Author: Jo Naya

Disclaimer: JK Rowling's

Warning: My first DraMione, first FF for HP. Jadi masih abal2 banget. OOC. Berantakan!


Diagon Alley sepuluh tahun sejak hancurnya Voldemort dan pengikutnya tidak banyak berubah. Kecuali semakin bertambah ramai, semakin bernuansa, dan yang penting, tidak adanya lagi bisikan-bisikan was-was mengenai kekhawatiran mereka akan kembalinya Kau-Tahu-Siapa. Semua penyihir di seluruh Inggris Raya bahkan dunia tahu Harry Potter si Anak-Yang-Bertahan-Hidup, bersama teman-temannya Generasi-Pahlawan-Penyelamat telah membunuhnya, atau yah, memusnahkannya. Para pengikutnya —Pelahap Maut— sebagian besar ikut hancur bersama perang besar di Hogwarts pada tahun itu. Sebagian sisanya disidang dan harus menjalani sisa hidup di Azkaban.

Meski Leaky Cauldron —Kuali Bocor— masih sama kecil dan kumuhnya, tempat ini masih jadi tempat minum favorit di kalangan penyihir. Tempat itu masih selalu padat dan ramai. Hermione Granger berdiri tepat di depan palangnya. Sedang berpelukan dengan seorang wanita berambut merah dengan perut buncit.

"Sekali lagi aku minta maaf 'Mione, tidak bisa menemanimu," kata Ginevra Weasley dengan wajah menyesal.

"Oh, aku mengerti Ginny. Lagipula kau tidak boleh kelelahan," balas Hermione seraya mengerling singkat ke arah perut Ginny yang membuncit, dia tengah hamil tua.

"Harry pasti akan mengutukku dengan Kutukan Tak Termaafkan jika terjadi sesuatu padamu dan bayi kalian," tambahnya setengah bercanda. Gigi-giginya yang putih dan bersusun rapi tampak ketika senyum itu melengkung di bibirnya yang berwarna merah muda.

Ginny ikut tertawa kecil.

"Dan aku sendiri yang akan mengutuk kakakku Ron karena tidak becus menjadi calon suami!" timpal Ginny, setengah kesal, setengah menyesal.

"Tidak usah, Ginny. Aku mengerti kesibukannya sebagai Auror."

"Tapi Harry juga Auror, dan dia tidak pernah semenyebalkan Ron," gumam Ginny masih tidak puas.

Hermione diam-diam setuju. Dalam hati ia mulai mempertimbangkan apakah akan menggunakan kutukan Ikat Tubuh Sempurna atau Muntah Molusca saja jika ia bertemu Ron nanti. Tapi cepat-cepat ia enyahkan pikiran itu ketika menyadari bahwa ia harus buru-buru pergi. Masalah Ron bisa dipikirkan nanti. Bisa juga ia mencoba mantra pertama yang melintas di kepalanya saja. Jika itu kutukan Aveda atau saudaranya, habislah pria rambut merah itu.

"Oh, ya, Ginny. Percy akan menjemputmu, kan? Aku rasa aku harus pergi sekarang."

"Ya. Hati-hati 'Mione."

Setelah saling mengecup pipi, Hermione kembali merapatkan mantel cokelatnya dan berjalan terburu-buru menuju gerbang Diagon Alley. Menuju dunia Muggle. Menuju London.


Dengan menggunakan taxi, gadis yang sekarang rambut cokelatnya digelung membentuk gumpalan rendah di belakang kepalanya itu turun di depan sebuah gedung mewah dengan cat dasar putih dan perak. Sebuah perusahaan konsultan pernikahan dengan label M besar di puncaknya. Hermione mengernyit sebentar, merasa familiar dengan label itu sebelum akhirnya ia mengenyahkan segala pikiran anehnya. Malfoy? Lucu.

Ia cepat-cepat menuju meja resepsionis dengan tampang sebal yang sebenarnya diakibatkan oleh banyak hal.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya perempuan berambut pirang kecoklatan di belakang meja itu. Senyumnya ramah dibuat-buat. Kentara ia tidak begitu menyukai keberadaan Hermione di sini yang langsung menatapnya galak.

"Ya. Tentu. Dua hari lalu saya menelpon ke sini, meminta seorang Wedding Planner dn anda mengatakan akan menghubungi saya secepatnya. Tapi seingat saya, belum ada telpon untuk saya mengenai ini," jelasnya cepat, hampir tanpa jeda, tapi juga berusaha penuh penekanan agar sang resepsionis ini langsung menyadari kesalahannya.

Merlin! Seharusnya ia langsung menuntut manager perusahaan penipu ini saja! Oke, itu terdengar agak berlebihan. Tenangkan dirimu, Hermione.

Wanita pirang itu tersentak sesaat. Jelas ini merupakan kekeliruannya. Parahnya, ini bukan komplain yang pertama minggu ini sejak ia mulai bekerja hari selasa yang lalu. Ia mengutuk diri, bisa saja ia dipecat bahkan sebelum menerima gaji pertamanya!

"Saya mohon maaf. Saya akan ... saya akan mencarikan untuk anda segera," ucapnya gugup. Bagaimana ini? Tidak ada lagi Wedding Planner dengan jadwal kosong yang dimiliki perusahaannya.

Hermione membaca itu. Alisnya terangkat curiga menyadari ekspresi sang resepsionis yang tidak meyakinkan sama sekali.

"Saya ingin ... bicara dengan General Manager di sini," katanya sedingin mungkin.

"A-apa?!"

Hermione menarik napas lelah. "Bosmu, tolong."


Hermione Granger menyeret langkahnya di belakang punggung sang resepsionis yang ramping dalam balutan seragam hijau tosca-nya. Dari cara berjalannya saja, ia bisa tahu gadis itu sedang merasa gugup dan takut. Tapi sebenarnya, Hermione tidak akan membuatnya dipecat, setidaknya ia akan berusaha begitu.

Ia hanya butuh seorang Wedding Planner secepatnya. Sebulan lagi adalah tanggal pernikahan yang diputuskan oleh keluarganya dan keluarga Weasley untuk ia dan Ron menikah. 21 Desember nanti. Sekarang sudah memasuki akhir November, dan mengingat ia juga memiliki kesibukan sendiri—ia menjadi seorang pengacara muda di dunia Muggle merangkap menjabat di Kementrian Sihir—ia hampir dipastikan tidak bisa melakukannya sendiri. Pekerjaannya di dunia Muggle tidak lepas dari peran orangtuanya. Mereka, seperti hampir semua orang tua pada umumnya, semakin tua mereka maka semakin cemas jika berada terlalu berjauhan dari anak-anaknya, apalagi Hermione adalah putri tunggal. Dan Hermione sendiri tidak bisa melepaskan dunia sihir, dunia yang penuh petualangan dan telah mencatat namanya dalam buku Sejarah Sihir Modern begitu saja. Ia memamfaatkan sisa waktunya dengan mengambil jabatan di bagian Pemeliharaan dan Pengawasan Satwa Liar sebelum akhirnya berpindah ke Penegakan Hukum Sihir yang ditawarkan meskipun itu artinya ia harus pintar-pintar membuat jadwal.

Pesta perayaan pernikahannya dengan Ronald Weasley itu sendiri akan diadakan dua kali mengingat dunia Muggle dan Penyihir sama sekali tidak bisa disatukan. Keluarganya pasti akan pingsan jika melihat tamu-tamu yang datang memakai topi lancip warna warni dan jubah landak. Atau kerabat Weasley yang akan muntah-muntah mencicipi kue tart.

