Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto, cover isn't mine, and this fanfic belongs to my self.

Warnings : Canon (or Semi Canon?), OOC, Miss Typo, Unclear Story, Bad Diction & Plot, Too Much Description, etc.

Genre : Drama, Romance, Family, & Hurt/Comfort

Recommended Backsong :

# Tokyo - YUI

.

Happy reading, y'all! ^^

.

OoOoO

"Aku pulang dulu, Onii-san," ucap Hinata sembari membungkuk. Setelah ditegakkannya kembali badan, ia pandangi pusara kakak sepupunya sesaat dengan senyum sendu. Lalu Hinata pun memutar tubuh dan mulai melangkah menjauh.

Langit pagi itu terlihat cerah membiru, ditemani mentari yang menyebarkan sinar hangatnya di musim gugur. Sambil tetap berjalan, Hinata mendongakkan kepala dan menarik kedua sudut bibir, berusaha menyamai suasana hatinya dengan sang cuaca. Ia tak ingin bersedih lagi. Tak ingin membuat yang lainnya mengkhawatirkannya lebih lama lagi.

Perang Dunia Ninja IV memang sudah berlalu selama lebih dari sebulan. Banyak perbaikan-perbaikan telah dilaksanakan, namun trauma akibat perang tentu masih ada yang merasakannya. Banyak yang telah gugur, namun ada kehidupan-kehidupan lain yang harus terus dilanjutkan.

Bukankah masa depan memang harus tetap dipertahankan eksistensinya?

Pandangan Hinata lantas tanpa sengaja terpaku pada satu sosok, membuat langkah Hinata seketika terhenti kaget. Meski hanya dari jarak yang tidak terlalu dekat, Hinata langsung bisa mengenali sosok itu. Mengenali sosok yang kini tengah berdiri membelakanginya.

Pemakaman khusus klan Hyuuga memang letaknya tidaklah jauh dari pemakaman khusus klan Uchiha. Hanya saja Hinata sama sekali tak mengira akan bisa melihat Uchiha Sasuke. Bukankah pemuda itu seharusnya masih beristirahat di rumah sakit? Atau … mungkinkah sudah boleh pulang?

Sepasang mata Hinata mengikuti arah pandangan Sasuke. Tiga pusara tampak terhiasi oleh beberapa bunga krisan putih. Salah satu pusara itu masih terlihat baru. Sang calon Hokage-lah yang berinisiatif membuatkan pusara itu. Pusara untuk Uchiha Itachi.

Hinata tiba-tiba merasakan kepedihan melingkupi keseluruhan dirinya. Segera ia alihkan tatapan mata, berganti memandang punggung Sasuke dengan nanar. Punggung itu terlihat kokoh dan tegap, namun ada kerapuhan mutlak yang terbelenggu kuat di baliknya. Ada perisai tebal tercipta secara tak kasatmata untuk menutupi sejuta bentuk rasa kesepian.

Masih terdiam, Hinata menyadari tetesan-tetesan air mulai meluruh jatuh dari pelupuk matanya. Buru-buru dihapusnya cairan bening itu hingga tak bersisa. Hinata tahu kalau ia tidak terlalu mengenal Sasuke secara pribadi, tetapi … ia bisa memahami bagaimana perasaan Uchiha terakhir itu.

Apa mungkin karena ia juga pernah merasakannya? Merasakan kehilangan orang-orang yang sangat berharga dengan cara yang hampir sama? Merasakan kesepian menyerangnya?

Hinata menghirup oksigen untuk dadanya yang terasa sesak. Kemudian, mengikuti dorongan hati, langkah kaki Hinata akhirnya bergerak mendekati pemuda berambut raven itu. Gelenyar kegugupan tentu langsung melanda diri Hinata, kunoichi Konoha yang nyaris tidak pernah berinteraksi dengan seorang Uchiha Sasuke.

"O-ohayou, Uchiha-san," sapa Hinata setelah sampai tepat di samping belakang Sasuke. Tak lupa ia juga membungkuk sopan.

Tak ada sahutan. Tak ada pergerakan. Sasuke masih tetap bergeming. Dan Hinata mengerti alasannya.

Tubuh Hinata kembali tegak, lalu maju ke depan agar bisa lebih dekat ke ketiga pusara itu, hingga kini Hinata yang berdiri membelakangi Sasuke. Hinata pun lekas berlutut dan menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada.

