Inilah kisahku. Kisah seorang selir raja yang selalu dinomor duakan. Kisah seorang selir yang bahkan keberadaannya tak diakui, dan dibenci. Ya, dibenci oleh gugusan pendukung sang permaisuri. Tetapi, selalu dibutuhkan oleh sang raja untuk membagi keluh kesahnya, membagi kepenatan hidup, dan menuntaskan gairah. Membagi segala hal yang dianggap tabu oleh para raja untuk dibagi dengan khalayak umum, terutama sang permaisuri.
Tapi, aku selir yang berbeda.
Karena sosokku selalu dibutuhkan oleh orang lain. Meski mereka tak tahu siapa sebenarnya aku. Karena rahasia ini tersimpan rapat, hanya segelintir orang yang tahu akan hal ini. Tetapi, inilah yang membuatku terperosok ke dalam jurang kebingungan. Karena sosok lain ingin memilikiku sedangkan aku masih milik raja.
.
.
Naruto and All Characters belongs to Masashi Kishimoto
Story and Plot belongs to Me
.
.
CONCUBINE
.
Prolog
.
Rate M for many reason :3
Setting kerajaan sesuai imajinasi saya :p
Fiksi ini jauh dari kata bagus apalagi sempurna. Kritik, saran, dan pendapat diterima dengan senang hati ^^
.
.
Semilir angin berhembus lembut. Menerbangkan beberapa kelopak Sakura yang kini berguguran. Musim semi baru saja dimulai. Namun, keindahan bunga yang bermekaran telah terlihat di sepanjang jalan. Ini musim yang telah ditunggu. Setelah sekian lama bergelung dengan selimut yang tebal, kini bisa dengan bebas beraktivitas tanpa takut rasa panas dan dingin. Hanya kesejukan yang menguar, serta senyuman yang mengembang di wajah seorang wanita bersurai senada dengan guguran Sakura yang bermekaran.
Ah, wanita itu juga indah.
Parasnya seelok nama yang diberikan sang orang tua, Haruno Sakura. Yang berarti bunga Sakura di musim semi. Cocok untuknya yang selalu tampak ceria, beserta senyum yang selalu terhias di wajah manisnya.
Sakura sedikit berjalan tergesa menuju istana kerajaan. Kimono yang dikenakannya sedikit kotor diujung akibat debu tanah yang merebak akibat langkahnya. Rambut merah mudanya hanya disanggul dengan tusuk konde. Ia tak sempat membenahi dandanan akibat kabar mengejutkan yang diterimanya pagi ini. Ia sungguh terkejut, ketika mendapati sosok anbu, prajurit khusus kerajaan, telah menemuinya pada dini hari. Ternyata, sang raja sakit, dan ia harus cepat menemuinya.
Sebagai tabib kerajaan, ia harus selalu siap sedia. Mengobati tiap anggota kerajaan yang sakit, atau mengobati luka para prajurit yang telah berjuang di garis depan untuk mempertahankan wilayah, merebut wilayah, atau melakukan perluasan wilayah, serta melindungi rakyat. Tak ayal ia sering merasa lelah, belum ia harus mengobati para rakyat dengan gratis. Sungguh, pekerjaannya sebagai tabib kerajaan amatlah cukup untuk membiayai kehidupannya, hingga ia tak perlu meminta kepingan emas dari rakyat untuk biaya pengobatan. Karena ia tahu, di luar sana masih ada rakyat yang mati kelaparan karena kemiskinan. Meski negeri yang ditempatinya termasuk makmur.
Kedatangannya disambut oleh para dayang, sebelum ia memasuki kamar sang raja. Napasnya tercekat melihat sang raja kini terbaring lemah, tak berdaya di atas futon. Di sampingnya, duduk sang permaisuri dengan air muka sedih. Bahkan mata seindah mutiaranya telah berkaca-kaca. Sakura segera menghampirinya. Ia duduk di samping futon sang raja, pada sisi yang berbeda dari permaisuri.
"Hinata-sama…."
Suara itu mengalun pelan, tertelan udara. Kini keheningan merasuk, hanya isakan wanita yang dipanggil 'Hinata-sama' yang memenuhi ruangan. Sakura mendesah pelan. Hatinya kini terusik. Miris melihat sang raja yang hanya bisa tergolek lemah dan juga miris… akan dirinya sendiri.
Kadang, ia benci pada dirinya sendiri yang terus menjadi bayang-bayang hitam di antara keduanya. Ia tak bisa berpura-pura bahwa ia selalu dalam lingkupan cahaya putih. Karena sejujurnya, ia lebih hitam, lebih pekat dari sang kegelapan itu sendiri. Ia berdosa karena menjadi dinding penghalang hubungan sang permaisuri dan sang raja. Menjadi sosok yang terus membuntuti mereka, seolah ia adalah refleksi mereka di bawah cahaya. Ia malu, sungguh malu jika semua orang yang telah mempercayainya tahu bahwa ia seorang selir, sosok yang dibenci setengah mati karena merusak hubungan raja dan permaisuri.
