SILENTLY
An EXO Fanfiction
Sehun-Luhan
OOC, Typo, Yaoi
©Lee-Jii17
Chapter 7
"Katakan 'A'. Apa susahnya sih?"
Jongdae berseru frustasi sementara di hadapannya duduk Luhan dengan wajah memberengut masam dengan titik air di sudut matanya. Menurut Luhan, Jongdae sudah jauh berbeda daripada kemarin sore. Lelaki itu tak lagi mengumpat padanya dan menghina-hinanya. Meskipun Luhan merasa bahwa Jongdae masih tidak menyukainya, ia akui sikap lelaki itu berubah menjadi lebih lembut. Hanya saja suara soprannya itu agak sedikit mengganggu. Karena Luhan yakin seseorang seperti Sehun tak akan bisa membedakan mana nada suara membentak dan mana nada suara yang memang tinggi sejak lahir.
Luhan menoleh dan.. Benar saja.
Sehun disana, berdiri dengan tatapan mematikan di belakang Jongdae. Matanya menyipit, seolah tengah mengirimkan telepati kepada Jongdae yang isinya, 'hei kepala kotak. Jika satu air mata lolos dari mata Luhan, kau akan kujadikan makanan anjing penjaga apartemenku.'
"Tentu saja susah. Kau kira pekerjaanmu sesederhana itu, eh?" Sehun mendengus karena menurutnya pertanyaan Jongdae terlalu retorik. Bagaimana bisa dia menyuruh Luhan menyebutkan huruf 'A' sementara namja manis itu bahkan tak bisa bicara?
"Aku punya caraku sendiri untuk bekerja, Tuan Oh-Bawel-Sehun." Jawab Jongdae malas. "Bisakah kau menyingkir dari sana? Dari tadi Luhan tidak fokus dan terus menerus melihatmu. Seperti kau tampan saja." Cibirnya.
Sehun merasa tertohok. "Permisi, tapi aku memang tampan. Aku punya wajah dengan v-line yang sempurna, tidak seperti kepala kotakmu itu."
"Kepala kotak kau bilang? Ibuku melahirkanku dengan mukjizat ini, kau tahu?" Balas Jongdae tidak mau kalah.
"Oh ya. Ibumu pasti kesulitan melahirkanmu karena kepalamu yang kotak itu."
"Tahu tidak," Suara berdeham menginterupsi kegiatan Sehun dan Jongdae. Kedua lelaki yang sedang berargumen tidak penting itu berbalik badan dan menemukan Baekhyun yang melongokkan kepalanya dari balik pintu dapur. "Aku sedang memikirkan hukuman apa yang akan diberikan Tuhan padaku jika aku membunuh dua orang berisik seperti kalian."
Jongdae menunjuk Sehun tak terima. "Dia yang mulai duluan!"
"Apakah membuat masalah adalah hobimu tuan Oh?" Tanya Baekhyun. Beruntung Chanyeol tidak sedang disana sekarang. Bisa-bisa lelaki bertelinga lebar itu lari kalang kabut jika
melihat ekspresi gelap yang ditunjukkan kekasihnya.
"Kau berdebat dengan Kyungsoo kemarin, dan dengan Jongdae sekarang. Pastikan kau tak sampai berurusan denganku."
Sehun bergidik ngeri sebelum Baekhyun melanjutkan dengan suaranya yang sarat dengan ancaman, "Aku akan menuang cairan pembersih lantai kedalam sup untuk makan malam jika kalian ribut lagi."
"Mengerikan." Bisik Jongdae pada Sehun. Sepelan yang bisa dilakukannya agar Baekhyun tak mendengar kata-katanya barusan.
"Ini bahkan belum sepuluh persen dari kadar mengerikannya seorang Byun Baekhyun, tahu tidak?"
Jongdae menoleh tak percaya. "Sekarang aku berpikir pekerjaanku disini sebenarnya ada dua. Satu, melatih Luhan dan yang kedua, pulang dengan selamat."
