Kuroko no Basket © Tadatoshi Fujimaki
Blood Lust © altaira verantca
Rated : M
Genre (s) : Romance | Supernatural
Cast (s) : Kuroko Tetsuya | Aomine Daiki | Kagami Taiga
Words : 3847 words
.
.
Summary : AU dimana vampir, penyihir, dan semacamnya itu eksis. Dimana Aomine Daiki dan Kagami Taiga merupakan pasangan vampir yang hanya saling bersumber satu sama lainnya. Dimana Kuroko Tetsuya menjadi seorang penjaga krematorium. Percayalah, ini bukan tentang pembakaran mayat yang kehabisan darah.
.
.
Does blood taste like blood to you? Or does it taste like something else now, like orange juice or something? (Cassandra Clare, City of Glass)
.
.
"Tidak akan cukup. Aku bersumpah semua yang kau hisap tidak akan cu—arghh! Daiki!"
"Diamlah, Taiga. Aku belum selesai…."
"Kau mau membunuhk—jangan menggigit di tempat lain! Demi Tuhan, Daiki! Gigitanmu akan bertahan lebih dari seminggu!"
Tidak ada balasan malas yang terdengar sekarang, hanya suara decakan basah dan nafas memburu yang mengisi ruangan remang itu. Satu seruput halus namun rakus, dua engahan udara yang nyaris basah dan berat oleh kebutuhan, tiga derit kayu yang bergesekan berantakan dengan lantai, dan dua pasang tangan yang saling serang-menahan satu sama lain.
"…selesai?" tanya sebuah suara bosan, ada setitik nada lelah disana. Entah lelah karena bosan atau lelah karena tubuhnya yang mulai menuntut oksigen.
"Gochisousama deshita~," balasnya, dengan suara yang lebih dalam. Lebih berat. Lebih puas daripada suara yang pertama, namun tetap saja terdengar lapar.
Pemilik suara bosan itu bergerak, mendorong sosok yang sejak tadi berlutut memerangkap tubuhnya dan kini masih sibuk menjilati tetesan cairan hangat-kental-lengket yang mengalir perlahan dari dua lubang di sisi lehernya ke cekungan yang terbentuk dari tulang selangka dan otot pundaknya. "Menyingkirlah, Daiki. Kau lagi-lagi menghisap terlalu banyak darahku."
"Hm? Kau yakin ingin aku menyingkir, Taiga?" lidahnya tidak lagi mengecap besi di kulit yang ia sambangi, namun tetap saja otot tak bertulang itu menari pelan-cepat-menggoda di sepanjang tonjolan dari tulang selangka pemuda di hadapannya. "Aku yakin bukan itu yang kau pikirkan saat aku menghisap darahmu tadi."
"Kau membuatku capek, Daiki. Menyingkirlah," kali ini Kagami Taiga, pemuda yang nada suaranya sudah berubah dari bosan menjadi jengkel, mendorong dada pemuda lain yang entah bagaimana dan sejak kapan kedua tangan gelap berototnya mulai menggerayangi panggulnya. "Tidak untuk malam ini, Daiki. Tidak."
"Ayolah, Taiga. Aku cukup bersemangat untuk malam ini," mata tajam Kagami dapat melihat dengan jelas sepasang bibir yang sudah berbentuk seringai. Satu seringai khas ketika vampir biru di hadapannya ini ingin melakukan sebuah rekreasi pribadi.
"Tidak."
"Satu ronde pun?"
"Kau. Tidak. Pernah. Puas. Hanya. Dengan. Satu. Ronde. Ahomine. Daiki. Sekarang menyingkirlah!"
"Baiklah. Blowjob?"
"AHOMINE!" sengaja, dan sekuat tenaga yang ia miliki, ia menendang tengah selangkangan pasangannya dengan menggunakan lututnya. Membuat pemuda berkulit gelap dan berambut biru tua itu meringis kecil sebelum akhirnya tertawa puas.
"Ya-ya-ya~ Seperti itulah Taiga yang kusukai," seringainya kembali, lebih lebar dari yang awal, setelah ia usai tertawa. "Nah, kalau kehabisan darah membuatmu tidak bisa bergerak, aku dapat melakukanmu sendiri, Taiga.
Dua pasang alis kembar Kagami bertaut, menyatakan ketidaksukaannya akan tingkah liar-kekanakan-egois partner sekaligus pasangannya ini. Matanya melirik ke luar jendela, menimbang berapa lama waktu yang ia punya—atau mereka punya tepatnya.
