"Ibu aku berangkat!" Aku bereteriak keras. Terdengar balasan dari ibu yang mungkin sedang sibuk membersihkan kamar mandi—terakhir aku melihatnya sebelum keluar—dan kubuka pagar kayu berwarna putih di halaman rumah. Langit rasanya begitu cerah. Ah. Udaranya juga segar. Akan sangat menyenangkan jika berteriak menyapa dunia sebelum melangkah lebih jauh dari halaman rumah. Seperti...

"Ohayou, duniaaa!"

Yah... Seperti itu.

.

.

.

.

.

.

.

.

Krik...krik...

Ahahaha. Mana mungkin aku mengatakan hal tersebut. Tidak saat wajah Uchiha jelek itu masih terbayang jelas dalam pikiranku. Sial. Uchiha mesum itu! Brengsek! Senyum pagiku hilang seketika.

Kupegang bibirku dengan pelan. Dia telah mengambil ciuman pertamaku. Dia telah mengambilnya! Dasar playboy brengsek. Apa playboy sepertinya berniat untuk mencium semua bibir perempuan di dunia?!

Aku menyesal. Demi apapun aku menyesal telah menuruti keinginan Kakashi-sensei untuk menggantikan Deidara-senpai. Aku bahkan tidak bisa menemuinya sesaat setelah siaran selesai.

"Akhhh..." Masih terasa sakit. Dia menggigitnya...

Menggigitnya?

.

.

.

.

.

.

.

"AAAARRRGH!"

Rambut yang telah aku sisir kini kembali berantakan oleh perbuatanku sendiri. Dan balita yang sedang digendong oleh wanita yang ada di depanku menangis tepat setelah aku berteriak tadi.

Hahahaha. Aku menjadi gadis yang buruk di depan wanita yang kini telah pergi dengan raut wajah penuh rasa kaget. Kaget—syok—melihat gadis yang menyedihkan dengan rambut yang berantakan.

Itu aku, hey...

"Fyuuuh..." Kuhela napas pelan. Oke. Ini hanya—apa tadi aku bilang 'hanya'?—ciuman. Tidak lebih. Lagi pula, tidak ada yang tahu jika Uchiha brengsek itu telah menciumku. Tidak ada kecuali Kami-sama dan mic-mic tidak berguna di dalam studio. Yeah. Kurasa ini menjadi rahasia yang tak seorang pun akan mengetahuinya.

Khukhukhu...

Kulangkahkan kakiku menjauh dari pintu pagar yang engsel pintunya mungkin telah terlepas akibat tendanganku, sesaat setelah aku berteriak beberapa detik lalu, yang juga menyebabkan balita itu menangis. Masa bodoh jika nanti aku dimarahi oleh ayah.

Yah. Tidak ada yang tahu.

"Oi, Haruno!"

Kutolehkan kepalaku ke belakang dan mendapati seorang anak laki-laki seumuran denganku tengah berjalan dengan santai. Kedua tangannya ia simpan di belakang kepala dengan rambut yang diikat ke atas membentuk daun nanas.

Ia menggunakan seragam yang sama denganku. Siswa Tsukinomi Gakuen?

"Err... H-Hai... Ohayou," Aku berkata gugup. Yang kuperlukan hanya berpura-pura mengenalnya. Dia pasti tidak akan sadar kalau aku tidak mengenalny—

"Nara Shikamaru. Kau tidak tahu namaku," Alis laki-laki tersebut sama sekali tidak berubah.

"A-Ahahaha... Ya... Err... Aku memang tidak memiliki daya ingat bagus dalam mengingat nama orang," Kugaruk belakang kepalaku yang kebetulan gatal. Look! Setidaknya, aku tidak berpura-pura menggaruk belakang kepala.

"Sama sekali bukan masalah untukku," Lagi-lagi alis dan ekspresi wajahnya tidak mengalami perubahan yang berarti. Aku ragu apa dia manusia atau makhluk gaib tak berperasaan.

"Haha... Gomen, gomen."

Kali ini ia tidak membalas perkataanku—atau mungkin...permintaan maafku atau apalah itu.

Dia menatapku dalam diam. Kueratkan pegangan tanganku pada tali tas. Keluarga Nara, huh? Aku pernah mendengar kalau keluarga Nara orang yang berada. Itulah kenapa dia memakai seragam sekolah Tsukinomi Gakuen.

