freddy's, kau tahu ini, kan?" jawab Kai tanpa mengalihkan pandangannya dari monitor. Namjoon mengangguk. "Aku tahu. Itu game indie-horror gitu, kan? Aku masih saja stuck di night kedua."
Kai terkekeh. "Waktu awal main aku juga begitu. Coba saja terus," ujarnya. "Omong-omong, FNAF yang keberapa yang kau mainkan?"
"Ketiga."
"Apa?"
Namjoon mengangguk. "Yup."
Kai menghela nafasnya dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kau ini. Main yang pertama dulu. Lalu kedua, baru ketiga! Aku belum pernah main yang ketiga, sih. Tapi kudengar itu complicated banget. Ada animatronic baru, kan? Namanya itu—"
"KIM JONGIIIINNN!"
Teriakan seseorang yang memanggil namanya menghentikan ocehannya. Kai menoleh ke asal suara. Ternyata itu Kris, dia berdiri di ambang pintu kelasnya dengan muka garangnya. Kai berdecak. "Sebentar, kau mainkan saja dulu," ujar Kai sambil beranjak. Namjoon pun dengan sukacita menggantikan posisi Kai.
"Apa?" ketus lelaki tan itu. Kris memutar bola matanya jengah ketika melihat respon Kai yang ketus itu. Dia paling sebal kalau dijudesin gitu, kalian tahu. Kris tuh gak bisa diginiin :(
"Kau harus bertanggung jawab."
Kai melongo. "Memangnya siapa yang kuhamili?"
Lelaki keturunan Kanada itu berdecak. "Maksudku, kau harus minta maaf pada Kyungsoo," katanya seperti seorang ayah yang menasihati anaknya. Kai mengernyit, memperlihatkan ekspresi tidak sukanya. "Kenapa aku harus minta maaf padanya? Apa salahku?"
"Kau sudah membuatnya mengamuk," Kris berkacak pinggang, mulai jengah dengan pemuda tan di depannya ini. Kai berdecih. "Siapa yang ingin membuatnya mengamuk? Itu sih dia saja yang sensitif!"
Lelaki tinggi itu memijat pelipisnya. Tao dan Kai sama saja ternyata, sama-sama tidak mau disalahkan. "Ini demi kelangsungan hidup kita, Jongin," wajah Kris dibuat-buat serius. "Kau harus minta maaf pada si setan itu—maksudku, Kyungsoo."
Kai menahan tawanya ketika Kris mengatai Kyungsoo 'setan'. "Gengsi ah," katanya acuh. "Hei, hyung. Kenapa kita tidak beli saja, sih? Atau beli makanan instan? Kita punya banyak uang, kan."
"Bukan itu masalahnya, hanya saja—"
"Masakan Kyungsoo lebih enak, gitu?"
Kris yang membuka mulutnya, hendak melayangkan protes, mengatupkan bibirnya kembali. Dia menghela nafasnya. "Oke, aku akui itu," dia berdecak. "Selain itu, aku tidak mau kejadian seperti tadi pagi terulang. Aku bisa beruban di usia muda, Jongin," Kris menyilangkan tangannya di dada. "Ayolah, jika kau berhasil mendapatkan maaf dari iblis bermata bulat itu, aku akan membelikanmu console game yang kau mau itu."
"Sungguh?!"
Lelaki tinggi itu mengangguk mantap. "Setuju!" Kai mengepalkan tangannya, mengajak Kris untuk melakukan fistbump. Mereka pun fistbump. "Aku akan pergi. Masuk sana," ia mendorong Kai agar kembali masuk ke kelasnya. Kai protes, tapi ia tidak menghiraukannya dan berjalan meninggalkan kelas Kai.
.
.
.
GEURIWOHAEYO GEURIWOHAEYO GEURIWOHAEYOOOOOO HO HO HOOO~
"Ukh..."
Baekhyun mengerang dalam tidurnya ketika mendengar suara berisik, entah darimana. Dengan kesal, ia beranjak dari kasurnya. Melangkah keluar kamarnya dan menemukan Chanyeol sedang karaoke di ruang tengah. Lelaki mungil itu menghampiri Chanyeol, menatapnya tajam.
Sadar akan tatapan tajam dari Baekhyun, Chanyeol mematikan lagunya. "Hai, kau sudah bangun?" ia melemparkan senyum canggung. Baekhyun berkacak pinggang dan mengikuti ucapan Chanyeol dengan wajah dibuat jelek. "Apa itu yang orang-orang katakan ketika mereka menganggu tidur seseorang? Hah?"
Chanyeol mengernyit, tidak mengerti apa yang Baekhyun bicarakan. "Apa, sih? Kau ngomong apa?" Chanyeol menggaruk kepalanya. Baekhyun memutar bola matanya jengah. "Kau menganggu tidurku dan bukannya meminta maaf karena sudah menganggu tidur seseorang, kau malah mengatakan 'hai, kau sudah bangun' kau tahu itu adalah hal yang salah!"
Yang hanya bisa Chanyeol lakukan hanyalah mengernyit, menatap Baekhyun seperti 'what-the-heck-is-wrong-with-you-dude'. "Jadi..." Chanyeol menggantung ucapannya. "Aku mengganggu tidurmu, begitu?"