Satu kali, pesta itu akan diselenggarakan di The Burrow. Untuk masalah ini, Hermione tidak perlu khawatir karena Molly Weasley dan seluruh keluarga Weasley lainnya yang jumlahnya terlalu banyak itu sudah berebut menawarkan diri untuk mengurusinya. Ron dan Hermione hanya tahu siap saja.

Sementara pesta kedua akan dilaksanakan di dunia Muggle, dengan cara Muggle, tanpa campur tangan sihir sedikitpun. Hermione kerepotan karena ia tidak memiliki keluarga lain yang bisa dimintai tolong. Dan Hermione, ingin semuanya sempurna. Pernikahan impiannya. Karena itulah ia berakhir di sini, agen konsultasi pernikahan ini.

Ia terus memikirkan itu sampai tidak menyadari bahwa sekarang mereka berdua telah sampai di tempat yang dituju.

"Mr. ...oy ... dalam," kata wanita pirang yang mengantarnya yang tidak bisa ditangkap baik oleh Hermione. Namun kira-kira ia bisa mengerti maksudnya.

Ia balas mengangguk ketika resepsionis itu mengangguk hormat dan —sepertinya— pamit kembali ke mejanya. Hermione menatap pintu di depannya. Cokelat polos. Di sebelahnya adalah sekat kaca yang tertutupi gorden hijau lumut. Tidak aa tulisan apa-apa di pintu atau di tembok di sekat situ yang mengidentifikasikan bahwa inilah kantor sang General Manager. Tapi melihat dari tampak luarnya, ruangan itu memang terkesan lebih mewah dari ruangan lain yang sempat Hermione lihat.

Ia menempelkan buku jarinya di depan pintu dan —secara aneh— merasa gugup sebelum sedetik berikutnya tangannya sudah mengayun lembut mengetuk pintu itu.


Pria berwajah pucat dan runcing dengan sejumput rambut keterlaluan pirang di atas kepalanya itu menutup telpon dengan gusar. Ia tidak pernah menyangka hidupnya bisa menjadi semelelahkan ini, semembosankan ini, seaneh ini. Hidupnya telah berputar poros sebanyak seratus delapan puluh derajat dengan alasan yang ia malas mengingatnya. Tidak, bukan malas, tapi itu memang terlalu pahit untuk ia ingat. Bahkan ramuan Tegukan Hidup Bagai Mati tidak sanggup membuatnya tidur nyenyak tanpa bermimpi buruk. Dan sekarang ia tidak perlu mengingat itu lagi. Hanya perlu beberapa pil tidur yang disarankan dokter atau Anggur atau minuman Muggle apapun jika stress itu kembali menghantuinya.

Ia memijat keningnya dan merasa membutuhkan pil itu sekarang. Tadi pagi ia harus bersitegang dengan salah seorang klien tidak tahu diri yang meminta mengembalikan uangnya setelah ia gagal menikah. Padahal tentu masalah itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan perusahaannya. Setidaknya, bukan ia yang membuat wanita itu mencari pria lain yang lebih mapan. Lalu seorang klien lagi yang ngotot memajukan tanggal pernikahannya tiga minggu dari yang direncanakan, tentu saja ini membuat semua orang kerepotan. Tapi wanita setengah tua itu benar-benar menantang untuk adu urat leher. Dan sekarang apalagi? Barusan resepsionis barunya yang tidak becus itu menelpon menagatakan seorang klien yang ingin komplain meminta menemuinya langsung.

Demi Mer— Demi apasaja! Ia pasti sudah akan segera gila dalam hitungan lima menit ke depan! Atau minimal rambutnya yang sudah tumbuh dengan pelit itu akan semakin mundur ke belakang seolah takut dengan klien-klien yang setiap hari harus mereka hadapi.

Terdengar ketukan di pintu dan Draco mendesah semakin menjadi-jadi.

"Masuk," gumamnya, setengah berharap orang itu hanya orang yang salah masuk ruangan.

Ia sedang membenahi mejanya yang berantakan saat itu saat orang itu masuk. Draco langsung melihat sepatunya untuk pertama kali, segera bisa menyimpulkan bahwa kliennya yang ini wanita. Ia memakai heels warna keemasan dengan tali-tali yang membabat ke atas betis jenjangnya. Dan muda, bisa ditambahkan, terlihat dari kulit kakinya yang kencang. Ia juga segera bisa menyadari gadis itu memakai terusan selutut berwarna broken white dari bahan ringan. Sepertinya pas sekali dengan tubuh rampingnya. Ia membawa tas tangan kecil, warna keemasan pula. Lalu lehernya juga cukup jenjang. Terakhir ... wajahnya.

Draco terpaku sebentar, menatap wajah itu lebih lama dari bagian tubuh lainnya. Merasa tidak asing. Setelah sepersekian detik, ia akhirnya terlonjak, nyaris jungkal dari kursinya. Sementara perempuan yang baru datang itu nyaris sama kagetnya.

Mereka berpandangan dengan tatap horor seperti dua penyihir yang akan melakukan duel. Untungnya, dua-duanya sedang tidak memegang tongkat saat ini. Tidak ada yang bisa memprediksi kutukan apa yang bisa dilancarkan jika dua penyihir hebat yang notabene adalah musuh bebuyutan bertemu setelah sepuluh tahun terpisah?

Wajah itu ... masih persis seperti apa yang bisa diingatnya. Mata berkilat sok tahu. Dagu terangkat sok pintar. Bahkan hidung mungilnya dan bibirnya yang entah salah apa. Kesinisannya masih membayang di wajah itu. Hanya terlihat sedikit lebih dewasa. Dan ngomong-ngomong, kemana rambut megar, semak berjalannya itu?

"Granger?"

Wajah itu ... Hermione tidak mungkin melupakan wajah itu. Wajah menyebalkan Malfoy si pengecut, penjilat,pengadu, dan semua hal buruk yang mutlak yang menjadi milik anak laki-laki itu. Ralatm pria itu. Wajah orang yang menagatainya mudblood hampir setiap waktu. Wajah yang pernah ia tonjok dan ingin ia tonjok lagi. Dan bahkan ... caranya memanggil Hermione masih dengan nada meremehkan yang sama. Tidak salah lagi.

"Malfoy? Apa yang kau lakukan di sini?!"


Hermionetidak bisa menghentikan tatap tidak percayanya pada pria di depannya itu. Benarkah itu Draco Malfoy yang ia kenal? Pria yang sedang menyeruput black coffee minuman Muggle— ini? Memakai jas abu-abu seperti Muggle ini? Yang mengajaknya minum di restoran Muggle ini? Merlin pasti bercanda! Draco Malfoy yang ia kenal adalah anak yang mengangkat dagunya kemanapun, menatap remeh dimanapun, begitu mengagung-agungkan kemurnian darah keturunannya dan menganggap betapa kotornya keturunan Muggle itu.

Dia pasti salah orang! Pasti bukan Malfoy yang ini! Tapi ngomong-ngomong, berapa banyak kira-kira ornag yang memiliki nama Draco Malfoy di Inggris ini? Menurutnya cuma satu. Karena tidak ada orang tua selain Lucius Malfoy tentunya yang mau menamai anaknya seaneh itu. Setidaknya di dunia Muggle itu terlalu aneh.