Mana ada anak biasa yang bisa bersekolah di sekolah mahal itu, kecuali anak-anak kaya dengan segudang bisnis dan saham yang mengelilingi kehidupannya—mungkin tepatnya keluarganya.

Aku sih pengecualian. Meski sekolah mahal yang menampung anak-anak orang kaya, sekolah tersebut juga menerima anak dari kalangan sederhana sepertiku. Dengan catatan, anak sederhana itu memiliki otak dengan IQ tinggi sebagai modal masuk. Itu saja. Dan aku termasuk ke dalam list tersebut. Hahahaha. How lucky!

Errr? Kuturunkan kepalan tanganku yang tadi mengacung ke atas. Sejak kapan aku melakukan hal konyol tersebut?

Hey, tunggu. Kenapa anak Nara ini berjalan kaki? Bukankah biasanya kalangan Jet Set sepertinya memiliki sopir pribadi yang mengantarnya kemana pun ia pergi?

"Kau berjalan kaki?"

"Eh? Y-ya," Harusnya itu yang aku tanyakan padamu!

"Kenapa?" Ia berjalan melewatiku. Kali ini, kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana berwarna biru dongker itu.

"Kenapa? Well, biasanya aku naik sepeda. Tapi karena suatu hal, hari ini rasanya ingin berjalan kaki saja. Lagi pula, sekolah tidak terlalu jauh dan hari masih pagi. Di samping itu, aku bukan kalangan Jet Set," Aku mengekor di belakangnya. Ah. Bau yang membahayakan.

"Merokok itu tidak baik bagi kesehatanmu," Kututup hidungku dengan sebelah tangan.

"Aku tahu kalau kau ini bukan anak kaya,"

Dahiku berkerut. Nasihatku diabaikan. "Lalu?"

"Aku kira kau akan dijemput oleh Uchiha Sasuke,"

Ayolah... Masih banyak nama yang jauh lebih pantas untuk diucapkan selain nama barusan. Kenapa harus nama itu yang lagi-lagi 'menghiasi' pagiku yang tidak indah ini?

"Apa maksudmu? Aku sama sekali tidak mengerti," Aku sejajarkan langkahku dengannya. Kutatap wajahnya dengan serius. Langah kaki kaum Adam memang cepat. Mengerikan.

"Apa normal jika seorang Uchiha Sasuke tidak menjemput gadisnya untuk pergi ke sekolah?"

"Gadisnya?" Aku terdiam sejenak menatap anak Nara di depanku.

"Aku bukan gadisnya. Tentu saja. Mana mungkin dia menjemputku, hahahaha," Aku tertawa kaku. Jangan-jangan dia tahu kalau Uchiha Sasuke telah mengambil ciuman pertamaku? Yang berarti... Dia tahu aku bekerja di Harumori? TIDAK!

"Aku mendengar dari Naruto kalau Sasuke mengumumkan hubungan kalian berdua di Radio Harumori. Aku hanya bertanya saja sekedar membuang bau asap rokok ini."

Hu...bungan? Apa? Bicara apa dia?

.

.

.

.

.

Mulai sekarang, aku adalah milikSakura. Haruno Sakura.

Milik Sakura. Milik Sakura. Milik Sakura.

Milik. Sakura.

Ah. Kenapa akhir-akhir ini IQ otakku menurun?

Aku merasa angin yang berhembus seakan sedang tertawa mengejekku.

"Hei, Haruno?" Anak Nara itu menatap diriku yang berdiri terdiam lalu pergi menginggalkanku tanpa berkata "aku duluan". Lagi pula... Itu sama sekali tidak penting. Aku benar-benar menyedihkan.

Uchiha brengsek.

"KAU MEMANG BRENGSEEEEEK!"


Harumori Radio Station

Rate : M

Chapter 3

Trouble of Uchiha

Drama, Romance, Hurt/Comfort / AU / OOC

Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto

Story by Ice Fhaa.

Mohon bimbingannya. Silakan baca dan review.


Harumori Radio Station. Ice Fhaa

Tatapan-tatapan tajam itu terus saja jatuh pada sosok Sakura. Dimulai ketika gadis Haruno itu memasuki halaman sekolah sampai ia duduk di atas kursi di dalam kelasnya.

Kening Sakura berkedut-kedut. Setelah mendengar perkataan dari anak Nara itu, semua ingatan tentang malam dimana ia dan Sasuke juga Naruto berada di dalam studio masuk ke dalam otaknya dengan lancar seperti putaran film.

