Disclaimer : Everything written in this blog is creation of my imagination. The characters belongs to their mangaka, but the plot belongs to me. Please DO NOT REDISTRIBUTE!

Title : Secret

Author : _kadzuki_ aka fate_aram

Rating : M

Pairing : AkaKuro

Genre : AU, Yaoi, Dark, Supranatural

Cast : Akashi Seijuurou, Kuroko Tetsuya

Guest : Kamui Gakupo, Megurine Luka, Kagamine Rin, Kagamine Len, Shion Kaito (Vocaloid)

Warning : Darah. Pembunuhan. Ketidakstabilan mental. Totally madness. Disarankan untuk mendengar lagu Secret dari Megurine Luka untuk hasil maksimal.

Summary : Langit musim panas dan senja di sore hari. Laut tak berujung dan api abadi. Kuroko Tetsuya dan Akashi Seijuurou. Dua entitas yang bertolak belakang. Takdir keduanya yang terjalin atas darah, cinta, dan kegilaan tanpa batas.

A/N : Cinta muncul begitu saja. Tidak perlu alasan untuk menemukan cinta. Karena cinta hadir ketika dua takdir saling bersilangan, di luar kuasa sang pemilik takdir itu sendiri. Itadakimasu~


.

[Ternio Insaniam: Fate of The Sunset and The Sky]

.

.

Biru.

Hamparan warna biru yang memukau.

Birunya langit di musim panas.

Birunya laut yang terbentang tanpa batas.

Biru yang menariknya, memancing kerinduannya.

Biru yang menantinya, seolah akan mendekapnya dan menyambutnya kepulangannya.

Biru yang seolah mengampuni keberadaannya, dosa yang diperbuat kehadirannya.

Seorang pemuda berambut merah membuka matanya perlahan, menampakkan paduan darah dan emas dari kedua iris matanya yang berbeda warna. Di hadapannya tampak taman yang didominasi hamparan mawar merah yang memukau. Lagi-lagi mimpi itu. Ia tertegun sejenak sebelum tersenyum tipis, menyadari bahwa ia tertidur di kursi di teras kamarnya. Sepertinya ia belum terbiasa dengan seluruh kedamaian ini, padahal sudah hampir satu tahun ia pindah dari Rumah Utama ke mansionnya sendiri.

" Seijuurou-sama! "

Pemuda berambut merah itu menoleh. Di ujung koridor teras, muncul sepasang anak kembar laki-laki dan perempuan berambut pirang. Mereka memeluk sebuket besar bunga mawar yang sepertinya baru dipetik, siap untuk didistribusikan ke setiap sudut mansion yang butuh penyegaran. Keduanya langsung bersimpuh begitu tiba di hadapan majikan mereka.

" Hum? "

" Orang-orang yang kemarin kita selamatkan sudah sadar. Sekarang Kaito-nii sedang menjelaskan duduk perkaranya. " lapor si kembar serentak. " Tadi ada utusan dari Rumah Utama, orangnya menyebalkan. Tapi Gaku-nii sudah membereskannya. "

" Kerja bagus. " Sang kepala klan menunjukkan senyum tipisnya. Semenjak kepindahan dan adanya pelayan-pelayan yang mampu memenuhi ekspektasi serta memegang teguh kesetiaan mereka, frekuensinya untuk tersenyum sedikit meningkat. " Lalu pilihan mereka? "

" Kami kurang mengerti. Sepertinya Kaito-nii akan menghadap Anda begitu pilihannya selesai dibuat. "

" Baiklah. Kembali bekerja. "

Kedua anak kembar itu menunduk takzim sebelum mohon diri. Seijuurou menghela nafas pelan sembari mengawasi si kembar yang menjauh. Semenjak menjadikan Gaku, Luka, dan si kembar Rin-Len sebagai pelayannya, serta kepindahannya ke mansion pribadinya, ia mulai 'memungut' orang-orang berkekuatan spiritual yang diasingkan secara sepihak oleh masyarakat. Perlindungan yang ia berikan dibayar dengan loyalitas, dan hampir semua yang 'dipungutnya' memilih untuk melayaninya sepenuh hati. Bukan karena paksaan, bukan karena tidak adanya pilihan. Melainkan karena kesamaan atas nasib yang menimpa.

