A/N :
Big thanks for your reviews, favs and folls at the previous chapter, I really appreciate it! :* *kiss*
Can't mention one by one, 'cuz it's too many, so sorry! :)
..~" Happy Reading "~..
"Oh, begitu?" ucap Sasuke sambil terus memoles kuas bertinta di atas kertasnya—ia tengah berada di ruang duduk. Hanya ada Sasuke dan ninja berpakaian serba hitam di ruangannya.
"Benar, mereka sudah mulai bergerak tepat seperti yang anda—"
"Yang Mulia Permaisuri tiba!" seru seorang kasim dari luar kamarnya.
Tanpa diperintah, ninja berpakaian hitam di hadapan Sasuke menghilang begitu saja. Sasuke memandangi pintu masuk kamar dari ekor matanya. Pintu kamarnya terbuka dan masuklah Naruto. Kasim penjaga pintu segera menutup pintunya kembali.
"Istrimu menghormat kepada Kaisar." Naruto membungkukan badannya.
"Apa yang kau lakukan di malam yang selarut ini, Naruto?" tanyanya datar tanpa menoleh pada Naruto. Ia terus melanjutkan acara menulisnya.
"Aku hanya ingin meminta izin untuk meninggalkan istana Yuan Ming Yuan esok pagi."
Sasuke membeku. Ia tidak melanjutkan acara menulisnya dan menyimpan kuas tersebut ke tempatnya. Kepalanya terangkat untuk menatap Naruto, "Terserah padamu." Ucap Sasuke acuh tak acuh.
Naruto menghela nafas, "Kuanggap itu sebagai, 'ya'." Baru saja Naruto akan pergi, namun ia terpaksa kembali menoleh pada Sasuke yang ternyata masih memandanginya, "Aku punya permintaan."
"Katakan."
"Jika seandainya aku tidak kembali, ku mohon, jaga Menma untukku." Naruto berkata dengan suara yang sedikit bergetar.
Sasuke terdiam sejenak sebelum menjawab, "...kenapa kau berkata seolah kau akan mati besok?" cibirnya.
Naruto membalikkan badannya memunggungi Sang Kaisar. Ia memejamkan matanya erat, berusaha mencegah air matanya turun. Naruto menggigit bibir bawahnya, 'Bukankah sudah jelas. Bahwa aku... akan mati di tanganmu, Sasuke?'
Disclaimer :
Masashi Kishimoto
Story By.
Quiiny Riezhuka Sylvester
Pairing :
SasuFemNaru
Rate :
Mature
Genre :
Tragedy, Hurt/Comfort, Romance and Drama
Warn :
Gender Bender, Out of Character, Alternative Univers, Death Characters, Strong Language, Include History, Original Characters
Don't like? Then, don't read!
..~" Happy Reading "~..
Kapas-kapas putih berarakan mengarungi birunya langit. Mentari yang cerah mulai merangkak ke udara. Burung-burung bernyayi di dahan pohon.
Merupakan hari yang cerah untuk pagi ini. Rambut emas Naruto sedikit terbang tersapu angin. Manik birunya menatap kosong sekitar, dia tidak tahu, apakah dia ini salah jalan atau tidak. Ia mulai meragukan dirinya sendiri. Apapun itu, Naruto harap jalan yang ia ambil adalah jalan yang terbaik... untuknya...
"Kau yakin akan pergi?" Tanya Ten Ten. Ia berdiri tepat di belakang Sang Permaisuri yang tengah memandang langit nun jauh di sana.
"Ya," Jawab Naruto singkat dengan suaranya yang sedikit serak. Entah apa yang dipandangnya.
Ten Ten hanya mampu menghela nafas. Bohong jika dia tidak tahu apa yang tengah Naruto hadapi. Sejujurnya, Ten Ten bukan hanya seorang dayang namun— Ten Ten segera menggelengkan kepalanya keras. Ini bukan saatnya untuk memberitahu Permaisuri, bukan saatnya... bukan sekarang...
Manik coklatnya menatap Sang Permaisuri lurus. Naruto menggerakkan kepalanya saat tangan karamelnya digenggam erat oleh Ten Ten, "Kuharap kau selamat sampai tujuan." Ujarnya sambil tersenyum lembut.