Ia ingat pernyataan sepihak Sasuke malam itu. Naruto yang selalu ingin diperhatikan. Ia mengingat semuanya. Bahkan Sakura ingat ketika seekor lalat hinggap di dahi lebarnya malam itu. Pantas saja adegan yang ia ingat ketika Sasuke menciumnya terasa janggal.

Akh! Sakura benar-benar belum siap untuk menghadapi kehidupan di sekolahnya saat ini.

Kenapa ia tidak mengingat kejadian—musibah—itu dan hanya mengingat kejadian—musibah—ciuman memalukan yang merenggut keperawanan bibirnya?

Sakura menggigit bibirnya saat pikirannya tertuju pada lidah Sasuke yang menerobos masuk ke dalam mulut Sakura. Panas, lengket, pahit dan ada sedikit manis.

Ha.

Kening itu Sakura jedukkan pada mejanya.

"Kenapa aku malah mengingat hal itu?"gumam Sakura. Wajahnya memerah. Setelah ciuman yang dilakukan Sasuke, pada malam itu, Sakura hanya bisa terduduk lemas dengan lutut mencium lantai. Dan Sasuke sama sekali tidak mencoba untuk merengkuhnya.

Maksudnya, mengantarkan atau menjelaskan suatu hal. Lagi pula, Sakura terlalu syok pada ciuman dadakan itu sehingga ia tidak sempat memprotes atau meminta pertanggungjawaban.

Sasuke benar-benar meninggalkannya sendirian di dalam studio. Sakura tidak mengerti. Ia merasa dipermainkan. Apa alasannya?

DUK.

Sakura mengangkat kepalanya ketika ia merasakan kaki mejanya ditendang oleh seseorang. Warna merah menyala seketika masuk ke dalam retina Sakura.

Karin.

Ah. Fans si playboy itu. Sakura berkata dalam hati.

"Aku tidak menyangka kalau kau menjalin hubungan dengan Beibies, hei jidat lebar,"

Beibies? Pfft.

Sakura menarik napas lalu mengeluarkannya sepelan mungkin. Ia bukan tipe orang yang suka mengumbar emosi pada orang-orang yang tidak dikenalnya dengan baik.

"Kau mungkin telah salah paham, Karin. Aku sama sekali tidak menjalin hubungan apapun dengan dia," Sakura menatap mata merah Karin. Ternyata perempuan berisik ini memiliki mata yang indah. Apa Sakura baru saja memuji gadis berisik yang sedang berdiri dengan congkak di depannya? Rasanya ia ingin mencuci otaknya memakai pemutih pakaian.

"Apa kau memiliki muka tebal, hah? Mimpi apa aku semalam sampai-sampai aku rela menjatuhkan harga diriku untuk berbicara dengan gadis tengil sepertimu sekarang ini?"

Gadis tengil? Hey...

Setelah berhasil menggantungkan tasnya di samping meja, Sakura mencoba menatap Karin dengan tenang. Dapat ia lihat sudut mulut Karin berkedut.

"Oh my...my... Gadis kutu buku ini ternyata ingin punya kekasih. Punya nyali?"

"Sadarlah, hei jidat lebar. Kau itu hanya siswi pelengkap di sini. Bukankah tidak lucu kalau sekolah ini tidak memiliki siswi jelek?"

Perlahan, gadis-gadis lain mulai menghampiri meja Sakura. Tidak jauh berbeda dengan tatapan yang diberikan oleh Karin, gadis-gadis itu seakan berkata melalui masing-masing mata 'kau gadis menjijikan' pada Sakura.

Kami-sama, apa rutinnya aku berdoa ke kuil masih kurang sampai kau mendatangkan kejadian seperti ini? Rutuk Sakura dalam hati.

"Karin, begini... aku benar-benar tidak ad—"

"Apa benar yang kau katakan tadi malam, Sasuke-kun?"

"Aku tidak percaya. Kau pasti berbohong!"

"Jelaskan padaku, Sasuke-kun?"

"Kau hanya sedang mencoba menghibur semua orang dengan mengatakan kau berpacaran dengannya, 'kan?"

"Ya, itu benar! Mana mungkin kau berpacaran dengan gadis aneh dan miskin itu!"

Suara gaduh dari luar kelas dan jeritan-jeritan perempuan mengalihkan perhatian semua makhluk yang berada di dalam ruangan, termasuk Karin dan siswi lainnya yang menggerumuni meja gadis Haruno itu.