"Pastikan keselamatanmu mulai dari sekarang, bung." Sehun menggeleng prihatin. "Aku tidak bisa menjamin keselamatan tamu apartemenku jika ada Baekhyun hyung."
Jongdae menggumam. "Aku merinding."
"Tentu saja kau merinding. Kau lihat wajahnya itu? Dan suara gemeretak giginya?"
"Hm." Jongdae membalasnya dengan anggukan cepat. "Dan suara tawa lembut yang manis."
"Betul sekali. Suara ta—apa?"
Sehun mengerjap, menyadari yang baru saja terdengar bukan berasal dari Baekhyun. Lagipula Baekhyun tidak sedang tertawa. Sehun menatap pemandangan di depannya. Luhan tertawa geli dengan sebelah tangan menutup mulut. Biasanya Luhan akan tertawa tanpa suara, atau hanya menampakkan senyum lebar jika ia sedang senang.
Tapi sekarang namja yang lebih tua darinya itu tertawa. Dengan suara. Dan suaranya indah sekali. Lembut dan manis, persis seperti yang dikatakan Jongdae.
"Tunggu, aku dengar dia bilang 'A'. Telingaku tidak mungkin salah." Seru Jongdae cepat.
Xiumin yang sedang membaca jurnal psikologinya lantas mendekat dan duduk di sebelah Luhan. "Benarkah itu, Lu? Kau berhasil mengucapkannya?" Tanyanya, mengabaikan Baekhyun yang berlari tergopoh-gopoh karena pernyataan Jongdae tadi.
Luhan masih belum bisa menghentikan tawanya. Rasanya lucu sekali melihat Sehun dan Jongdae yang tidak akur berubah menjadi akrab karena Baekhyun. Baru sekali ini ia melihat Jongdae dengan sikapnya yang konyol.
"Lu?"
Sadar dirinya dipanggil, Luhan lalu mengangguk. Masih dengan suara tawa yang membuat Sehun terpesona ia membuka mulutnya dan mengucap 'A' pelan, kemudian tertawa lagi seraya menyeka air matanya yang keluar karena sibuk tertawa.
Baekhyun bersorak kegirangan, sementara Jongdae mengulum senyumnya. Wajah Sehun justru terlihat seperti ia akan menangis. Bukan karena huruf depan alfabet yang mampu diucap Luhan itu. Toh, dirinya pernah mendengar Luhan menggumamkan namanya. Tapi ia senang karena Luhan berhasil melakukannya dengan kesadaran penuh, dan di hadapan teman-temannya yang lain.
"Kau berhasil hyung!" Sehun berseru senang.
Xiumin mengangguk kecil dan mencatat sesuatu di ponselnya. Dilihat dari keadaan psikologis Luhan saat kejadian mengerikan dua tahun lalu terjadi, sepertinya pelaku mengancamnya agar jangan bicara. Mungkin saja Luhan memberontak, dan pelakunya langsung melakukan sesuatu yang mengerikan pada namja itu atau mungkin pada keluarganya. Sehingga selepas kejadian itu Luhan tertekan, dan merasa takut untuk mengeluarkan suaranya lagi.
Keringat dingin jatuh begitu saja dari pelipis lelaki berpipi bakpau itu.
'Betapa terkutuknya lelaki itu.. Luhan bahkan terlalu polos untuk menjadi korbannya..'
"Hei, bocah tengik. Berterimakasihlah pada Luhan." Xiumin mendongak dan menyadari Baekhyun kini berkacak pinggang menghadap dua orang di depannya. "Karena Luhan tertawa hari ini, jadi kalian aku maafkan."
Xiumin tersenyum dan menghapus keringatnya sebelum ada yang menyadarinya. "Sepertinya kondisi psikologisnya bisa berkembang pesat jika Luhan merasa bahagia." Kata Xiumin sambil menepuk puncak kepala Luhan dan mengacaknya gemas. "Sering-seringlah berdebat. Sepertinya hal itu menjadi hiburan tersendiri bagi Luhan."