Perlahan sang pemuda berambut merah melayangkan tatapannya ke angkasa. Ia teringat kembali akan mimpinya yang terus berulang akhir-akhir ini. Biru. Tenang, tanpa batas, seolah merengkuh dirinya dengan lembut dan penuh kasih. Yang setia menunggunya, menyediakan tempat pulang untuknya.

Deg.

Irama jantungnya meningkat, mulai menggetarkan rongga dadanya.

Deg. Deg.

Biru itu kembali meraup kesadarannya, memberikan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan.

Deg. Deg. Deg.

Nafasnya tercekat, hatinya pedih. Sebuah kerinduan yang tidak ia kenal menerjang emosinya yang terkontrol.

' Sei... '

Ia tersentak. Dalam benaknya muncul sesosok wajah yang tidak dikenalnya.

Biru. Birunya langit musim panas. Birunya laut yang terbentang tanpa batas.

Sepasang mata dengan iris sewarna langit menatapnya dengan lembut. Mata yang mampu melihat menembus topeng tanpa emosi yang dikenakannya selama ini. Mata yang berisi kehangatan dan kasih sayang yang sejak lama ia inginkan. Mata yang seolah mengatakan, ' Kau telah berusaha dengan baik, semua akan baik-baik saja, dan aku akan selalu di sini. '

Raganya merasakan sebuah tarikan kuat, urgensi untuk segera bangkit mencari pemilik mata itu. Ia mencengkram dadanya, jantungnya sudah berdetak tidak karuan. Kerinduan itu makin membuncah, menghimpit rongga dadanya, berkumpul di satu titik, siap untuk meledak kapan saja.

Ia mengerang frustasi, mengapa orang sepertinya yang mampu mengendalikan emosi dan perasaan dengan baik, bisa kacau oleh hantaman gelombang emosi yang tidak jelas asal-usulnya ini? Meski demikian, otaknya tidak mau kembali bekerja normal, memaksa untuk menghilangkan kerinduan yang mencekiknya dari dalam. Ingin rasanya ia pergi, berlari mencari pemilik mata itu, berharap bahwa sosok itu bukan hanya sekedar khayalan bawah sadarnya.

" Seijuurou-sama! "

Sang pemuda berambut merah itu tersentak. Biru itu bersama dengan gelombang emosi yang intens menghantamnya langsung surut seketika. Jiwanya seolah ditarik kembali secara mendadak. Benaknya kosong, logikanya terhenti sesaat. Dipandanginya tangan kirinya yang sudah dalam posisi menggapai sesuatu dan tangan kanannya yang mencengkram dadanya erat.

" Seijuurou-sama, apakah Anda baik-baik saja?! "

Yang dipanggil hanya menoleh pelan. Pandangannya kosong sesaat sebelum otaknya kembali mencerna realita. Ia mengedipkan matanya sekali, kemudian warna dunia yang tadinya hilang mulai menyesaki pandangannya. Yang pertama kali dilihatnya adalah warna ungu lembut dari rambut Gaku, kepala pengawal Crimson Squad miliknya. Di wajahnya terpahat kekhawatiran yang kentara.

" Seijuurou-sama? Apa perlu kupanggil— "

" Tidak, tidak perlu. Aku baik-baik saja. " potong sang pemuda berambut merah cepat. " Aku hanya... hanya melamun. Ya, melamun. Agak terbawa suasana, kau tahu? "

Gaku tampak tidak yakin dengan jawaban yang diberikan oleh majikannya. Namun ia tetap diam, tahu kalau pemilik mata heterokrom di hadapannya tidak suka perkataannya dibantah terang-terangan. Barangkali ada 'hadiah' dari Rumah Utama yang berhasil lolos dari pengawasannya. Yah, ia bisa mengeceknya nanti dan memperketat penjagaan mansion.