Sebenarnya, ia tak tega menyakiti hati wanita yang kini menjadi permaisuri. Menyakiti sosok lembut, penuh pesona dan teramat anggun itu membuatnya semakin membenci dirinya sendiri. Ia tahu bahwa ia wanita jalang, ia lebih rendah dari sampah sekalipun. Karena ia kotor, sekotor-kotornya manusia. Pekerjaannya mulia, tetapi statusnya hina.
Ia ingin menghentikan semua. Tapi… tatapan memohon dari sang raja membuatnya tak berdaya. Lelaki yang terkenal angkuh itu bahkan pernah menangis untuknya, memohon agar Sakura tetap berada di sisinya. Menopang sosoknya yang terkenal kuat, tapi rapuh di dalamnya. Ia lebih tak tega lagi pada sang raja. Ia tahu benar bagaimana seluruh sifat lelaki itu, bagaimana ia bersikap dan menyembunyikan perasaan. Kekangan keluarga kerajaan membuat laki-laki itu merasa dalam sangkar, dimana segalanya diatur hingga perasaannya ikut diatur. Hingga kadang lelaki itu mati rasa, menjadikannya sosok dingin, dan tak tersentuh.
"Ngh…."
Suara yang meluncur dari bibir lelaki berparas tampan yang terbaring di atas futon itu membuat Sakura tersadar dari lamunan. Ia segera mengulurkan tangan mungilnya yang seolah tenggelam dalam lengan kimono berwarna kuning cerahnya. Sengatan rasa panas menjalari tangannya. Ia kemudian beralih pada tangan sang raja, memeriksa denyut nadi dengan tangannya sendiri. Ia memejamkan mata, merasakan tiap pergerakan udara dan getaran-getaran kecil yang berasal dari lengan sang raja.
Aneh.
Semuanya terasa aneh. Detak jantungnya normal, hanya suhu tubuh yang tinggi dan deru napas yang memberat. Penyakit apa sebenarnya? Tanyanya dalam hati. Kemudian pikirannya menjelajah jauh ke dalam ingatan masa lalu. Seolah ia pernah mengalami kejadian seperti ini sebelumnya.
Kemudian senyum penuh kelegaan hadir di wajah manisnya.
Hampir saja jantungnya terasa mau copot melihat keadaan raja yang mengenaskan. Tapi kini ia ingin tertawa, bahkan ia tak bisa menahannya lagi. Kikikan geli mengalun begitu saja dari mulutnya. Membuat Hinata yang terisak menatap wajahnya dengan bingung. Dan raja yang tadi memejamkan mata, kini menampilkan permata sekelam malam dengan dahi mengerut. Dengusan sebal keluar begitu saja.
"Apa yang kau tertawakan?!"
Sakura berusaha menghentikan kikikannya. Ia sadar telah melakukan hal tidak sopan di lingkungan kerajaan yang menjunjung tinggi kesopanan.
"Summinasen, Sasuke-sama. S-saya hanya… ti-tidak menyangka bahwa Anda masih…."
Sasuke memalingkan wajah. Kesal karena presepsi Sakura benar. Sedangkan Hinata masih menunggu apa yang akan dikatakan Sakura. Melihat suaminya tergolek lemah seperti tadi saja sudah cukup membuatnya sedih dan meneteskan air mata. Tapi mengapa tadi Sakura malah tertawa?
"Sa-saya tidak menyangka Anda masih sering mengalami demam musim semi[1]. Mungkin teh hijau dan memakan makanan hangat akan membuat Anda merasa lebih baik."
Ucapan Sakura hanya disambut dengusan Sasuke dan helaan napas penuh kelegaan oleh Hinata. Sebenarnya Hinata juga ingin tertawa, tapi itu tidak sopan apalagi ini menertawai suaminya. Ia hanya menyunggingkan senyuman di wajah cantiknya.
"Saya permisi dulu, Yang Mulia."
Sakura bangkit dari duduknya. Ia melangkah keluar setelah menggeser pintu. Ia tak sanggup lebih lama berada dalam satu ruangan dengan sepasang suami istri yang tampak serasi itu.