Naruto membalas dengan senyum hambar, "Terima kasih." Ia melepaskan genggaman Ten Ten dan menaiki kuda putihnya, "Ten Ten..."
"Hm?" Jawab yang dipanggil seadanya. Senyum di bibirnya belum hilang.
"Tolong jaga Menma untukku." Pinta Naruto.
Alis Ten Ten mengerut melihat mata biru Sang Permaisuri yang nampak terluka dan sedih, "...pasti." wanita berambut coklat itu mengangguk mantap.
Bibir Naruto kini mengukir sebuah senyum manis, "Terima kasih banyak Ten Ten." Bersama dengan itu, Naruto pergi dengan mengendarai kuda putihnya.
Ten Ten terus memandangi kepergian Naruto hingga kedua matanya tak mampu lagi menangkap bayangan punggung Sang Permaisuri. Ia menghela nafas berat. Jika saja Naruto melupakan dendamnya, mungkin saja ia tidak akan terjebak dalam—Ten Ten kembali menggelengkan kepalanya keras, bagaimana ia berfikir jika Naruto akan mati?
Astaga. Ten Ten memegangi kepalanya yang terasa akan meledak. Naruto wanita yang kuat. Ia tahu itu, dia tidak akan mati. Ten Ten membalikkan badannya dan menemukan Sang Kaisar Uchiha tengah berdiri sekitar tiga meter dari hadapannya. Ia segera membungkukan kepalanya.
"Dia sudah pergi?" Tanyanya datar.
"Ya, Yang Mulia."
"Kumpulkan seluruh panglima batalion perangku." Ucapnya sambil berbalik dan melenggang pergi.
Ten Ten menegakkan kembali tubuhnya dan menatap sendu Sang Kaisar. Sekarang ia tengah dilanda kegalauan. Sasuke akan segera mengambil langkah serius dan Naruto pun juga. Bukan tidak mungkin, jika Sasuke akan... membunuh... Naruto...
ooOOoo
Rapat besar kini telah berlangsung di balairung utama istana Yuan Ming Yuan. Para panglima dari seluruh batalion pasukan perang Uchiha telah duduk sesuai dengan kedudukannya masing-masing. Mereka menempelkan dahinya pada lantai dengan ringan seraya berseru, "Kami mendo'akan sepuluh ribu tahun kehidupan Yang Mulia, semoga keberuntungan Anda sebanyak butiran air di Laut Cina Timur dan kesehatan Anda sesubur Pegunungan Selatan!"
Pelapor pertama segera naik ke tangga sebelah timur dan mempersembahkan sebuah buku yang berisi catatan. Pelapor kembali duduk pada tikar miliknya dan membenturkan keningnya halus ke lantai kayu, "Sang Tikus telah masuk ke dalam perangkapnya, Yang Mulia."
Sasuke memandang sang pelapor dengan wajah tanpa ekspresi, "Kapan Sang ular akan memangsa si Tikus?"
"Besok, Sang Ular akan memasuki perangkap tikus yang telah kita buat. Lalu pada hari kedua sang ular baru akan dapat menelan si tikus bulat-bulat walau pun sang ular sendiri sekarat."
Manik hitam Sasuke mencermati setiap huruf yang tertulis pada buku laporan yang kini telah berada ditangannya, "Elang?"
Pelapor itu masih belum mengangkat kepalanya barang semili, "Akan sampai pada hari kedua."
"Hn," Sasuke memberikan buku yang ada di tangannya kepada Sekertaris yang berdiri di sebelah kirinya. Pelapor selanjutnya segera menaiki tangga sebelah timur. Ia menyimpan buku laporannya di meja dan kembali ke tikarnya melewati tangga sebelah Barat. Pelapor itu segera membenturkan kepalanya ringan, "Persiapan untuk perang telah saya laksanakan Yang Mulia,"
Sekertaris yang ada di sebelah kiri Sasuke segera mengambil dan memberikan buku catatan yang disimpan si Pelapor kepada Sasuke yang langsung diterima olehnya. Sasuke membuka buku tersebut, "Seratus ribu panah beserta crossbow, seratus lima puluh ribu tombak, dua ratus ribu pedang, enam puluh ribu Catapult, lima ribu Ballista, empat ribu Battering Ram, dan enam ribu Helepolis Tower." Manik Kaisar Uchiha itu menatap datar si pelapor. "Kau yakin sudah semua?" tanyanya.