Rentetan doa tercetus dalam hati Hinata. Doa-doa yang sering ia rapalkan setiap kali mengunjungi pusara sang ibu, paman, dan kakak sepupunya. Hinata sangat berharap keluarga Sasuke juga bisa tenang di alam sana.

Setelah selesai, Hinata kembali berdiri. Ia bungkukkan badannya pada ketiga pusara itu, lalu beralih membungkuk ke arah Sasuke, berniat untuk pamit.

Masih seperti sebelumnya, tidak ada tanggapan sedikit pun dari Sasuke. Hinata tanpa sadar menggigit bibir, lantas ia segera membalikkan tubuh dan mulai berjalan. Namun baru dua langkah pendek, Hinata justru menoleh ke belakang, kembali terfokus memandangi punggung itu.

Tertegun, Hinata mendapati tangan kanannya terulur hendak menjangkau punggung Sasuke. Dorongan itu terlalu kuat, hingga Hinata tidak sanggup untuk menolaknya. Tidak sanggup mencegah dirinya beranjak menghampiri Sasuke dan berdiri di hadapan pemuda itu.

Hinata bisa melihat manik hitam Sasuke kini menghujamnya dengan tatapan amat dingin dan tajam. Namun, seolah berada di bawah pengaruh hipnotis, Hinata justru mengabaikannya dan beralih … merengkuh Sasuke ke dalam pelukannya.

Semakin terpana akan apa yang tengah dilakukannya kini, Hinata hanya bisa memejamkan mata rapat-rapat. Kemudian akhirnya ia memilih untuk pasrah.

Sasuke memang tidak menerima maupun menolak pelukannya, namun Hinata bisa merasakan keterkejutan pada tubuh Sasuke yang membeku tegang. Tetapi entah kenapa … Hinata justru mendapati pelukannya ini tidak terasa salah. Tidak terasa ganjil.

Hinata kemudian kembali teringat akan punggung yang menjadi fokus matanya tadi. Punggung yang menyimpan banyak variasi luka.

Kelopak mata Hinata perlahan terbuka, seiring dengan napasnya mengembus hati-hati. "Semuanya akan baik-baik saja. Percayalah," bisik Hinata pelan. Tangannya menepuk-nepuk punggung Sasuke dengan lembut.

Ketegangan yang menjalar dalam tubuh Sasuke mulai menghilang, Hinata bisa merasakannya. Menjadi lebih tenang. Lebih damai. Bibir Hinata tanpa sadar mengukir senyum.

Namun pelukan itu tidak berlangsung lama. Setelah mampu menguasai dirinya lagi, Hinata pun melepas rangkulan kedua lengannya. Dan baru ia sadari panas sudah menyebar di mukanya yang memerah. Ditambah … sejak kapan jantungnya berdetak sekencang ini?

Tidak. Saat ini Hinata tidak berani lagi memandang wajah Sasuke. Jadi Hinata langsung membungkuk rendah. "A-aku minta maaf. Permisi," ucap Hinata lalu segera berlari menjauh.

Sayangnya, Hinata tidak melihat satu hal: Sasuke kini menyaksikan kepergiannya itu. Menatap sosok Hyuuga Hinata dengan pandangan tak terdefinisikan. Untuk pertama kalinya.

.:.

.:.

OoOoO

.:.

.:.

Di tengah kegelapan, seseorang melompat-lompat cepat melintasi atap berbagai bangunan, hingga akhirnya mendaratkan diri di sebuah dahan pohon. Bulan yang sebelumnya bersembunyi di balik awan, kini kembali menampakkan wujud agungnya. Seseorang itu pun ikut tersorot oleh cahaya sang bulan, membuat sebentuk wajah tanpa ekspresi terlihat.

Uchiha Sasuke lantas mengubah posisi berdirinya menjadi duduk. Sambil memejamkan mata, Sasuke memilih berdiam diri. Saat ini Sasuke sedang menunggu kemunculan seseorang, salah satu kegiatan rahasia yang tanpa sadar menjadi rutinitasnya selama enam hari terakhir.

Tak berapa lama kemudian, Sasuke mendengar suara langkah yang tidak asing lagi. Suara langkah yang akhir-akhir ini justru terdengar semakin familier di gendang telinganya.