Xiumin lalu menatap Baekhyun. "Dan Baekhyun-ah, kau harus sabar dengan mereka yang mungkin akan berdebat lebih sering." Ujar Xiumin tersenyum lebar.
.
.
"Apakah kau yakin ini ide yang bagus?"
Jongin menghela nafas dan segera menggamit lengan Kyungsoo untuk menenangkannya. "Tentu. Kita tidak akan tahu kalau hanya menebak-nebak.."
Kyungsoo menggigit bibirnya ragu. Koridor rumah sakit sepi karena jam kunjung memang sudah hampir berakhir. Ia menyesal mengiyakan ajakan Jongin yang katanya akan membawanya berjalan-jalan keluar sebentar.
Mana ia tahu kalau Jongin bukannya membawanya ke taman atau ke café terdekat, justru membawanya ke rumah sakit ternama di Seoul tempat Huang Zitao dirawat. Kyungsoo mengibaskan tangan di depan hidungnya. Bau obat-obatan yang menusuk hidungnya nyaris membuatnya muntah.
"Hei, kalian berdua. Jangan ber-lovey dovey di rumah sakit."
Kyungsoo seketika meringis meminta maaf pada Chanyeol yang berjalan di belakang mereka. Satu kejutan lagi, Kyungsoo juga tidak tahu kalau ternyata Chanyeol sudah menunggu mereka disini.
"Kau pintar sekali, menjadikan kencan sebagai alasanmu untuk kesini." Cibir Chanyeol pada Jongin. Lelaki itu tertawa sementara Kyungsoo melebarkan matanya tak percaya.
"Kencan katamu? Well, jika berjalan-jalan di koridor rumah sakit dengan bau obat yang menusuk hidungmu demi mencari dan menginterogasi seorang pasien rawat inap bisa dikatakan sebagai kencan," Kyungsoo diam sebelum mendelik kesal pada Jongin. "maka kita memang sedang melakukannya sekarang."
Jongin tersenyum. "Jangan marah baby Soo. Setelah ini kita akan mampir ke minimarket dan kau boleh membeli apapun yang kau mau."
Kyungsoo mengeluarkan suara 'cih' pelan dan berjalan lebih cepat meninggalkan Jongin dan Chanyeol di belakangnya. "Kupegang janjimu."
"Woah." Chanyeol menggumam dan menepuk bahu Jongin yang agak lebih pendek darinya. "Kekasihmu mudah dirayu jika sedang marah. Aku iri."
"Tapi kurasa pesona Bekhyun-hyung memang terletak pada sifat judesnya." Gurau Jongin. "Aku malah kaget namja idiot dengan selera humor yang receh sepertimu bisa meluluhkan sifat Baekhyun-hyung yang suka marah-marah itu."
"Kau tidak tahu seberat apa perjuanganku mendapatkannya." Chanyeol tersenyum simpul. "Inikah ruangannya?" Katanya kemudian.
Bukan, Chanyeol tidak bertanya pada Jongin. Pertanyaan itu ditujukan kepada Kyungsoo yang sudah berdiri di depan sebuah ruangan dengan kombinasi nomor dan angka yang menyebalkan. Kyungsoo mengangguk setelah mencocokkan nomor itu dengan catatan kertas yang diberikan suster yang bertugas di pusat layanan informasi rumah sakit.
"Kau tahu? Tiba-tiba aku merasa tidak yakin." Gumam Kyungsoo dengan suara serak.
"Tapi kita harus menyelidikinya." Jawab Chanyeol. Ia menoleh pada Jongin. Tangannya sudah siap di depan pintu. "Bersiap mengetuknya, Kim Jongin?"
Jongin mengangguk mantap. "Tentu."
Dan kedua namja itu menghitung satu sampai tiga perlahan sebelum akhirnya mengetuk pintu kayu itu bersamaan.