"Hanya sampai langit mulai bergaris kuning," gumamnya, pasrah meski tidak menutupi kesalnya.
"Itu masih satu jam sebelum fajar!"
"Karena itu kau harus berhenti, Ahomine! Dalam keadaan kurang darah seperti ini, aku tidak akan berkutik begitu pagi datang!"
"Ya-ya-ya… kita akan mencari sumber lagi nanti malam. Aku mengerti," gerutu Aomine, meski bibirnya sudah kembali berpetualang di dada bidang Kagami.
"Shh…tidak bisakah kita mendapatkan yang permanen? Untuk beberapa bulan setidaknya."
"Rasanya tidak pas. Aku tidak mau meminum darah tengik yang sama selama beberapa bulan."
"Nghh—hei!" menarik nafas dalam, pasrah saat merasakan jari-jari berkapal Aomine mulai menyerang kulitnya, "kau selalu membunuh mereka pada akhirnya."
Aomine sengaja menggigit kulit di tengah dada Kagami dengan menggunakan gigi serinya lalu menghisapnya hingga kulit putih itu berubah menjadi keunguan, kemudian ia duduk dan menatap sosok di bawahnya.
"Tidak ada gunanya menyimpan sumber yang bahkan tidak memuaskan lidahmu, Taiga. Mereka hanya seperti air mineral botolan yang perlu kau buang," gumamnya, dengan suaranya yang terasa menggelap, sembari tangannya yang cakap mulai melucuti bawahannya sendiri.
"…yah…. Setidaknya air mineral itu bisa kau bagi denganku, kan?"
.
.
"Maaf, tapi bisakah anda membawa tubuh itu ke krematorium nanti?"
Kagami Taiga berani bersumpah demi segala dewa, dewi, nama tuhan, atau segala perkaranya bahwa ia sama sekali tidak merasakan hawa kemunculan dari pemilik suara ringan itu. Tidak, bukan ringan dalam arti enteng, ceria, dan menyenangkan, tapi ringan. Ringan bagaikan udara; tidak tampak, namun ada.
"Vampir-san?" suara itu lagi, seolah membangunkan Kagami.
"…ya?" hanya itu respon terpintar yang dapat ia bangun. Matanya masih terkunci dengan dua bola mata yang secerah langit biru musim panas, hidung tajamnya masih mengendus aroma vanilla tipis yang entah bagaimana menghangatkan dadanya, kedua telinganya hanya dapat mendapatkan kedataran dari tiap vokal yang diutarakan dari sosok pemuda di hadapannya.
"Setelah anda selesai dengan makan malam anda, yang sebenarnya aku berharap anda melakukannya dengan lebih bijaksana lain kali, bisakah anda membawa tubuh yang telah tidak bernyawa di tangan anda itu ke krematorium kota?" Kagami saat ini masih belum tahu bahwa arti kalimat panjang yang diutarakan dari pemuda ini adalah ekspresi nyaris jengkelnya.
"Ah, ya. Baiklah."
"Serta tolong bersihkan sisa-sisa darah yang anda hisap dan tercecer di aspal—juga dinding, kalau anda tidak keberatan tentunya."
Kagami melirik ke tanah—ke aspal tepatnya—juga ke dinding dimana tubuh itu bersandar, mendapati bercak-bercak darah tidak beraturan juga beberapa noda cipratan tajam disana. Membersihkannya? Yang benar saja?! Kenapa seorang manusia tidak jelas di hadapannya ini harus memintanya untuk member—
"Vampir-san?"
"Setelah dari krematorium, kan?"
"Ya. Setelah dari krematorium. Anda bisa mengambil alat-alat pembersih di krematorium kalau mau, pintu kecil di samping pembakar."
"…ah, ya… Terima kasih…?"
"Sama-sama. Dan selamat malam, Vampir-san."
Ucapan selamat malam itu menjadi akhir dari pembicaraan mereka. Akhir dari pertemuan mereka. Yang pertama.
Malam itu Kagami Taiga masih tidak bisa menghilangkan warna biru langit cerah itu dari pikirannya, juga wangi vanila manis yang entah bagaimana menenangkannya. Meski warna merah darah mendominasi pandangannya malam itu, juga bau pinus karbol menyesaki lubang hidungnya sampai fajar. Kesan pertama dalam beberapa menit itu terlalu kuat.
Sangat kuat hingga ia tidak bisa mengabaikan bunyi aliran darah yang berdesir sejak tadi.
Darah yang mengalir dalam tubuh pemuda kecil berambut dan bermata sewarna dengan biru langit cerah musim panas.
.