Sasuke membuka mata, dan mengalihkan pandangan ke arah sang pemilik langkah. Hyuuga Hinata kini mulai berjalan menjauhi rumah Kurenai-sensei, setelah berpamitan pada Shikamaru dan Ino.

Dari pemantauan yang dilakukannya secara diam-diam, Sasuke mengetahui kalau setiap siang hingga malam Hinata sering berada di rumah Kurenai-sensei. Guru kelompok delapan itu ternyata baru dua minggu yang lalu melahirkan putra pertamanya.

Sasuke sendiri masih bergeming. Ia hanya memperhatikan sosok Hinata lurus-lurus. Sosok bersurai indigo yang seminggu lalu tanpa diduga sudah berani memeluknya.

Namun … sejak detik itu pula Sasuke merasakan keanehan-keanehan mulai muncul dalam dirinya. Berbagai perasaan asing melingkupi Sasuke dengan nyalang, yang sialnya tidak kunjung menghilang meski Sasuke sudah berusaha mengabaikannya.

Saat di pemakaman itu, Sasuke memang sengaja mengacuhkan keberadaan Hinata yang tiba-tiba muncul di dekatnya. Ia tidak terlalu mengenal kunoichi bermata bulan itu, hanya tahu namanya dan sesekali seperti pernah melihatnya ketika di akademi dan ujian chuunin dulu, ditambah ketika Hinata juga ikut menjenguknya di rumah sakit beberapa minggu lalu. Sasuke juga membiarkan saja Hinata berdoa di depan pusara keluarganya. Pun tetap tidak memberi respon ketika gadis itu kemudian berpamitan.

Akan tetapi, hanya dengan satu pelukan dari Hinata … segalanya langsung terasa berubah.

Sasuke bisa saja langsung melepas pelukan itu, namun ternyata tak ia lakukan, karena memang tidak ada sedikit pun keinginan untuk membuat pelukan itu menghilang. Hal pertama yang membuat Sasuke benar-benar tak habis pikir!

Anehnya, pelukan Hinata itu terasa nyaman sekaligus tepat ketika melingkari tubuhnya. Entah kenapa, kata-kata yang diucapkan oleh Hinata juga membuatnya langsung percaya, bahwa semuanya memang akan baik-baik saja. Tepukan-tepukan lembut tangan Hinata di punggungnya pun terasa mendamaikan, seolah mampu membuat semua keletihan dalam dirinya menguap seketika.

Dan … ketika Hinata melepas pelukannya, kenapa ia justru merasakan kehilangan yang amat sangat?

Saat menyadari sosok Hinata semakin mengecil, Sasuke akhirnya beranjak berdiri. Ia kembali melompat-lompat dengan cepat dan sembunyi-sembunyi. Kali ini Sasuke berdiri di puncak sebuah tiang listrik saat Hinata berbelok. Sekali lagi Sasuke hanya diam membisu. Hanya matanya yang terfokus memperhatikan Hinata melangkah sendiri di jalanan yang sepi.

Namun, saat seharusnya Hinata kembali berbelok di sebuah pertigaan jalan, tiba-tiba saja gadis itu berhenti melangkah. Sasuke mengernyit, kemudian berubah waspada. Ia ikuti arah pandang Hinata, dan kontan mendengus pelan.

Ternyata Naruto dan Sakura mendadak muncul dari sebuah tikungan yang jaraknya cukup jauh di depan Hinata. Namun, karena keduanya melangkah di jalanan yang berlawanan arah dengan posisi gadis itu sekarang, keduanya pun tidak menyadari keberadaan Hinata.

Sasuke mengawasi Hinata dengan perasaan kesal dan khawatir. Sasuke juga sudah tahu mengenai fakta Hinata yang menyukai Naruto sejak di akademi, sahabat sekaligus saingan Sasuke yang berhasil mengalahkannya dalam persaingan untuk memperebutkan posisi Hokage. Posisi yang juga terpaksa Sasuke akui memang lebih pantas dan tepat untuk dimiliki Naruto.

Sambil mengepalkan tangan, Sasuke kemudian berusaha keras menghalau amarah yang meletup kuat di dadanya. Amarah yang entah datang dari mana. Ia pandangi Hinata yang masih bergeming, kali ini dengan tatapan tajam yang penuh tekad.