.
.
Xiumin duduk dengan sabar di depan petugas polisi yang sedang mencoret-coret kertasnya. Ia merasa suasana di apartemen Sehun sudah menjadi lebih baik. Jadi ia membiarkan mereka disana, Luhan yang masih sibuk dilatih oleh Jongdae sambil sesekali diganggu oleh Sehun dan Baekhyun yang masih asik memasak untuk makan malam. Katanya ia akan memasak banyak sebagai perayaan atas keberhasilan Jongdae yang pertama.
Tadinya Xiumin ingin membantu Baekhyun memasak, lalu pulang ke apartemennya sebentar untuk mengambil jurnal-jurnal psikologi yang lain mengingat Luhan sudah mengalami banyak perkembangan. Jadi Xiumin merasa harus belajar juga.
Tapi Baekhyun mengatakan padanya bahwa ia boleh pergi sekarang selagi yang lainnya belum pulang karena mereka akan makan malam bersama nanti. Dan Xiumin setuju, dengan berat hati tentu saja. Karena Baekhyun hanya memasak sendiri dan dua orang lelaki –yang berkepala kotak dan bertubuh jangkung— di apartemen samasekali tak bisa diandalkan dalam hal memasak.
Untungnya Xiumin bisa melihat bahwa Baekhyun cukup cekatan dalam urusan kerja di dapur.
"Maaf, tapi siapa nama anda tadi?"
Xiumin mendongak menatap si petugas polisi yang rambutnya agak sedikit botak itu. Mungkin mengurusi tahanan disini membuatnya stress. Xiumin sudah menyebut namanya dengan sangat jelas tadi. Tapi petugas ini nampaknya memiliki masalah ingatan yang buruk.
"Minseok. Kim Minseok."
"Baiklah. Kim Minseok, pekerjaan.. ehm psikolog.." Petugas itu menunduk lagi untuk menulis nama asli Xiumin serta pekerjaannya pada buku besarnya. "Dan kau datang untuk?"
"Kim Yunho."
Xiumin melihat petugas polisi itu mengernyit. "Ah, psikopat brengsek itu.." Gumamnya. "Kudengar dia menyebabkan masalah kejiwaan pada korbannya."
Xiumin mengernyit, merasa tak senang dengan kalimat barusan. "Korbannya mengalami masalah traumatis, bukan kejiwaan." Xiumin menghela nafasnya kasar. "Maaf, tapi dua hal itu sangat berbeda, pak. Kebetulan aku juga menangani korbannya saat ini."
Petugas polisi itu mengangkat wajahnya dan memasang wajah tidak enak yang menurut Xiumin sangat kentara. "Oh benarkah? Maafkan aku. Kuharap kau bisa menyembuhkan traumanya." Ujarnya pelan. Lelaki paruh baya itu menutup bukunya dan meraih gagang telepon. "Waktu anda dua puluh menit. Anda bisa langsung menuju ruang khusus kunjungan tahanan sekarang. Kami akan segera memanggilnya."
"Terimakasih." Xiumin bangkit dari kursinya dan membungkuk sopan. Petugas polisi itu membalasnya dengan senyum lemah.
"Tentu. Katakan saja jika anda butuh sesuatu. Tapi aku berpesan agar menahan amarahmu sebisa mungkin di depan Kim Yunho. Aku tahu menemui pelaku kejahatan dari korban yang sedang anda tangani pasti tidak mudah.."
Xiumin memaksakan seulas senyum. "Tentu, aku pasti mengingatnya."
Segera setelah mengucapkan terimakasih lagi, Xiumin berjalan cepat ke ruangan khusus untuk kunjungan para tahanan. Xiumin duduk di balik kaca pembatas dan menumpu kepalanya dengan kedua tangan.
Petugas itu benar. Ia harus menahan amarahnya.
