Naruto © Masahi Kishimoto

Sasuke hampir terantuk pintu kaca perpustakaan saat berlari mengejar Naruto yang terlihat berbelok ke arah kanan—cukup jauh dari jangkauannya. Baru selangkah sejak dia berbelok ke arah yang sama dengan Naruto langkahnya terhenti, sekitar sepuluh meter di hadapannya ada Naruto yang bertumpu dengan tangan di dinding putih di samping kiri mereka. Nafas mereka berdua sama terengah, namun Sasuke berhenti bukan karena kelelahan.

Bahkan saat Naruto berlari lagi dan semakin menjauh dari pandangannya dia tidak bergerak, padahal jika tadi dia tidak berhenti mungkin dia bisa menjangkau Naruto yang juga sempat berhenti. Tapi tidak dia lakukan karena dia sadar akan satu hal: mengapa dia mengejar Naruto?

Bukankah apa yang dia katakan pada Sakura bukanlah kebohongan? Lalu mengapa dia merasa harus berlari dan mengejar Naruto kemudian menjelaskan semuanya—kalau dia berbohong pada Sakura hanya karena dia tak mau dianggap pengecut dan sebagainya.

Sasuke mendengus kasar. Tidak, Sasuke bukan pengecut dan dia tidak menyukai atau bahkan peduli pada perasaan Naruto. Untuk itu dia berputar kembali dan menghiraukan batinnya yang berteriak sakit karena kebohongan yang tak akan pernah dia akui.


Naruto mengambil napas sebanyak yang dia bisa dan menghembuskannya dengan terburu-buru lewat mulut yang terbuka. Kedua tangannya bertumpu pada lutut yang ditekuk, sesaat dia merasa pernah mengalami hal yang sama—namun dengan alasan yang berbeda. Kalau dulu dia yang mengejar Sasuke, sekarang dia yang sempat dikejar oleh Sasuke.

Bibirnya yang memucat tersenyum kecut, dia tahu waktu Sasuke berhenti dan tidak mengejarnya lagi. Tapi dia tetap berlari karena jauh di lubuk hatinya dia berharap Sasuke akan menyusulnya, namun kenyataannya dia di sini, di belakang gedung fakultas ekonomi yang sepi, sendirian. Tanpa takut jeans hitam yang dikenakan kotor karena debu dia duduk dan bersandar pada tembok tinggi di belakangnya, kepalanya tertunduk dalam.

Lima menit berlalu dan jantungnya kembali berdegup normal, hampir saja dia terlelap jikalau tidak teringat ada kelas investment dan Kiba yang menunggunya. Kemudian dia bangkit dan terkejut saat Sakura ada di hadapannya.

"Naruto—" Sakura tersenyum.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Sakura masih tersenyum, pemuda di depannya terlihat sangat kacau dengan sebelah tangan menggenggam terlalu erat sebuah ponsel dan pelipis yang basah oleh keringat. "Aku Sakura, Sakura Haruno." Gadis itu menunduk hormat menunjukkan tata krama yang baik di perbincangan pertama mereka.

Naruto yang masih kebingungan memilih balas menunduk dan memperkenalkan diri, "Naruto Uzumaki." Dan suasana di antara mereka pun jadi semakin canggung. Gadis di hadapannya tertawa pelan, "Ah maaf membuatmu bingung, suasananya jadi canggung begini."

Segaris senyum kikuk terukir di wajah Naruto—tidak tahu harus bersikap seperti apa di hadapan kekasih sahabat lamanya. "Mungkin kau sudah dengar pembicaraanku dengan Sasuke-kun tadi—" wajah cantik itu berubah serius sekaligus sedih, membuat Naruto jadi semakin bingung.

"—aku memang kekasihnya tapi aku merasa dia tidak pernah mencintaiku." Sakura tersenyum kecut. "Aku percaya dia itu sebenarnya menyukaimu Naruto."

Kepala Naruto yang baru tertunduk terangkat lagi menatap gadis sebatas pundaknya itu, "Sasuke pasti mencintaimu, tidak mungkin dia menyukaiku, dia itu normal—" Naruto menyangkal dan mencoba tertawa di akhir kalimatnya namun terdengar aneh karena dipaksakan.

Sakura terdiam, kepalanya tertunduk menatap sepasang kakinya yang dibalut flat shoes merah. "—Dia pernah bilang kalau aku menjijikkan." Mata hijau jernih itu agak membola mendengar penuturan Naruto, kekasihnya memang kejam dalam berkata.