Sasuke tidak tahu, Hinata justru tersenyum ketika melihat kebersamaan antara Naruto dan Sakura. Gadis Hyuuga itu sudah beberapa minggu ini belajar menerima kenyataan. Dan Hinata sudah sering berhasil menghadapinya tanpa perlu merasa terlalu sakit lagi, seperti dulu.

Hinata memang sempat memiliki firasat kalau Naruto tidak akan menerima perasaannya, terbukti ketika akhirnya Naruto mengatakannya secara langsung pada Hinata saat ia menjenguk pemuda itu di rumah sakit.

Sejak dulu, yang hanya menjadi pusat kedua mata Uzumaki Naruto hanyalah sosok seorang Haruno Sakura. Pada akhirnya Naruto memang berhasil membuat Sakura mengalihkan pandangannya dari Sasuke, dan hanya menatap pada dirinya seorang.

Hinata memahami semangat pantang menyerah Naruto itu, salah satu yang Hinata pelajari dari sang calon Hokage. Namun, apakah ia juga harus menyerah terhadap perasaannya pada Naruto?

Hinata tahu ia tidak sepenuhnya telah menyerah. Ia hanya sudah mencapai garis finish-nya, meski ternyata tidak berhasil menggenggam kemenangan. Garis itu sudah bisa Hinata capai dengan melalui banyak perjuangan keras, tanpa perlu berhenti di tengah jalan untuk menjangkau garis tersebut. Dan itu yang menjadi kepentingan utama bagi Hinata. Naruto pun tetap akan tersimpan di salah satu sudut kecil hati Hinata, sebagai kenangan mengenai sebentuk cinta pertama.

"Dasar bodoh."

Hinata seketika tertegun saat mendengar suara datar yang mengalun dari belakangnya itu. Sebuah telapak tangan besar kini berada di puncak kepala Hinata, sebelum akhirnya menghilang bersamaan dengan sesosok pemuda berjalan melewatinya.

Lambat-lambat, Hinata mengerjapkan matanya dua kali. Masih tak percaya, Hinata terus mengikuti pergerakan Uchiha Sasuke. Ketika pemuda itu berbelok dan menghilang dari pandangannya, Hinata sontak melangkahkan kaki, namun kemudian langsung berhenti tepat di tengah persimpangan jalan.

Sambil tetap memandangi Sasuke yang berjalan pelan, kilasan ketika Hinata memeluk pemuda Uchiha itu mendadak kembali berkelebat di benaknya. Kini bisa Hinata rasakan semburat merah tipis menjalar di wajahnya, seiring dengan denyut jantungnya yang berdetak sangat cepat.

Hinata memalingkan wajah, memandang ke jalan tempat Naruto pergi bersama Sakura. Sosok pemuda bersurai kuning cerah itu sudah terlihat sangat kecil dan jauh. Kemudian Hinata kembali memandang Sasuke. Ia masih bisa melihatnya, melihat dengan jelas sosok pemuda bersurai hitam pekat itu.

Apakah firasatnya yang tadi mengatakan … bahwa ia sedang memandang jalan menuju masa depannya? Ataukah … itu suara Kami-sama?

Tanpa memalingkan wajahnya lagi, Hinata segera berlari kecil menyusuri jalanan itu. Hinata tidak langsung berjalan di samping Sasuke, memilih hanya mengikuti langkah pelan pemuda raven itu dari belakang.

Hinata pandangi sosok itu lekat-lekat, lalu kepalanya tertunduk. Hinata sama sekali tak menyangka akan ada saat-saat seperti ini. Apakah … Sasuke tidak marah padanya karena kejadian minggu lalu?

Sejak saat itu, Hinata memang jadi sering memikirkan Sasuke. Hinata merasa sangat takut jika ternyata Sasuke jadi membencinya karena tindakannya itu. Hinata sendiri masih tak bisa mengerti alasan yang membuatnya berbuat sedemikian rupa.

Ini juga kali pertamanya Hinata melihat Sasuke lagi semenjak kejadian di pemakaman itu. Setelah diperbolehkan keluar dari rumah sakit, ternyata Sasuke lebih sering memilih berdiam diri di rumahnya. Satu fakta yang justru membuat Hinata sangat sedih saat mengetahuinya. Entah kenapa.