"Sudah semua, Yang Mulia."
"Kapan para pasukan akan berangkat?" Sasuke memberikan buku catatan tersebut ke sekertarisnya.
"Malam ini, Yang Mulia."
ooOOoo
Suara derap sepatu kuda mengiringi kepergian Naruto. Rambut emasnya menari di udara. Ia kini berkuda ditengah hutan. Sinar matahari mencoba masuk dari sela-sela dedaunan. Manik sebiru lautannya bergerak dengan was-was, takut ada salah satu mata-mata dari musuh yang mengikutinya.
Kuda yang ditunggangi Naruto mengikik saat ia menarik talinya, "Siapa di sana!?" teriak Naruto sambil mencoba mengendalikan sang kuda agar diam di tempatnya. Naruto menarik salah satu pedang yang ada dipunggungnya dan memasang pose bertahan—bersiaga. Suara sepatu kuda yang terdengar dari arah utara membuat Naruto mengeratkan cengkraman pada pedang yang ada ditangannya. Jantungnya bergedup dengan kencang seiring dengan derap kuda yang semakin mendekat ke arahnya. Siapa?
"Naruto!"
Naruto terperangah saat mengetahui siapa yang tengah berkuda tidak jauh dari hadapannya, "Shika!" Naruto segera turun dari kudanya dan berhambur ke arah Shikamaru. Shika turun dari kudanya dan membalas pelukan Naruto dengan erat, mencoba melepas rindu setelah lama tidak berjumpa dengan wanita yang dicintainya itu, "Aku merindukanmu." Bisiknya.
Shika melepaskan pelukan dan menatap Naruto dalam-dalam, "Apa kau baik-baik saja?" Shika mengedarkan pandangan ke tubuh Naruto, ia memutar-mutar tubuh itu berulang kali untuk memastikan bahwa Naruto baik-baik saja.
Naruto melepaskan tangan yang mencengkram bahunya sambil tertawa kecil, "Aku baik-baik saja, tidak usah khawatir seperti itu." Naruto mencoba menenangkan Shika yang menurutnya terkesan berlebihan.
Shikamaru menghela nafas berat, "Bukan itu masalahnya! Hanya saja, kau telah lama berada dalam kawasan musuh, bagaimana mungkin aku tidak khawatir? Bisa saja Iblis itu—"
"Tapi buktinya aku masih hidup Shika! Aku baik-baik saja!" Potong Naruto dengan nada yang sedikit jengkel. Ia membalikan badannya membelakangi Shikamaru. Apa yang sebenarnya dia pikirkan? Apa dia pikir aku seorang gadis kecil yang tidak bisa melakukan apapun?!
"..." Shikamaru bungkam. Ia hanya memadangi punggung Naruto dengan manik sendunya. Tidakkah kau mengerti bahwa aku merindukanmu, Naruto? Apalagi saat aku mengetahui bahwa bajingan itu ada bersama dirimu. Shikamaru mengepalkan tangannya—kesal.
"Bagaimana dengan persiapannya?" Pertanyaan Naruto menyadarkan Shikamaru.
"Persiapannya telah selesai seperti yang kau minta." Naruto membalikkan badan dan tersenyum tipis kepada Shikamaru, "Namun, ada sesuatu yang janggal di kastil Uchiha." Lanjutnya.
Naruto mengerutkan keningnya heran, "'Janggal'? Apa maksudmu?"
"Aku tidak bisa menjelaskannya di sini, lebih baik kita kembali ke kemah terlebih dahulu." Shikamaru menaiki kembali kudanya. Naruto mengangguk dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Shikamaru. Kini mereka berkuda bersama menuju perkemahan pasukan Nara.
Perjalanan menuju kemah pasukan Nara diiringi canda dan tawa. Shikamaru sengaja pergi sendirian untuk menjemput Naruto ke perbatasan saat ia membaca surat yang dikirimkannya bahwa dia akan datang esok dan menjalankan semua rencana yang telah mereka susun.