" Jadi, apa yang mau kau sampaikan? "

" Ah, ya. " tukas Gaku terbata. " Ada tugas untuk malam ini. Pembawa pesannya sudah kubereskan dan kukembalikan apa adanya ke Rumah Utama. "

Sang pemuda berambut ungu mengulurkan sebuah amplop yang disegel dengan lambang klan majikannya. Lambang itu memudar, secarik kertas menyembul dari dalamnya. Ia mengamati mata heterokrom yang meneliti tiap kata di hadapannya dengan cermat.

" Rupanya mereka rela kehilangan harga diri demi menyingkirkanku. "

Sebuah seringai muncul di wajah tampan sang pemuda berambut merah. Tangannya meremas kertas beserta amplop dalam genggamannya dengan kuat, campuran antara semangat dan kebencian yang mendalam. Sang kepala pengawal memandanginya penasaran sekaligus kebingungan, jarang-jarang majikannya itu memperlihatkan gejolak emosi yang begitu kuat seperti saat ini.

" Maksud Anda? "

" Mereka memanggil Dullahan. Klan kolot yang tidak mau bersentuhan dengan sihir Barat itu akhirnya membuang harga diri mereka untuk menyingkirkanku. Luar biasa. "

Fakta ini membuatnya merasa makin jijik pada klan yang telah merantai kebebasannya, menetapkannya sebagai pendosa sejak lahir. Ia sengaja menggunakan sihir Barat saat menunaikan tugasnya sebagai exorcist, sebagai bentuk pemberontakan dan penghinaan pada klannya yang hanya mengagungkan sihir Timur. Dan kini hanya demi menghabisi seorang anak yang diramalkan akan mengakhiri kejayaan klan, mereka berani melanggar prinsip dasar yang dijaga turun-temurun.

" Sterilkan kawasan timur Prefektur Kanagawa. Kita akan berburu malam ini. "

.

.

But from the day I found you babe

You falling into me

.

.

Sepasang mata heterokrom menatap tubuh tak berkepala yang menggeliat di hadapannya. Zirah yang melekat di tubuh itu sudah tidak lengkap, menampakkan kulit kisut di beberapa bagian. Meski tak berkepala, gestur tubuh milik entitas yang dikenal sebagai Dullahan itu menunjukkan kegelisahan hebat, bahkan cenderung takut. Pemuda yang baru menginjak masa remaja di hadapannya bukan sembarang manusia.

Sebuah senyum sadis merekah dari wajah tampan pemuda berambut merah itu, menikmati ketakutan yang terpancar dari buruannya yang tersudut. Anggota Crimson Squad-nya telah kembali ke posisi masing-masing setelah mempermainkan target mereka, yang dalam prosesnya mempreteli zirah entitas yang terkenal di Eropa Utara tersebut.

" Hanya sejauh inikah? " sahut Seijuurou dengan nada meremehkan. " Dullahan yang tersohor ternyata tidak ada apa-apanya. "

' Kau... Manusia yang diramalkan itu... '

" Yeah, yeah... " Pemuda berambut merah itu mendengus jijik, kemudian mendekati buruannya dengan langkah-langkah kecil yang sangat mengintimidasi. " Aku sudah bosan mendengar ramalan-kata-kata sampah itu. Soal anak terkuat, menghancurkan klannya, dan bla bla bla. Oh, I hate that shitty things. "

Gerak tubuh sang Dullahan mulai tak beraturan, dikuasai kepanikan dan ketakutan yang ditimbulkan pemburunya. Dari mata heterokrom itu ia tahu tidak akan ada pengampunan di sana. Jika ia tidak berhasil meloloskan diri, maka hanya satu masa depan yang bisa dilihatnya. Kematian. Akhir dari hidup panjangnya. Seiring jarak yang mulai tereliminasi, tubuh itu mulai meronta, mencoba membebaskan diri dari benang-benang sihir tak terlihat yang menahannya.