Semua kepala menoleh ke arah pintu termasuk Sakura sendiri. Gendang telinga Sakura seketika berdengung keras akibat teriakan yang dilakukan berjamaah oleh para gadis di sekelilingnya.

Nama itu keluar dengan nada penuh akan harapan dan rasa frustasi.

Nama yang dimiliki oleh orang yang telah membuat hari Sakura berantakan sejak tadi malam.

Nama yang membuat bulu kuduk Sakura berdiri dengan sempurna.

Nama yang diagung-agungkan oleh semua gadis di Tsukinomi Gakuen.

Nama yang membuat darahnya mendidih.

"Uchiha Sasuke,"gumam Sakura pelan. Mata emeraldnya menatap sebal pada pemuda yang berdiri di ambang pintu. Sakura bersumpah, bibir pemuda brengsek itu barusan menyeringai ke arahnya.

"Beibies~! Kau ke sini untuk mencariku, ya kan?"teriak Karin yang sebelumnya telah berlari meninggalkan meja Sakura. Sakura mendengus geli. Melihat Karin bergelayut manja pada lengan Sasuke membuat perutnya mual.

"Ne~Jarang-jarang kau masuk ke kelas ini,"

"Aku mencarinya,"

Sakura baru saja akan pergi dari ruangan kelas saat suara berat terdengar dan tatapan intens plus jari telunjuk mengarah padanya. Semua mata tertuju pada gadis berambut merah muda itu.

"Aku mencari Haruno Sakura,"

Sakura terpaku di tempat ia berdiri. Ia ingin berlari dan meninggalkan semua orang di sana, namun tekanan nada yang Sasuke keluarkan pada nama depannya membuatnya tak bisa berkutik.

Sakura tidak tahu kenapa laki-laki itu mengincar dirinya, gadis biasa yang bahkan selain Ino dan Hinata, keberadaannya tidak begitu dipedulikan oleh siswa lain. Tangan Sakura mengepal ketika cemoohan dan protes keluar dari setiap mulut perempuan.

Ia sedang berjuang di sekolah ini. Sakura tersenyum mengejek.

Berjuang, huh? Ini cobaan hidup.

"Jadi kau benar-benar berpacaran dengan gadis miskin itu?! Oh my god! Beibies, penglihatanmu butuh pengobatan khusus dari ayahku! Ya… Penglihatanmu pasti terganggu!" Cerocos Karin dengan keras. Gadis lain yang mengelilingi Sasuke mengangguk membenarkan ucapan gadis berambut merah itu.

"Diamlah." Nada dingin itu membuat semua yang ada di dalam kelas terdiam, termasuk Karin.

Sakura tersenyum. Rasanya sangat puas, memikirkan gadis berisik itu terdiam tak berkutik. Ia menunduk menyembunyikan senyumannya.

"Beibis-ku—"

Dan tanpa Sakura inginkan, kakinya bergerak akibat tarikan seseorang pada lengannya. Seseorang yang ia tidak sukai.

Ia menengadah ke atas dan mendapati rambut mencuat berwarna hitam. Oh yeah. Ia melupakan keberadaan pemuda menyebalkan dengan rambut yang sama-sama menyebalkan.

Menyebalkan. Sejak kapan aku peduli dengan rambutnya. Arrrggghhh!

Sasuke menyeretnya ke luar kelas. Paksa. Semua gadis yang berada di sana berteriak ramai. Sepanjang lorong, mereka berdua ditatap oleh para siswa. Laki-laki maupun perempuan. Sayup-sayup suara Karin masih terdengar dari belakang Sakura yang terus saja meneriakan nama panggilan pemuda yang menyeretnya itu.

"H-Hey! Apa-apaan kau ini! Kau laki-laki gila! Lepaskan!" teriak Sakura mencoba menarik lengannya yang dipegang Sasuke.

"Diam dan menurutlah atau kau kuperkosa."

"Ap—Hei Ino!"

Gadis pirang yang sedang berjalan bersama Sai hanya menatapnya bingung dengan dahi mengkerut. Ia hendak menghampiri Sakura namun Sai menghentikannya. Membuat Sakura semakin kesal. Teman pirangnya di belakang hanya bisa menatapnya dengan tatapan aneh dan mata birunya sedikit berkilat. Seperti senang bercampur kesal.