Dan kini di sinilah Sasuke. Melangkah di depannya. Benar-benar berada dalam jangkauan matanya lagi. Anehnya, itu … sudah berhasil membuatnya sangat bahagia.

Tetapi, kenapa tadi Sasuke menyebutnya bodoh? Karena sudah berani memeluknyakah? Atau … jangan-jangan Sasuke tadi melihatnya diam-diam memperhatikan Naruto bersama Sakura?

Karena terlalu sibuk merenung, Hinata sampai tidak menyadari Sasuke yang berhenti melangkah. Alhasil Hinata pun menubruk pelan punggung Sasuke, bersamaan dengan terdengarnya sebuah suara bernada menggoda.

"Nah. Nah. Siapa itu yang ada di belakangmu, Sasuke?"

Hinata terkesiap. Takut-takut, ia menengok dari balik tubuh Sasuke. Dan dilihatnya tiga pasang mata yang memandanginya dengan ekspresi yang berbeda-beda. Ternyata Sasuke dan Hinata sudah sampai di persimpangan jalan, berpapasan dengan ketiganya yang baru keluar dari jalanan sebelah kiri.

"Hyuuga-san?"

Hinata berkedip. Diperhatikannya salah satu yang memiliki rambut berwarna jingga. "Ah, Juugo-san." Hinata segera keluar dari balik tubuh Sasuke lalu membungkuk dengan kikuk.

"Kau mengenalnya?" tanya Suigetsu, sang pemilik suara pertama.

"Aku pernah tak sengaja bertemu dengannya di klinik rumah sakit," Juugo menjawab sambil tersenyum kecil, sangat menyadari tatapan Sasuke menajam ke arahnya.

Suigetsu mengangguk sekali. Diliriknya Karin yang berdiri di sampingnya, kemudian ia menyeringai. "Hati-hati, Nona Hyuuga. Kau sudah membuat seseorang cemburu."

Hinata langsung mendongak. Matanya membulat kaget dan bingung.

Karin spontan menyikut keras perut Suigetsu. "Jangan bercanda. Aku tidak cemburu sama sekali," sahut Karin dengan wajah angkuh. "Kalaupun aku cemburu pada mereka, nanti akan ada seseorang yang cemburu."

Suigetsu mendengus geli. "Memang siapa seseorang itu?"

"Siapa pun itu," Karin menjawab sekenanya.

"Kami bertiga sebenarnya baru saja ingin pergi ke rumahmu, Sasuke," Juugo kembali berbicara, mencoba mencegah adu mulut kedua temannya berlanjut lebih lama. "Orochimaru-sama mengundang kita makan di tempatnya."

"Sudah kubilang dia pasti menolak ajakan kita."

"Hn," Sasuke hanya bergumam singkat, membenarkan kata-kata Suigetsu.

"Kami mengerti." Juugo kembali tersenyum, tahu pasti alasan Sasuke yang sebenarnya. Sesaat dipandangnya Hinata yang sudah kembali menunduk malu. Ia sekarang sudah bisa merasa lega.

Akhir-akhir ini, Karin memang lebih sering tidak mengaktifkan chakra-nya, membuat kunoichi berkacamata itu pun jadi tidak dapat merasakan keberadaan chakra Sasuke tadi di dekatnya. Karin mengira Sasuke masih berada di mansion Uchiha seperti biasanya.

Namun kini setelah Karin sudah mengaktifkannya, ia justru merasa chakra Sasuke tidak seperti biasanya. Terasa lebih tenang. Lebih hidup. Apakah karena kunoichi Hyuuga yang memiliki chakra hangat dan lembut ini?

"Kalau begitu, kami pergi dulu, Sasuke, Hyuuga-san."

Ketika suara Juugo mengajaknya berpamitan, Karin memandang Sasuke dan Hinata untuk terakhir kalinya. Kemudian Karin memutar tubuh dan diam-diam tersenyum. Entah kenapa rasanya tepat.

Hinata hanya bisa membungkuk kecil dan kikuk saat mereka bertiga mulai beranjak pergi, tepat ke jalanan di depannya. Kini tinggal Sasuke dan dirinya yang masih berada di tengah-tengah perempatan jalan.