Kuda Shikamaru berhenti, ia menggenggam erat tali kudanya. Kedua tangannya terkepal dan mulai memutih. Segalanya akan ia lakukan dan berikan apapun untuk wanita berambut pirang itu. Tsk. Tidakkan Naruto mengerti bahwa ia menyukainya? Mendokusei, wanita memang merepotkan.
Kuda yang ditunggangi Naruto berhenti jauh di depan Shikamaru. Naruto memutar badannya untuk melihat ke belakang, rambutnya sedikit terbang tersapu angin "Shika apa yang kau lakukan? Ayo!" teriaknya.
Shikamaru mengangkat wajahnya ke sumber suara. Ia menghela nafas jengkel, "Iya, iya aku datang. Mendokusei, kau merepotkan!" Shikamaru segera menendang perut kuda.
Belum sampai Shikamaru di dekatnya, Naruto segera memacu kudanya kembali dengan cepat—semakin cepat, "Yang sampai duluan ke perkemahan, dialah pemenangnya!" teriak Naruto sambil tertawa renyah. Kudanya meninggalkan Shikamaru semakin jauh.
.
.
.
.
.
"Wuuu~ Hhuu~!" teriak Naruro kegirangan saat ia dapat sampai di perkemahan Nara. Naruto membalikan kudanya ke belakang. Ia tertawa renyah saat Shikamaru baru memasuki area perkemahannya, "Sepertinya kau kurang berlatih Yang Mulia." cibir Naruto sambil tertawa.
"Tsk, mendokusei kau merepotkan, kau menang karena curang," keluh Shikamaru.
"Hmph, alasan!" ejek Naruto sambil menuruni kuda. Kudanya segera diambil alih oleh penjaga kuda.
Shikamaru menuruni kudanya, "Terserah kau saja," ia menguap, "Apa kau lapar?" tanyanya sambil berjalan ke kemah pribadi miliknya.
Naruto menggelengkan kepalanya, "Tidak... Aku hanya ingin membahas apa yang kau maksud dengan 'janggal'," Naruto merunduk saat Shikamaru membukakan tirai tenda dan ia masuk ke dalamnya.
Dasar, keras kepala. Shikamaru mengumpat dalam hati sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tidak bisakah dia dan dirinya bersantai-santai terlebih dahulu atau sekedar membang waktu bersama?
"Jadi, apa yang kau maksud dengan janggal?" Tanya Naruto to the point setelah duduk di kursi yang telah disediakan.
Keadaan seketika menjadi hening dan dingin. Shikamaru menatap Naruto lulus, "Tidak ada prajurit Uchiha di Kediaman Uchiha."
Kening Naruto berkerut, ia menatap tajam Shikamaru, "Apa maksudmu?!" tanyanya dengan nada yang lebih tinggi.
"Tidak ada prajurit Uchiha di sana. Aku tahu betul prajurit Uchiha, mereka menggunakan ikat kepala atau pakaian perang yang terdapat logo kipas api, tapi saat mata-mataku menyusup ke dalam istana Uchiha, tidak ada prajurit yang menggunakan logo kipas api... Tidak ada satupun."
Tubuh Naruto bergetar hebat, matanya terbelalak—syok, "...maksudmu... maksudmu... kerajaan Uchiha telah... jatuh?"
.
.
.
.
.
"Hahahahaaaa!" Tawa seseorang dari ruang singgahsana kerajaan terdengar menggema ke seluruh pelosok kerajaan. Ruangan yang gelap gulita membuat suasana di kerjaan Uchiha semakin mencekam. Pria yang duduk di singgahsana itu berdiri dan berjalan beberapa langkah ke depan, "Setelah bertahun-tahun aku bersembunyi di balik bayangan, aku tidak tahu bahwa ternyata untuk mengambil alih istana kediaman Uchiha akan semudah ini. Cih, aku telah membuang waktuku percuma,"
Pria itu mengangkat tangannya dan mengepalkan tangannya masing-masing di udara, "Tapi itu tidak masalah," ia menghempaskan tangannya ke kedua sisi tubuhnya, "Bukankah begitu—" Ia membalikkan badannya ke sudut ruangan yang diselimuti kegelapan, "—Sai?"
