Semilir angin sejuk berhembus pelan dikawasan Konoha. Awan yang entah dalam imajinasi apa terlihat sedang tenang di atas sana menemani para 'raja' di Konoha untuk memulai aktivitas dengan tenang. Dahan ringan dan rindang menari pelan, menyapa penduduk Konoha agar secepatnya memulai aktivitas di pagi hari. Dan tokoh utama kita yang saat ini tengah menutup matanya menerima sapaan hangat dari sang mentari menyerupai perawakannya.
.
.
.
Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto
Genre : Adventure
Rate : T
Warning : Kemungkinan besar banyak adegan yang kurang dimengerti. OOC. Semi AU. Sekuel dari fic 'Harapan Sebuah Toples'.
Dan ini peringatan umur bagi pemain:
Naruto N : 27 Tahun.
Hinata N. : 27 Tahun.
Konohamaru, Moegi , Udon : 23 Tahun
Hiroto dan Yui N : 5 Tahun
Kaito N : 1.5 Tahun
The Hope © Ru Unni Nisa
.
.
.
"Menyebalkan. Hari ini benar – benar panas." Gerutuan itu keluar dari mulut Moegi yang saat ini tengah mengipasi dirinya dengan dedaunan yang kuat. Disebelahnya Udon tengah membantu – atau mungkin diperintah – Moegi untuk mengipasinya dengan beberapa dedaunan.
"?!" Konohamaru tak menghiraukan gerutuan Moegi yang tak ada habisnya. Saat ini ia tengah asyik memperhatikan sang Rokudaime berlatih sendirian. Terlihat beberapa bunshin yang ikut berlatih dengannya. Konohamaru menghela nafas. Ia terlihat gelisah sambil terus melihat jam tangannya.
"Apa ada masalah Konohamaru?" Moegi terlihat curiga dengan sikap yang tidak biasa dari teman satu team-nya.
"Entahlah. Hanya sedang bosan." Konohamaru menjawab tanpa menoleh pada Moegi, ia terus memperhatikan Rokudaime berlatih.
"Benar, sih. Lagipula bukankah ini sudah jadi kebiasaan kita untuk mengawasi Hokage-sama berlatih pagi?" Moegi menyahut.
"Menyebalkan. Tapi aku juga ingin berlatih bersama Naruto-nii." Konohamaru balas menggerutu. Namun sayang, ia harus segera menggerutu lagi. "Itai, itami Moegi. Apa yang kamu lakukan?" Konohamaru sedikit berteriak.
Meskipun hanya sedikit, namun tetap saja. Bunshin sang Rokudaime yang tengah berlatih dengan mode Sannin mendengarnya. Dengan pelan – menurutnya – bunshin Rokudaime melangkah menuju tim Jounin elit itu.
Udon yang menyadari keberadaan sang Rokudaime segera memberi hormat padanya. "Ohayou Gozaimasu, Hokage-sama." Sapa Udon sopan.
"Ohayou Gozaimasu, Udon." Suara yang tidak terlalu besar, namun terdengar menenangkan itu mengintrupsi pertengkaran Moegi dan Konohamaru.
"Ho-Hokage-sama. Ohayou Gozaimasu." Sapa Moegi gugup sambil membungkuk sopan. Tidak mungkin bukan, kita tidak sopan pada sang pemimpin.
"Ohayou, Naruto-nii." Konohamaru menyapa dengan semangat dan tanpa rasa segan. Dan malang baginya, ia harus menerima kepalanya terdapat 2 benjolan yang menggunung karena pukulan Moegi.
Masih dalam membungkuk, Moegi mendorong leher Konohamaru untuk membungkuk sopan. "Sopanlah pada Rokudaime-sama. Konohamaru-baka." Desis Moegi ditelinga Konohamaru.
Dan Konohamaru sukses bergidik ngeri mendengar ancaman tidak langsung dari rekan perempuan team-nya. "O-Ohayou Gozaimasu. Hokage-sama." Ulang Konohamaru dengan gugup. Sepertinya ia tidak gugup pada sang Rokudaime, melainkan pada ancaman Moegi yang lebih berbahaya dari Rasengan miliknya.