Tanpa mengatakan apa-apa, Sasuke tiba-tiba saja beringsut melangkah ke jalan di sebelah kanan mereka, salah satu jalur yang akan membawa Sasuke menuju mansion Uchiha. Hinata sontak menoleh, tak bisa mencegah dirinya memperhatikan sosok itu dengan sendu.

Apakah hanya sampai di sini saja?

Hinata beralih menoleh ke kiri, melihat jalanan yang berlawanan arah dengan jalanan yang Sasuke tuju. Jalanan itu juga akan menjadi salah satu jalur Hinata untuk bisa sampai ke mansion Hyuuga. Pulang ke tempat itu memang niat awal Hinata sebelum bertemu dengan Sasuke. Tapi … kenapa ia sekarang justru merasa enggan melewati jalanan itu?

Dasar bodoh! Hinata merutuki dirinya dalam hati.

"Kau bisa memasak?"

Spontan Hinata mengalihkan fokus matanya, kembali memandang Sasuke yang ternyata sudah berhenti melangkah, masih berdiri membelakanginya.

Hinata berkedip terperangah. "Ya?"

.:.

.:.

OoOoO

.:.

.:.

Ada senyum tipis di bibir Sasuke, tersamarkan oleh topeng wajah tanpa ekspresinya. Dinikmatinya makanan yang tersaji di depannya dengan perlahan, namun penuh kelahapan.

Sementara Hinata—yang tidak ikut makan karena sudah melakukannya di rumah Kurenai-sensei—hanya bisa menundukkan kepala. Hinata masih belum berani melihat raut wajah Sasuke sekarang. Terlalu takut untuk segera mengetahui tanggapan Sasuke terhadap makan malam yang telah ia buat itu.

Kau bisa memasak?

Hinata sama sekali tak menyangka akan mendengar jenis pertanyaan seperti itu dari bibir Sasuke. Meski sejenak sempat merasa kaget, pertanyaan itu berhasil membuat jiwa seorang gadis dalam diri Hinata seketika bereaksi, ingin membuktikan kemampuan memasaknya pada pemuda bermata jelaga pekat tersebut.

Dan di sinilah Hyuuga Hinata, duduk di ruang makan di kediaman Uchiha Sasuke, setelah selesai mengolah bahan makanan yang ada di dapur rumah pemuda itu. Hinata tentu saja berusaha keras memasak sebaik mungkin untuk Sasuke, walaupun ia sebenarnya belum yakin apakah masakannya sesuai atau tidak dengan selera lidah bungsu Uchiha itu.

Ah, andai saja kau mau mengangkat kepalamu, Hinata, kau pasti bisa melihat ekspresi kepuasan yang ada di mata Sasuke.

Sembari tetap makan, Sasuke memang tak melepaskan pandangannya dari Hinata. Ternyata keputusannya malam ini menolak ajakan Naruto untuk makan bersama Tim Tujuh ataupun ajakan Tim Taka untuk makan bersama Orochimaru bukanlah sebuah kesalahan.

Bisa menikmati masakan yang dibuat sendiri oleh Hinata … merupakan salah satu keinginan Sasuke yang akhirnya kini dapat terwujud nyata.

Meski hanya masakan rumahan, ternyata masakan Hinata rasanya lebih enak dari yang pernah Sasuke bayangkan sebelumnya. Sebenarnya Sasuke sudah tahu kalau Hinata bisa memasak. Sasuke pernah beberapa kali melihat Hinata membawa makanan ke rumah Kurenai-sensei atau pun memasak di rumah wanita yang sudah menjadi seorang ibu itu, tentu saja secara sembunyi-sembunyi.

Sasuke tersenyum beberapa sesaat. Ia letakkan gelas yang isinya sudah tandas. "Tidak terlalu buruk," ucap Sasuke kemudian.

Hinata spontan mendongak saat menangkap suara bernada datar itu. Matanya berkedip tak mengerti. "Ya?"

"Masakanmu."

Segera Hinata menatap piring-piring dan mangkuk yang sudah kosong, baru menyadari benar maksud Sasuke. "Ah. A-arigatou, Uchiha-san," Hinata langsung menyahut dengan kepala yang kembali tertunduk.

Sasuke mengangkat alis, lalu mendengus kesal. "Kau orang yang aneh."

"Eh?"