Ia mengela napas, entah yang keberapa. Ia akan menenangkan diri dulu sebelum memulai aktivitasnya sebagai tabib. Buncahan emosi kini mendeburnya dengan kuat. Membuatnya kesal pada dirinya sendiri yang tak bisa tegas. Ia tak bisa mengambil pilihan untuk tetap berada di sisi Sasuke ataupun meninggalkannya. Ia ingin meninggalkannya, tapi rasa cinta… Ya, cintanya yang sejak dulu terpendam untuk Sasuke mencegahnya. Jikalau ia tetap berada di sisi Sasuke, ia semakin merasa bersalah dan semakin membenci dirinya sendiri.
Biarkan waktu yang akan menjawab, desahnya dalam hati.
.
.
Sakura tersenyum pada anak kecil yang menatapnya dengan mata sayu. Jejak-jejak air mata masih terlihat jelas. Anak itu sehabis menangis, takut akan prasangka buruknya jika ia dibawa ke tabib, maka ia akan dipertemukan dengan sosok pria tua, dengan jenggot putih yang panjangnya menyentuh tanah. Terlebih lagi, jika nanti ia akan diminumkan ramuan herbal yang rasanya tidak enak, seolah mencuci mulutnya.
Dan ternyata tidak.
Ia dibawa ke bidadari –menurutnya, yang memerlakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Mengobatinya dengan ramuan manis, yang ia tak tahu terbuat dari apa.
"Ne, Konohamaru-kun, bagaimana perasaanmu?" Tanya Sakura dengan lembut. Ia mengusap kepala anak itu yang ditumbuhi rambut berwarna coklat.
"Um… terasa lebih baik," jawabnya dengan pandangan polos. Ia memiringkan kepalanya menghadap Sakura. "Ne, apa yang Sensei tuangkan ke dalam ramuan itu? Mengapa rasanya tidak pahit seperti dari tabib lainnya?"
Sakura tertawa. Ia mencubit pipi gempal Konohamaru dengan gemas, namun tak terlalu keras. "Kucampur dengan madu agar kau mau meminumnya. Kau suka?"
Konohamaru mengangguk. Ia tersenyum ceria. "Kapan-kapan buatkan lagi, ya?"
Wanita musim semi itu mengangguk dengan senyum lebar. Seringaian licik lebih tepatnya. "Aku tidak mau! Aku hanya memberikannya padamu jika kau sakit. Apa kau mau sakit terus?"
"Tentu saja tidak!" jawab Konohamaru kesal dengan bibir cemberut.
"Nah, pulanglah sekarang. Kau ditunggu orang tuamu."
Konohamaru langsung mengangguk dan berlari keluar setelah mengucapkan kata 'arigatō' pada Sakura. Wanita itu tersenyum. Keceriaan dari pasien-pasiennya seolah membuat rasa lelahnya menghilang seketika. Ia senang, bahagia bila ia dapat bermanfaat bagi orang lain. Karena baginya, manusia baru dianggap berarti jika dapat melakukan hal yang bermanfaat bagi orang lain.
"Sakura-chan."
Mendengar suara yang sangat khas dan ia kenali, Sakura mengangkat wajahnya dari gulungan kesehatan. Matanya sedikit membelalak melihat siapa yang datang.
Sosok itu…
Masih dengan senyum cerianya, dan juga sosok hangatnya. Mentari yang bersinar, itulah penggambaran tepat untuk Naruto yang kini berdiri di hadapannya dengan senyuman lebarnya. Sakura ikut tersenyum senang, rindu pada sahabatnya yang telah lama pergi untuk mempertahankan wilayah kerajaan dari penyerbuan musuh.
"Aku rindu Sakura-chan!"
Dengan cepat, Naruto memeluk Sakura. Namun dapat di cegah wanita itu dengan membentangkan kedua tangannya di depan dada.
"Jangan asal peluk, Baka!" Hardik Sakura dengan senyuman sinis. Ia bersiap menjitak Naruto dengan mengepalkan tangannya.
"Aku 'kan baru saja pulang misi. Kenapa Sakura-chan mau memukulku? Kejamnya~"
Naruto merengek dengan memeluk lengan Sakura. Mata sebiru langitnya memandang Sakura dengan penuh kelembutan. Saat-saat seperti inilah yang ia rindukan. Dapat tertawa bersama dengan Sakura, tanpa perlu memikirkan kekhawatiran jika musuh datang menyerang. Ia akan melupakan sejenak jabatannya sebagai jendral dari para prajurit. Ia akan menjadi sosok Uzumaki Naruto di hadapan Sakura. Tersenyum tulus, dan berusaha menjaga Sakura dari segala ancaman.
"Iya-iya. Sini, kuobati lukamu," kata Sakura. Ia menarik Naruto duduk di lantai tatami beralas karpet tebal. Wanita itu mengobati luka-luka Naruto dengan telaten. Berusaha agar tak menyakiti pria berambut pirang itu.