Pluk...
Suara aneh itu mengintrupsi pemikiran Konohamaru. Begitu juga Moegi. "Eh?" Moegi dan Konohamaru segera menegakkan tubuhnya dan mendapati sang Rokudaime tengah menepuk rambut Konohamaru dan pundak kiri Moegi.
"Kalian ini. Aku bukan Hokage-sama kalian. Aku adalah bunshin-nya. Lagipula, aku juga tidak suka kalian memanggilku seperti itu. Panggil aku seperti itu ketika sedang resmi, Ok?" Sang Rokudaime memberikan senyuman pagi yang manis. Dan hal itu sukses membuat Moegi merona dipagi hari, melihat senyum mentari sang Rokudaime.
"Ba-Baik Hokage-sama."
Bagaimana Moegi tidak gugup, jika didepannya adalah salah satu pemimpin favorite-nya. Sang Rokudaime atau Naruto Uzumaki-Namikaze ini tengah berdiri gagah – meskipun hanya bunshin – di hadapan mereka. Ciri mode Sage itu terlihat jelas di kelopak matanya yang terdapat warna jingga dan kuning serta mata kuning katak yang tajam namun lembut. Jubah Sage kebanggaannya berkibar lembut karena angin yang jahil. Rambut yang tetap acak – acakkan, meskipun tidak sepanjang rambut Yondaime. Dan itu benar – benar terlihat keren, meskipun umur sudah tidak lagi dibilang keren.
"Tapi, apa yang kalian lakukan disini? Bukankah sudah aku katakan, aku sudah tidak memerlukan pengawasan lagi, Konohamaru." Suara bijak itu terdengar lagi.
"A-ano... Eto..." Konohamaru kebingungan mencari jawaban. Ia melakukan itu mungkin karena, iseng?
"Maaf, Hokage-sama. Kami tidak bermaksud mengganggu latihan anda. Sekali lagi, kami mohon maaf." Moegi segera berinisiatif untuk mengambil langkah cepat agar mereka bisa terhindar dari hukuman. Karena bagi Moegi, ini merupakan tindakan konyol memata – matai Rokudaime.
Namun bagi Konohamaru ini adalah misi penting bagi dirinya, karena bisa melihat kemampuan sang rival sejatinya.
"Gomenasai, Hokage-sama." Udon ikut membantu.
"Ayo, Konohamaru. Kamu juga harus meminta maaf." Lagi, dengan sedikit dorongan di tengkuk, Konohamaru sudah membungkuk pada Rokudaime.
"Tidak apa – apa."
Kring...Kring...Kring...
Suara alarm dari jam yang dipasang itu mengintrupsi percakapan mereka.
"Rupannya sudah pukul 8. Itu berarti latihanku sudah selesai. Jaa Konohamaru, Moegi, Udon."
Pufft
Dan bunshin Rokudaime menghilang.
"Ugh. Meskipun sudah berapa kali aku merasakannya. Tetap saja aku belum terbiasa." Gerutuan itu terdengar dibelakang mereka.
Dengan sekali gerakan tubuh mereka sudah berhadapan dengan Rokudaime-sama. "Oh, kalian. Kalian belum sarapan, kan?" Tanya Rokudaime dengan ramah.
Dan mereka saling berpandangan.
~~oOo~~
Pagi hari yang terik itu sama sekali tidak mengganggu kesibukan disebuah rumah sederhana di kawasan pinggiran Konoha. Sesekali terdengar suara tangisan balita disana. Dan suara seperti pertarungan antara alat dapur. Atau suara dua anak yang tengah berebut kursi makan mereka.
Dan suara anak – anak itu sukses berhenti dengan adanya kehadiran seseorang di rumah tersebut.
"Tou-san!" Pekik si anak laki – laki dan perempuan yang berumur sekitar 5 tahun. Dan mereka segera memeluk orang yang mereka panggil Tou-san.
"Tou-chan!" Dan anak cadel laki – laki yang berumur sekitar 1.5 tahun itu berlari pelan dengan susah payah agar dapat meraih sang ayah. Karena tidak memerhatikan langkah, anak itu tersandung. Namun dengan sigap sang ayah menangkapnya.