Suara langkah kaki yang mendekati pria tersebut terdengar, kilat yang membelah langit menyinari wajah pucat seorang laki-laki—Sai... Uchiha...
"Ya,"
ooOOoo
Bola mata yang hampir menyamai keindahan batu Sapphire itu terbelalak dan nafasnya memburu. Kilatan petir yang membelah langit seolah menyampar tepat ke dalam relung hatinya, "Bohong..." gunam Naruto lemah dan lirih yang bahkan mungkin hanya mampu didengar olehnya. Shikamaru hanya mengerutkan keningnya, ia tidak mengerti atas reaksi Naruto.
Sasuke!
Naruto segera berdiri dan berlari kencang meninggalkan tenda. Sasuke! Entah kenapa matanya kini terasa begitu panas dan perih. Naruto tidak peduli, ia terus berlari, tidak mengindahkan hujan lebat yang telah membuat dirinya basah kuyup.
Sasuke!
Sasuke!
Tidak peduli akan lumpur-lumpur basah yang telah menempel dan mengotori pakaiannya, itu semua tidak penting dibandingkan dengan Sasuke. Benar, yang ada di pikiran Naruto saat ini hanya ada Sasuke, Sasuke dan Sasuke, bahkan air matanyapun tidak mampu berhenti berlinang, entah kenapa... Ia tidak dapat membendung kesakitan hatinya.
Tidak! Tidak! Sasuke... Bagaimana kau bisa—
"Naruto! Kau mau ke mana?!" teriak Shikamaru sambil terus berlari, berusaha mengejar Naruto yang masih berlari kencang di depannya.
Naruto berhenti seketika. Kepalanya menunduk dalam. Apa yang sebenarnya tengah ia lakukan? Matanya memandang kakinya yang kini penuh lumpur. Sasuke... Air matanya turun menuruni pipinya. Aku bodoh... Naruto mengepalkan tangannya erat hingga tangannya memutih.
Kenapa hatinya begitu terluka mendengar kerajaan Uchiha telah jatuh? Apa yang salah? Bukankah harusnya dia senang? Bukankan itu tujuannya sejak awal? Tapi... kenapa? Kenapa? Kenapa sesakit ini?
Kenapa aku peduli pada Sasuke? Ia menggigit bibir bawahnya. Air matanya masih mengalir bak air sungai yang menuju muara air—tidak ada hentinya.
"Kau tak apa?" tanya Shikamaru memperlambat laju berlarinya dan berjalan mendekati Naruto.
Apa yang aku lakukan? Air matanya kembali menetes tanpa dapat ia bendung, kenapa hatinya terasa begitu sakit seperti ini?
"Shika..." Naruto membalikan badannya yang untung saja air matanya tersembunyikan oleh air hujan.
"Ngh!" Naruto memegangi kepalanya yang tiba-tiba saja terasa sakit. Penglihatannya mulai buram, "Shika!" Naruto menggerak-gerakan tangannya—mencoba mencari pegangan. Ia sudah tidak tahan lagi, kepalanya rasa seperti ditusuk-tusuk oleh jarum—ngilu sekali. Naruto mencengkram kepalanya dengan kuat, berharap dapat mengurangi rasa sakit—namun nampaknya tidak sama sekali.
Penglihatannya semakin buram dan berkunang-kunang begitupun dengan pendengarannya ia tidak dapat mendengar dengan jelas. Namun samar-samar ia mendengar seseorang meneriakan namanya sebelum akhirnya kegelapan menelan Naruto sepenuhnya.
.
.
.
.
.
"Tidak perlu sampai seperti itu..." ucapan seseorang menggema di kepala pemilik surai emas itu. Siapa? Suaranya begitu familiar ditelinganya. Siapa?
Naruto mencoba membuka matanya. Cahaya yang menerpa manik sapphire-nya membuat Naruto mengkerjap-kerjapkan matanya untuk membiaskan cahya yang masuk ke dalam pupil matanya. Pandangannya yang buram menangkap siluet seseorang yang tengah berdiri dihadapannya... seorang wanita...