Jadi ia hampir tidak bisa menutup mulutnya kembali dari sejak Draco memutuskan membicarakan keluhan Hermione di luar —di restoran di depan kantornya— sampai saat ini. Draco yang menyadari tatapan kelewat intens dari Hermione meletakkan cangkir kopinya hati-hati lalu menghempaskan tubuh ke belakang sambil menarik napas berat. Tidak mengherankan, sebenarnya. Zabini Blaise yang dulu saat pertama menemukannya juga tidak kalah kagetnya, begitu pun penyihir-penyihir lain yang tidak sengaja ia temui.

"Kau jatuh cinta padaku, Granger?"

"Eh? Oh—Huh?! Apa?!" Hermione tampaknya baru berhasil mengendalikan diri kemballi.

"Kau menatapku begitu memuja," gumam Draco. "Tidak heran. Hampir semua klienku juga begitu. Kau tidak bermaksud mendaftar menjadi salah satu yang rela membatalkan pernikahannya karena aku, kan?"

Hermione mendecih. "Omong kosong, Malfoy!"

Draco menyeringai. Hermione Granger, masih sama keras kepalanya.

"Kau sama sekali tidak berubah, Granger. Senang bertemu," katanya lebih pelan dari sebelumnya.

Omong kosong Malfoy! Maki Hermione dalam hati. Diam-diam mulai banyak sekali pertanyaan berjubel di otaknya seputar Malfoy. Kenapa pria ini ada di sini? Bagaimana bisa? Apa yang terjadi memang padanya sehabis ayahnya yang ditahan itu? Hermione sedikit menyesal tidak berusaha mencari tahu. Lalu bagaimana ia sampai memiliki...

Draco sudah bisa menebaknya dari kerutan di dahi Hermione. Maka untuk mencegah gadis itu bertanya-tanya hal-hal yang tidak ingin ia jawab, ia menegakkan kembali tubuh, berdeham pelan, dan mencoba mengembalikan topik.

"Jadi, kau mau komplain, Nona Granger? Perusahaanku. Apa masalahmu? Apa kau ada rencana menikahkan nenekmu dalam waktu dekat?"

Draco lalu tertawa atas leluconnya sendiri yang menurut Hermione tidak ada lucu-lucunya. Ia seharusnya tidak berharap Draco Malfoy berkurang menyebalkannya.

"Ya, Malfoy. Aku memang berencana mengadakan pernikahan sebulan lagi. Tapi sayangnya itu bukan nenekku," jawabnya berupaya sabar.

"Ah."

Draco mengangguk pelan. Ia sedikit senang karena Hermione ternyata tidak terlalu sulit dialihkan. Ia mengangkat cangkir berisi tiga perempat kopinya lagi dan menyeruputnya.

"Lalu siapa yang akan menikah?"

"Aku."

Draco nyaris tersedak.

"Dan Ron. Ronald Weasley."

Sial! Kali ini ia benar-benar tersedak.


Hermione masih sesekali menginap di The Burrow hanya jika ia terlalu lelah atau terlalu sibuk dengan urusan di Kementrian sehingga ia tidak bisa pulang ke rumahnya di London. Ia sendiri sebenarnya sudah mengusulkan untuk untuk menyewa tempat tinggal sendiri, mungkin di bukit sebelah The Burrow atau dimana, tapi tentu saja Arthur dan Molly Weasley menolak mentah-mentah usulan itu. Setelah putri mereka, Ginevra diboyong suaminya ke Grimmauld Place nomor dua belas, tempat bersejarah yang dulu sempat menjadi markas Orde Phoenix dan merupakan rumah warisan Sirius untuk Harry, dan George yang juga meninggalkan rumah bersama istrinya dan hanya pulang sesekali, membuat suami istri itu hanya tinggal bersama Ron jika tidak sedang akhir pekan (karena di akhir pekan rumah itu cukup tertolong dengan keberadaan keluarga George, Harry, dan kadang-kadang Percy juga kerabat lainnya). Mereka pasti akan melakukan segala cara agar setelah menikah nanti Hermione dan Ron tetap tinggal bersama mereka.

Ketika jam di mejanya, jam emas dengan dua belas jarum dan tidak ada angkanya—hanya rangkaian planet-planet— menunjukkan lewat tengah malam, Hermione masih berkutat dengan perkamen dan pena bulunya. Kasus-kasus di Kementrian sedang meningkat saat ini, terutama untuk Departemen Penegakan Hukum Sihir tempat ia bekerja. Palanggaran sihir terhadap anak di bawah umur semakin merajalela saja, membuat Hermione harus lembur lagi untuk hari ini, sementara besok ia harus kembali ke kantornya di London dan masih harus mengurus pernikahannya lagi. Huh, kalau saja ia tidak menyusun jadwalnya dengan benar, ia sudah gila sekarang.

Ia terlalu sibuk bahkan untuk menghirup napas, atau memperhatikan Ron yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakangnya. Merasa diacuhkan, pria itu lantas memeluk Hermione dari belakang, menempelkan dagunya di atas pundak Hermione dan menggelitik pinggang gadis itu sedikit. Hermione tersentak kaget, menjerit dan mendorong Ron sekuat tenaga. Membuat Ron tak kalah kagetnya atas reaksi berlebihan itu.

Sekarang Hermione yang telah menyadari siapa orang yang menyergapnya tiba-tiba itu segera menarik napas cepat dan memutar bolamata.

"Ron! Kau mau aku mati serangan jantung, huh?!"

Hermione memang kaget luarbiasa. Bagaimanapun, pengalaman berbulan-bulan menjadi buronan Kau-Tahu-Siapa membuat refleks tubuhnya bahkan bisa bertindak jauh lebih cepat dari otak briliannya. Sementara Ron mengernyit tidak mengerti.

"Serangan jantung? Jenis kutukan apa itu? Aku tidak pernah dengar."

Setelah berhasil mengatur napasnya, Hermione mengangkat bahu atas jawaban untuk Ron. Ia menyesal sedikit terlalu panik tadi, semoga ayah dan ibu Ron tidak terbangun hanya karena ulahnya. Ia baru kembali akan menekuni tumpukan perkamen di depannya saat merasakan Ron duduk di sisinya, memperhatikannya.

"Kau kelihatan lelah, 'Mione. Istirahatlah."

"Trims, Ron. Tapi aku harus menyelesaikannya malam ini juga. Ini tanggung jawabku. Besok semuanya harus sudah diserahkan ke Kementrian. Dan ... ah, aku lupa laporan pembukuanku," gumamnya putus asa.

Ron ikutan menghela napas. Hermione jelas-jelas kelihatan terlalu lelah, kantung matanya banyak menjelaskan itu. Ia merasa bersalah tadi siang benar-benar tidak bisa mengantar gadis ini dan membiarkannya mengurusi masalah pernikahan mereka sendirian.

"Mione?"

"Ya?"

"Bagaimana?"

"Bagaimana apanya?"tanya Hermione tanpa menoleh sedikit pun dari deretan huruf kecil berkait tulisan tangannya.

"Kau sudah mendapatkan Wedding Plannernya?"

Mendadak Hermione menghentikan jari-jarinya menulis. Ia tertegun sebentar sebelum mengerling singkat pada Ron dan mengulas senyum dipaksakan.

"Ya. Semuanya beres."