"Bukankah sudah Tou-san peringatkan. Tidak boleh berlari sembarangan." Sang ayah memberikan peringatan pertama pada sang bungsu. Dengan jahil, sang ayah menarik pelan hidung mungil si balita.
"Tou-chan. Chugoi..." Si balita itu berteriak dengan khas-nya.
Sang ayah menggeleng pelan. Ini pasti pengaruh karena terlalu banyak bermain dengan anak perempuan dari pasangan Ino dan Shikamaru atau balita laki – laki dari Sakura dan Sasuke. Bukankah itu adalah dirinya yang terlampaui semangat?
"Ohayou, Naruto-kun." Suara lembut itu mengalun ditengah dilema sang ayah terhadap pergaulan sang anak.
"Ohayou, Hina-chan." Balas Naruto dengan senyum khas-nya dan berhasil membuat sang istri merona.
"Ohayou Konohamaru, Moegi, Udon." Sapa hangat Hinata, berusaha mengalihkan perhatiannya pada tamu yang saat ini tengah berdiri dibelakang suaminya.
"O-ohayou Gozaimasu, Hinata-sama." Sapa Moegi dan Udon bersamaan, gugup.
"Ohayou Hinata-hime." Sapa Konohamaru dengan senyum lebarnya.
Dan sukses membuat Hinata merona karena sapaan itu.
"Hei, hei. Konohamaru." Panggil Naruto merasa tersaingi.
"Aku hanya bercanda, Naruto-nii." Konohamaru tertawa. Berhasil membuat sang Rokudaime cemburu. Dan berhasil mendapat pukulan dikepala lagi oleh Moegi.
"Tidak apa – apa, Naruto-kun. Oh ya, apa kalian ingin sarapan?" Tawar Hinata dengan manis.
Acara makan itu berlangsung dengan tenang. Sepertinya Naruto dan Hinata mempunyai prinsip untuk tidak bicara saat makan. Bahkan ketiga anak mereka, makan dengan tenang. Meskipun sesekali si balita akan merengek tidak mau dan Hinata harus membujuknya. Dan kadang si kembar harus bersaing dingin untuk mendapatkan jatah makanan yang lebih banyak satu sama lain. Dan Naruto harus memotong makanan yang direbutkan agar perang dingin itu selesai dalam waktu sekejap.
Setelah sarapan selesai. Hinata dan lainnya berkumpul diteras rumah yang sepi. Sementara Naruto tengah mempersiapkan diri untuk berangkat menuju kantor Hokage, menjalankan tugasnya.
"Bisa tolong kalian jaga mereka. Aku ingin membantu Naruto-kun." Pinta Hinata.
"Silahkan Hinata-sama." Jawab Moegi.
Setelah kepergian Hinata. Mereka bertiga pergi ke pikiran masing – masing. Meskipun sudah beberapa kali mereka mengunjungi rumah ini, namun tetap saja masih ada perasaan penasaran dalam diri mereka.
Bukankah Naruto mempunyai Namikaze mansion yang merupakan warisan dari mendiang ayah, tetapi kenapa Naruto lebih memilih membangun rumah baru di pinggiran kawasan Konoha.
Dan dengan mudahnya, Naruto akan menjawab. "Ini adalah lembar kehidupanku yang baru. Dan aku ingin membangunnya agar kehidupanku yang baru ini tidak akan sama dengan lembaran yang lalu." Dan "Itu adalah milik ayahku, meskipun otomatis akan menjadi milikku. Namun aku lebih menghargai hasil jerih payah sendiri."
Meskipun sudah dijawab. Jawaban itu adalah jawaban kesekian yang ia punya. Namun didalam hatinya, Naruto akan menjawab dengan jawaban yang lain. Naruto takut dan masih trauma. Ketika ia masih kecil dan tinggal di apartemen kawasan Konoha, ia selalu merasa was – was dengan warga yang akan mengejeknya atau melemparinya dengan sesuatu yang membuatnya terluka. Dan ia tidak ingin anaknya akan mengalami hal yang sama.