Naruto mencoba mengkerjapkan matanya kembali dan kedua manik sebiru lautan itu terbelalak. Seolah melihat cermin, Naruto seperti melihat dirinya sendiri dihadapannya... itu bukan dirinya...
"Kakak..." ujar Naruto lirih. Manik sebiru langit musim panas itu kini berkaca-kaca, tidak percaya atas apa yang tengah dilihatnya saat ini.
"Hai!" seru wanita itu dengan ceria, manik cerulean-nya berbinar dan bibirnya tersenyum dengan begitu manisnya.
Naruto segera berhambur memeluk sosok yang sangat ia sayangi... sosok yang begitu ia rindukan... sosok yang sangat ia ingin jumpai, "Kakak!" pekik Naruto, air matanya turun menuruni pipi berwarna karamel itu. Ia semakin mengeratkan pelukannya kepada sang kakak. Akhirnya... bertemu... Setelah sekian lama... Kenapa harus menunggu hampir setahun penuh... bahkan untuk bertemu... Matanya yang terasa terbakar terus mengeluarkan air mata.
Naruko tersenyum kecil. Ia menggerakkan tangannya dan membalas pelukan sang adik. Salah satu tangannya terangkat dan mengusap lembut rambut emas Naruto yang terurai, "Tidak apa, menangislah." bisiknya.
Isakan lolos begitu saja dari bibir ranum Naruto. Akhirnya... setelah sekian lama bepisah... akhirnya... dapat... bertemu... Ia semakin mengeratkan pelukannya. Air matanya tidak dapat berhenti bak sebuah air terjun. Sesegukan mengiringi tangisannya. Hatinya begitu sakit mengetahui bahwa ia tidak dapat menyelamatkan Naruko dari tangan para Uchiha bajingan itu. Naruto mendongak menatap sang kakak dengan matanya sebam dan berair, "Neechan... ma... maafkan aku, jika saja... jika saja aku lebih cepat datang, mungkin—"
"Shhh..." Potong Naruko sambil menangkup kedua pipi adiknya, "Jangan menangis," Ia menghapus air mata yang keluar membasahi pipi Naruto, "Semua sudah terjadi. Tidak apa." Naruko tersenyum manis bak hidup tanpa bebannya.
Bukannya berhenti menangis, air matanya malah kembali mengalir. Rasanya begitu sakit... Naruto malah semakin larut dalam keadaan yang semakin menyadari bahwa dirinya tidak bisa apa-apa. Tidak bisa menyelamatkan Naruko. Tidak ada yang bisa dilakukannya! Dirinya memang tidak berguna sama sekali. Aku memang tidak berguna... Dari dulu hingga sekarang, dirinya hanya mampu menyusahkan serta merepotkan Naruko dan semua berakhir dengan Naruko yang hanya akan tersenyum manis dan berkata, 'Tidak apa.' Begitu tidak bergunanyakah dirinya?
Naruto menggelengkan kepalanya dan memeluk tubuh Naruko. Ia membenamkan kepalanya pada leher kakaknya dan kembali menangis. Air matanya membasahi pundak kakaknya. Tatapan Naruko semakin menyendu setiap kali mendengar isakan keluar dari mulut adiknya itu. Sebuah gambaran akan kesedihan, keputus asaan dan rasa bersalah yang menghantuinya selama ini.
"Menangislah jika itu membuatmu lebih baik." Naruko mengelus rambut Naruto. Tangis Naruto semakin pecah.
Setelah beberapa puluh menit berselang, Naruto mulai menunjukan gejala akan berhenti menangisnya. Naruto menjauhkan badannya dari pundak Naruko. Kedua tangannya secara otomatis menyapu seluruh air mata yang ada di wajahnya. Kini ia sudah merasa baikan. Bebannya sedikit berkurang. Kelopak matanya bengkak dan kedua manik birunya memerah.
"Neechan—"
"Sshhh..." Naruko menggelengkan kepala—memaksa Naruto untuk tidak melanjutkan, "Sudahlah, tidak apa. Kau sudah merasa baikan?"
