WARNING: Konten eksplisit mengenai romansa sesama jenis/homoseksual. Menggunaan sudut pandang orang ketiga sertaan. You've been warned!
NOTE: Untuk kata-kata dalam bahasa asing (Jerman/Prancis), maaf sekali—waktu saya terbatas, sehingga saya tidak sempat mencantumkan terjemahannya. Sehingga disarankan agar Anda mencari sendiri. Lalu juga merupakan karya yang diketik terburu-buru; jadi jangan heran jika dalam beberapa hari ke depan mengalami perubahan konten besar-besaran. Nomor menandakan fase, bukan nama chapter.
Prompt dari ariniad: "AU Teenage!Gilbert-Adult!Ludwig centric" (II013-09)
Additional info: Seperti yang disebut di atas, cerita harus berpusat pada Gilbert kecil dan Ludwig yang lebih tua. BUKAN DALAM HUBUNGAN KAKAK-BERADIK. Poin plus kalo bisa Coffee Shop!AU.
Poin plus plus: Sangat berharap akan romens, tapi dalam konteks friendship juga oke. Kalo bisa jangan rated M atau menyerempet Lime
T
By: DeBeilschmidt
Made for IHAFest
T (a Tohoshinki's album) © Rhythm Zone; Avex Trax
Hetalia: Axis Powers © Hidekazu Himaruya
I make no profit from this story.
Belakangan ini, Gilbert tidak lagi merasa bahwa kehidupannya selama libur musim panas membosankan.
Awalnya, ia mengira bahwa kali ini ia cukup menghabiskan musim panasnya dengan bekerja keras di sebuah kafe; berusaha mencari uang agar bisa liburan ke Yunani pada musim panas berikutnya. Tetapi, coba tebak—rupanya di tahun ini ia menemukan sesuatu yang lain.
.
Namanya Ludwig Beilschmidt. L-u-d-w-i-g. Gilbert mengatakan kata yang sama berulang-ulang dalam kepalanya setiap kali memikirkan seorang pria paruh baya dengan rambut pirang pucatnya yang selalu ditata rapi dan sepasang mata biru muda yang terlihat dari kacamata berframe tebal. Baru kali ini ia menemukan orang seunik itu: terlalu teratur, sampai-sampai ia kira bahwa Ludwig Beilschmidt ini adalah cyborg.
Bayangkan saja, apa kau pernah melihat seseorang dengan pola yang sama setiap hari? Orang ini, Gott, dia selalu datang ke kafe pada jam yang sama, setiap hari, dengan tas yang sama dan juga bau yang sama. Tidak pernah sekalipun Gilbert menemukannya dalam suatu kepanikan layaknya manusia pada umumnya. Tidak—rambut itu selalu rapi pada tempatnya dan pantofel berukuran dua belas itu tak pernah memiliki noda sedikit pun.
Gilbert menganggap ini lucu, pada permulaan. Tetapi seiring waktu berlalu, tanpa ia sadari, kedua permata rubinya selalu mencari sosok pria mapan dengan setelan hitam berikut koran pagi di pangkuan dan secangkir espresso sudah diseruput separuh terletak di atas meja bundar. Meja yang ditempatinya tidak pernah berubah, selalu saja meja outdoor area, nomor dua dari sebelah kanan pintu masuk.
.
Namun hari ini, tepat pada hari ini, sebuah anomali terjadi. Jam cuckoo sudah menunjukkan pukul sepuluh, bunyinya yang antik tercatat mengalami repetasi sebanyak jumlah jari kedua tangan. Tetapi belum ada tanda-tanda bahwa Herr Beilschmidt akan menampakkan batang hidungnya.
Sebuah sikutan menyadarkan Gilbert dari lamunan. "Kenapa? Menunggu Onkel favoritmukah?" tanya suara itu.
Gilbert mendecak, matanya mendelik pada sosok yang lebih tinggi darinya. Pria Prancis ini memang sangat gemar mengusik orang-orang yang terlihat galau, apalagi kali ini sasarannya adalah Gilbert yang notabene hampir selalu menyebalkan dan tidak tahu malu dalam setiap tingkahnya. "Diam kamu, Herr Bonnefoy," tukas Gilbert.