Meskipun itu sudah berlalu lama sekali. Tak dapat dipungkiri, sekarang ia saja ia masih mendengar beberapa hujatan dan makian untuknya. Entah itu karena kepemimpinannya atau masalah ia menjadi seorang Jinchuriki. Atau yang lebih parah, perihal pernikahannya dengan wanita bangsawan. Hinata Hyuuga atau sekarang menjadi Hinata Namikaze.
"Moegi-neesan." Panggil seorang anak perempuan.
Moegi yang saat itu tengah bermain dengan si balita menoleh dan menemukan anak perempuan satu – satunya di keluarga Namikaze. Moegi dapat melihat anak perempuan yang diberi nama Yui Namikaze itu mempunyai rambut hitam panjang seperti ibunya dan mata biru jernih seperti ayahnya itu menyapu penglihatan Moegi.
"Ada apa Yui-chan?" Tanya Moegi lembut.
"Ano, bisa ajari Yui mengepang rambut Yui?" Tanya Yui dengan malu – malu.
Moegi tersenyum mendengarnya. Sepertinya rambut panjang hitam Yui mengganggu aktivitas pemiliknya. Moegi menoleh pada Udon dan melihat Udon tengah mengajari matematika dasar yang diminta oleh Hiroto Namikaze, saudara kembar dari Yui dan anak laki – laki pertama keluarga Namikaze.
Fisik Hiroto sangat mirip dengan ayahnya. Rambut pirang acak – acakan dan mata biru jernih, hanya saja berkulit putih seperti Hinata. Hiroto adalah anak yang hyperaktif sama seperti ayahnya dalam bertindak. Hanya saja, kadang Hiroto akan lebih banyak diam dalam bicara. Sementara Yui sebaliknya. Anak itu pemalu namun dia akan berani mengutarakan pendapatnnya seperti ayahnya.
"Hei, Konohamaru." Panggil Moegi pada Konohamaru yang saat itu tengah menunggu dengan bosan. Konohamaru mendongak. Moegi menghela nafas, sepertinya dia harus berusaha percaya dengan Konohamaru. "Bisa tolong jaga Kaito sebentar? Aku ingin mengikat rambut Yui."
Mendengar hal itu, tentu saja Konohamaru panik setengah mati. "Eh, tapi kamu tahu, kan? Kai-chan tidak menyukaiku." Konohamaru mencari alasan.
"Itu karena kamu memanggilnya –chan, baka!. Kamu harus mau Maru-chan." Perintah Moegi dengan manis namun mengerikan.
"Baik. Baik." Konohamaru segera menggendong Kaito kecil. "Nah, Kai-chan. Kamu ingin main apa?" Tanya Konohamaru dengan lembut, mungkin?
Dan sudah diduga oleh Konohamaru, anak bungsu Namikaze itu langsung memukul wajah Konohamaru dengan tangannya. Namun sepertinya kecepatan refleks antara Konohamaru dan Kaito, dimenangi oleh Kaito. Dan Konohamaru harus merengut kesal, karena kalah. Sepertinya jutsu Hiraishin Naruto menurun pada anaknya.
"Menyebalkan. Baiklah. Bagaimana kalau Konohamaru-nii menggendongmu?" Tanya Konomaru.
Dan dengan semangat besar Kaito mengangguk, mengiyakan. Dengan perlahan Konohamaru membawa Kaito ke gendongan tengkuknya dan sedikit berlari kecil agar Kaito kesenangan. Rambut pirang acak – acakan yang mulai tumbuh dikepala Kaito berkibar dengan pelan. Saking senangnya, mata berpupil khas Hyuuga itu menutup.
Sementara itu di kamar pasangan Namikaze, Hinata tengah sibuk mencari pakaian untuk sang suami bekerja. Dan saat itulah ia menemukan, sebuah toples kaca yang sampingnya terdapat retakkan. Seingatnya, ia tidak pernah menyimpan toples kaca yang berisi banyak gulungan kertas itu di lemari pakaian. Lagipula letak toples itu sangat tersembunyi, pantas saja dirinya selama ini tidak menemukan toples tersebut dilemari mereka.
"Ada apa Hina-chan?" Tanya Naruto mengetahui, sang istri diam ditempat.