" Oh, ayolah, buat aku merasa terhibur. Buat aku merasa bahwa tenagaku tidak terbuang sia-sia untuk membunuh Dullahan yang terkenal kejam. " Jemarinya mengelus sarung kodachi bermotif bunga krisan, seolah menahan keinginan untuk mencabutnya dan menyelesaikan pekerjaannya dengan segera. " Ignis. "

Sebuah jeritan memecah keheningan malam, bersamaan dengan munculnya kobaran api yang melalap tubuh tak berkepala itu. Bau daging terbakar menguar menusuk hidung, sementara sumbernya berkelojotan, berusaha membebaskan diri dari rasa sakit yang menyerbu. Mata heterokrom menatap pemandangan itu tanpa setitik pun belas kasihan di dalamnya.

" ...Kau...! AAARRGGH! TER... TERKUTUK! "

" Tidak ada kata-kata yang lain lagi? Aku bosan mendengar kata 'terkutuk' dari mangsaku tiap kali aku berburu. Kalian benar-benar tidak kreatif. " Seijuurou memandangi jemarinya, menikmati pantulan kobaran api di permukaan kukunya. Ketika suara jeritan sang Dullahan melemah, ia memicingkan matanya, menatap buruannya yang sudah menuju ajal. " Sudah tidak kuat? Baiklah, karena aku baik hati... Glaciales. "

Pilar-pilar es muncul seketika, tepat di persendian kaki dan tangan sang entitas tak berkepala. Api yang tadinya melahap tubuh malang itu langsung menghilang, kalah oleh hawa es yang membekukan. Dullahan itu hanya bisa merintih, tidak sanggup lagi untuk melakukan perlawanan, bahkan meski sekedar makian.

Sang pemuda berambut merah mendekat, langkah demi langkahnya mengantar buruannya ke dalam dekapan maut. Ia berjongkok, mengernyit pelan saat bau daging gosong mengusik penciumannya. Tanpa ragu ia menarik bilah kodachinya, menyabetkannya ke tangan kiri sang Dullahan. Baik pilar es maupun daging yang terperangkap disana terbelah menjadi dua, memercikkan cairan emas yang berasal dari daging bagian dalam yang belum terpanggang.

" Bagaimana? Aku baik hati bukan? Tidak ada rasa sakit yang akan kau rasa menjelang akhir waktumu. " Seijuurou menundukkan kepalanya, tepat ke atas tempat dimana seharusnya kepala sang Dullahan berada. " Nah, sekarang katakan, siapa makhluk bodoh yang memanggilmu dan menjadi tuanmu? "

Entitas tak berkepala itu merintih pelan. Seijuurou menajamkan pendengarannya, namun tak satu pun rintihan itu membentuk satu nama yang sangat mungkin dikenalnya.

" Berniat tutup mulut? "

Kodachi itu berayun cepat, menebas tangan kiri yang membeku dengan suara 'krak' keras. Korbannya hanya bisa mengerang, tidak memiliki tenaga lagi untuk mengekspresikan penderitaannya.

" Tenang, aku tidak akan membiarkanmu mati dengan cepat. Kebetulan aku masih punya waktu senggang, jadi kita akan bermain ketahanan sampai kau memuntahkan nama sialan itu dari mulutmu. "

" ... "

" Ah, aku lupa. Kau kan tidak punya kepala, jadi secara fisik kau memang tidak punya mulut. "

" ... "

" Tapi aku akan tetap menuntut untuk MENGELUARKAN NAMA ITU! "

Seijuurou menebas pilar es yang memerangkap kaki kanan sang Dullahan dengan kasar, memotong sekaligus menghancurkannya berkeping-keping. Cairan keemasan memercik diantara potongan daging yang tidak membeku. Nyeri yang menjalar dari keduanya tungkai kaki yang buntung menghujam, mulai menggoyahkan mental sang Dullahan.

" ...A... Aka... Akashi... " bisiknya dalam suara yang nyaris tak terdengar.

Pemuda berambuh merah itu terdiam sesaat. Mata heterokromnya memandangi korbannya dengan seksama, seolah menunggu kelanjutan kata yang akan terucap. Tanpa disangka, kodachinya sekali lagi berayun, menghancurkan tungkai yang tersisa.

