.

Seekor kucing yang kehilangan satu kakinya, tertawa seraya melihat ke arahku;

'Nona manis yang ada disana, ayo bermain denganku!'

OhTak tahukah dirimu?

Jika kau menerima ajakannya untuk bermain

Kau tidak akan bisa kembali lagi.

.

.

.


Labyrinth

Attack on Titan © Isayama Hajime

.

Chapter 1: Strange

By: Nacchan Sakura (id: 1809369)


.

.

.

Tak ada yang ganjal di hari itu.

Tak ada firasat, tak ada pertanda—

Semuanya terlihat seperti..

Hari biasa yang akan berjalan dengan menyenangkan.

.

.

.

"—HARAP TENANG!"

Suara gaduh kini ditutupi oleh kesunyian—suara yang lantang membuat semua murid yang sedari tadi berbincang dan mengutarakan rasa senang mereka, menjadi terdiam seketika. Murid kelas 10-4 di Maria Academy kini menatap serempak ke arah depan—melihat wali kelas mereka sedang berdiri seraya menatap murid-muridnya dengan tajam.

—tatapan tajam itu sukses membuat mereka semua menutup mulut. Jika tidak dengan cara seperti itu—sang wali kelas, Levi, yakin pasti seisi kelasnya tidak akan bisa berhenti membuat kegaduhan. Dan fakta bahwa ia harus menyampaikan beberapa pengumuman sebelum darmawisata mereka ke Dufan dimulai—membuatnya harus melakukan penekanan pada kata-katanya dengan lebih ekstra.

"Aku ingin kalian mendengarkan beberapa hal sebelum memasuki bis," Levi berdehem pelan—"Pertama, kalian tidak boleh terpisah dengan regu kalian masing-masing ketika ada disana. Kalau bisa—kalian semua, sekelas, jangan sampai ada yang terpisah. Jika kalian sampai kehilangan teman kalian—segera hubungi aku, atau teman lainnya."

"—Memangnya Dufan itu sangat luas ya, sir?"

"Yah, begitulah, Eren. Selain tempatnya sangat luas—aku tidak yakin kalian semua bisa pergi masing-masing tanpa tersesat."

"Disana ada yang jual kentang tidak, sir?!"

"—Mana aku tahu, Sasha. Aku bukan tukang jualan disana."

"Sir, kami boleh bergabung dengan regu lain, tidak?"

"—Kalian bahkan diperbolehkan untuk pergi bersama-sama, semuanya, tanpa regu. Justru akan lebih mudah dan bagus jika kalian semua tidak terpisah sama sekali."

Semua murid mengeluarkan suara 'oooh' yang serempak—kemudian mereka kembali melihat ke arah Levi ketika wali kelasnya itu menggebrak meja, mengambil kembali perhatian mereka.

"—Dan jangan sampai kalian membuat keributan dan kekacauan disana, ingat itu."

Dengan anggukan yang serempak—Levi mempersilahkan semua muridnya untuk meninggalkan kelas dan memasuki bis yang akan membawa mereka ke sebuah taman hiburan—Dufan. Ya, hari ini—tepat hari kamis, semua murid kelas 10-4 mendapatkan kesempatan untuk darmawisata setelah berapa bulan lamanya mereka jenuh menghadapi pelajaran di sekolahnya. Dan pilihan yang tepat adalah— bermain sampai puas di sebuah taman hiburan.

Suasana di dalam bis begitu ramai—ada yang tertidur, ada yang main kartu, ada yang berbincang—ada juga yang makan kentang tanpa henti. Macam-macam—dan Levi lebih memilih untuk mendengarkan musik seraya melihat keluar jendela.

Pemandangan hari ini indah—meski cuacanya cerah, Levi sedikit kebingungan dengan kabut tipis yang sedari tadi terlukis di udara—padahal, tadi ia rasa cuacanya tidak dingin—

"Pak supir, kenapa di luar banyak kabut, ya?"

Setelah melepaskan kedua earphone yang menempel di teliganya—Levi melemparkan pertanyaan kepada orang yang duduk di samping paling depan. Sang pengemudi bis menoleh ke arah Levi dan menjawab,

"Hal ini sudah biasa. Daerah perjalanan menuju Dufan memang selalu berkabut, sir."

"..Oh, begitu, ya?"