"Non, non, ma Cherie," Francis menggeleng dengan kejijikan yang nampak kentara di wajahnya. "Jangan panggil aku dengan sebutan itu. Sejak kapan aku ganti kewarganegaraan?"
Seringai nampak di wajah Gilbert. Senjata makan tuan, tuh, batinnya geli. "Lalu aku harus memanggilmu apa? Oh—bagaimana dengan… MisterBonnefoy?"
Sebelum ada ucap dari mulut Francis, pemuda Prancis ini meninju lengan Gilbert keras-keras hingga pemuda albino itu terjungkal. "Apa maksudnya ini?!" teriak Gilbert. "Kau tidak bisa membedakan antara bercanda dan serius, hah?!" Dari posisinya yang masih berada di lantai, dia menunjuk-nunjuk Francis, sama sekali tak memedulikan apakah akan ada yang menghardik dan apakah nanti gajinya akan dipotong oleh manajer kafe.
Francis melipat tangannya di depan dada. "Ah… Gilbert. Kalian orang Jerman terlalu meremehkan perselisihan antara orang Prancis dan Inggris. Yang kau ucapkan barusan adalah hal tabu, mengerti~?"
"Tidak," jawabnya cepat, "Aku tidak mengerti. Dan… kupikir itu tidak masuk akal, itu saja. Maksudku… ayolah, aku mendapatkan materi ini di kuliahku, dan semua alasan mengapa kedua negara itu berkelahi tidak ada yang rasional, lalu—" tatkala Gilbert berbicara, lonceng kecil di pintu kafe berbunyi, menampakkan sosok yang begitu familiar di mata Gilbert. Sehingga ia pun berdiri, "—ah, orang itu datang. Jadi… duluan, kurasa?"
Saat bertanya seperti itu, Gilbert dengan canggung melambaikan tangannya pada Francis, kemudian segera mengambil nampan dan daftar pesanan di kasir. Sang pria flamboyan hanya menghela napas pelan, gesturnya mengusir. "Pergilah, Gil; temui pencerah harimu…"
.
Satu tanya memenuhi benak Gilbert saat menemukan Herr Ludwig berada di dalam ruangan alih-alih di luar. Pria itu masih seperti biasa: setelan hitam rapi, rambut yang disisir ke belakang, bau cologne mahal, dan juga kacamata berframe tebal melingkari maniknya yang sewarna langit cerah. Ada keheranan tak terucapkan saat ia melihat ada sesuatu yang berbeda pada sosok Ludwig—sebuah tas kertas dari toko buku ada di atas meja alih-alih tas kulit yang biasa. Ia ingin bertanya, tetapi cepat-cepat Gilbert telan rasa penasarannya.
"… Secangkir espresso tanpa gula seperti biasa, Tuan?" Hanya sepatah kalimat itu yang ia ucapkan pada sang pria.
Ludwig, yang pada saat itu tengah sibuk dengan smartphonenya, segera mendongak. "Ah…," ia nampak terkejut untuk sesaat tatkala melihat sosok Gilbert, namun ia buru-buru mengangguk, menyisakan segaris senyum miring tipis di wajahnya yang keras, "Ja, dan tolong juga secangkir caramel macchiato."
Biasanya, yang Gilbert lakukan adalah bertanya, tetapi dalam kasus ini, ia hanya mencatat pesanan Ludwig. Mendadak perasaannya buruk—seolah-olah kini cuaca mendung dan mendingin, ia bisa mencium badai yang sebentar lagi akan datang. Namun… apa yang bisa ia lakukan? Dia sadar, bahwa bagi pria ini ia bukan siapa-siapa; hanya seorang pelayan yang tak berperan apapun dalam kehidupan Ludwig. Ia tidak memiliki hak untuk bertanya, kendati rasa penasaran sudah menggerogoti benaknya seperti belatung memakan bangkai. Hanya tinggal sedikit lagi dan barangkali pertanyaan sudah meluap keluar. Tetapi Gilbert bertahan, ia berusaha menyimpan rasa penasaran itu untuk dirinya sendiri dan tetap menyunggingkan 'senyum bisnis'nya pada sang Beilschmidt.