"A-ano, apa ini punya Naruto-kun?" Tanya balik Hinata sambil memperlihatkan sebuah toples.
Naruto terdiam, memikirkan jawabannya. "Wah, benar. Itu adalah Toples Pemupuk Harapanku, Hina-chan." Naruto tersenyum lebar khasnya.
"Pemupuk harapan?" Tanya Hinata kebingungan.
Dengan semangat Naruto mengangguk. "Benar. Setiap harapanku ada disini. Harapan sejak aku kecil hingga sekarang."
Hinata yang mendengarnya mengangguk.
"Apa Hina-chan ingin mengetahuinya?" Tanya Naruto dengan nada menggoda.
Hinata memerah, ketahuan. "Bolehkah Naruto-kun?" Hinata agak malu.
"Kenapa tidak, Hina-chan. Tapi nanti, ya. Seorang hokage harus pergi untuk bekerja dulu." Pinta Naruto.
Hinata mengangguk malu. "Tidak apa – apa, Naruto-kun. Aku akan menunggu."
"Ayo, Hina-chan. Pasti yang lainnya sudah menunggu." Ujar Naruto setelah memastikan ia memakai pakaian yang lengkap.
Gendongan Konohamaru berhenti, tepat ketika Hinata dan Naruto keluar menuju teras. Moegi juga sudah mengikat rambut Yui sehingga terlihat cantik dan Yui dapat bermain tanpa perlu terganggu rambut panjangnya. Udon juga telah selesai mengajari matematika pada Hiroto.
"Baiklah. Ayo kita pergi!" Konomaru terlihat semangat setelah bisa lepas dari Kaito.
"Tou-san harus pergi bekerja dulu. Kalian tidak boleh merepotkan Kaa-san. Mengerti?" Pinta Naruto pada anaknya.
"Ha'i. Wakarimashita. Tou-san." Hiroto dan Yui menanggapinya dengan semangat. Sementara Kaito melambaikan tangan digendongan Hinata. Naruto segera mencium kening ketiga anaknya dan istrinya.
"Tunggu aku Hinata. Itekimasu." Ujar Naruto sambil pergi bersama dengan Konohamaru team.
"Itterashai." Balas Hiroto dan Yui. Sementara itu Hinata membalasnya dengan malu – malu. Sementara Kaito membalasnya dengan lambaian anak – anak yang semangat.
Aku akan menunggumu, Naruto-kun. Dan kata – kata terbawa sebagai pesan melalui angin yang berhembus di kawasan pinggiran Konoha yang sepi.
To Be Continued
Author Note:
Yah, saya tahu. Ini lebih cepat dari yang saya duga untuk mempubist fic ini. Ini gara - gara saya mengikuti konsultasi dengan teman saya. Dan juga sepertinya Ian-chan tidak bisa menemani saya. Hari ini, dia tidak masuk sekolah karena sakit, untuk itu Ian-chan tidak ada disini. Saya sedih, duduk sendirian di bangku depan kelas.
Oke. Cukup bersedihnya. Entah kemasukan apa, tapi saya cukup senang dengan kehadirian OC anak - anak ini. Meskipun tidak akan terlalu banyak membantu, namun saya sangat senang. Apalagi dengan adanya peran si bungsu Namikaze, Kaito. Entah bagaimana, tapi saya memikirkannya sambil mengingat Kaito Kid (di fandom Detective Conan). Sifatnya yang jahil benar - benar membuat saya senang.
Oke. Untuk yang tanya kenapa Naruto disini bukan Uzumaki? Inginnya sih, Naruto Uzumaki-Namikaze. Tapi, saya merasa agak aneh, untuk itu saya menggantinya menjadi Naruto Namikaze, lagipula Naruto sudah tahu ayahnya, bukan?
Sebelum saya tutup, saya mengucapkan terima kasih kepada Lsamudraputra, Blue-senpai, yeruyerudaru, Nitya-chan dan readers yang telah membaca fic 'Harapan Sebuah Toples'. Mohon bimbingannya senpai dan readers-san. Arigatou Gozaimasu. (Membungkuk)