" Aku sudah tahu kalau majikanmu itu bermarga Akashi. Apa kau ini bodoh karena terlalu lama hidup? Yang kuminta adalah nama, bukan marga. "

" ... "

" Oh, ayolah~ Aku tidak ingin membuang lebih banyak waktu lagi. "

Ujung kodachinya mencongkel zirah di bagian dada yang sudah penyok, menampakkan kulit kisut yang bergerak naik-turun dengan kecepatan tidak normal. Dengan lihai Seijuurou membuat sayatan berbentuk huruf U, membuat darah abadi sang entitas tanpa kepala menyusut semakin cepat. Ia menyentakkan kulit yang disayatnya, memperlihatkan sebuah organ yang berdenyut beraturan di sela-sela jalinan otot yang dialiri cairan keemasan.

" Hmmm, katakan padaku, apa yang harus kulakukan agar kau mau mengeluarkan nama itu? Apa kau punya ide? Saat ini yang terlintas di kepalaku hanyalah mencabut jantungmu, menaruhnya dalam kekkai, sementara kau akan kusalib dan kuletakkan tidak jauh dari organ yang menambatkanmu ke dunia ini. Bagaimana? "

" ...Na... "

" Ah, akhirnya kau memuntahkan nama sial itu. Seharusnya kau melakukannya sedari tadi, jadi kau tidak perlu kehilangan tangan dan kaki seperti ini. "

" ...Na... Natsu... hiko... "

" Aaaa~ Sou ka? My own uncle, eh? "

Dengan satu ayunan tanpa keraguan dan belas kasih, mata kodachi itu beradu dengan targetnya, menyemburkan warna emas yang cantik. Erangan lirih menyayat terdengar seiring tubuh tanpa kepala yang mengisut, hingga akhirnya menyisakan mumi gosong dalam zirah yang kebesaran. Sang pemuda berambut merah mencabut pedangnya pendeknya yang sama sekali bebas noda dan kembali menyarungkannya dalam sarung kodachi bermotif krisan miliknya.

" Ah, akhirnya aku bisa pu— "

Deg.

Biru.

Deg.

Birunya langit. Birunya laut di kala musim panas.

Deg.

Merengkuhnya dalam suatu rasa yang membuat perutnya terasa hangat.

Deg.

Bau mint? Atau vanilla? Membuatnya serasa disambut pulang. Benar-benar pulang.

Deg.

Di hadapannya tampak seorang pemuda yang tengah menatap laut yang terbentang. Rambutnya sewarna langit cerah musim panas, kulitnya putih pucat tanpa cacat. Perlahan pemuda itu menoleh, tatapan mereka bertemu, dan mata beriris biru itu—

" Seijuurou-sama! "

Suara Gaku yang diwarnai kepanikan menariknya kembali ke dalam realita. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada aroma vanilla. Tidak ada pemuda berbola mata langit. Hanya ada dirinya, ditemani seonggok mumi gosong dalam baju zirah yang sudah tak lengkap.

" Seijuurou-sama! " Kali ini suara sang leader Crimson Squad itu mulai terdengar panik. " Seijuu— "

" Aku baik-baik saja. " ujar Seijuurou senormal mungkin. Padahal jantungnya masih berdetak dalam kecepatan yang tidak semestinya. Matanya menyisir keadaan di sekitarnya sekali, memastikan bahwa biru itu bukan sekedar ilusi kosong. Namun keheningan yang ada memaksanya menelan pil pahit bernama kekecewaan. " Target baru saja kubereskan. Bagaimana kondisi tiap titik? Apakah ada sampah yang mereka kirim lagi? "

" Saya sendiri tidak yakin apakah ini ulah Rumah Utama atau bukan, tapi ada entitas yang berhasil menerobos masuk kekkai kita. "

Sang pemuda berambut merah menaikkan sebelah alisnya. Ada entitas lain yang berhasil masuk dalam kekkai yang dibuatnya? Bagaimana mungkin ia tidak merasakan auranya sedikit pun?

" Jelaskan. " tuntutnya, setengah penasaran sekaligus setengah kesal atas kegagalan kecilnya.