.
"Selamat siang, Vampir-san."
Kagami nyaris melempar lobak yang ia pegang ketika suara itu kembali menyapanya—yang malah mengagetkan pemuda tua penjual sayur dan beberapa pembeli lain di sekitar pemuda berambut merah itu.
"Kau—! Bisakah kau muncul dengan cara yang biasa saja?!"
"Aku hanya menyapa anda," balasnya kalem, sembari mulai memilih tomat, "kau juga makan?" matanya melirik ke arah lobak yang dipegang oleh Kagami.
Kagami masih sempat mendengus sebelum menatap lobak di tangannya, menimbangnya ragu. "Aneh?"
Pemuda biru muda itu mengabaikannya, hanya membayar tomat, jagung, dan beberapa sayuran lainnya. Setelah ia memasukkan semua sayur-mayur itu ke tas belanja, baru ia menghadap ke arah Kagami. "Tidak umum. Ah, kau bisa memasak kabocha, Vamp—"
"Kagami Taiga, namaku. Dan aku bisa memasak kabocha." Matanya awas mengawasi sekeliling kalau-kalau ada yang memperhatikan mereka. Ia bisa dibunuh di tempat kalau ketahuan adalah seorang vampir.
Sebuah dusta jika Kagami tidak merasakan degup jantungnya yang menjadi cepat ketika pemuda di hadapannya mengulas sebuah senyum tipis yang nyaris tidak kentara di wajah datarnya.
"Kuroko Tetsuya. Kuharap kau berkenan membantuku mengolah dan menikmati makan malam hari ini, Kagami-kun. Aku tidak bisa memasak kabocha."
Diam cukup lama sampai akhirnya Kagami mengangguk.
Pertemuan kedua mereka berakhir dengan makan malam bersama.
.
"Kuroko?"
"Ya, Kagami-kun?"
"Boleh aku bertanya sesuatu?"
"Silahkan."
Kagami menarik nafas panjang, menekan-nekan ringan pelipisnya. "Kau tinggal di krematorium?"
"Tidak. Aku tinggal di belakang krematorium, Kagami-kun," jawabnya datar, tangannya sibuk dengan sebuah pena dan beberapa kertas.
"Tunggu. Apakah tidak ada tempat tinggal yang lebih baik daripada di belakang krematorium?!"
Kini Kuroko yang menghela nafas, mengalihkan perhatiannya ke arah Kagami, melepaskan kacamatanya, dan menatap warna merah cerah di hadapannya. "Aku penjaga krematorium ini, Kagami-kun."
Kagami terdiam sejenak. "Kau yang membakar tubuh wanita yang kapan hari itu?"
"Ya."
"Juga pria gendut yang minggu lalu?"
"Ya."
"Kemudian juga tubuh yang—"
"Ya, Kagami-kun. Lima mayat dalam dua minggu terakhir ini, aku semua yang membakarnya," Kuroko sendiri sebenarnya nyaris tertawa melihat perubahan ekspresi kenalan barunya itu.
"Ah… itu… Maaf sudah merepotkan," ujar Kagami, membungkuk canggung.
Kuroko bergeming, hanya dua detik sebelum ia akhirnya memalingkan wajahnya dan langsung menutup mulut dengan sebelah tangannya.
Menyadari keheningan yang ada, Kagami mendongak. Hanya untuk mendapati pemuda berambut biru muda itu menahan tawanya. "…kenapa kau tertawa, Kuroko?"
"Aku tidak tertaw—pff…. "
"Kau tertawa, Kuroko! Kau tertawa!"
"Tidak," kembali menatap Kagami, dengan wajah datarnya, dengan kedua tangan tertumpuk rapi di atas pahanya. "Lihat wajahku ini, kan? Aku tidak tertawa."
"Kau tertawa tadi!"
"Tidak, Kagami-kun. Aku tidak tertawa."
"KU—RO—KO—!" tangan lebar Kagami segera menangkup kepala Kuroko, seolah berusaha menggenggamnya.
"Kuharap kau sadar bahwa tenaga vampir cukup kuat untuk meretakkan tulang tengkorak manusia, Kagami-kun," ujar Kuroko kalem, sama sekali tidak terdengar ketakutan disana.
Segera Kagami menarik tangannya, yang langsung ditahan dengan cukup mudah oleh Kuroko. Ia baru saja akan protes ketika jari kurus Kuroko meraba kulit lengan bawahnya, menetaknya perlahan hingga ia menyentuh dua buah titik hitam di dekat bagian siku.