Xiumin mendengar derit pintu yang dibuka, disusul dengan sosok laki-laki berwajah urakan yang mengambil tempat duduk di hadapannya, terpisah dari kaca. Xiumin memandang orang itu. Begitu diam, begitu tenang. Begitu menyiratkan dendam dan kepedihan.
Xiumin bisa mengetahuinya hanya dengan sekali lihat.
"Aku sedang dalam perjalanan ke apartemenku untuk mengambil beberapa barang yang berhubungan dengan pekerjaanku." Xiumin berkata pelan, mencoba untuk membuka pembicaraan lebih dulu. "Aku tak sengaja lewat, jadi aku memutuskan untuk mampir. Aku penasaran, apakah orang sepertimu bisa hidup dengan baik disini?"
Xiumin menghela nafas melihat lelaki bernama Yunho di hadapannya. Orang itu masih diam, tak berniat menjawab pertanyaannya. "Rasanya aku ingin membunuhmu setelah apa yang kau perbuat." Katanya lagi.
Ia mengecek ponsel dan menemukan pesan dari Baekhyun yang berkata bahwa Kyungsoo, Jongin dan Chanyeol sudah dalam perjalanan pulang. Sementara Xiumin membalas pesan, Kim Yunho hanya menguap malas dan membunyikan engsel tangannya dengan cara yang menurut Xiumin sangat mengerikan. Perlu diketahui bahwa butuh keberanian khusus baginya agar bisa mencapai tempat ini.
"Apa yang mau kau lakukan kalau istrimu yang anggun itu, Kim Jaejoong-hyung, mengetahui keadaanmu saat ini? Kau pikir ia akan senang? Kau pikir kau bisa menyalahkan kecelakaan yang sudah merenggut nyawa Jaejoong-hyung? Begitu?" Xiumin mengatur nafasnya setelah bertanya tanpa jeda. Ternyata sulit mengatur amarahnya di depan lelaki ini.
"Aku menangani korbanmu saat ini." Bisik Xiumin. Pita suaranya sudah tidak mampu berteriak-teriak. "Sampai dia bisa pulih dari traumanya, kau tidak boleh mati Yunho-ssi. Kau masih punya hutang. Kau harus berlutut meminta maaf di kaki orang yang telah menjadi korbanmu."
Xiumin mengepalkan tangannya dan mengangkat tasnya dari meja, bermaksud untuk pergi dari sana secepat mungkin. Tapi suara serak dengan nada dingin dan mengerikan yang menyapa gendang telinganya menghentikan pergerakan kakinya begitu saja.
"Kau mau pergi tanpa mengucap salam lebih dulu, adikku sayang?"
.
.
"Bukan aku, sungguh.."
Kyungsoo memandang Huang Zitao di hadapannya dengan tatapan iba.
Lihat, ia sudah bilang bahwa ini bukan ide yang bagus. Bagaimanapun menginterogasi seseorang yang sedang dirawat di rumah sakit itu jelas tidak sopan. Dirinya sudah berusaha menjelaskan pada Jongin dan Chanyeol, tapi dua orang kelewat idiot itu tak mau dengar.
Belum lagi ternyata ia harus menghadapi seorang Huang Zitao yang ternyata punya sifat sensitif berlebih dibalik wajahnya yang sangar itu.
"Kami hanya ingin bertanya hubunganmu dengan Luhan-hyung. Kami tak berniat mengancam kok." Jawab Kyungsoo, berusaha terdengar selembut mungkin. Ia menoleh dan menyikut Jongin yang kemudian mengaduh dan membenarkan pernyataannya.
Ketika mereka bertiga masuk ke ruangan ini, Zitao menatap mereka dengan pandangan bingung. Wajar menurutnya, karena yang dikenal namja ini hanya Baekhyun dan Luhan. Kyungsoo pernah bertukar salam dengannya sesekali di kampus. Tapi Kyungsoo tak yakin Zitao mengingatnya. Dan pada detik ketika mereka memperkenalkan diri dan mengungkapkan maksudnya untuk menanyakan hubungannya dengan Luhan, Zitao langsung tersentak kaget dan menangis tertahan sembari berkata kalau ia bukan pelakunya.