Sebentar ia mempertimbangkan untuk memberitahukan pada Ron atau tidak mengenai pertemuannya dengan Draco Malfoy. Tapi setelah menimbang-nimbangnya, Ron pasti tidak akan senang mengingat bagaimana hubungan mereka di masa lalu dan apa yang terjadi pada pertemuan terakhir mereka. Ron pasti akan menyuruhnya mencari orang lain sementara ia tidak akan punya cukup waktu dan tenaga untuk melakukan itu lagi. Lagipula, Ron tidak mungkin ikut mencarmpuri masalah pernikahan ala Muggle mereka. Ron tidak akan tahu. Ron tidak usah tahu. Putus Hermione.

Ia kembali menulis dan kali ini mengabaikan Ron sama sekali.


Mimpi itu kembali menghantuinya. Draco berguling ke sisi tempat tidur dengan hampir seluruh tubuh basah oleh keringat. Ia segera bangkit, terengah, lalu mengusap wajahnya sebelum mengambil air putih dari atas meja nakas di sampingnya.

Beberapa bulan ini, ia nyaris merasa lega karena mimpi itu tidak pernah datang lagi. Tapi malam ini, ia kembali. Mimpi-mimpi buruk terus menghampirinya seperti kawanan lebah. Membuatnya setengah gila sepuluh tahun yang lalu sampai-sampai ia memutuskan untuk mengungsi, dan terdamparlah ia di tempat paling dibencinya di dunia. Berdiri di antara para Muggle, para darah kotor.

Bukan tanpa alasan seorang Draco Malfoy berbuat seperti itu. Mungkin tidak banyak yang mengetahui hal sebenarnya, orang-orang hanya tahu bahwa Lucius Malfoy dipenjarakan di Azkaban lalu istri dan anaknya menghilang seperti ditelan bumi. Bahkan kesaksian Harry Potter, dan beberapa tuntutan untuk pengeamandemenan undang-undang peraturan sihir yang baru, Ayahnya tetap tidak bisa lepas dari dakwaan. Hukum saat itu memutuskan bahwa Lucius harus berakhir di Azkaban seperti Pelahap Maut lainnya. Dan itu terjadi baru saja setelah keluarga Malfoy merasa diterima. Tidak kuat menghadapi itu, Narcissa menjadi setengah gila. Ia dan putranya memang bebas dari tuduhan, karena jasa Narcissa dan Draco yang saat itu belum cukup umur. Semua seolah dibebankan kepada ayahnya dan itu benar-benar membuat mereka terpukul. Terutama Narcissa. Ia menolak makan dan bicara pada siapapun, dan kadang ia berteriak-teriak, kadang menangis dan memanggil suaminya. Dan Draco, ia sebenarnya merasa tidak lebih waras dari ibunya saat itu. Penyihir waras berdarah murni mana memangnya yang akhirnya memutuskan membawa Narcissa ke dunia Muggle. Narcissa tidak mungkin dirawat di St. Mungo karena rumor bahwa Narcissa gila pasti akan beredar cepat, karena itu Draco memilih merawatnya di sebuah Panti Rehat beratus-ratus mil jauhnya. Di tengah-tengah London dimana —menurutnya— tidak akan ada satu penyihir pun yang akan ia temui. Setengah kekayaan ayahnya telah ia habiskan untuk mengobati Narcissa yang tidak kunjung membaik dan sisanya, ia gunakan untuk membangun perusahaannya sendiri. Sampai sekarang.

Mungkinkah karena pertemuannya tadi siang dengan si Granger itu sehingga mimpi buruk itu kembali? Kenangan-kenangan pahit, ketakutan-ketakutannya selama mengikuti Lord Voldemort? Kenangan tentang ayahnya, ibunya, dan cibiran-cibiran yang ia terima.

Hermione Granger ... ia tidak mungkin melupakan nama itu. Sekalipun berusaha. Tidak bisa. Tidak pernah bisa. Ada banyak hal yang tidak bisa ia mengerti tentang gadis itu. Tapi ada lebih banyak yang tidak bisa ia jelaskan. Tentang sesuatu yang tertanam sangat jauh di dasar hatinya. Dan tadi siang, seperti mimpi ia bertemu gadis itu lagi. Setelah semua usahanya. Setelah ia mengira ia berhasil —setidaknya— menghapus wajah itu dari otaknya. Kenapa hari ini ia harus melihatnya lagi? Dan seperti mimpi buruk, Hermione Granger memberitahunya bahwa sebentar lagi ia akan menikah.


"Dia tidak datang?"

Draco mengetuk-ngetukkan ujung jari telunjukkan ke atas meja. Dia dan Hermione telah bersepakat untuk bertemu hari berikutnya di restoran yang sama. Hermione membutuhkan Wedding Planner secepatnya sehingga Draco akhirnya mengusulkan bahwa ia sendiri yang akan turun tangan. Sebelum ini ia sudah pernah menangani beberapa pernikahan Muggle, jadi seharusnya bukan masalah lagi.

"Kurasa kau sudah bisa melihat jawabannya," desah Hermione. "Dia Auror. Dan tadi pagi ia baru saja dikirim ke Rumania untuk urusan tugas.

"Oh," komentar Draco.

"Apa ia bermain Quidditch di Timnas Nasional?" celetuknya tiba-tiba.

Sebelum ia menyesalinya, kata-kata itu sudah terproses di otak Hermione sehingga gadis itu otomatis tertawa kecil. Ia menjawab sebelum ia menyesalinya juga.

"Tidak. Ia ingin sekali, tapi itu tidak terjadi."

Ada yang aneh yang barusaja terjadi diantara mereka, dan mereka barusaja menyadarinya. Draco menanyakan tentang Ron, musuh abadinya, menanyakan tentang Quidditch, satu dari hal-hal yang ingin ia lupakan. Lalu ia melihat Hermione tertawa dan merasa aneh. Hermione, seingatnya tidak pernah tertawa di depannya, tidak tertawa untuknya atau karenanya. Gadis itu sadar ia tadi kelepasan. Rasanya seperti ingin mengutuk kepalanya sendiri.

"Aku rindu Quidditch," gumam Draco murung. Oh, ia harusnya mencoba untuk tidak memperlihatkannya pada seorang kepala batu Granger. Gadis itu pasti akan mencacinya. Ia hanya tidak bisa menghentikannya. Setelah sepuluh tahun hidup bersama Muggle ... bersama orang-orang yang pasti akan mengerutkan kening hanya karena mendengar kata Quidditch ... sekarang ada orang yang bisa memahami apa yang ia ucapkan.

"Aku menghabiskan tahun-tahunku untuk menjadi supporter Manchester United, dan beberapa waktu ikut mencoba bermain futsal. Tapi rasanya tidak pernah sama seperti Quidditch. Aku tidak ingat lagi bagaimana rasanya terbang dengan sapu. Tidak ingat bagaimana menyenangkannya mengutuk orang (di bagian ini Hermione memutar bola mata) ... bahkan aku merindukan peri rumahku."

"Malfoy?"

"Oh? Granger? Sampai mana tadi?" Draco seperti dibangunkan. Ia menegakkan diri di kursi dan pura-pura mengaduk pesanannya, kopi yang sama seperti kemarin. Hermione juga, masih konsisten dengan Cappucino-nya.

"Kita belum sampai mana-mana."

"Benar. Baiklah. Kalau begitu ayo kita mulai!"

Draco mengangkat tas kerjanya di atas meja, mengeluarkan beberapa album yang seperti album foto dari dalam sana.

"Kau ingin konsep pernikahan yang seperti apa? Aku membawakan sampel-nya."