"Lagipula, kalian terlihat serasi." Lanjut Naruto kemudian tersenyum lebar.

"Kau itu laki-laki yang kuat, Naruto." Tangan yang dibalut sweater tipis itu mendarat di pundak kanan Naruto. "Sasuke-kun tidak pernah mencintaiku, dia menerimaku karena ayah kami adalah sahabat dekat."

"Jadi kalian dijodohkan?" Suara Naruto lagi-lagi terdengar aneh—campuran kaget dan sedih.

Gadis itu menggeleng, "Kalau dibilang djodohkan juga tidak, ayahku dan ayahnya hanya memperkenalkan kami saat baru masuk universitas. Aku tidak bisa bohong dan bilang kalau aku tidak menyukainya, makanya tiga bulan kemudian aku beranikan diri untuk mengutarakan perasaanku. Walau kaget dan agak tidak percaya tapi nyatanya dia menerimaku."

"Dari mana kau tahu?" Naruto merasa menjadi orang bodoh karena terus bertanya.

Lagi-lagi Sakura tersenyum, "Itachi-san."

Naruto mengangguk paham, Itachi adalah kakak lima tahun di atas Sasuke. Saat keluarga Uchiha pindah ke Oto, Itachi juga ikut dan memilih melanjutkan kuliah di Oto daripada di Konoha. Naruto tidak heran, Itachi adalah kakak terbaik yang pernah dia temui, dia sangat memahami perasaan Sasuke, wajar saja kalau dia dengan terang-terangan mengatakan yang sebenarnya pada Sakura.

Itachi tidak ingin adiknya hidup dengan orang yang tidak dia inginkan, itu yang bisa disimpulkan Naruto saat ini.

Waktu terus berlanjut dan Naruto menjadi pendengar yang baik.


"Sakura-chan gadis yang manis dan pandai." Mikoto tersenyum penuh arti pada suaminya yang duduk tepat di sampingnya. "Bagaimana menurutmu, Sasuke?"

Keluarga Haruno baru saja meninggalkan kediaman Uchiha, kini tinggal mereka berempat di ruang tamu yang luas itu.

"Ya, dia sangat cocok dengan Itachi."

Itachi yang meminum kopi tersedak, "Hei, ibu berbicara tentangmu, bukan aku." Sasuke cuma memutar bola mata.

"Sakura itu seumuran denganmu, kalian juga satu kampus dan terlihat cocok."

Kali ini Sasuke yang hampir tersedak ludahnya sendiri. Sasuke merasa kalau ayahnya baru saja berkata kalau dia berharap hal yang lebih dari dirinya dan Sakura secara tidak langsung. Sekilas dia melirik pada kakaknya yang ternyata menatapnya penuh arti.

"Tapi Sakura pasti tidak suka pada orang semacam Sasuke, Ayah." Itachi bercanda sekaligus mencoba membela adiknya—dia tahu adiknya itu tidak suka kalau diatur apalagi untuk hal yang bersifat pribadi seperti ini.

"Belum suka." Ralat Fugaku sambil menatap tajam pada Sasuke yang cuma tertunduk. "Lagipula ayah tidak pernah melihatmu membawa perempuan ke rumah, ayah pikir kau kesulitan memilih jadi tidak ada salahnya bukan?"

Sasuke terdiam dan atmosfir di sekitar mereka jadi semakin berat, Mikoto sebagai seorang istri sekaligus ibu berinisiatif mencairkan suasana. "Ah tidak usah terlalu dipikirkan dulu Sasuke." Wanita itu mengelus pundak suaminya, mengirimkan pesan tersirat agar pembicaraan ini disudahi.

"Yah, sekarang kau fokus saja pada kuliahmu, tapi kau pasti tahu kedatangan keluarga Haruno dan perkenalanmu dengan Sakura bukanlah hal yang tidak disengaja."

Setelah itu Fugaku bangkit diikuti istrinya, dan Sasuke tahu kalau dia tidak punya pilihan lain.

"Tenanglah, perjalananmu masih panjang—" Itachi menepuk pundak adiknya, "—aku yang lebih tua saja belum menikah." Sekalipun dengan suara yang datar dan berat, Sasuke tahu kakaknya mencoba mengirimkan semangat.

Sasuke mengangguk dan tersenyum terlalu tipis.


Sakura membuang napas panjang setelah menceritakan lagi hal yang didapatnya dari Itachi sekitar tiga bulan yang lalu.