"Partner? Sekaligus pasangan?" mata biru muda tidak berdasar itu tak lepas memandangi bekas gigitan di tangan Kagami. Bicara seolah ia bertanya kepada udara.
"Kuroko!"
Kuroko menekan kedua titik hitam itu, lalu menatap Kagami lekat. "Kau memiliki partner sekaligus pasangan, Kagami-kun. Kenapa kau masih mencari darah dari orang bebas?"
Kagami bodoh. Ia pun sepertinya cukup menyadari salah satu kelemahannya itu. Namun ia dapat merasakan dengan jelas dingin tajam yang tersimpan di tiap kata yang Kuroko ucapkan. Seolah mengadilinya, dan sekarang sedang menanyainya untuk mendapatkan kebenaran.
"Tidak ada sumber?" ada penekanan tipis disana, seolah berusaha memojokkan vampir berambut merah itu.
Dan Kagami berani bersumpah demi darah vampirnya bahwa ia melihat mata azure itu berkilat berbahaya tadi.
"Kuroko, biar kujelaskan mengenai i—"
"WOOFF!"
Salakan anjing membuyarkan mereka; Kagami segera menarik tangannya, Kuroko segera melepaskan tangan kekar Kagami. Tersadar dari keadaan kaku sebelumnya.
"Nigou…," Kuroko berdiri, menghampiri anjing berjenis Siberian Husky berbulu hitam dan putih dengan warna mata yang senada dengan matanya sendiri, "ada apa, Nigou?"
Anjing itu segera menjilat telapak tangan Kuroko yang terulur, menggigitnya lembut sebelum—Kagami berani bersumpah juga kali ini, anjing itu melirik ke arahnya—berusaha menarik ujung lengan kemeja Kuroko.
"Kau ingin aku ikut denganmu, Nigou?" Kuroko berdiri, mengusap kepala Nigou sebelum beranjak dari ruang tengah. "Kagami-kun, kau mau ikut denganku?"
Kagami hanya bergumam setuju pelan, perhatiannya teralih penuh ke arah anjing yang hanya berjarak tiga meter darinya. Kedua pasang mata mereka bertemu, sebuah kejadian yang tidak asing bagi Kagami. Setiap binatang pasti akan melakukan kontak mata dengannya selama beberapa detik sebelum akhirnya segera berlari menja—
"KUROKO!" sebuah teriakan keras—kalau ia wanita silahkan saja menyebut teriakannya nyaring. Tapi percayalah, satu-satunya hal yang agak feminin darinya hanya kemampuan memasaknya saja di dapur.—bergema di ruang tengah rumah Kuroko, membuat pemuda dengan tinggi 168cm itu segera bergegas ke ruang tengah. Kagami berteriak, sepertinya bukan hal yang baik.
"Menjauh kau! KUROKO!" Kagami masih berteriak meski Kuroko sudah di hadapannya. Berteriak, berjinjit, dan berdiri panik di atas sebuah kursi, sembari memandang anjing kesayangan Kuroko dengan sinar ketakutan di matanya.
"Kagami-kun…," Kuroko membungkuk, mengambil Nigou ke dalam pelukannya lalu menatap tamu di rumahnya, "kau tidak menyukai anjingku, Kagami-kun?" nadanya datar, tapi matanya sedikit sayu seolah tampak sedih dengan sikap yang Kagami tunjukkan.
"Anjingmu aneh, Kuroko! Tidak ada anjing yang akan berlari mendekati vampir begitu sa—JANGAN DEKATKAN PADAKU, KUROKO!"
Lagi, Kagami berteriak ketika Kuroko dengan polosnya menyodorkan anjing di tangannya ke wajah Kagami. Membuat pemuda tinggi berambut merah itu kaget dan jatuh terjengkang dari kursinya. Untunglah dia vampir hingga yang terjadi hanyalah rasa nyeri tumpul yang menghantam tulang ekornya.
"Sayang sekali. Nigou anjing yang baik padahal," ujar Kuroko, setengah kecewa, setengah menahan senyum. "Kau ikut, Kagami-kun?"
Kagami berdiri, masih mengusap bagian belakangnya. "Kemana?" Dahinya mengernyit tidak suka menyadari satu bau yang ia benci.
"Berburu," jawab Kuroko singkat sebelum membuka pintu rumahnya, membiarkan Nigou keluar lebih dulu.
"Aku yakin ini bukan perburuan bebek."
Bau perak.
.