Hermione tidak perlu melihat contoh apapun, ia sudah punya konsep sendiri dalam kepalanya. Bahkan ia sudah menyusunnya semenjak ia masih di Hogwarts, biasalah, khayalan anak perempuan.

"Pesta Natal Hogwarts."

"Apa?" Draco mencondongkan telinganya, memastikan pendengarannya.

"Pesta Natal Hogwarts. Aku ingin hari pernikahanku berkesan seperti halnya pesta dansa tahun ke-empat waktu itu."

Tentu saja berkesan. Viktor Krum, eh? Dengus Draco. Saat itu ia sebal sekali, ia sudah cukup dikalahkan oleh kepopuleran Harry. Lalu muncul lagi murid dari Durmstrang yang sok terkenal itu —yah, pada kenyataannya ia memang cepat terkenal terutama di kalangan wanita.

Hermione yang mengenali cibiran di bibir Malfoy itu segera mendelik.

"Apa yang kau pikirkan, Malfoy?"

"Oh, bukan apa-apa. Hanya mengingat-ingat baju peri rumah mana yang kau pinjam saat ke pesta itu, Granger," jawab si pirang puas.

Ia hampir-hampir tidak mengenali lagi perasaan ini. Perasaan puas dan menyenangkan setelah berhasil memanas-manasi Granger, atau teman-teman konyolnya si PotHead maupun si Weasel, tapi favoritnya sebenarnya adalah si semak berjalan ini. Meski sekarang semak itu pergi entah kemana, digantikan rambut cokelat halus yang lebih sering digelung rapi.

Hermione mendengus. Rupanya ia telah melakukan kesalahan besar dengan mengira si pirang arogan ini telah menjadi lebih dewasa seperti kelihatannya.

"Jadi nanti kau mau kupinjamkan baju pembantuku atau bagaimana?"

"Tutup mulutmu, Malfoy! Begitu etikamu pada klien?"

"Pengecualian untukmu, teman lama."

"Kau bisa serius, tidak?

"Baiklah. Baiklah. Jadi kau mau memakai baju pink bertingkat-tingkat dan rambut ikal-ikal disanggul setengah seperti waktu itu?"

Hermione tercengang. Begitupun Draco Malfoy. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa seorang seperti Draco Malfoy ingat dengan begitu detail tentang baju yang dipakai oleh Hermione Granger di pesta dansa belasan tahun lalu?!

Tapi alih-alih menyuarakan pertanyaannya, gadis itu hanya mengangguk dalam diam.

"Dan ... calon suamimu?" suaranya agak serak di sini, dan disadari atau tidak, ia menghindari menyebut nama Ron.

"Tidak seperti Viktor Krum, kan?" tanyanya lagi, sinis.

"Tidak. Jas hitam saja cukup."

"Jas berenda? Kulihat Weasley selalu memakai jas berenda dari tahun ke tahun."

Sekali lagi, Hermione memutar bolamatanya jengah. Ia berharap itu terakhir kalinya ia harus membolak-balik matanya sepert itu.

"Terserah yang kau suka saja, Malfoy! Jadi berhenti mengolok-olok Ron begitu!"

"Terserahku? Baiklah. Dan ruangannya tertutup, kan? Dekorasinya ... seperti taman es. Benar begitu?"

Hermione, untuk saat ini dan saat-saat setelahnya, mengangguk. Akhirnya Draco berhasil menahan mulutnya sedikit untuk tidak memancing-mancing kekesalan Hermione, meski kadang ia masih bertanya dan menyinggung-nyinggung yang menyebalkan. Tapi Hermione berhasil mengatasinya. Mereka merembukkan konsep itu cukup lama, anehnya, keduanya sampai-sampai tidak menyadari bahwa sudah dua jam mereka asik berdiskusi seperti demikian.

"Oke. Masalah konsep selesai. Besok aku akan menghubungi kembali untuk merundingkan masalah vendornya. Masih banyak yang harus kita bicarakan, Granger. Oh ya, kau mau yang kualitas tinggi, sedang, atau ... "

"Yang terbaik, Malfoy."

"Baiklah."

Pria itu mengakhiri catatannya. Memasukkan kembali album dan barang-barangnya yang memenuhi meja ke dalam tas sehingga yang tersisa hanya dua buah cangkir berisi kopi dingin pesanan mereka tadi.

"Malfoy?"

"Ehm?"

Draco menatapnya sekarang. Dan entah kenapa itu membuat Hermione merasa ingin mengurungkan pertanyaannya. Tapi ia tidak bisa mencari pertanyaan lain yang dapat menghindarkan dia dari hujaman mata biru keabu-abuan sialan itu. Kata-kata itu seolah menghilang dari otaknya.

"Kau ... tidak akan mengerjaiku di hari pernikahanku, kan?"

Draco tersenyum. Tidak, ini bukan menyeringai. Ia benar-benar tersenyum ... tulus.

"Itu aku lima belas tahun yang lalu, Granger. Oh, baiklah. Mungkin aku sebelas atau sepuluh tahun lalu."

Kemudian ia meninggalkan Hermione masih dalam kesulitannya mencerna keadaan. Ia, seorang Hermione Granger yang sebulan lagi akan menjadi Hermione Weasley, barusaja merancang pernikahan impiannya, bersama ... Draco Malfoy?!

Apa Merlin sedang sakit jiwa?


Hermione tidak mengatakan kepada Ron, ataupun Ginny, ataupun Harry, atau siapapun, mengenai pertemuannya dengan Draco Malfoy. Bahkan ketika pagi itu Ron muncul di perapian rumahnya —mereka membangun jaringan Floo juga di sana karena Ron mengeluh kerepotan menjenguk Hermione, padahal Hermione berkeras bahwa Apparate jauh lebih praktis—, Hermione tidak memberitahu bahwa hari itu ia akan bertemu dengan Wedding Plannernya pada sore harinya untuk melihat gereja yang akan digunakan untuk pemberkatan. Ini menjadi penting sekali karena resepsi boleh diadakan dua kali, tapi pengucapan janji suci cukup sekali dan Hermione ingin itu di adakan di dunia Muggle karena ia ingin keluarganya ikut menyaksikan. Para penyihir toh bukan pertama kalinya menyamar sebagai Muggle.

"Mione?" panggil Ron, mengalihkan perhatian dari sandwich salad yang sedang coba ia makan.

"Ya?" jawab Hermione di sela kunyahannya.

Oh ya, orang tua Hermione sedang tidak berada di situ, mereka yang merupakan dokter gigi harus bertugas pagi-pagi, sebelum Ron datang. Karena jika mereka ada di sana, Ron pasti mustahil tidak memakan salad—sarapan sehatt—nya yang tetap saja terasa aneh meski ia mencoba bertahun-tahun.

"Apa jadwalmu hari ini?"

Hermione pura-pura sibuk mengunyah sebentar. Ia sedang berpikir.

"Yah, aku bekerja ke kantor. Seperti biasa. Lembur."

Omong kosong. Ia bahkan berencana untuk meminta izin meninggalkan kantornya lebih cepat hari itu.

"Malam ini apa kau kosong? Mum mengundangmu makan malam. Bill dan Fleur datang berkunjung, Harry dan Ginny juga akan ada di sana. Kau bisa, kan?"

"Bill dan Fleur? Ah ya. Tentu. Aku pasti datang."