Ada dua hal yang langsung disadari Kyungsoo saat itu. Pertama, Zitao memang mengetahui semuanya yang terjadi pada Luhan. Kedua, Zitao adalah namja yang sensitif serta polos. Terlalu polos untuk menjadikannya tersangka pada kejadian buruk yang menimpa Luhan kemarin.
"Zitao-ssi.."
"Tolong Tao saja." Namja yang terbaring di kasur rumah sakit itu berucap pelan. "Biasanya Baekhyun hyung dan teman-temanku yang lain memanggilku begitu."
Kyungsoo mengangguk. Ia melirik sesaat pada Jongin dan Chanyeol yang tengah memperhatikan sesuatu, kemudian saling berbisik-bisik. Kyungsoo mengikuti arah pandang keduanya dan melihat sebuah jaket hitam-biru tua yang tergantung apik di sebelah meja nakas. Oh, jaket itu..
"Apakah kau dekat dengan Luhan hyung?" Suara Chanyeol menginterupsi Kyungsoo yang tengah bersuara dalam hati. "Maaf jika aku tidak sopan. Aku hanya penasaran.."
Tao mengangguk mengerti dan mengubah posisinya menjadi duduk, dan Kyungsoo membantunya dengan senang hati. "Ya, ia baik padaku. Lulu-ge orang yang baik." Katanya sambil tersenyum. "Itu panggilanku padanya."
"Darimana kau tahu Luhan hyung diserang? Dan apa yang kau lakukan di rumah sakit di waktu penyerangan itu?" Tanya Jongin. Kyungsoo memandang kekasihnya dan memutar bola matanya malas. Kekasih hitam seksinya ini terlalu sering menonton serial Detective Conan rupanya.
Tao menghela nafas dan menatap ketiganya takut-takut. "Kalian pasti sudah tahu." Ujarnya sembari beralih menatap jaket olimpiadenya yang tergantung di dinding. "Tentang CD rekaman itu. Itu sebabnya kalian mencariku. Bukan begitu?"
Chanyeol nyaris tersedak liurnya sendiri. "Jadi itu kau? Maksudku, rekaman itu kau yang melakukannya?"
"Tidak seperti yang kalian bayangkan." Tao cepat-cepat menyahut, takut jika Jongin membombardirnya dengan pertanyaan lain karena ia belum selesai dengan kalimatnya. "Hari itu Yifan-ge mengatakan akan menemaniku disini. Tapi ia tidak datang sampai sore. Ia mengirim pesan padaku bahwa ada urusan organisasi yang harus diselesaikannya." Tao terdiam memberi jeda pada ceritanya. "Bisa aku lanjutkan? Ta..tapi tolong jangan menatapku curiga seperti itu.."
Kyungsoo memukul lengan Jongin yang tampangnya sudah seperti Kogoro Mouri dadakan. "Tidak, tidak. Jongin memang seperti ini. Tolong lanjutkan saja ceritanya."
Tao mengangguk. "Aku yakin kalian tahu bahwa Yifan-ge tidak selalu berkata jujur. Jadi aku takut dan memutuskan menyusulnya ke kampus. Singkatnya, aku kabur sebentar dari rumah sakit. Aku memakai jaketku dan bergegas pergi."
"Lalu apakah Yifan-ssi ada disana?"
"Tidak." Tao menggeleng pelan. "Dia tidak disana. Sebagian temanku bilang Yifan-ge pergi dengan teman-temannya sementara sebagian lagi mengatakan padaku bahwa mereka melihat Yifan-ge sedang bersama gadis dari kampus sebelah. Kencan buta."