Kagami hafal seluruh lekuk kota sebaik tubuhnya mengingat bagaimana cara memasak. Indranya yang kelewat tajam merekam semuanya dengan baik; lembab udara yang khas di tiap tempat, tengik yang berbeda di tiap titik, sampai bunyi tetesan air yang tak sama dari tiap sumber air.
Karena itu ia tak perlu bertanya kepada Kuroko kemana pemuda itu akan pergi, ataupun memperhatikan langkahnya dengan tepat, ataupun melihat sekitarnya untuk tahu tujuan mereka. Dengan mata tertutup pun ia sudah tahu dimana dan kemungkinan besar kemana mereka akan pergi.
"Kau tahu daerah ini, Kuroko?" telinga Kuroko menangkap dengan jelas nada tidak suka di dalam ucapan Kagami.
Tidak ada jawaban, yang ditanya hanya diam dan mengarahkan senternya ke depan, berusaha memberi sedikit terang di tengah malam tanpa bulan itu.
"Kuroko."
"Ini pertama kalinya aku kemari, Kagami-kun, dan disini luar biasa gelap," gumamnya, meski tidak terdengar nada keberatan disana. "Nigou." Kuroko tiba-tiba berhenti, lalu berjongkok seolah sedang berbincang dengan anjingnya.
"Sebenarnya apa yang kau cari?" Kagami bersandar di salah satu pohon. Ya, mereka sudah berjalan selama lima belas menit di dalam hutan tepi kota. Cukup luas, dalam, dan tidak terjamah.
"Kagami-kun, ada berapa vampir yang tinggal bersamamu?"
"Huh? Hanya aku dan partnerku. Ini kota kecil, Kuroko. Kami akan tahu kalau ada vampir lain di sekitar sini." Selain itu tidak akan ada vampir yang cukup berani menginvasi wilayah kami ini.
"Hoo…bercinta setiap hari?" sengaja membuat tanpa petik di udara ketika bicara.
"Bu-bukan urusanmu, Kuroko!" terima kasih kepada malam sehingga rona merah itu tidak kentara di pipi Kagami.
"Ia lebih sering meminum darahmu, jauh lebih banyak, sehingga membuatmu lebih sering berburu di luar dan makan makanan biasa?" Kuroko tetap berjalan, mengikuti Nigou yang tampak menguasai medan perjalanan ini. "Begitu?"
Kagami mengernyit, rasanya seperti kehidupan pribadimu dibuka begitu saja di hadapanmu meski kau sudah menutupnya rapat. "Kuroko, darimana kau—"
"Hanya menebak, Kagami-kun," ujarnya datar, "terlihat dari segala gelagatmu. Partnermu posesif sampai ia meninggalkan tanda di tempat yang terlalu jelas."
"…dia hanya bodoh."
"Oh, cocok denganmu."
"Hoi!"
"Kagami-kun, apakah kau mencium bau sesuatu?" pertanyaan itu menghentikan protes Kagami. Membuat vampir itu secara refleks menajamkan segala indranya, menyortir segala rangsang eksternal yang segera menyerangnya dan meminta perhatiannya. Bulu kuduknya seketika itu menegak begitu ia mengenali satu bau.
"Daiki!" serunya, nyaris terburu, sepenuhnya meledak. Seiring dengan langkahnya yang saat itu juga memanjang, menjadi cepat, hingga hanya dapat tertangkap mata sebagai kelebatan pekat. Kagami Taiga berlari sekuat tenaga menuju sumber bau itu.
"Cepatnya…," gumam Kuroko begitu Kagami melesat meninggalkannya berdua dengan Nigou di tengah kelam hutan.
"Yah…lebih baik aku turut melihatnya." Kuroko mematikan senternya, menyelipkannya di pinggang, lalu memakai tudung parkanya. Perlahan, ia menyusuri hutan dengan bimbingan Nigou. Secepat yang ia bisa untuk mencapai tempat dimana bau darah vampir menguar begitu kuat.
.
Tidak akan lagi ia membantah Akashi Seijuurou di pertemuan berikutnya, atau pertemuan apapun dan kapanpun serta dimanapun pertemuan itu terjadi, meskipun itu hanya sekedar "Ha?" atau hanya sekedar dengus kesal.
Tidak akan.
Sungguh ia tidak paham dengan pangeran vampir, yang sebentar lagi akan menjadi raja, berambut merah menyala bagai api terang itu pikirkan. Ia lebih paham kalau calon raja itu merupakan seorang sadistis yang tak segan melukai salah satu jenderalnya sendiri dengan cara sekeji-kejinya.