Ia mengunyah rotinya lagi sambil terus berpikir. Sepertinya diskusinya dengan Malfoy juga tidak akan lama-lama, hanya melihat gereja, kan? Ia bisa menyelesaikan pekerjaan di kantornya lebih cepat hari ini lalu minta ijin pulang, Bosnya orang baik hati. Jadi, dia punya lebih banyak waktu bersama Malfoy sebelum pergi ke The Burrow.

Eh? Tunggu? Hermione merasa ada yang korslet dengan otaknya atas pemikiran lebih lama bersama Malfoy tadi. Lebih banyak waktu untuk merundingan masalah pernikahan, ralatnya.

"Mione?"

"Ya?"

Kali ini Hermione mengerling kepada Ron dengan tatapan seperti 'ada-apa-lagi-sih-Ron?!'

Ron baru saja berniat bersikap romantis dan mengucapkan kalimat 'I-Love-You' seperti pasangan lainnya. Tapi melihat tampang galak Hermione, akhirnya ia hanya bisa berkata "Tidak. Apa kau punya camilan? Canape?"1


"Kau datang."

Itu sapaan yang di dapat Hermione begitu sepatunya melangkah memasuki gereja. Ia berjalan pelan di atas altar tanpa karpet merah di sana. Menikmati dekorasinya yang klasik dan natural. Gereja itu besar, berwarna kayu dengan bubungan tinggi dan satu lampu kristal besar yang cantik tergantung persis di tengah-tengahnya. Bangku-bangku panjang di sisi kiri dan kanannya bersusun rapi dengan jumlah tergolong banyak. Hermione bisa membayangkannya. Ia, disambut ribuan tamu yang datang, ia bisa melihat Harry, Ginny dan seluruh sahabat dan keluarganya juga. Mereka semua duduk di bangku-bangku itu, bertepuk tangan di antara hiasan bunga-bunga yang memenuhi ruangan. Ia sendiri, dalam balutan gaun seperti yang ditunjukkan Malfoy kemarin. Perpaduan antara putih dan pink mirip tapi lebih panjang dan elegan dibanding baju yang ia pakai di Pesta Natal Hogwarts tahun ke-4. Ia berjalan pelan di atas altar, di sisinya ada ayahnya yang sedang tersenyum, di depannya ada anak kecil penabur bunga, sepupunya, dan di belakangnya ada yang membawakan ujung gaunnya.

Namun ia harus tertegun diujung altar, menyudahi khayalan konyolnya begitu mendapati Draco Malfoy berdiri di sana, persis menghadap ke mimbar.

"Maaf sedikit terlambat," gumam Hermione sambil menyisipkan ujung rambutnya ke belakang telinga. Hari ini ia terburu-buru jadi tidak sempat menggelungnya, rambut cokelatnya dibiarkan tergerai di belakang pundak.

Draco balas bergumam pelan. Lalu ia mengendikkan dagu ke arah seisi gereja dengan nada lebih berminat.

"Bagaimana pendapatmu?"

"Bagus. Aku bisa mengundang semua orang ke sini."

"Yah. Dan kurasa akan bagus jika di tambahkan sedikit pita-pita lebar dan hiasan bunga di dekorasinya. Bunga utamanya nanti lily, lalu ditambah fressia pasti bagus. Semuanya warna putih. Bagaimana menurutmu?"

Hermione tertegun lagi. Bagaimana pria itu bisa mengetahui lily sebagai bunga kesukaannya? Ah, ya. Pasti kebetulan.

"Sangat setuju!" kata Hermione bersemangat. Ia tidak pernah sebersemangat ini sebelumnya di hadapan Malfoy.

"Kalau begitu ayo! Kita juga harus melihat dekorasi gedungnya."

Draco sudah berbalik dengan sama semangatnya ketika Hermione memanggilnya ragu-ragu.

"Ada yang ingin kutanyakan padamu."

Draco memutar tubuhnya kembali menghadap Hermione, ia menghela napas. Lama, ada jeda lumayan panjang sebelum akhirnya ia membuka suara.

"Aku hanya akan menjawab satu. Jadi, pikirkan apa yang benar-benar ingin kau tanyakan."

Satu? Tidak. Tidak bisa! Pertanyaannya saja jika ditulis di perkamen pasti bisa mendapat nilai Outstanding di pelajaran Prof McGonagall karena saking panjangnya. Ia penasaran bagaimana Malfoy bisa sampai di London? Bagaimana hidupnya selama ini? Bagaimana ia bisa beradaptasi. Lalu … bibirnya seakan membuka sendiri.

"Kenapa … kenapa kau tiba-tiba menghilang?"

Entahlah. Draco merasa senang atas pertanyaan itu. Granger menyadari kepergiannya. Tapi juga sesak secara bersamaan.

"Banyak alasannya. Kau akan mendapatkan jawabannya, Granger. Tapi tidak saat ini. Mungkin aku tidak akan mengatakannya secara langsung. Tapi kupastikan kau akan mengetahuinya. Nanti,"

Hermione seperti akan membuka mulut lagi. Tidak puas dengan jawaban itu.

"Bagaimana aku bisa tahu kau hanya tidak sedang menghindar? Bagaimana kau dan aku tetap mengingat pertanyaan itu?"

"Pensieve." Draco menoleh kepada Hermione dengan mata bersinar, seolah ia barusaja mendapatkan ide. Dan sepertinya memang begitu.

"Tidak ada Pensieve di sini."

"Aku tahu. Maksudku bukan itu. Penyihir mungkin punya Pensieve untuk menyimpan ingatannya. Tapi Muggle hanya punya video dan kertas sebagai alat pembuktian sesuatu. Aku tidak bawa kamera, tapi ada banyak kertas di mobilku. Kau bisa mengambilnya."

"Aku? Itu mobilmu, Malfoy!"

"Yang punya kepentingan siapa, Granger?"

"Kau punya kaki yang lebih panjang dariku. Tidak bisakah kau membuatnya lebih berguna sedikit?"

"Aku malas, Granger." Draco menatap Hermione lebih-lebih. Akibatnya, posisi mereka malah semakin dekat.

"Oh, ya. Kau bawa tongkat, kan? Apa gunanya kau bawa-bawa benda itu jika tidak digunakan," Draco mencibir, wajahnya semakin menyebalkan di mata Hermione.

"Sihir dilarang di dunia Muggle kalau kau lupa, Pirang!"

"Tidak ada Muggle di sini kalau kau buta, Rambut Semak!"

Hermione mendecih. Tapi akhirnya ia menurut. Mengambil tongkat dari sakunya dan mengayunnya pelan.

"Accio, kertas."

Selembar kertas putih kosong melayang dan mendarat tepat di pangkuan Hermione.

"Pinjam sebentar!"

Bahkan tanpa menunggu Hermione berteriak menolak, Draco sudah merebut tongkat itu dari tangannya. Mengayunnya pelan. Oh, Ia hampir melupakan ini. Dan itu membuat Hermione terpaku melihat Draco yang tidak berusaha menutupi rasa gembiranya bertemu kembali dengan tongkat sihir.

"Accio, pena! Accio, botol!"

Segera satu buah bolpen dan satu buah botol kaca bening mendarat di tangan Draco. Ia meletakkan tongkat Hermione ke sisi dan mulai bekerja dengan barang-barang itu. Pertama, ia merobek kertas menjadi dua bagian.

"Tulislah pertanyaanmu itu di sini lalu digulung," katanya sambil menyerahkan secarik kertas dan bolpen pada Hermione. Pada gilirannya, ia juga menulis sesuatu yang pendek di kertasnya lalu buru-buru menggulung dan memasukkan kedua gulungan itu ke dalam botol.