"Sejak tahu hal itu, aku yang memang dari awal ragu pada Sasuke-kun jadi semakin ragu, apalagi saat aku melihat kejadian di kantin tadi—" Sakura menatap Naruto yang juga menatapnya, "—Sasuke-kun memang tidak pernah bercerita tentangmu tapi tadi adalah pertama kalinya aku melihat dia mengajak seseorang berbicara lebih dulu."

Naruto masih diam dan Sakura memilih melanjutkan ceritanya. "Aku merasa aneh karena kau tiba-tiba saja pergi, kemudian Sasuke-kun juga pergi. Syukurlah aku mengikuti temanmu yang bernama Kiba itu, akhirnya aku menemukan kalian di perpustakaan, dan—" Sakura menelan ludahnya.

"—aku minta maaf sudah menguping pembicaraan kalian."

"Tak apa." Naruto tersenyum maklum, dia tidak mungkin menyalahkan Sakura dan rasa penasarannya. Bagaimanapun juga, gadis itu berhak tahu yang sebenarnya—begitupun dengan Naruto. Kalau saja Sakura tidak ada di sana, dia tidak mungkin tahu tentang apa yang dirasakan Sasuke kapadanya selama ini. Tiba-tiba saja dia teringat perkataan Sasuke dan hatinya kembali terasa nyeri.

Lagi-lagi Sakura membuang napas, "Tapi ternyata Sasuke-kun juga ada di sana, dan semuanya terjadi seperti apa yang sempat kau dengar."

Naruto mengangguk paham menghiraukan dadanya yang bergemuruh karena sakit mengingat perkataan Sasuke.

"Kau tidak usah percaya pada apa yang kau dengar tadi, aku yakin Sasuke-kun saat itu berbohong." Gadis itu lagi-lagi tertunduk, "Aku memang menyukainya, tapi aku bukan orang egois yang akan memaksakan kehendakku. Sudah cukup aku menahan Sasuke-kun selama ini. Jadi—"

Sakura kembali menatap Naruto dengan senyuman dan kedua tangannya yang lagi-lagi berada di pundak pemuda itu. "Aku harap kau jangan menyerah dan buktikan kalau Sasuke-kun memang mencintaimu."

Naruto tertegun, gadis ini terlalu baik untuk kehilangan orang yang dia cintai. "Hei jangan begitu, Sasuke pasti menyukaimu juga." Naruto mencoba menyadarkan gadis cantik di hadapannya.

Namun Sakura menggeleng pelan, "Selama ini aku yang selalu berinisiatif duluan, Naruto. Sasuke cuma mengikuti tanpa niat. Dia bahkan tidak pernah menggenggam tanganku dengan benar."

Gigi Naruto bergemelatuk menahan kesal, "Si brengsek itu memang suka sekali menganggap remeh perasaan orang lain." Sakura di hadapannya tertawa, rupanya Naruto mempunyai perubahan emosi yang sangat cepat. Baru beberapa detik yang lalu dia melihat pemuda berambut pirang itu bersedih, tapi sekarang dia sudah diliputi kekesalan.

Naruto yang ditertawai hanya mengernyit bingung, "Kau kenapa?" Lagi-lagi Sakura menggeleng. "Tidak apa-apa, aku hanya semakin yakin kalau kau itu cocok untuk orang seperti Sasuke." Kemudian gadis itu kembali terkikik geli melihat kebingungan yang semakin jelas di wajah Naruto.

"Malam ini aku akan mengakhiri semuanya dengan Sasuke-kun, jadi kau harus berjuang ya! Nanti aku akan jadi fujoshi dan membentuk klub pecinta Sasuke dan Naruto di kampus!" Canda Sakura yang kemudian dengan cepat menghilang dari hadapan Naruto.

"Hah?!"


Naruto menyampirkan handuk yang melembab akibat digosokkan ke rambut pirangnya yang basah, kemudian bunyi punggung yang bertubrukan dengan bahan sofa dan helaan napas yang kuat menunjukkan betapa lelahnya Naruto kala itu. Kepalanya terasa dingin namun hatinya gelisah bukan tanpa sebab—sebagian hatinya berteriak betapa dia ingin Sasuke yang dulu jadi sahabatnya kembali, namun sebagiannya lagi tak ingin gadis sebaik Sakura harus berkorban perasaan.