Naruto mengganggukan kepalanya pelan. Bibir Naruko melengkung dengan anggunnya—puas mendengar jawaban sang adik, "Mari," Ia mengajak Naruto menuju ke sebuah paviliun yang dikelilingi banyak pohon bunga persik.
Paviliun tersebut berbentuk tabung segi enam. Setiap sudutnya terdapat tiang penyangga berwarna merah dengan atap khas bangunan Cina. Sebuah meja dan dua buah kursi yang saling berhadapan di tengahnya. Telah tersedia dua cangkir dan sebuah pocchi di atas meja tersebut. Mereka berdua duduk berhadapan. Semilir menerbangkan surai emas dan kelopak bunga persik yang telah merekah indah.
Naruko mengangkat pocchi dan menuangkan teh hijau di masing-masing cangkir. Naruto menatap pantulan dirinya di dalam cangkir teh hijau. Ia mengangkat wajahnya, "Neechan—"
Naruko segera menatap dengan tatapan memperingati yang membuat adiknya langsung bungkam. Ia menyimpan pocchi tersebut pada tempatnya semula dan mengangkat cangkir tehnya, "Lupakan semuanya." Naruko tersenyum manis.
Naruto kembali menunduk dan memandangi cangkir berisi teh hijau yang memantulkan gambaran dirinya. Dua buah kelopak bunga persik hinggap di teh hijaunya. Ia mengepalkan kedua tangannya. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan atas apa yang telah mereka lakukan padamu Kak?!
Naruto menatap nyalang pada Naruko, "Aku tidak bisa Kak, bagaimana mungkin aku BISA melupakan kekejaman mereka pada Kakak semudah itu?!" Naruto menggelengkan kepalanya, "Aku tidak bisa... aku, akan tetap pada rencana awalku."
Naruko terperangah mendengarkan adiknya. Senyum di bibirnya pun memudar. Naruko menundukan kepalanya. Ia menyimpan cangkir berisi teh hijau yang belum sempat dia tegak. Naruko mengangkat kepalanya dan tersenyum lembut saat mematap adik semata wayangnya. Tangannya kananya terulur dan mengusap pipi Naruto, "Semuanya ada di tanganmu,"
Naruko berjalan dengan anggun dan berhenti tepat di pintu masuk paviliun, "Kau sudah dewasa. Kau pasti sudah tau resiko apa yang akan kau tanggung saat melalui jalan yang kau tempuh nanti," ia membalikkan badannya untuk menatap adiknya, "Aku tidak akan melarangmu."
Manik sebiru samudra milik Naruto membulat saat melihat tubuh yang perlahan-lahan berubah menjadi kepingan kelopak bunga persik. Naruto segera bangkit dan menerjang tubuh Naruko. Namun, bukan tubuh sang kakak yang dipeluknya; melainkan hanya ratusan kelopak bunga persik yang melayang pergi meninggalkannya.
"Kakak!"
"Naruto, kau baik-baik saja?" Shikamaru hampir saya meloncat saat mendengar Naruto berteriak.
Naruto memandang sekeliling ruangan. Di mana aku? Ia memegangi kepalanya yang masih meninggalkan rasa pusing. Ahh... Ia ingat sekarang, ia berlari menerobos hujan dan pingsan...
"Kau baik-baik saja?" Shikamaru mencoba bertanya sekali lagi.
Naruto menoleh ke sumber suara, "Ah... aku... baik-baik saja." ia memasang senyum yang dipaksakan, "Ngomong-ngomong, sudah berapa lama aku tertidur?"
"Tiga hari."
Naruto nampak syok mendengar jawaban dari pria bermarga Nara itu, "Apa?!"
Sebuah suara tirai yang terbuka membuat kedua insan itu menolehkan kepala mereka ke pintu masuk tenda. Seorang prajuit berpakaian zirah khas Nara berlutut dan kepalanya menunduk. "Saya kemari untuk melapor,"
"Silakan." Seketika, aura kewibawaan menggelilingi tubuh Shikamaru.
"Penjagaan di kekaisaran Uchiha masih ketat seperti biasa. Bahkan jika saja anak buah saya lalai, mereka pasti akan tertangkap. Tapi bersyukurlah, tidak ada yang tertangkap." Begitulah isi laporan si prajurit sambil membanggakan anak buahnya.