"Aku juga menulis pertanyaan yang sangat ingin kutanyakan padamu."

"Apa itu?"

"Rahasia. Kau hanya kuijinkan membukanya jika kau berhasil memecahkan pertanyaanmu sendiri."

Ia mengambil tongkat Hermione lagi, menggumamkan mantra pelindung yang benar-benar membuat Hermione atau siapapun tidak bisa membukanya sebelum pertanyaan pertama dari Hermione terjawab.

Hermione akhirnya menurut saja. Ia hanya memperhatikan saat Draco masih mengguankan tongkatnya untuk mendaraskan "Defodio!" yang membuat tanah itu tergali sendiri tanpa mereka harus repot-repot. Draco Malfoy, mungkin yang tidak berubah darinya adalah sifat tidak mau repotnya. Ia lalu mengubur botol itu di bawah sebuah pohon maple persis di depan gereja. Bahkan ia diam saja, meski sedikit tercengang saat Draco menarik tangannya untuk pergi. Yah, mereka harus melihat gedungnya juga, kan?


Hermione mematikan alarm dari dalam tas tangannya. Ia tidak mengerti kenapa ia memasang alarm di jam seperti ini. Seingatnya ia tidak memiliki jadwal apapun. Dan … mungkin sulit dipercaya, tapi ia malas mengingat-ingat. Seluruh perhatiannya tercurah pada omongan pria yang sedang duduk di belakang kemudi ini. Draco Malfoy menjelaskan dengan bersemangat detil-deti dekorasi gedung yang akan mereka datangi sebentar lagi.

"Kau pasti terkejut melihatnya. Aku menambahkan kaca-kaca dan nantinya juga pahatan batu es. Bukan hanya di dinding tapi di atap juga. Oh ya, kemarin aku berdiskusi pada perancang masalah gaunnya lagi, Madam Nicole mengusulkan untuk menambah beberapa detil putih di bagian atas dan banyak tambahan di bagian bawah agar lebih terlihat seperti gaun pengantin ketimbang gaun pesta. Aku sudah melihat sketsanya. Itu pasti akan sangat cocok denganmu, Granger!"

"Benarkah? Aku tidak sabar melihatnya!"

"Ya. Kau memang harus melihat itu secepatnya. Bagaimana dengan undangan? Apa kau sudah ada ide?"

"Oh, belum. Bagaimana kalau kita bertemu lagi untuk membahasnya?"

"Yeah. Itu pasti, kan? Kita akan lebih sering bertemu, Granger."

Audi putih itu akhirnya menepi di halam sebuah gedung putih. Meski sempat adu mulut sebentar, Hermione akhirnya menurut setelah Draco memaksa untuk menutupi matanya dengan sehelai sapu tangan yang lagi-lagi di dapat dengan mantra pemanggil. Yah, memang jauh lebih baik daripada ia menggunakan mantra Obscuro untuk membuat Hermione sekedar tidak bisa melihat. Hermione hanya bisa berdoa dalam hati agar ini tidak menjadi pelanggaran nantinya.

Draco harus menggandeng lengan itu agar Hermione bisa berjalan dengan benar tanpa menabrak. Akhirnya Hermione membuka pelepas matanya setelah kode dari Draco. Manik cokelat madunya langsung bisa menangkap pemandangan kebiruan. Kaca-kaca cantik bersusun di dinding dan di atap, bercahaya putih-kebiruan. AC ruangan juga sepertinya dinyalakan dengan maksimal karena Hermione segera merasa kedinginan. Ia benar-benar merasa seakan sedang berada di hutan es sekarang. Ini… ini mirip seperti yang di Hogwarts kala itu.

"Malfoy!" gumamnya takjub sambil mencengkeram erat pergelangan Draco.

Ini seperti mimpi. Seperti dikembalikan ke tiga belas tahun lalu saat di Yule Ball. Pesta Dansa pertamanya. Pertama kali seorang pria mengajaknya menari. Pertama kali ia memakai gaun yang begitu indah. Pertama kali … semua orang menatapnya, semua orang mengakui Hermione Granger. Harry dan Ron sampai tidak bisa berkata apa-apa, bahkan Malfoy.

"Belum rampung. Aku berharap kita benar-benar bisa membuat stalaktit dan stalagmit es di sini. Nanti pasti akan lebih mengesankan." ujar Draco sambil tersenyum.

Dan Hermione tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dalam hati ia bertanya-tanya, apa jantungnya masih kuat untuk menerima yang lebih mengesankan dari ini?

"Kau mau mencoba musiknya, Granger?"

"Eh? Apa?"

Draco tidak menjelaskan. Tetapi sebelum Hermione bertanya lebih jauh, pria itu sudah memberi kode pada salah seorang pria yang berdiri di sudut sambil mengatur kabel-kabel dan mungkin juga sound system, karena tak berapa lama kemudian sebuah lagu lembut mulai terdengar. Juga, sebelum Hermione sempat protes apa-apa, ia mengulurkan tangannya dengan gaya seolah meminta Hermione berdansa bersamanya. Benarkah itu? Hermione mengernyit tidak percaya. Tapi sebaliknya, tubuhnya justru tidak ia mengerti kenapa merespon dengan baik? Ia sudah menyambut uluran tangan Malfoy yang dingin, satu lagi tangan pria itu menempel pas di pinggulnya, mereka menari lambat sesuai irama. Hal yang paling aneh dari itu semua adalah … ini terasa benar, terasa tepat, terasa seperti … memang sudah seharusnya begini.

"Granger?"

"Hm?"

Saat itu Hermione tidak bisa lagi melihat wajah Malfoy, ia sudah bersandar tenang di dada pria itu. Seperti kesadarannya ditarik saat ia melakukannya.

"Aku ingin memberitahumu satu rahasia kecil … yang berhubungan dengan pertanyaan yang kau tanyakan."

Tanpa di sadari Draco, cengkeraman di bagian pundak jasnya mengerat. Hermione bahkan mengandalkan tubuh Draco untuk menopang separuh bobot badannya. Ia merasa … gugup yang aneh.

"Apa, Malfoy?" Suaranya dipaksakan agar tidak gemetar.

"Aku selalu penasaran bagaimana rasanya berdansa denganmu."

Hermione mendadak oleng. Ia nyaris terinjak kaki Malfoy jika saja pria itu tidak lebih sigap memegangi pinggangnya.

"Kau tahu, Granger? Masih ada banyak lagi rahasia kecil yang tidak kau ketahui. Titik-titik kecil inilah, yang akan menunjukkanmu jawaban yang kau inginkan itu."


Sudah terlalu terlambat ketika Hermione menyadari kesalahannya; melupakan janji makan malam dengan keluarga Weasley. Ia memijat keningnya yang terasa berdenyut. Ah, mereka pasti mengkhawatirkan Hermione sekarang. Dan apa yang bisa dikatakannya nanti? Bahwa ia terlambat karena sibuk mengatur dekorasi gedung pernikahan? Itu sedikit masuk akal. Tapi Hermione tidak mau mengambil resiko mereka menanyakan siapakah Wedding Planner yang bekerja sama dengannya. Meski kemungkinan itu kecil sekali, tapi Hermione tidak mau mengungkit hal-hal yang akan menyeret Draco Malfoy nantinya.

"Granger, kau mau kemana?" tegur Draco begitu dilihatnya Hermione berjalan pelan ke luar gedung. Ia meletakkan keramik di tangannya hati-hati untuk kemudian mengejar gadis itu.