"Saat di markas udara Negara Langit waktu itu, kau memanggilku hanya dengan nama kecilku," ungkap Sasuke akhirnya.

Sejak kejadian di pemakaman itu, Sasuke memang sudah sempat membuka memorinya di masa lalu, mencoba mengingat-ingat keberadaan Hinata di sekitarnya. Dan samar-samar Sasuke ingat pernah melihat Hinata di salah satu kapal Negara Langit saat menjalani perintah dari Orochimaru dulu.

Dengan tatapan yang semakin tajam karena terlanjur merasa kesal, Sasuke kembali bersuara, "Lalu kenapa sekarang berubah? Saat di pemakaman kau juga tidak langsung menyapaku dengan panggilan itu."

Hinata sejenak terkesiap, lalu menelan ludahnya susah payah. Dipejamkannya mata rapat-rapat. Suara Sasuke terdengar begitu dingin sekaligus menuntut, membuat Hinata meremas jemari tangannya dengan gelisah di pangkuan. Gemetar ringan pun mulai merayap di sekujur tubuhnya.

"A-aku minta maaf," Hinata mulai menjawab dengan lirih. "Saat di Negara Langit itu, mung-mungkin aku hanya refleks mengucapkannya. A-aku juga sepertinya tidak sadar wak-waktu itu. Dan saat di pemakaman—"

Bibir Hinata berhenti berbicara. Kedua matanya membulat sempurna. Sebuah telapak tangan besar kembali Hinata rasakan kini menepuk puncak kepalanya, membuat gadis itu kontan terdiam dalam beku kesima.

"Mulai sekarang … panggil namaku seperti pertama kali kau memanggilku," pinta Sasuke tanpa intonasi. Sekali lagi ditepuknya puncak kepala Hinata, lalu menjauhkan kembali tangannya yang tanpa Sasuke sadari sedikit bergetar.

Gemetar di tubuh mungil itu berhasil membuat Sasuke waswas seketika. Ketakutan dalam suara yang melirih itu juga ternyata membuat Sasuke tidak tenang. Ia tidak mau membuat Hinata takut pada dirinya. Ia tidak mau membuat Hinata jadi membenci dirinya. Ia sungguh-sungguh tidak mau melihat kebencian yang pernah diterimanya dulu ada di mata Hinata.

Jika Hinata sekarang benar-benar … jadi berbalik membencinya, apa yang harus ia lakukan? Bagaimana ia bisa bertahan nantinya?

"A-aku harus pulang."

Tidak!

"Ini sudah malam," kata Hinata lagi seraya mengangkat kepalanya perlahan, "Sasuke-kun."

Tertegun, Sasuke bisa merasakan nyeri di jantungnya langsung menghilang. Senyum gugup nan manis di wajah Hinata yang merona tipis membuat gelombang kelegaan membanjirinya. Mendengar panggilan Hinata untuknya itu membuat hati Sasuke menghangat lagi.

Apakah … bahagia memang bisa sesederhana ini?

Sasuke akhirnya mengangguk. Ia biarkan Hinata merapikan peralatan makannya dan mencucinya di dapur, karena Sasuke sebenarnya masih ingin Hinata berada di rumahnya. Tetapi Sasuke berusaha mencoba untuk mengerti.

Diselimuti keheningan, Sasuke menemani Hinata menuju gerbang depan rumah keluarganya. Ketika sudah sampai, bibir Sasuke sedikit terbuka hendak berbicara, namun kemudian kembali tertutup.

Hinata yang masih menundukkan kepala, lantas membungkuk gugup. "Aku pulang dulu. Selamat malam."

"Hn," gumam Sasuke singkat, sementara dalam hati ia mengutuk dirinya sendiri.

Alih-alih berjalan seperti tadi, Hinata ternyata memilih untuk segera melompat-lompat melintasi malam dalam perjalanan pulang ke mansion Hyuuga. Sasuke yang menyaksikan itu akhirnya jadi merasa tidak terlalu khawatir lagi.

Namun, rasa kehilangan tanpa bisa dicegah kembali menyeruak dalam diri Sasuke. Kesal karena baru sebentar saja ia justru sudah merindukan Hinata, Sasuke pun memutar tubuh dan bergegas masuk ke dalam rumahnya.