Demi apa, kekesalan Sakura bertambah kala dilihatnya Hinata keluar dari sebuah mobil sport berwarna orange menyala bersama satu-satunya laki-laki yang sama sekali tidak ia harapkan. Laki-laki mesum yang bahkan membayangkan dirinya bercinta dengan Hinata. Namikaze Naruto.

He?

Chotto matte.

Sebuah mobil? Keluar? Bersama?

Sakura rasanya ingin masuk kembali ke dalam perut sang ibu.

Ia masih ingat pada malam saat siaran, dengan bodohnya Sakura menanyakan perihal gadis yang disukai Naruto dengan serius. Melupakan pikiran Naruto sebelum siaran berlangsung tentang inginnya pemuda kuning itu bercinta dengan Hinata. Terbutakan oleh sikap mendadak malu-malunya Naruto.

Namikaze Naruto tidak ada bedanya dengan Uchiha Sasuke.

Pervert. Playboy. Brengsek.

"Hinata! Hey! Hyuuga Hinata!"

Tak ada tanggapan dari Hinata. Gadis pemalu itu tengah sibuk menunduk memainkan jari-jari. Hinata bersandar di mobil orange itu, sedang Naruto berceloteh ria di depannya layaknya sepasang kekasih.

Sepasang kekasih?

"Berhenti Uchiha Sasuke!"

Hinata masih berdiri dan menunduk menatap lantai paving block di parkiran. Apa suara keras Sakura tidak berhasil masuk ke dalam gendang telinga gadis keturunan Hyuga itu?

Bagus. Sakura memiliki teman-teman yang tidak bisa diandalkan. Ia ingin tertawa dan menangis.

Tarikan Sasuke benar-benar keras dan cengkeramannya kuat. Ia tidak menghentikan gerakan kakinya sedikit pun meski Sakura melawannya dengan memukul lengan kekar yang terbalut dalam seragam yang ia gunakan.

BRUK!

Pantatnya tidak terasa pegal atau sakit, tentu saja.

Bahkan ia syok dengan kenyataan bahwa benturan yang pantatnya rasakan tidak membuat saraf-saraf rasa sakitnya berkedut. Sama sekali.

Sakura memegang jok yang ia duduki. Halus dan lembut. Rasanya ia ingin menjerit.

Bahkan jok mobil milik Ino ataupun Hinata tidak sehalus seperti ini.

Saking terlalu syoknya pada keadaan, ia tidak sadar bahwa sabuk pengaman telah melilit sempurna di tubuh mungilnya.

Sasuke terdiam menatap wajah gadis di sampingnya. Kulit Sakura putih dan bersih. Tidak ada noda sedikit pun yang tertera. Bola matanya benar-benar hijau dan hidup. Tidak ada yang berubah.

Ia lihat tangan gadis itu mengusap-usap jok mobilnya. Seperti baru menemui hal tersebut. Sasuke tersenyum sangat kecil. Butuh mikroskop untuk membuktikan senyuman itu.

Mesin mobil yang berbunyi saat dinyalakan terdengar meski suaranya tidak sekeras kentut Deidara-senpai. Sakura tetap terdiam di tempat sampai suara berat seseorang menyadarkannya.

"Mau minum?" Sakura menoleh.

Kalau saja ia tidak ingat bahwa orang tampan di sampingnya adalah orang yang baru saja menyeret paksa dirinya, ia pasti akan ternganga dengan tangan menutupi mulutnya.

Damn. Uchiha Sasuke yang banyak dibicarakan perempuan di sekolahnya memang memiliki wajah yang ekhem...lumayan.

Sakura hanya menganggapnya lumayan.

Lumayan untuk dijadikan objek tamparan.

PLAK.

Dan Sakura kembali dengan kesadaran yang penuh. Dengan wajah memerah bak kepiting yang baru diangkat dari penggorengan. Dan benar-benar menampar pipi seorang manusia.

Sasuke mengusap pipi kirinya sedang Sakura melekatkan badannya dengan sisi mobil. Pintunya dikunci. Harusnya aku tahu. Sialan.

Pegal. Tamparan Sakura lumayan memberi efek pada pipi kirinya. Ia mengusap beberapa kali pipi mulusnya itu.

Benar-benar pegal. Sasuke mendengus sangat pelan lalu kemudian mengangkat kepalanya yang menunduk ke arah gadis yang tengah memasang wajah pias dan ketakutan. Juga kesal yang sepertinya terasa amat kesal.