Jongin menggeleng. Lelaki yang satu itu benar-benar brengsek. Harusnya ia bersyukur memiliki Tao yang mencintai setulus hatinya. Tapi coba lihat apa yang dilakukannya terhadap kekasihnya yang sedang dirawat di rumah sakit.
"Di tengah kekecewaanku, aku memutuskan untuk menghibur diri sejenak di atap. Saat itu aku melihat Luhan-ge. Persis seperti apa yang kalian lihat di rekamanku."
"Tao, aku tidak mengerti.." Kata Kyungsoo pada akhirnya. "Kalau kau ada disana, kenapa kau merekamnya? Kau bisa melaporkannya pada petugas keamanan atau siapapun yang ada disana."
"Aku tidak bisa berpikir jernih. Aku masih kecewa dengan Yifan-ge saat aku melihat kekerasan itu di hadapanku. Satu-satunya hal yang bisa terpikir olehku saat itu adalah merekamnya untuk membuat sebuah bukti." Tao menunduk dan menatap tiga orang di depannya dengan tatapan frustasi. "Aku kecewa pada diriku sendiri. Sungguh. Harusnya aku berlari kesana dan menghajar orang-orang itu. Tapi punggungku masih cedera dan aku tidak yakin akan menang dengan kombinasi tiga banding satu."
"Tao-ssi.."
"Aku kebingungan." Katanya lagi, tak menggubris panggilan Jongin padanya. "Aku berlari ke ruang klub penyiaran dan menemukan beberapa CD yang bisa kugunakan. Disana ada komputer dan kabel USB dalam kondisi layak pakai, jadi aku memindahkan videonya."
"Lalu kenapa kau menyerahkannya pada Yixing Sonsaengnim?"
"Karena dia dosen terbaik yang aku tahu. Dia dosen berdedikasi yang peduli pada mahasiswanya." Tao memainkan selimut di tangannya. "Dan yang kedua, aku terlalu takut untuk terlibat. Maafkan aku."
Kyungsoo duduk di tepian ranjang pasien, berusaha menenangkan Tao yang mulai menangis. "Kau sudah melakukan hal yang benar. Jangan khawatir.."
.
.
Jongdae menaruh mangkuknya di tempat cuci piring dan berpamitan pada yang lain untuk pergi ke kamar tamu. Beberapa saat yang lalu Xiumin pulang dengan wajah pucat. Disusul dengan kepulangan trio Kyungsoo, Jongin dan Chanyeol yang mendadak berubah menjadi lebih diam. Sehun yang biasanya acuh bahkan sampai penasaran apa yang terjadi dengan keempat orang itu sebelum pulang ke apartemennya.
Trio berisik itu masih enggan untuk bercerita. Mereka terlihat sedang memikirkan sesuatu sementara kekasih imutnya hanya tersenyum dan berkata bahwa ia tidak enak badan. Xiumin menolak dengan halus tawaran obat-obatan dari Baekhyun. Katanya ia hanya butuh istirahat.
Dan disinilah ia sekarang, di kamar tamu yang dihuni oleh mereka berdua. Baekhyun dan Chanyeol akan pulang jika hari sudah malam. Itupun kalau mereka tak terlalu malas untuk pulang. Sementara Kyungsoo dan Jongin tinggal di kamar satunya. Mungkin Sehun agak kurang waras karena menyewa apartemen dengan tiga kamar untuk ia tinggali sendiri.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Jongdae. Tangannya mengusap bahu Xiumin yang duduk di tempat tidur seraya membereskan jurnal-jurnalnya.
"Mm-hm. Aku baik." Jawabnya singkat. Tangannya sibuk mengumpulkan jurnal itu menjadi satu dan memisahkannya dengan klip yang diberikan Sehun sebelum makan malam. "Aku menemui Yunho-hyung tadi.."
Jongdae membelalak. "Apa?! Untuk apa kau kesana?" Jerit Jongdae. "Aku sudah mengatakan padamu agar melupakannya saja. Ia tak akan dibebaskan dari penjara. Kau tak perlu berurusan dengannya Xiuminnie.."