" Kehadiran aura entitas itu begitu mendadak, mungkin sekitar satu-dua menit yang lalu. Baru saja aku minta sebagian anggota skuad untuk mencari entitas terbut, Rin dan Len tidak sengaja menemukannya. "

" Berikan lokasi si kembar padaku. "

" Mereka di daerah pertokoan Azunaya blok empat, bersiaga, siap untuk diperintahkan menyerang. "

" Tahan. Aku akan segera kesana. Yang lain tetap berjaga di posisi masing-masing. "

" Yes, master. "

Dengan bantuan sang spirit angin, pemuda bermata heterokrom itu melampati gedung demi gedung, langsung menuju posisi sang entitas tak dikenal berada. Tanpa disadarinya, tubuhnya bergerak lebih cepat, seiring adrenalin yang meningkat tanpa ia tahu sebabnya. Gairahnya berkobar. Ia merasa ada sesuatu disana. Sesuatu yang ditunggu olehnya sejak lama, bahkan sebelum ia menghirup udara fana.

Biru itu.

Apakah biru itu yang kini tengah menantinya? Apakah akhirnya ia bisa menemui biru itu dalam realita, bukan ilusi semata?

Ketika harapannya mulai melambung, menghangatkan perutnya, logikanya kembali menarik jiwanya ke alam nyata, menyadarkan dirinya agar tidak terlena dalam suatu pepesan kosong. Berusaha menanamkan kemungkinan bahwa bukan biru itu yang berada di ujung sana, agar kekecewaan tidak menghampiri untuk kesekian kalinya.

" Seijuurou-sama! "

Kali ini suara sepasang anak kembar yang menyadarkannya. Saking terlena dalam arus pikirannya, Seijuurou sampai tidak menyadari kalau ia telah tiba di titik penjagaan si kembar Rin dan Len. Ia menoleh dan mendapati dua remaja berambut pirang berlari ke arahnya dengan sepasang belati terpasang siaga dalam genggaman masing-masing.

" Doko ka? " tanyanya singkat. Frekuensi jantungnya terus meningkat, tak sabar mengetahui apa yang sebenarnya menunggunya.

" Dalam gang di sebelah sana, antara toko kue dan toko alat olahraga. " jawab Rin sambil menunjuk sebuah gang sempit tak jauh dari tempat mereka berdiri.

" Dia tidak bergerak kemana-mana semenjak muncul. " tambah Len.

Seijuurou menyipitkan mata, perlahan mulai melangkahkan kaki. Tidak ada aroma vanilla. Tidak ada visi sekelebat soal biru itu. Sebagai gantinya ia merasakan tekanan aura yang luar biasa, tekanan aura yang berkali lipat lebih besar dibandingkan milik buruannya selama ini.

" Rin, Len, bersiap di belakangku. Jangan menyerang sebelum kuperintahkan. "

Si kembar mengangguk patuh. Sang pemuda berambut merah melangkah tanpa ragu, meski ia belum bisa memastikan siapa pemilik aura luar biasa ini. Mungkin saja entitas ekslusif bebas yang tengah berkeliaran, sesuatu yang disebut manusia biasa sebagai dewa. Bisa juga Rumah Utama mengerahkan usaha putus asa memanggil dewa demi membunuhnya. Atau... biru yang selama ini menghantuinya?

Akhirnya Seijuurou berdiri di depan gang yang dimaksud si kembar. Penerangan yang berasal dari lampu jalan hanya menyinari bagian mulut gang, menyisakan kegelapan dan suasana remang-remang di bagian dalam gang yang buntu. Ia menyipitkan matanya, berusaha membiasakan mata untuk melihat ke dalam kegelapan. Tapi tak butuh waktu lama hingga ia menemukannya.

Sepasang mata sewarna langit menatapnya dari bayang-bayang kegelapan.

Deg.

Waktu seolah terhenti.

Deg.

Biru.

Deg.

Birunya langit musim panas.

Deg.

Birunya laut yang terbentang tanpa batas.

Deg.

Biru yang meraup kesadarannya, biru yang memancing kerinduannya.

Deg.

Biru yang merengkuhnya, biru yang menjadi tempatnya untuk pulang.