"Oh, Maaf, Malfoy. Kupikir ini sudah larut malam. Aku harus pulang."

"Kalau begitu biar kuantar."

"Tidak!" jerit Hermione, lengannya sudah menarik Draco yang sepeti akan berlari ke parkiran. "Tidak usah. Aku akan naik taxi. Atau jika aku terlalu lelah, aku bisa ber-apparate."

"Benarkah? Kalau ada Muggle yang melihat kau bisa mendapat masalah," kata Draco coba menirukan ucapan-ucapan yang biasa dinasehatkan Hermione dengan gaya dramatis berlebihan.

Alih-alih memukul kepala pirang itu, atau meneriakinya dengan berbagai kutukan, Hermione hanya mendengus sebelum akhirnya benar-benar melangkah keluar gedung. Kali ini dengan gerak lebih cepat.

"Aku bilang aku bisa pulang sendiri, Malfoy," geramnya ketika Draco masih membuntutinya. Langkah-langkah panjang pria itu terasa benar mengekorinya dalam jarak dekat.

"Kalau begitu aku akan memastikan kau memasuki taxi yang benar," balas Draco yang tahu-tahu sudah berjalan bersisian dengan Hermione. Ia tersenyum sampai matanya membentuk sabit dengan kedua tangan dicelupkan di saku celana.

"Kenapa?" Hermione bertanya sedikit ragu, gugup sebenarnya.

"Aku khawatir, Granger."

Gugup itu semakin menjadi sampai Hermione merasa harus mencengkeram jantungnya.

"Aku khawatir sekali, bagaimana kalau kau salah masuk? Bagaimana kalau kau ternyata masuk truk sampah?" sambungnya dengan nada serius. Tapi matanya berkilat geli.

Lagi-lagi, Hermione merasa ingin melempar pirang platina itu ke sudut terjauh di muka bumi. Ia mendengus tak henti-henti dan mempercepat jalannya menuju halte bus atau apa saja. Ia hanya merasa perlu berjalan karena tentu ia akan menjadi bahan ledekan si Malfoy jika ia hanya diam. Tetapi langkah terburunya tidak bisa lama karena Malfoy segera menahan lengannya.

"Kau bisa jatuh, Granger," ujarnya sambil menghela napas, seolah ia benar-benar khawatir.

Ah, tentu saja. Apa pedulimu? Tapi Hermione malas untuk membuka mulut dan mendebatnya.

"Aku akan naik bus," kata Hermione akhirnya begitu ia melihat halte bus sekitar dua puluh meter dari posisi ia berdiri. Merasa lega seolah halte itu adalah penyelamat hidupnya.

Draco tidak mengatakan sesuatu selain gumaman semacam 'hati-hati'. Ia membiarkan Hermione dua langkah lebih jauh darinya saat ia kembali memanggil.

"Granger,"

Dan gadis itu ... gadis itu seharusnya tidak menurutinya semudah itu, tapi Hermione benar-benar menoleh tanpa berpikir. Draco mengeluarkan tangan kanannya yang semenjak tadi tertanam di dalam saku. Ada tongkat di sana. "Tongkatmu,"

"Oh."

Gadis itu setengah berlari. Kembali menghampirinya, lebih dekat padanya, dan Draco diam-diam menyukai fakta itu. Ada banyak hal yang tidak bisa ia simpulkan ... tidak bisa dijelaskan, tentang gadis di hadapannya ini. Ada setruman kecil saat tangan hangat dan halus itu menyentuh telapak tangannya yang terbuka, untuk yang terakhir di hari ini. Dan ia berharap esok cepat datang.

Hermione kembali berbalik dan melangkah setelah mengambil tongkat miliknya dan mengucapkan terimakasih.

Rasanya ada yang kurang. Ada yang belum terjadi. Ada yang ingin dikatakan tapi tertahan di kerongkongan. Yah, rasanya seperti itu.

"Her ... mione,"

Suara serak dan dalam itu ... Hermione mengenalinya. Tapi saat mengucapkan nama kecilnya itu benar-benar terasa aneh, asing ... dan ia segera ingat, itulah pertama kali nama kecilnya disebut oleh Draco Malfoy setelah lebih dari separuh hidup mereka saling mengenal. Bahkan ia tidak yakin apakah yang barusan ditangkap indera pendnegarannya itu adalah Draco yang memanggilnya Hermione atau bukan. Maka Hermione menoleh sekali lagi, mempertemukan iris cokelatnya dengan mata biru keabu-abuan itu. Mata yang ... menjerat, sebetulnya.

"Granger, tahukah kau bahwa hari ini persis tiga puluh hari sebelum hari pernikahanmu? Aku tahu kau cukup dermawan, jadi bisakah kau membantuku kali ini? Seumur hidupku aku belum pernah meminta apapun padamu, tapi kali ini ... aku ingin memohon."

Satu .. dua ... Hermione tahu langkah-langkah panjang Malfoy sedang mempersempit jarak di antara mereka, tapi ia tidak bisa bergerak sama sekali di tempatnya.

"Bisakah kau menjadi kekasihku selama tiga puluh hari ini? Kau adalah salah satu dari hal-hal yang tidak bisa kumiliki, bahkan kurasa tidak untuk tiga puluh tahun ke depan. Jadi bisakah korbankan tigapuluh harimu? Berpura-puralah. Tiga puluh hari sebelum hari pernikahanmu, berpura-puralah bahwa aku calon priamu. Lepas itu, setelah tiga puluh hari, aku berjanji akan mengembalikanmu.

"Cukup tiga puluh hari, Hermione."

Tongkat dalam genggaman Hermione bergetar bersama seluruh tubuh pemiliknya. Ia tidak memercayai telinganya. Ia menuduh-nuduh otaknya telah salah. Ia merasa ... gamang. Seperti ada sesuatu di bawah kesadaarannya yang mengambil alih ketika ia akhirnya menggerakkan bibirnya pelan.

"Draco," ujarnya terlalu lirih.

Draco. Ia tidak tahu bagaimana caranya sehingga ia menikmati kata itu meluncur dari mulutnya. Rasanya tidak terlalu buruk. Tidak buruk sama sekali. Rasanya seperti ... kata itulah yang sangat ingin tapi tidak bisa ia ucapkan sejak dulu. Memanggil Malfoy dengan nama kecilnya, Draco.

"Kalau begitu ... mulai sekarang aku harus memanggilmu Draco, kan?"

TBC

Aaaaaa~ silahkan timpuk saya! FF ini request dari adik Silvi Dyah Septiani yang aku tahu iseng2 aja request. Tapi gak tahu kenapa tetep aku tulis. Gimana? Mainstream, kan? Makanya aku sendiri tidak berharap ada lanjutannya *PLAK*

review, please! *deepbow*

Kalo ada yang salah ditegur aja. Mohon maklum, ya, ini beneran pertama kali bikin FF model begini *nangis* Dan aku berani bersumpah bahwa aku sampai nyaris nangis setress harus riset dan mengikuti logika novel yang ada. Ingatanku buruk! Merlin! Itu membantu sekali -_-

Buat Silvi, puas, kan? Yang penting aku udah bikin. Segini aja, ya. Hahahaha.

1 Makanan berupa biskuit atau irisan roti atau roti panggang dipotong dalam beragam bentuk dan dihiasi beragam makanan seperti keju, daging, etc (HP 7)