"Dia kakakku Jongdae-ya." Xiumin mengusap wajahnya yang lelah, membuat Jongdae meringis karena sakit yang ia rasakan di dadanya. Seolah ia bisa merasakan rasa sakit yang sedang ditahan mati-matian oleh kekasihnya itu.
"Tidakkah lebih baik kalau kau mengatakan pada semuanya?" Tanya Jongdae berusaha menghibur namja yang lebih tua. "Emosimu bisa meledak dan kau bisa sakit jika memendamnya terus.."
"Mengatakan semuanya pada mereka? Demi Tuhan, jangan bercanda Kim Jongdae. Sehun akan langsung membunuhku jika dia tahu," Xiumin terisak. "aku dan psikopat yang menghancurkan hidup Luhan ternyata saudara sedarah."
Jongdae tersentak mendengar suara langkah kaki di depan pintu, bersyukur pada telinganya yang tidak pernah salah dengar. Ia menunduk dan melihat bayangan seseorang yang sedang berdiri di depan pintu. Orang itu kemudian melarikan diri, menyadari bahwa Jongdae telah menangkap basah bayangannya. Jongdae lantas memandang Xiumin yang masih memejam dan menghapus air matanya kasar. Xiumin pasti tidak sadar. Hal ini membuat Jongdae mengumpat dalam hati.
Oh, sial.
Ada yang menguping pembicaraan mereka.
TBC
.
.
A/N:
Halooooo!
Ya ampun, setahun fanfic ini aku phpin. Maaf banget semuanyaa /sedotingus
Jadi dulu aku stuck banget gara-gara ffn ga mau kebuka. Aku coba pake anonymox sampe nyoba ganti IP PC ku sendiri hahaha. Tapi ternyata gagal dan browserku malah jadi error. Terus berhubung aku mulai masuk universitas waktu itu dan mulai sibuk latian sama tim agensi (aku cover dance pemirsahh. Percaya ga? Huahahaha) aku jadi bener-bener lupa sama 'Silently' ini. Di kolom komentar sama PM banyak yang minta aku lanjut. Banyak juga yang ngira aku ga ngelanjutin karena kecewa sama EXO yang udah ga 12 lagi /sedotingus2
Ya kecewa sih pasti. Sedih. Tapi aku masih ngeship HunHan & Official Pair lainnya kok. Aku cinta HunHan banget huhu.
Mungkin deket-deket ini aku mau publish oneshootnya anak bangtan berhubung aku lagi tergila-gila sama VKook dan YoonMin. Aku gemes parah sama mereka haha. Ada yang suka juga ga sih sama mereka? Atau ada yang mau request kopel gitu? :3
Mau minta maap juga kalo ada Cassie, maapin abang Yunho yang gagah perkasa (?) malah aku jadiin antagonis. Psikopat pula. Aku udah bingung mau siapa yang aku jadiin kakaknya Xiumin hehe. Tolong jangan bash akoeh. Aku cinta damai kok. Ini Cuma cerita? Oke?
Nanti penjelasannya tentang asal muasal kejahatan si kakaknya Umin ini diceritain di chapt berikutnya aja ya. Karakternya juga nanti berkembang kok ehehehe.
Terusterus, pada liat MV Monster ga sih? Kok itu si cadel jadi kurgajr gitu ya? (mengumpat di bulan puasa, tolong jangan ditiru) Rambutnya item, terus ganteng. Pake banget. Bagian ngerapnya itu lho. Asdfghjkl. Terus Chanyeol rambutnya merah membara kek sambel ayam geprek versi ganteng gitu kan sebel. Bekyun juga pake tindikan apaan tau gobargober di kuping. Tapi ganteng terus aku bisa apa
Yaudahlah, sekian aja. Daripada kebanyakan gosipin oppa-oppa di bulan puasa, mending aku dadah aja.
So, mind to leave a review? :3