"Apakah kau bisa segera memberikan pesanan itu pada sang barista?"
Pertanyaan yang meluncur keluar dari mulut Ludwig membuat Gilbert tersentak. Sungguh tidak profesional: melamun di depan pelanggannya sendiri, eh? Gilbert bisa merasakan telinganya panas. Wajahnya pasti memalukan sekarang.
"Es tut mir leid," permintaan maaf itu diucapkannya begitu pelan karena malu. "Pe-Pesanan Anda akan segera saya antarkan—secepat mungkin. Maafkan saya, Tuan."
Untuk pertama kali dalam hari-hari musim panasnya, akhirnya ia bisa melihat tawa seorang Ludwig. Ya, pria itu tertawa di hadapannya; kacamata kotak berframe tebal itu nampak bergetar tatkala pemiliknya tertawa. Gilbert untuk sekejap terpesona, bagaimana bisa tawa seorang pria bisa seksi sekaligus menawan di saat yang sama? Sungguh, ia tidak paham bagaimana tawa pelan seorang Ludwig Beilschmidt—dengan suara bass dan kekeh yang teratur—sanggup membuatnya terpana.
Di satu sisi, Ludwig, saat sadar bahwa ia tengah diperhatikan oleh Gilbert, segera menghentikan tawanya. Namun senyum itu tak kunjung pudar dari wajah berahang keras itu. "Ah, maaf, aku tidak bermaksud untuk menertawakanmu, hanya saja—"
"Heh," Gilbert menutupi senyumnya dengan satu dengus geli. "Tidak apa-apa, Tuan."
Ia pun berbalik, meninggalkan tanya dalam wajah Ludwig yang terheran-heran akan sikapnya. Namun, toh, setelah itu Gilbert justru menghindar saat dipaksa-paksa Francis untuk mengantarkan sebuah nampan berisi espresso pahit dan caramel macchiato. Malu, katanya. Tetapi Francis bisa maklum dengan sikap sahabatnya dan menggantikan Gilbert mengantarkan pesanan sang pria Beilschmidt.
.
Setelahnya, Gilbert sama sekali tak beranjak dari balik meja bar hanya demi mendapatkan pemandangan terbaik di mana dia bisa melihat sosok Ludwig Beilschmidt dengan sangat jelas. Gilbert memerhatikan bahwa Ludwig bukanlah orang yang senang menunggu, ini terbukti dari sikap sang pria yang sedari tadi tak henti-hentinya memandang jam tangannya. Sebuah fakta baru yang baru saja ia tangkap dan entah mengapa sebuah hal sepele seperti ini membuatnya bahagia.
Rasanya… ia telah menjadi selangkah lagi lebih dekat dengan Herr Ludwig Beilschmidt.
Dan tak berapa lama kemudian, di saat cangkir milik Ludwig mulai dingin, ia melihat seorang pemuda yang kira-kira sebaya dengannya mendatangi meja Ludwig. Interaksi di antara keduanya terlihat begitu intim, hingga tanpa dijelaskan pun, Gilbert mengetahui dari mana asal rasa sakit yang berdenyut dalam dadanya. ("Aw, untunglah dia gay juga, Gilbert," komentar Francis, "sayang sekali. Sudah ada yang punya.") Biarpun manajer kafe sudah memarahinya berkali-kali, pandangan mata sang adam tetap terpaku pada meja nomor dua dari pintu masuk. Mereka nampak serasi, sebaris komentar otomatis keluar dari benaknya, membuat rasa sakit yang ia rasakan kian kentara. Ia mendecak, dalam hati mengutuk tawa Ludwig yang tadi sempat membuat harinya terasa lebih cerah. Toh, sekarang mengingat lagi tawa itu membuat Gilbert sebal.