Bola mata jernih sewarna langit dan laut beradu dengan warna emas dan merahnya darah. Saling menghujam, mencari arti kehadiran satu sama lain. Mengkonfirmasi ikatan tak terlihat yang menggariskan pertemuan mereka, takdir yang bersilangan.

Seijuurou hanya terpana, tidak bisa melepaskan tatapannya pada biru itu. Biru yang selama ini muncul tiba-tiba, berada nyata di hadapannya. Emosi yang selama ini ia jaga setenang air dalam kolam, kini bergejolak tak tentu, mendesak ke satu titik yang tak pernah ia duga. Sedikit gemetar, ia mengulurkan tangannya. Tindakan bodoh memang, mengingat ia tidak mengtahui dengan jelas siapa biru itu sebenarnya. Namun untuk kali ini, ia ingin mempercayai apa kata hatinya.

Mata sewarna langit itu berkedip, kemudian bergerak perlahan menuju sang pemilik mata heterokrom. Sedikit demi sedikit tampak sesosok pemuda berkulit pucat dengan rambut yang juga sewarna langit musim panas. Tubuhnya tidak dibalut sehelai benang pun. Sepasang telinga serigala menyembul dari balik rambutnya. Ekor serigala dengan bulu warna senada muncul di tempat tulang ekor manusia berada. Ia bertumpu pada kedua tangan dan kaki, layaknya seekor kucing liar.

" Fenrir. "

Serigala langit dalam legenda Nordik, anak pertama dari Loki dan Angrboda. Tak pernah terbersit sekalipun dalam otaknya bahwa sang serigala yang digambarkan begitu seram dan kejam, ternyata seindah dan semenawan ini. Sesuatu yang benar-benar di luar ekspektasinya, tak bisa dijabarkan dalam rangkaian kata.

Biru dan paduan merah-emas itu kembali terkoneksi, menyedot kesadaran keduanya dalam dunia yang hanya dimiliki oleh mereka. Aroma vanilla kembali menguar di udara. Sang serigala kini mendekat dengan pasti, kewaspadaan yang dijaganya sedari tadi menguap begitu saja, mengisyaratkan kepercayaan pada sang pemuda berambut merah di hadapannya.

Dan akhirnya keduanya saling berhadapan, bertemu dalam realita untuk pertama kalinya.

Tanpa sadar Seijuurou menahan nafas, menanti apa yang akan terjadi selanjutnya. Sang serigala mengendus tangannya yang terulur, kemudian mendongak menatap mata heterokrom di hadapannya, seolah memastikan untuk terakhir kalinya. Lalu tanpa disangka-sangka, sang serigala menggosok-gosokkan pipinya ke tangan Seijuurou yang terulur untuknya.

" Tet... suya... "

Nama itu terlintas begitu saja dalam otak Seijuurou. Sang serigala tampak gembira, terus menggosok-gosokkan pipinya dengan bersemangat sambil sesekali menjilati jemari ramping milik sang pemuda berambut merah.

Gelenyar kehangatan muncul tiba-tiba dari dalam perutnya, kemudian menyebar ke tiap inci tubuhnya. Emosinya menggelegak, membuncah tanpa henti, menggedor-gedor rongga dadanya. Tanpa mempedulikan apa pun lagi, ia menarik sang serigala dalam rengkuhannya. Aroma vanilla menggelitik hidungnya, memberikan kenyamanan jiwa yang tidak pernah ia rasa.

Ketika sang serigala membalas pelukannya, Seijuurou merasa benar-benar hidup untuk pertama kalinya. Ia merasa pecahan jiwa yang telah lama hilang dari dirinya kini telah kembali, menyerpurnakan dirinya sebagai satu entitas yang utuh. Dan yang terpenting, kini ia telah menemukan tempatnya untuk pulang. Sebuah tempat yang mengakui keberadaan dirinya.

" Tetsuya... Tetsuya... "

.

~~~~~TBC~~~~~

.

.


Kadzchan End-Note :

Flashback Akashi berakhir di chapter depan, ya~ Bonus sedikit M scene. Thank for readings~

Last but not least, RnR puh-leaseeee~