—Levi hanya meng-iyakan pernyataan tersebut. Ia tak pernah pergi ke Dufan sebelumnya—maka dari itu, ia tidak merasakan bahwa hal ini begitu ganjal. Ia pikir—wajar saja, jika jalanannya berkabut.

. . . .

Wajar?

'—Eh?' Levi merasakan bis berbelok—sang pengemudi membanting stir ke arah kiri. Iris kelabunya kini menatap ke depan—oh, tadi ada jalan bercabang—dan sang supir memilih jalan ke arah kiri.

Ini jalan yang benar.. bukan?

Levi tidak pernah pergi ke Dufan sebelumnya, catat itu. Dan ia menyesal tidak membaca atau membawa peta dari rumah—untuk memastikan saja bahwa jalan yang mereka lalui itu tidak salah.

'Tapidia 'kan supir berpengalaman, dan ia sudah berkali-kali ke Dufan. Tidak mungkin salah jalan, bukan? Aku harus mempercayainya,'

—Rasa percaya itu ia genggam dengan erat.

.

.

.

"DUFAAAAAAAAAAAN!"

—Sesampainya rombongan kelas 10-4 di sebuah taman hiburan besar tersebut, semuanya bersorak sorai seraya tersenyum lebar—terlihat tidak sabar untuk segera menunjukkan tiket dan masuk ke dalam, lalu bermain sepuasnya. Tapi, tidak—sampai Levi menyuruh mereka semua untuk bersikap tertib dan tidak terlalu berisik. Sasha Braus, salah satu muridnya—sampai memasang wajah manyun karena tidak mau disuruh bersabar dan menunggu.

"Kalian semua berbaris dan memperlihatkan tiket kalian di depan sana," Levi mengarahkan jari telunjuknya ke arah loket yang diisi barisan panjang. "Dan ketua kelas, Marco, kuharap kau bisa mengkondisikan agar teman-temanmu tidak saling mendahului."

"—Baik, sir!"

Dengan satu helaan nafas—Levi memperlihatkan tiketnya terlebih dahulu. Setelah selesai dengan urusan tiketnya dan ia diperbolehkan untuk masuk, Levi melihat ke sekeliling—luas, ternyata Dufan lebih luas dari dugaannya. Banyak permainan yang bisa dinikmati disini, tapi—

Tidak sesuai dugaannya juga, hari ini Dufan begitu sepi.

'Apa karena hari ini bukan weekend, ya?' tanya Levi di dalam hati—hari ini masih hari kamis, beberapa kantor, tempat kerja, ataupun sekolah—pasti masih melakukan aktivitas mereka, karena hari ini bukan tanggal merah di dalam kalendar.

—Dan Levi pun mengambil kesimpulan yang paling sederhana; ya, hari ini bukan hari libur, maka dari itu Dufan tidak begitu ramai.

Cuacanya panas dan cerah—kata-kata sang supir benar, ternyata disini cuacanya tidak sinkron dengan kabut tebal yang menyelimuti saat perjalanan tadi. Matahari tetap bersinar dengan begitu cerah, dan langit yang dikelilingi awan putih sebagai penghias.

Tapi, meski cuacanya sangat panas dan menusuk kulit—Levi dapat melihat semua muridnya tetap antusias dan ceria, bersiap untuk menaiki semua permainan yang ada sampai mereka puas—dan Levi hanya bisa tersenyum tipis melihat murid-muridnya yang penuh semangat seperti itu.

Jangan salah—meski galak dan terlihat muka tembok di luar, Levi sebenarnya guru yang sangat perhatian dan menyayangi semua muridnya—namun, demi imej nya yang 'dingin dan tanpa emosi', Levi tidak pernah menunjukkan semua rasa sayangnya itu secara terang-terangan. Lagi pula—peduli dengan seseorang itu tidak harus selalu ditunjukkkan secara berlebihan, bukan?

"Levi-senseeei! Mau naik permainan apa dulu?" Eren menghampiri ke arah Levi dengan suara lantangnya yang begitu ceria—terlihat Mikasa dan Armin mengikutinya dari belakang.

"Aku tidak ingin naik permainan apapun—kalian saja duluan,"

"Eeeh? Tidak seru, ah! Ayo, sensei juga ikut main, dong!"

"—Aku akan menyusul nanti. Sudahlah, kalian bersenang-senang saja, sana."