Luka yang ditimbulkan oleh pedang rubi milik Akashi tidak akan bisa langsung sembuh, meski vampir sekalipun. Masih untung vampir itu tidak langsung terbakar setelah dihujam oleh pedang yang mampu melukai—bahkan membunuh—Krusnik, spesies tertinggi dari kaum vampir, vampir yang menghisap darah vampir darah murni lainnya.
Tidak, Aomine Daiki bukan krusnik. Ia hanya vampir berdarah murni, yang mengubah Kagami Taiga dari seorang manusia biasa menjadi vampir pasangannya sekaligus partnernya. Ia tidak dihitung sebagai krusnik apabila hanya meminum darah vampir buatannya.
"Brengsek…," umpat Aomine tajam. Ia menyandarkan tubuhnya di sebuah pohon besar, menekan luka menganga di lengannya dengan sekuat tenaga, berusaha menahan sebanyak mungkin darah dalam tubuhnya.
Bahkan Kagami saja tidak akan cukup untuk mengganti darah dan memulihkan tubuhnya. Lalu mati karena kehabisan darah itu sama sekali tidak keren bagi vampir.
"Daiki!" Aomine menoleh lemah ke arah sumber suara itu, yang entah bagaimana tiba-tiba sudah berada di hadapannya. "Apa yang—holy shit! Apa yang mereka lakukan padamu, Daiki?!"
Aomine hanya tertawa lemah mendengar umpatan pemuda di hadapannya. "Nah…sedikit berbeda pendapat, eh?" tangannya sudah menjalari dada Kagami hingga akhirnya bertenger di leher pasangannya. "Aku butuh darah, Taiga."
"Tidak sampai aku menutup lukamu lebih du—Daiki!" erangan tertahan terdengar di sunyi hutan itu ketika taring-taring tajam Aomine menusuk kulit leher Kagami nan tipis dan lembut. Tepat di arteri karotis yang berdenyut kuat akibat asupan adrenalin yang meningkat. Menghasilkan sumber darah yang langsung memenuhi mulutnya, membanjiri kerongkongannya, mengisi perutnya, dan perlahan memulihkan tubuh Aomine Daiki.
"Dai—Daiki hentikan—ah!" Kagami tahu apa yang ia katakan adalah percuma. Aomine sudah tidak dapat mendengarnya. Ia hanya dapat menghisap deras darah dari karotisnya, dengan rakus, mungkin tanpa berpikir apa yang akan terjadi dengan tubuh pasangannya yang perlahan melemas.
Tubuh Kagami Taiga tidak siap untuk kehilangan terlalu banyak darah dalam sekali hisap.
"Daiki…hentikan. Darahku tidak akan cu—"
"Maaf mengganggumu, Vampir-san," ujar sebuah suara datar yang familiar di telinga Kagami, "perlukah anda kubantu untuk menggunakan akal sehat agar tidak membunuh pasangan anda sendiri, Vampir-san?"
Kagami masih cukup sadar untuk melihat apa yang dilakukan pemuda biru muda itu kepada Aomine. Sebuah pistol perak menempel di pelipis kiri Aomine. Ia yakin sekali peluru-peluru timah di dalam magasinnya terbuat dari perak murni.
Semurni perak di moncong pistol yang mulai membakar kulit pelipis Aomine.
"KUROKO!"
"Lepaskan taringmu, Vampir-san. Jika kau menghisapnya dengan kecepatan seperti itu selama dua puluh detik ke depan akan benar-benar mengeringkan Kagami-kun," lanjut Kuroko datar. Ada kesengajaan penekanan saat ia menyebut nama Kagami di lidahnya.
"Daiki…lepaskan…," Kagami mendorong tubuh Aomine, yang taringnya sudah lepas dari Kagami semenjak Kuroko melepaskan kunci magasinnya.
Aomine, yang setidaknya sudah mendapatkan sedikit suplai darah, kembali menyandarkan tubuhnya di pohon dan mengarahkan pandangannya ke sosok yang baru kali ini ia lihat. Dengan luka yang masih menganga, darah yang masih merembes keluar, dan nafas yang masih terengah. Ia masih jauh dari kata pulih.
"Siapa kau, heh? Aku tidak tahu kau berteman dengan seorang anak kec—"
"Lanjutkan ucapan anda dan satu butir peluru akan benar-benar menembus tengkorak anda, Vampir-san." Kuroko jelas-jelas tersenyum kali ini. Senyum yang cukup membuat Kagami menelan ludah dan Aomine berharap bisa menelan kembali ucapannya.