Saat Sasuke menyusuri koridor menuju kamarnya, fokus mata obisidiannya tanpa sengaja terpancang pada sebuah foto di ruang keluarga. Foto itu tampak terbingkai rapi dan tergantung di dinding.

Dengan langkah getir, Sasuke berjalan mendekati foto itu, foto yang menampilkan sebentuk keluarga kecilnya dulu. Sasuke begitu menyayangi tiga sosok yang mendampingi dirinya semasa kecil di foto itu.

Apakah … suatu saat nanti ia juga bisa membuat foto seperti ini? Foto keluarga kecil yang ia bentuk di masa depan nanti?

Tersentak kaget, sepintas Sasuke seakan melihat foto itu berubah menjadi gambaran lain, yang memperlihatkan dirinya dan Hinata bersama anak-anak mereka. Tampak bahagia. Tampak utuh.

"Okaa-san, Otou-san, Aniki," bisik Sasuke, pelan dan rendah. "Apa benar … aku sudah jatuh cinta pada gadis Hyuuga itu?"

.

.

.

*TBC*

A/N :

Sebenenya fanfic ini salah satu dari dua fanfic yang pengen aku buat untuk SHDL tahun ini, tapi ternyata gak bisa aku selesain sampai batas waktunya. *sigh* Yang lagi satu juga belum aku buat, karena MMD aja belum selesai. Niatnya bikin one shot, jadinya malah panjang banget. Udah jadi 13k+ words, tapi belum selesai. Tinggal satu scene terakhir.

Maunya setelah bener-bener selesai baru aku publish, tapi mungkin—buat yang belum terbiasa baca cerita panjang yang sejenis ini—bakalan ngerasa bosen bacanya. Jadi aku jadiin tiga chap. Alur MMD juga kayanya terlalu lambat. Tapi selera dan feel orang emang gak selalu sama sih. -"

Cerita di fanfic ini emang bisa dibilang berhubungan dengan salah satu alasan terbesarku jatuh cinta sama SasuHina. (Cuman semacam penerapannya aja yang dalam bentuk cerita. Di chapter terakhir nanti aku jelasin maksudnya. ;p) Jadi maaf kalau ngerasa ceritanya ya rada gimana gitu. Hehe. Tapi semoga tidak terlalu mengecewakan. ^^

Oke. Ini dia balesan untuk review anon di fanfic Home Sweet Home. Sebelumnya terima kasih banyak untuk semua yang sudah berkenan membacanya atau yang sekaligus memberi review. Maaf ya baru dibales. ^^

# Emma : Walopun bukan terinspirasi dari lagunya Yuki itu, tapi aku juga sempet kepikiran lho. Kekeke~ Sekuelnya kapan-kapan ya. MMD ini yang terbaru. ^^ Yep. Arigatou juga.

# Yama : Sama-sama. ^^ Ikut seneng bisa ngebuat orang lain seneng dengan fanfic yang aku buat. Hoho. Sebenernya aku juga hampir kaya gitu sih. Setelah terlalu cintanya sama SasuHina, aku jadi lebih sering gak berani baca fanfic mereka yang banyak konflik. Gak rela gimana gitu. x') Yah, tergantung jalan ceritanya juga sih. Yang penting hurt-nya gak keterlaluan aja. *plaaak* Iyap. Pasti. :)

# Chiby Beary : Kapan-kapan ya. Tunggu tanggal mainnya aja. Kekeke~ Aku juga emang udah kepikiran ngebuat Kyouta punya adik perempuan. Kembar pula. Jadi bukan Hinata aja yang jadi paling cantik di keluarga Uchiha nanti. xD

# Guest : Hihi. Lebih bagus senyum daripada cemberut, kan? Kalau gak saling rebutan Hinata, berarti Sasuke dan Kyouta lagi gencatan senjata. Kekeke~ Iyap. Pasti. :)

# Anonymous Hyuuga : anon(im hyuuga)? Wah. Keren-keren. xD Aku setiap kali baca ulang HSH juga ngerasa anget sekaligus adem banget ini hati. Pengen meluk SasuHina dan Kyouta jadinya. X)) Uh-huh. Awal-awalnya emang sempet kesel, tapi udah gak kepikiran lagi kok. Xp Iyap. Pasti. :)

.

.

Yosh~ Mind to review?

.

.

Arigatou gozaimasu *deep bow*