"..Begitu? Baiklah—sampai nanti, sensei!"

Eren menarik lengan Mikasa dan Armin—kemudian membawa kedua temannya tersebut ke arah permainan Roller Coaster. Levi kini mengalihkan fokus matanya ke arah yang berbeda—ia melihat Reiner Braun, Bertholdt Fubar, dan Annie Leonhart—ketiga muridnya, yang kini sedang berjalan menuju wahana rumah hantu. Levi juga melihat jean Kirschtein, Connie Springer, Ymir, dan Christa Lenz yang berjalan menuju wahana bianglala—

—Tunggu.

Levi kemudian menarik satu alisnya ke atas—semua muridnya berhasil ia lihat, Mina Carolina, Marco Bodt—

...Tapi, tidak ada Sasha Braus.

"—Hey, Christa Lenz!"

Yang dipanggil—gadis dengan rambut berwarna blonde dan mata berwarna biru muda yang cerah, menoleh ke arah Levi. "Iya, sensei?"

"Dimana Sasha?"

"...Eh? Aku tidak bersamanya semenjak tadi—tapi kurasa, ia memasuki rumah kaca, deh..."

Memasuki rumah kaca sendirian—jenius sekali, muridnya yang satu ini.

"Baiklah, terima kasih."

Levi kemudian menghela nafas panjang seraya berjalan menuju rumah kaca—rumah kaca disini terkenal cukup rumit, bisa gawat jika ada yang memasukinya sendirian—apalagi kalau orangnya seperti Sasha Braus yang mudah panik dan tidak begitu pandai mencari jalan.

..Matahari masih menyinari, langit masih sama dengan warna birunya—

Tapi kenapa orang-orang mulai menghilang?

.

.

.

—Ya, ia tidak berdelusi. Berkali-kali Levi mengucek matanya—bahkan mencuci mukanya di kran air terdekat, tapi matanya masih menunjukkan pemandangan yang sama.

Jumlah pengunjung kini menurun drastis—awalnya masih ada beberapa orang jalan kesana kemari, namun kini—Levi bahkan tak melihat staff atau petugas dari Dufan yang sedang berjalan melewatinya. Apa permainan disini membosankan semua? —Tidak mungkin, semuanya terlihat menyenangkan, dan taman ria ini cukup terkenal—

..Bukan?

Tapi pandangannya tidak menipu—bahkan Levi berani bilang, saat ini yang ada di dekat wahana rumah kaca hanyalah dirinya seorang—tak ada siapapun lagi. Levi mengerutkan dahinya—apa ini hanya perasaan dia saja?

"Mungkin orang-orang berkumpul di wahana lain...?"

Levi masih mencoba untuk berpikir positif—meski ada perasaan ganjal yang muncul di hatinya, ia mencoba menepis perasaan itu jauh-jauh—tidak mungkin. Tidak akan ada hal buruk yang terjadi, kok. Tidak akan—

"—KYAAAAAAAAAAAAAA!"

Levi tersadar dari lamunan singkatnya—suara teriakan yang nyaring milik salah satu muridnya membuat Levi meninggalkan pintu menuju rumah kaca dengan segera. Levi berlari ke arah sumber suara—dari depan, suaranya seperti suara Mina Carolina—

Sesampainya Levi di tempat dimana Mina Carolina berada—ia disambut oleh pemandangan dimana gadis itu menangis seraya mengguncang pintu gerbang Dufan yang tertutup dan—eh, tidak ada petugas yang berjaga disana...?

"—SENSEI!"

"Ada apa?!" Levi tak peduli dengan nafasnya yang terasa sesak karena berlari—ia bertanya langsung kenapa muridnya berteriak ketakutan.

"A-aku tadinya mau kembali ke bis untuk mengambil ponselku yang tertinggal. Tapi—ternyata, gerbangnya—GERBANGNYA TERKUNCI!"

Eh?

"A—terkunci?!" Levi berlari ke arah gerbang dan melihat ada banyak rantai da ngembok yang mengelilingi gerbang tersebut—mereka bahkan memasang kawat duri di sekeliling pagar, dan anehnya—disana tak ada satupun orang yang sedang bertugas. Levi bahkan tidak melihat ada pengunjung disana!

"Kemana orang-orang pergi, sensei?! K-kenapa... kenapa kita terkunci?!"