Sasuke melepas kembali sabuk pengaman yang sebelumnya telah ia pakai dan memajukan tubuhnya ke depan Sakura.

"K-Kau... J-Jangan mendekat! Jangan mendekat, kau dengar?!" Bahkan Sakura tidak percaya teriakan barusan adalah teriakan yang keluar dari pita suaranya.

Ia merasa jantungnya berdegup kencang. Lebih kencang ketimbang saat menghadapi anjing yang menyalak.

Oke. Di depannya memang bukan sekedar anjing. Tapi harimau gila.

Sasuke tetap memajukan tubuhnya. Mencengkeram keras kedua lengan Sakura dengan tangan kiri, dan menggapit kedua kaki lenjang yang terbalut kaos kaki panjang berwarna hitam dengan kaki kanannya.

Sasuke membuat tubuh Sakura sulit bergerak untuk melawan. Pemuda itu mendekatkan wajahnya ke depan wajah Sakura.

Apa yang akan dia lakukan?! Apa yang akan dia lakukan?! Kami-sama, aku ingin memberikan keperawananku pada suami yang resmi menikah denganku. Selamatkan aku!

Gadis itu menutup rapat kedua matanya. Rapat sampai membuat kedua alisnya mengkerut bahkan hampir menyatu. Hembusan napas Sasuke terasa di wajahnya yang berwarna pias seperti hantu.

"Dadamu memang tidak sebesar Tsunade-sensei, hmm."

.

.

.

.

.

Eh? Seketika Sakura membuka mata dan hitam menyeruak pada penglihatannya. Mereka berdua begitu dekat. Tidak sampai bersentuhan.

Tidak sampai bersentuhan.

Tidak sampai bersentuhan.

Tidak.

Sampai.

Bersentuhan.

Yah...

Sampai Sakura merasakan sesuatu yang bergerak di atas dadanya. Bergerak pelan. Menekan.

Alis kanannya berkedut-kedut.

Ha. Ha. Ha. Ha. Ha. Ha. Ha.

"KAU MEMANG MESUUUUM!"

PLAK! PLAK! PLAK!

Tiga kali—

PLAK!

Empat kali ia menempelkan dengan kasar telapak tangannya pada pipi pemuda yang kini bersandar pada sisi mobil sembari memegang pipinya. Ia menunduk seperti kesakitan dan Sakura tidak peduli.

Gadis itu menutupi dadanya dengan kedua tangan yang disilangkan dan memasang postur siaga.

Sakura ingin menangis saat itu. Bagaimana bisa ia terjebak bersama laki-laki yang tidak dikenalnya dengan baik—ralat—tidak dikenalnya dengan normal itu. Kenapa juga laki-laki itu datang dengan tidak normal? Kenapa laki-laki itu datang dengan menyebalkan? Dan kenapa laki-laki itu berwajah tampan?!

...

...

Yang terakhir anggap saja bualan Sakura.

"Kau... Kau mau apa? Apa yang kau inginkan? Kenapa mengenalku?! Aku tidak mengenalmu, kau laki-laki brengsek mesum!" Sakura berteriak tidak memedulikan air liur yang mungkin saja keluar menyiprat dari mulutnya. Matanya berair. Hatinya berdegup kencang tak berirama dengan indah.

Sasuke masih mengusap pipinya saat kepala itu ia angkat dan memfokuskan pandangannya pada Sakura. Ia mengambil botol berisi air di dalam dashbor mobil dan meletakannya pada pipi berahang tegas itu.

Punggungnya ia sandarkan dan mencoba mencari rasa dingin dari botol air yang ia pegang. Sakura terpaku di tempat duduknya.

Melihat rahang Sasuke yang tegas lalu lehernya yang membuat gerakan seperti menelan air liur membuat kerongkongan Sakura terasa kering.

Kenapa mendadak jantungnya berdetak kencang?

Iie, iie, iie! Calm down, Sakura. Calm down. Kau hanya sedang merasa sebal saja. Oke. Kau sedang merasa sebal.

Yang harus Sakura lakukan adalah menarik napasnya dalam lalu mengeluarkan dengan tenang. Jangan panik dan tetap stay cool. Oke. Cool.

"Aku sudah menyuruh Kakashi untuk memintakan izin pada guru yang mengajar di kelasmu hari ini."

"APA?!"

Stay cool : Failed.