Naruto memang tak bisa menahan perasaanya. Dan ia tak pernah berniat untuk membunuh perasaan itu. Semuanya berkembang tanpa bisa ia cegah. Hingga debaran jantungnya perlahan menggila, rona merah pun tak jua hilang dari wajahnya kala berhadapan dengan Sakura.
Karena Uzumaki Naruto mencintai Haruno Sakura.
.
.
Malam semakin larut. Pendar bulan seolah menghilang, bahkan sang bintang pun enggan menampakkan diri. Suhu riuh rendah, kontras dengan malam-malam lain yang seharusnya cerah di musim semi. Lolongan serigala perlahan terdengar, tanda malam telah berangsur-angsur meninggi. Sebagian besar orang akan memilih untuk menutup pintu rumah mereka rapat-rapat, karena suasana yang mencekam.
Sosok itu berdiri tegap di atas atap sebuah rumah. Memakai pakaian serba gelap. Ditambah cahaya remang-remang dari lentera yang di pasang oleh warga tak mampu memerlihatkan wajahnya. Hanya matanya yang berpendar merah, sewarna dengan darah. Menatap tajam sebuah bangunan kayu tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia melompati tiap atap dengan kemampuan khusus. Karena ia adalah seorang ninja kelas hebat.
Ia berhenti, tepat di depan jendela kayu yang tertutup. Ia hapal tempat itu, sangat hapal. Dengan perlahan, ia membukanya. Tidak terkunci dan memang selalu dibiarkan agar tak terkunci. Ia bergumam sesuatu hingga terdengar bunyi 'poff' kecil. Kekkai yang terpasang pun lenyap. Ia memasukinya dengan mudah, memasangnya lagi agar kegiatannya nanti tidak terganggu.
Mata semerah darah itu berangsur-angsur menghitam, kemudian memandang lembut wanita yang tengah tertidur di atas futon. Ia menghampirnya dan langsung saja membaringkan dirinya di samping wanita itu. Memandangi wajah damai itu sebelum mengecup bibir mungil yang seolah menggodanya. Kecupan-kecupan itu terus berlangsung, berulang-ulang. Hingga sang empunya terusik dan terbangun.
"Ss-Sa-Sasuke-sama…? A-Anda sedang sakit. Tak seharusnya di sini."
Pria itu memandang tajam dan memeluk Sakura dengan erat. Dikecupnya puncak kepala wanita itu dengan penuh kasih sayang. "Aku merindukanmu."
Sakura mengangguk di dada bidang Sasuke. Ia tersenyum kecil merasakan kehangatan yang menjalar ditiap relung hatinya. Perlakuan lembut Sasuke seakan melumerkannya. Membuatnya nyaman meski dalam dekapan penuh keposesifan.
Tapi…
Semua ini akan berakhir ketika fajar menjelang. Pria itu akan datang tengah malam. Menghabiskan penghujung dan awal hari dengannya. Entah sekedar memeluknya, membicarakan tentang segala hal atau… bercinta. Ia tak pernah bisa menolak kedatangan lelaki itu, karena hati kecilnya pun meminta demikian. Tapi, ia sadar siapa dirinya. Maka, ia hanya bisa mengharapkan kedatangan Sasuke hingga tertidur, atau menggantungkan harapan hampa ketika Sasuke tak datang menemuinya.
Biarlah, ia rela jika ia menjadi yang kedua. Asal Sasuke akan kembali berlabuh padanya, memeluknya penuh kehangatan dan mengecupnya penuh sayang. Tanpa ada seorang pun tahu, apa yang mereka lakukan saat kedudukan bulan tertinggi hingga fajar terguris di cakrawala.
TO BE CONTINUED…
[1] Demam musim semi itu biasanya yang kena anak-anak. Jadi Sasuke malu karena udah gede masih aja demam musim semi, wkwkwk.
A/N:
Holaaaaaaaa! Ada yang kangen saya? #wink #ditabok
Muehehehehe, saya bawa fanfic Multi chapter tapi baru prolog, semoga pada suka yaaa ;)
Ini tentang Selir alias gundik, tapi bukan selir yang selir-seliran(?). Wkwkwk, btw Concubine artinya Selir/Gundik kan ya? :/
Settingnya ini sesuai imajinasi saya karena saya terlalu males nge-search di mbah google tentang kerajaan Jepang zaman dulu. Dan soal ninja itu, kalo ga salah aku pernah baca zaman dulu juga udah ada ninja dan samurai. Jadi, dianggep ini AR alias Alternative Reality juga boleh #maksa :p
Jangan lupa tinggalkan review untuk melihat bagaimana tanggapan kalian tentang fanfic ini. ;D
Yang review saya kasih hadiah kecup deh, muaaach :*
Salam hangat,
-Hydrilla :)