Kedua kening Naruto mengkerut secara bersamaan. Tidak mungkin para pengawal istana di Kekaisaran Uchiha berkemampuan serendah itu! Naruto tidak mengerti. Apa yang sebenarnya telah menimpa kekediaman Kekaisaran Uchiha sehingga bisa sampai seperti ini. Kedua manik safir itu menatap sendu kedua tangannya. Apa Sasuke mengetahui ini semua?
"Shika, aku sudah berada lama di kediaman kekaisaran itu. Penjagaan di sana terlalu ketat. Kita tidak bisa masuk dengan mudahnya." Naruto kini angkat bicara. Naruto menatap Shikamaru dengan kedua bola matanya yang bulat.
Kedua sudut bibir pemuda bermarga Nara itu terangkat secara elegan, "Kita bisa."
Kening Naruto kembali mengkerut. Apa yang sebenarnya direnanakan olehmu Shika?
Seorang prajurit datang dan berlutut di samping prajurit sebelumnya, "Saya kemari untuk menyampaikan surat balasan yang di kirimkan oleh kurir dari Kekaisaran Uchiha, Yang Mulia." Prajurit itu berdiri dan memberikan surat yang tergulung rapi kepada Kaisar Nara.
Pria berambut bak Nanas itu membuka surat balasan yang dikirimkan kurir Uchiha. Mata yang sebesar biji kuaci mengikuti setiap deratan tulisan yang tercetak. Bibir pria itu menyunggingkan sebuah senyuman. Ia menggulung kembali surat tersebut dan mengembalikkannya kepada si pembawa surat, "Kalian berdua boleh pergi."
Tanpa diperintah dua kalipun, mereka berdua pergi meninggalkan tenda.
"Apa isi pesan surat itu?" Naruto bertanya dengan penasaran.
"Mereka mengundang kita untuk datang ke Kediaman Kekaisaran Uchiha." Jawab yang ditanya dengan santai.
Naruto mengepalkan tangannya erat, "Kau jelas tahu betul apa maksud dari semua itu Shika; itu jebakan!" balasnya dengan nada yang sedikit mendesis.
Shikamaru bangkit dan berjalan dengan santainya menuju pintu masuk tenda. Ia memegangi tirai tersebut, "Baik itu jebakan atau bukan, tujuanku hanya satu : yaitu menghancurkan seluruh keturunan Uchiha. Sama halnya dengan tujuanmu... bukan?" bersamaan dengan berakhirnya kalimat itu, Shikamaru meninggalkan tenda Naruto.
Naruto hanya dapat mematung mendengarkan kalimat pemuda Nara itu. Tujuanku... menghancurkan seluruh keturunan Uchiha? Naruto mencengkram dadanya yang terlapis kimono tidur. Air matanya meleleh keluar tanpa ia sadari. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Tetap menjalankan rencana awalnya atau berbalik arah melawan Shikamaru? Kenapa jadi seperti ini? Naruto semakin mengeratkan cengkramannya. Hatinya kini terasa begitu sakit. Sebuah isakan lolos dari bibirnya.
Shikamaru masih belum beranjak dari mulut tenda Naruto. Ia mengepalkan kedua tangannya—sebagai pelampiasan kemarahan yang tengah ia tahan saat ini. Apa kau pikir aku tidak tahu, Naruto? Lelaki itu, si bajingan Uchiha itu telah merebut hatimu! Apa kau pikir aku tidak tau? Pemdua bermarga Nara itu mulai melangkahkan kakinya dan berjalan menjauh, "Akan aku pastikan, riwayatmu berakhir besok, Uchiha."
~ TBC ~
Well, It's been a long time! ^^...
Terima kasih kepada semua readers karena sudah mau bersabar menunggu dan maaf sudah membuat readers semua menunggu lama dan juga maaf lagi kalau chapter 8 ini terkesan datar serta banyak typo, chapter depan diusahakan lebih maksimal! ^^...
Silakan review, kritik dan saran yang membangun Ryn tunggu, (:
...~" Thank You For Reading "~...
Review?