"Kau mendengarnya. Tch, pukulanmu benar-benar serius, Sakura." Sasuke meletakan botol air ke tempatnya semula dan menyalakan mesin mobil yang tadi sempat ia matikan.

Sakura masih dalam posisi menyilangkan tangan ketika pedal gas diinjak Sasuke. Mobil bergerak meninggalkan halaman parkir sekolah. Berbelok ke arah kanan dan melintasi pos keamanan dengan santai.

Gadis Haruno itu tidak melihat wajah serius dari penjaga pos ketika mobil yang ia tumpangi bersama pemuda brengsek di sampingnya melintasi posko security. Normalnya, di sekolah-sekolah pada umumnya, security akan memberhentikan kendaraan siswa yang keluar dari area sekolah saat waktu belajar berlangsung. Normalnya.

"Kenapa ia membiarkanmu melintas begitu saja?" Dan Sakura menyesal telah mengeluarkan pertanyaan yang ada dalam otaknya, saat telinga gadis tersebut mendengar dengusan mengejek.

"Kau pikir untuk apa uang diciptakan?"

Sakura terdiam menatap kaca spion mobil. Harusnya ia memang tidak perlu mengeluarkan pertanyaan yang mungkin bersifat retoris tadi—setidaknya bagi Sakura untuk seseorang seperti Sasuke. Ia menoleh ke samping menatap Sasuke. Pikirannya digelayuti banyak pertanyaan namun ia mengurungkan niatnya untuk bertanya.

Percuma saja. Laki-laki mesum itu tidak akan menjawabnya.

Mobil berhenti di suatu tempat yang familiar bagi Sakura. Ia memandang ke sekeliling tempat tersebut. Ia terdiam dengan mulut terbuka.

"I-Ini... HALAMAN BELAKANG GEDUNG HARUMORI! Kenapa kau membawaku ke sini, hei laki-laki mesum?!" Sakura mendelik ke arah Sasuke yang sudah membuka pintu mobil. Sasuke yang melihat reaksi gadis tersebut seketik menghentikan gerakannya untuk keluar.

"Kau tahu tempat ini?" Dahi Sakura berkedut.

"Tentu saja! Kau 'kan tahu kalau aku bekerja di sini?!"

Sakura mengerang. Kenapa dari sekian banyaknya kaum Adam, ia harus terjebak dengan orang brengsek yang sekarang sedang menatapnya dengan intens itu?!

Hidup itu rumit, Sakura. Oleh karena itu, kau harus berjuang. Kebahagiaan akan menyertai mereka yang berusaha keras.

Ibu... Rasanya perkataanmu kali ini tidak berlaku.

"Apa kau...memiliki sebuah kenangan di sini?"

Mulut Sakura terbuka. "Hah?"

Lihat. Laki-laki mesum itu mulai menanyakan hal-hal aneh.

"Iie. Lupakan. Sekarang keluarlah." Bersamaan dengan itu, Sasuke keluar dan menutup kembali pintu mobil setelah sebelumnya memencet tombol kunci. Ia bersandar pada kendaraannya dan merogoh saku celananya. Mengeluarkan sebuah rokok. Ketukan di pintu mobil memaksanya untuk menoleh ke dalam mobil.

"Mobilmu terlalu canggih. Aku tidak tahu cara membuka pintunyaaa!"

Sakura semakin marah saat laki-laki di luar sana tersenyum mengejek. Bola matanya mengikuti gerakan yang dilakukan oleh Sasuke saat berjalan. Pintu mobil terbuka dengan posisi ke atas.

Sakura pernah melihat pintu mobil yang dibuka ke atas. Sepintas saat ia pergi ke mall bersama Ino dan Hinata. Dan ia tahu betapa akan sangat susah jika membuka pintu seperti itu. Tapi ia tidak menyangka akan sangat semenyusahkan seperti sekarang ini, dimana ia harus dibantu oleh si empu mobil.

"Demi tuhan, orang macam apa yang telah menciptakan model mobil seperti ini?!" Sakura berteriak di luar sana, kedua tangannya masih disilangkan di depan dada.

Sasuke yang melihat hanya menggidikan bahu lalu dengan gerakan kepala, menyuruh Sakura untuk mengikutinya. Gadis itu hanya bisa menurut.

Sudah lama Sakura tidak menginjakkan kakinya ke halaman belakang gedung dimana studio Harumori berada. Ia terlalu disibukkan oleh aktivitas sekolah dan pelajaran tambahan dari Tsunade-sensei. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan di waktu luang adalah menjadi penyiar, itupun hanya tiga jam. Ia sama sekali tidak memiliki waktu untuk sekedar duduk diam menikmati pemandangan di halaman yang hijau itu.