"TENTU SAJA! Oh, apa kau pikir bernyanyi dan berteriak-teriak tidak jelas disini tidak akan menganggu tidur seseorang? Mungkin tidak jika orang itu tuli atau sudah mati!"
"Baiklah... maaf?"
Baekhyun memutar bolamatanya jengah, lagi. "Ukh, terserah saja!" serunya seraya kembali ke kamarnya. Chanyeol berjengit kaget ketika mendegar suara pintu dibanting.
"Apa sih masalah si kerdil itu?"
.
.
.
Luhan menopang dagunya, mata rusanya menatap lurus ke depan. Angin musim semi menerpa rambut pirangnya. Sekarang ini ia sedang berada di atap gedung sekolah bagian barat karena jarang sekali siswa yang datang ke sini. Alasan mereka adalah karena pemandangan kota Seoul disini tak begitu bagus.
Tapi mungkin Luhan berbeda dengan mereka, justru menurutnya pemandangan disini bagus. Ia bisa melihat bagian kota Seoul yang masih terlihat tradisional, yang penduduknya tidak terlalu padat serta tidak ada bangunan pencakar langit layaknya di tengah-tengah kota. Luhan menghela nafas panjang.
Perasaan rindu pada kampung halamannya menghinggapi dirinya begitu saja, secara tiba-tiba. Luhan tinggal di Cina memang hanya sampai umur delapan tahun tapi selama delapan tahun itu ia hidup dengan bahagia. Tanpa beban. Tanpa mengetahui bahwa dia adalah anak yang dibuang oleh ibunya. Dia tidak tahu karena selama Luhan tinggal bersama pamannya, dia memanggil ayah dan bibinya dengan sebutan ibu dan ayah. Paman dan bibinya pun tidak keberatan. Sampai tiba waktunya mereka pindah ke Korea Selatan karena pamannya di mutasi kesana.
Sehari sebelum mereka berangkat ke Korea, pamannya memberikannya secarik kertas berupa surat yang ditulis ibunya ketika meninggalkan Luhan di depan rumah mereka. Dan paman dan bibinya mengaku bahwa mereka bukan orang tua kandungnya. Karena waktu itu Luhan masih kecil, dia tidak terlalu mengerti. Dia hanya menanyakan dimana ibunya yang sebenarnya. Entah bagaimana walaupun Luhan tidak tahu dengan jelas dan tidak pernah bertemu ibunya, ia menangis saat pamannya memberitahu bahwa ibunya telah tiada.
Luhan pun tumbuh menjadi anak laki-laki bersifat dingin. Selama di sekolah dasar, dia selalu dingin kepada orang-orang sehingga tidak ada yang menemaninya. Menjelang SMP, Luhan kembali menanyakan dimana ibunya. Ia jadi tahu bahwa ibunya belum meninggal, melainkan menikah dengan seorang saudagar kaya. Yang dia rasakan saat itu adalah sedih, marah, kecewa, dan benci. Dan Luhan hanya bisa menangis dan berteriak bahwa dia membenci ibunya.
Namun dengan lembut, bibinya menenangkannya dan menceritakan bagaimana ibunya berjuang merawatnya ketika dirinya masih bayi. Bibinya terus menenangkannya, mengatakan bahwa sebenarnya ibunya menyayanginya. Waktu itu beliau bilang begini kepada Luhan; "ibumu saja sangat menyayangimu, Lu. Bagaimana kau bisa membencinya? Jika dia tidak menyayangimu, mungkin kau sudah dibunuhnya ketika lahir."
Dengan begitu, Luhan berusaha untuk tidak membencinya dan mulai menyayangi ibunya. Bagaimanapun juga itu adalah ibunya yang melahirkannya walaupun dia sudah tidak merawat Luhan lagi. Luhan pun kembali menjadi sosok yang ceria.
"Ibu, apa kabar?" bisiknya, entah pada siapa.
Luhan teringat dua tahun lalu, pertemuan pertama dengan ibunya. Saat itu suasana canggung. Mereka seperti orang asing yang tidak saling mengenal. Lelaki penggemar sepak bola itu menghela nafasnya lagi. "Aku merindukanmu."
Oh ya, dia tidak tahu bahwa sedari tadi Oh Sehun menatapnya sendu di ambang pintu.
.
.
.
-TBC-
a/n: haiiiiiii INI CHAP 6! aduh gils ini ff udah setahun masih aja chapter enem. Salahin aja yang bikin gak disiplin. Heheheheheh. Gimana? chap ini gaje kan? muehehehehehe. Aku sebenernya pusing dan bingung sama jalan cerita yang aku bikin sendiri nih otoke dong :( hik. emang gaya banget gabisa bikin ff aja sok sok bikin ff huhuhu. Tapi namanya juga belajar gapapa kan heheheheehe. Chap depan... ada chenmin~ ekhem, kalo ditanya disini main pairnya siapa... hunhan deh kayanya ya._. padahal aku awalnya mau bikin ini lebih ke chanbaek (secara hardcore ship getOh). eh jatohnya ke hunhan ;;; yaudah gapapa itung2 membayar rasa kangen ke couple itu;;; oh ya, jangan lupa review setelah baca! Kritik dan saran diterima, reader-deul~ ^^
p.s: aku gatau dalgona itu makanan kalangan bawah apa bukan di Korea. Anggap aja iya, ya~ kekekeekekek.