—Ternyata memang bukan delusi. Ada yang ganjal disini—

"Ada yang aneh, sensei! K-kenapa sedari tadi, rasanya pengunjungnya semakin berkurang? Kenapa—kenapa tidak ada petugas yang memberikan salam ramah kepada kita, ketika kita memasuki taman ria?!"

"Kenapa kita seperti sudah sengaja dijebak ke dalam sini?!"

Levi kembali mengerutkan dahinya—otaknya kembali berpikir dengan keras. benar—semua yang dikatakan Mina itu benar. Semua orang yang tadi ada di dalam taman ria ini...

Kenapa semuanya tak ada yang berbicara?

Bahkan penjaga loketpun hanya mengulurkan tangan, seperti meminta tiket yang sudah kita miliki—tapi mereka tak mengucapkan sepatah kata apapun...

"Sensei, bahkan tidak ada orang yang berbicara melalui speaker yang terpasang di berbagai sudut di taman ria! Musiknya memang berputar, tapi 'kan—biasanya suka ada yang berbicara untuk memberikan pengumuman atau sambutan, bukan?!"

—Ya, pernyataan Mina yang itu juga benar—Dufan ini terlalu... sepi, hari ini. Bukan hanya karena jumlah orang, tapi...

Karena sedikitnya orang yang berbicara.

Levi awalnya tidak tahu karena murid-muridnya begitu gaduh—lagipula musik juga berputar keras melalui speaker, jadi ia tidak begitu merasa bahwa suasananya begitu sunyi.

Tapi, sekarang—

Memang aneh, semua yang terjadi di dalam sini aneh—

Seperti sengaja menjebak mereka ke dalam sini.

Levi kemudian mendecak kesal—Apa yang sebenarnya terjadi?! Kini, ia tak bisa berpikir dengan jernih—terlalu banyak hal aneh yang membuat pikirannya terganggu.

Levi kemudian menoleh ke arah Mina yang masih menangis ketakutan—tak ada jalan lain, ia harus—

"—Kita harus mencari semuanya, Mina!"

"..E-eh?"

"Jangan sampai berpisah dariku—aku akan mencari semua anak-anak sampai kita semua berkumpul, lalu aku akan membawa kalian semua keluar dari sini!"

Masih belum jelas memang, apa yang sebenarnya sedang terjadi disini. Tapi Levi hanya tahu satu hal di dalam hati dan benaknya—

Ia harus keluar dari sini, secepatnya

Bersama semua muridnya.

.

.

.

To Be Continued


.

.

.

Apakah Levi akan berhasil menemukan semua muridnya?

Dan..

Apakah bisa, ia keluar dari taman ria yang sudah mengelilingi dirinya..

Bagaikan labirin tanpa akhir ini?

A/N:

Halo, Nacchan Sakura disini mengisi chapter satu.

.

.

.

.

.

And I'm not gomen

*diusir jauh*

JADI—setelah konsultasi bersama pencetus ide yaitu Chima Chimaira-san, terbentuklah di otak saya fanfic ini... dan juga judul yang ditemukan pada detik-detik terakhir menuju goal... dan JEBRET! Dapatlah judul ini~

(meski banyak ngakak pas konsultasi tapi ya okelah olahraga perut biar ga laper =)) )

Jadi—um, formalnya sih, halo para reader semuanya! kami dariiii—*drumrolls*

TITANISTA!

Mempersembahkan fanfic ini kepada kalian semua~

Semoga kalian suka dengan fanficnya, dan semoga kalian terus memberi kami dukungan! *bagiin lightstick ke para reader*

Dan—aduh ngomong apalagi ya. Aku masih ngakak ini sebenernya.

Dan—eh, sampai jumpa di chapter dua, ya!

Dan—tag selanjutnya adalah,

*drumrolls lagi*

.

.

.

Yami-chan Kagami!

I'm not gomen teehee *ditampar yami-chan* selamat berjuang untuk chapter duanya!

Bye bye!


Remaining author(s) and authoress(es):

Tsubaki Audhi / My Shapeless Heart / Shana Nakazawa / OurieChrome / AriaFriends24 / Ray Bellatrix / black roses 00 / Rainbow 'Walker' Castle / Saint-Chimaira (Kari) / Rouvrir Fleur