Ambisinya menjadi seorang dokter telah menjadi prioritas utamanya.

Sakura tersenyum saat pandangannya tertuju pada sebuah kursi panjang berwarna coklat.

Sudah berapa lama? Empat bulan? Tiga?

"Mau sampai kapan kau berdiri di sana?"

Sakura tersentak pelan dan menatap laki-laki yang duduk di kursi panjang di depannya. Sasuke duduk dengan menyilangkan kakinya sebelah. Di tangannya, sebuah rokok terpaut dengan tidak manis.

"Aku tidak mau duduk dengan perokok."

Sakura mendengar decihan pelan, lalu rokok itu berakhir dengan diinjak oleh Sasuke. Sakura menganga. Kenapa begitu mudah laki-laki itu mendengar komplain Sakura dan langsung menurutinya. Padahal untuk menjawab pertanyaan simple yang ia ajukan, tidak pernah sekali pun Sasuke gubris.

Seperti "kenapa kau mengenalku?", "apa yang kau inginkan dariku?", dan "kenapa kau sangat brengsek?"

Jantungnya berdenyut. Sedikit nyeri. Dan ada sesak. Ia tidak bisa memfokuskan kemana arah pikirannya tertuju saat ini. Angin pagi menyeruak menerbangkan helaian rambut merah mudanya, juga rambut hitam laki-laki di sana.

Mata hitam itu... Sakura merasa seperti tidak asing lagi dengan mata hitam itu.

Kebencian. Dendam. Putus asa. Dan hampa.

Mendadak kakinya berjalan ke arah pemilik mata hitam itu tanpa ia kehendaki. Sakura masih berdiri dan sedikit membungkukan badannya saat tangan miliknya dengan pelan mengusap pipi laki-laki di hadapannya.

Ia mengusap-usapnya pelan. Sasuke di depannya membelalak sejenak.

Kenapa sesakit ini?

To Be Continued...

Special thanks to :

Mianafazella, Lhylia Kiryu, semayuki-chan, Seijuurou Eisha, Hanna Hoshiko, Lukireichan, Francoeur, EmeraldAI, aguma, iya baka-san, Clyne Lockheart, hanazono yuri, Hana Kumiko, SASUrasakuKE, KunoichiSaki Mrs Uchiha Sasuke, Blue-Temple Of The King, Aisyah Firdausi, Tsurugi De Lelouch, nurul52190, prince ice cheery, Purple and Blue, mysaki, haruchan, ravenpink, goonerette, no name, goonerette-san, rui chan, p.w, shawol21bangs, sasusakulunatic, Aka no Rei, Kiki RyuEunteuk, GraceAnnesh, The Deathstalker, haruchan, Aihara Kotoko, Eysha CherryBlossom, Mademoisellenna, putri, ongkitang, Guest, vanny-chan, jideragon21, Kumada Chiyu, shi-chan, SpindleTree, Horyzza, , Oni, dandelion, Guest(2), Piko, Luca Marvell, Aiko Asari, Uzumaki Shizuka, Azu-SasuSaku, kazuran, Fina Imama, harulisnachan, Amai Ruri, ameliahssti, Noname aja, adora13, SuMeRoDii, Kazura Ne, ChintyaMalfoy, namina88, Gie-chan, audribth, L. (yang belum saya sebut, datang ke kantor yah/apabanget/)

Maaf telat, minna. Teramat sangat maaf :))) Maaf kalo chapter ini mengecewakan. Mohon dimaklumi ya, duta terlalu banyak menyita waktu. Duh, jadi curhat. Hihi

Maaf ga bisa bales review satu-satu. Tapi semua semangatan, saran dan kritik kalian saya baca. Sayang kalian deh *hug*

Semoga pertanyaan dan keganjalan chapter sebelumnya, bisa terjawab dengan chapter ini/apah?/ Mata coklat itu milik Kakashi-sensei. Kenapa Kakashi-sensei berada di luar? Mau-maunya dingin-dinginan, hiiy~/she doesn't get the point/plakked/

Kalo istilah Sundanya "step by step"/wutt/ Pertanyaan nanti terjawab sesuai jalannya cerita. Mungkin. Tehee.

Huggie Love.

Ice.