Tetapi, alangkah terkejutnya Gilbert saat ia melihat bahwa di meja itu terjadi pertengkaran hebat. Suara cangkir porselen yang pecah membuat pandangan orang-orang tertuju pada meja nomor dua, menyaksikan bagaimana rambut Ludwig terjuntai ke bawah, basah karena disiram secangkir kopi. Mata rubi Gilbert membulat, bersamaan dengan rasa iba saat melihat wajah Ludwig yang nampak menahan sakit, pada waktu yang sama ia juga merasakan rasa senang.
"Mereka putus…?" tanya itu meluncur otomatis dari mulutnya. Pelan, namun menyuratkan antusiasme penuh bahagia. Tanpa memedulikan suara Francis yang mencegahnya, ia segera pergi ke tempat di mana sosok Ludwig—yang baru saja disiram kopi hangat—tengah membatu. Ada kebingungan menggantikan syok nampak pada wajah sang pria. Tanpa disuruh, Gilbert mengulurkan sehelai handuk pada Ludwig.
"Handuk, Herr Ludwig?" Ia menawarkan handuk putih kecil yang ia sajikan di atas nampan.
Bingung, Ludwig pun hanya mengambil handuk itu dalam diam. Ia bertukar pandang dengan Gilbert, namun apa yang disajikan Ludwig adalah sebuah ketidakpahaman. (Barangkali, Gilbert berpikir, dia memikirkan: 'Ada urusan apa bocah ini tadi denganku?') Setelah beberapa saat, barulah ia berbicara. "Dari mana kau tahu namaku?"
Senyum di wajah Gilbert perlahan-lahan bertransformasi menjadi cengiran. Nampan yang ada di tangannya ia gunakan sebagai alat untuk menutupi pandangan orang-orang. Dari balik nampan, Gilbert berbisik.
"Karena aku selalu memerhatikanmu, Herr Beilschmidt."
Entah mengapa, walau wajah itu kini berbau seperti biji kopi dan karamel, Gilbert merasa wajah itu tetap mempesona seperti biasa. Selama ini, dia hanya bisa melihat garis rahang milik sang pria pirang itu dari jauh. Memerhatikan bagaimana badan tegap itu nampak fokus dan bergeming saat menyesap kopinya. Kini, saat ia mendapatkan kesempatan untuk melihat bagaimana rupa pria idamannya dari dekat, yang bisa dilakukan Gilbert adalah mencoba mencari perhatian orang itu dengan segala cara. Apapun, agar sosok Ludwig yang baru saja patah hati itu berpaling padanya. Itu sebabnya mengapa kini ia menyelipkan secarik kecil kertas berisi nomor telepon pada tangan Ludwig.
Ludwig menunduk, dan makin terkejut saat ia melihat apa yang diam-diam Gilbert berikan padanya setelah mengucapkan sebaris kalimat yang membuatnya bingung. Dalam diam, tatapan rubi berganti pandang dengan tatapan biru langit. Tanpa kata, tanpa suara, tanpa aba-aba—
—di meja nomor dua, mereka berciuman; lama, penuh, spontan, liar. Bodoh.
Tanpa alasan, tanpa pendahuluan.
Tanpa cinta.
-bersambung-
Afterwords: Singkat cerita, saya sesungguhnya sangat kecewa dengan cerita ini. Mungkin keterburu-buruan sangat berpengaruh pada kekecewaan saya, tetapi yang lebih penting adalah karena tidak bisa membuat ini hingga ke lagu kedua sesuai rencana awal dan semua diksi di sini begitu jelek, tidak seindah yang biasanya. Na ja, RL sucks. Oh, untuk yang mengira-ngira apakah fase kedua, ketiga, dan seterusnya akan berjudul sama dengan judul lagu dalam album "T" milik Tohoshinki, maka… selamat, Anda benar! Mohon nantikan kelanjutannya sebentar lagi, karena toh, saya hanya bisa mengupdate ini saat UTS/UAS. Lol.
Terima kasih banyak bagi Anda semua yang sudah berbaik hati membaca dan bahkan memberikan review! Danke schön!
103113—rdb
Edited: 14 Desember 2013