"—seorang hunter, eh? Aku hanya meninggalkanmu satu minggu, Taiga. Lihat apa yang kau dapat," setengah menggerutu, setengah melindur, Aomine tidak dapat menahan rasa pening di kepalanya. Lukanya masih tetap berdarah.
Kuroko menarik nafas menatap sepasang vampir di hadapannya yang sama-sama kehabisan nafas dan cukup dekat dengan kematian.
"Tidakkah kalian memiliki sumber selain satu sama lain?" Kuroko memasukkan pistolnya ke balik parkanya sebelum berjongkok dan memeriksa luka Aomine.
"Ini dalam," hanya itu komentarnya sebelum ia menarik sebuah belati perak dari balik ikat pinggangnya.
Lagi, sepasang alis bercabang Kagami kembali bertaut, "Sebenarnya berapa benda perak yang kau miliki, Kuroko? Kau berniat membunuh kami, eh?"
"Aku hendak menolong kalian," kali ini ia bersiul ringan tiga kali, "kita harus menutup luka ini dahulu baru bisa memberinya darah."
Dengan cekatan ia merobek lengan baju Aomine, yang memang sudah koyak, menggunakan pisau peraknya lalu membersihkan lelehan darah di kulitnya dengan kain tak berbentuk itu.
"Wooff!"
"Peliharaanmu, eh? Kau mau ia kembali ke kota untuk memanggil dokter dan merawat lukaku, huh?" jelas sekali nada mengejek Aomine disana.
Kuroko tidak menggubrisnya, hanya meliriknya sekilas lalu kembali menghadap Nigou. "Mohon bantuannya, Nigou." Kuroko tersenyum tipis, lalu ia menggoreskan bilah tajam belati itu ke pergelangan tangan kirinya.
Persentuhan benda tajam dengan kulitnya membuat jaringan kulit itu terbuka. Melukai pembuluh-pembuluh darah tepinya, menampilkan tetesan-tetesan darah merah pekat yang kemudian mengalir lambat mengikuti gravitasi bumi.
"Wooff!" salakan itu terdengar senang. Segera saja lidah Nigou terjulur menyambut hidangan kecil itu; darah tuannya.
Satu hal yang Kuroko abaikan meski ia bisa menangkap semua gelagat ini dari sudut matanya. Betapa Kagami benar-benar berusaha menahan diri dan pasangannya agar tidak langsung menyergap Kuroko dan menghujamkan taring-taring mereka ke kulit seputih porselen itu. Menegak darahnya yang harumnya begitu menggoda, mengundang, memabukkan meski lidah mereka belum mengecap apapun.
Betapa aroma, warna, dan kekentalan darah dari seorang Tetsuya Kuroko terlihat terlalu mengundang untuk ditandaskan saat itu juga.
"Vampir-san, kau tidak takut anjing, kan?" Kuroko bertanya ke arah pemuda dengan luka menganga di lengannya. Entah itu benar-benar pertanyaan atau hanya sebuah alasan untuk menggoda Kagami.
"Tidak. Yang benar saja. Aku tidak ta—" kata-kata Aomine terputus ketika pupilnya melebar, dan bibirnya terpisah akibat keterkejutan. Bahkan Kagami tidak mampu lagi berteriak ataupun merespon sebuah kejadian di depan matanya.
Anjing kecil berjenis pomsky itu perlahan berubah. Menjadi lebih besar, berbulu lebih lebat dan panjang yang kini terlihat berkilau bagai marmer kelabu pucat. Bahkan moncongnya menjadi lebih panjang dan tipis, dengan mata yang menyipit namun tidak meninggalkan warna biru mudanya yang tampak tak berdasar. Besar.
Bahkan Aomine berani bertaruh kalau anjing ini lebih besar dibandingkan Murasakibara, jenderal dari Akashi yang lain.
"Tolong obati lukanya, Nigou," Kuroko mengusap lembut moncong anjing yang kini lebih cocok disebut sebagai serigala. Serigala raksasa, mungkin?
Sosok binatang itu mengangguk, menggosokkan pipinya ke wajah Kuroko sebelum akhirnya melangkah menuju satu-satunya sumber pendarahan aktif disana. Nigou menatap vampir yang baru kali ini ia lihat, lalu menjilat pipinya.
"Kau…seekor anjing vampir?" Aomine terkekeh, entah geli atau karena sudah lelah.
"Kecelakaan. Dia tetap hidup," tidak begitu tertarik untuk menjawabnya, "Kagami-kun, kau masih sadar?"
Hanya gumaman tidak jelas yang menjadi jawaban, namun itu sudah cukup bagi Kuroko sebagai sinyal untuk melanjutkan niatnya.
"Minumlah darahku, Kagami-kun." Kuroko memperdalam luka di pergelangan tangannya, kemudian ia menyodorkan luka iris itu tepat di depan bibir Kagami, "Teguk, telan, dan jilat. Jangan sekali-sekali menggigitnya." Ada ancaman tipis nan serius disana.
"…seorang hunter memberikan darahnya untuk vam—"
Ucapan Kagami terputus ketika Kuroko begitu saja menempelkan lukanya yang berdarah ke bibir pemuda berambut merah itu, yang langsung saja disambut dengan tegukan penuh nafsu dan kebutuhan akan darah. Kuroko mengernyit kecil ketika ujung-ujung gigi Kagami seolah menggores kulitnya, rasa tidak nyaman terasa jelas di dadanya.
"Aku bukan hunter," ujarnya, sembari memperhatikan Nigou yang masih menjilati luka pemuda yang tadi dipanggil Daiki. Perlahan, pendarahan disana mengecil, masih butuh beberapa jilatan lagi sampai pendarahannya berhenti dan luka itu tertutup sepenuhnya.
"Hanya karena aku memiliki satu-satunya material yang memang benar-benar dapat membasmi vampir, bukan serta merta membuatku menjadi seorang hunter."
"Hoo.. kau tahu kalau air suci, salib, doa, lalu matahari, ba—"
"Bawang putih, kitab suci, atau apapun tidak mempan untuk kalian. Apapun, kecuali perak," Kuroko diam sejenak, "dan apapun yang dialiri oleh darah krusnik dan telah bercampur perak. Juga matahari fajar, benar kan?"
Kini giliran Aomine terdiam, pupilnya sedikit melebar mendengar kalimat terakhir pemuda yang kini menjadi santapan partnernya. "Dari mana kau tahu tentang itu?"
"Buku," jawabnya tak acuh, tidak begitu mempedulikan ekspresi kaget di pemuda yang baru ia temui itu. Matanya terfokus pada kerakusan Kagami akan darahnya, "jaga taringmu, Kagami-kun," ujarnya tenang, meski ada nada peringatan disana.
"Hah! Kau bermaksud menipuku, eh? Aku hidup cukup lama untuk tahu bahwa tidak ada informasi macam itu di bu—OI!" ucapan Aomine terputus begitu sebuah keliatan hangat basa mengenai pipinya. Refleks ia menoleh dan mendapati serigala raksasa itu menjilati wajahnya.
"Sepertinya darahku sudah berhenti, Kagami-kun," Kuroko tersenyum simpul melihat ulah Nigou lalu kembali mengecek kesadaran pemuda berambut merah di hadapannya, "setidaknya itu cukup untuk mengembalikan kesadaranmu."
Nafas Kagami jauh lebih ringan dibanding tadi. Kelegaan jelas terlihat dari matanya, seolah dahaganya sudah habis dengan tuntas. Ia bahkan baru tahu bahwa tubuhnya bisa terasa senyaman ini meski bukan darah Aomine yang ia teguk.
"Kagami-kun?" Kuroko bergeming, urung menarik tangannya ketika sebuah telapak lain menahan pergelangannya. Menggenggamnya dengan cukup kuat meski tak sampai menyakitinya. Sepasang mata merah menatapnya lekat, menahannya untuk bergerak.
Sekuat itukah kekuatan tatapan vampir kalau ia sudah menginginkan?
"Kumohon, jadilah sumberku, Kuroko."
Atau kelaparan?
AN : Krusnik : This term taken from Trinity Blood, an old light novel by Sunao Yoshida
Terima kasih kepada orenjinoir untuk fanart-nya yang jadi inspirasi, gak gue post gambarnya soalnya udah dihapus ama empunya. Satu shipper AoKaga berikut KagaKuro di linimasa tercinta. Here we go… An AoKaga (and of course my Kuroko) for you.
Sejuta cinta buat nyaonichi yang gue rebekin malem-malem buat ngebeta, benerin ucapan, atau fangirling. Terima kasih padamu ini gak jadi oneshoot. Ya, bersiaplah gue rebekin elo sampe muak.
Terima kasih sudah membacanya… Saran, kritik, hujatan, pujian, akan gue terima dengan lapangan bola. Karena dada gue gak ada lapangannya... Doa biar gue gak mengabaikan dan meneruskan cerita ini juga sangat diharapkan... Doain aja, kalo males nulis di review juga gak apa... :') semena-mena meninggalkan multichapter sebelum-sebelumnya
altaira verantca