Sudah lima hari berlalu sejak hari dimana Sakura pertama kali berbicara dengannya, namun semua berlalu seperti biasa—dia tidak tahu apakah Sasuke dan Sakura masih bersama hingga detik ini atau tidak. Faktanya hari Rabu dan Kamis di kalendernya jatuh sebagai hari libur nasional entah yang ke berapa kalinya selama setahun ini, maka berakhirlah dia yang menjamur di apartemen sederhananya karena di hari Jumat memang dia dan Kiba tidak memiliki jadwal. Setidaknya dia tidak perlu bertemu dengan Sasuke sekalipun setiap saat dia harus dihantui rasa penasaran yang melilit perutnya.

Beban yang semakin menumpuk membuat bahunya merosot dan berujung terbaring di atas sofa, Naruto mendesah mengingat ada tugas penting yang harus dia kumpulkan besok—yang bahannya sama sekali belum dia sentuh. Ah, biarlah dia menikmati hari libur terakhir yang dia miliki. Saat dia hampir tertidur tiba-tiba dia merasa de javu kala pintunya diketuk dengan tidak pelan dari luar sana.

Satu erangan meluncur bebas disusul suara kakinya yang bertapak di marmer dingin dan suara pintu yang dibuka tergesa—kemudian suasana yang sejak tadi hening menjadi semakin bisu saat pintu itu terbuka setengah di hadapan wajah kecoklatan Naruto yang nyaris memucat.

"Aku tidak tahu kau serendah itu."

Kalimat pembuka Sasuke mencekik leher Naruto, dia nyaris kehilangan kata-kata. Terkutuklah mulutnya yang hanya bisa mengeluarkan 'hah' ambigu dan dibalas dengusan kasar yang disusul tatapan menjijikkan Sasuke. Naruto tidak tahu harus bersyukur atau tidak karena orang yang memandangnya rendah sekarang adalah Sasuke—bersyukur karena dia punya alasan untuk tidak menghajarnya habis-habisan atau tidak karena yang melakukanya dalah Sasuke.

"Setidaknya kau tidak punya cukup malu untuk tidak mengganggu hubungan orang lain." Kemudian Naruto merasa menjadi orang yang paling mengetahui masalah di sini.

"Jadi Sakura benar-benar melakukannya?" Pemuda di luar pintu yang terbuka itu menukikkan kedua alisnya membuat Naruto hampir menangis karena ada orang yang menaruh kebencian padanya di setiap aliran darah. "Menurutmu? Dia itu gadis baik dan terhormat, tidak sepertimu."

"Tunggu! Jadi kau menuduh aku yang memohon pada Sakura?"

Satu kesimpulan menghampiri Naruto yang tidak sadar suaranya meninggi, kepalanya yang basah mendidih seketika melihat Sasuke lagi-lagi mendengus meremehkannya. Sebuah botol dilempar ke arahnya yang tidak siap, membuat suara sumbang botol yang bertabrakan marmer berlapis keset kaki di bawah Naruto. Sejujurnya dia baru sadar kalau Sasuke sedari tadi membawa botol itu di tangannya.

Sejenak perhatiannya teralih pada botol bening yang berwarna kecoklatan di beberapa sisi di bawah kakinya. Matanya melotot tak percaya saat sadar ada kertas yang menguning di dalam botol itu—time capsule yang sengaja dia simpan selama dua belas tahun, ada di hadapannya, dilemparkan oleh mantan sahabatnya. Naruto betul-betul ingin menangis sekarang.

Harapan masa kanak-kanaknya hancur lebur di usianya yang ke 18. Harapan yang selalu dia sisipkan di setiap doanya. Harapan yang memaksanya melihat kedewasaan yang minim dimilikinya.

"Kalau itu bisa membuatmu menjauhiku, maka kuberikan."

Sasuke berbalik tak menunggu balasan dari pemuda yang bahkan mungkin merasa sulit untuk bernapas itu. Setetes air mata menetes diluar kendali Naruto saat kenangan indah mereka bertahun silam terputar cepat di kepalanya. Dia menelan ludah, menelan semua kepahitan yang ada kemudian memungut botol dingin di kakinya.

"Terima kasih."

Suara itu bergetar namun sarat akan ketulusan dan kerelaan—meninggalkan semua bayangan masa lalu dan merangkak memulai hidup baru.

Sasuke mendengus kemudian berbalik ingin memberikan salam perpisahan yang mengerikan walau hanya untuk diingat oleh mantan sahabat pirangnya itu. "Tak masa—" Suaranya menghilang di udara saat debaman pelan menyembunyikan mata sewarna langit dan senyuman yang basah oleh airmata.

Tiba-tiba saja sesuatu seolah meremas jantung Sasuke.


Naruto menoleh saat suara gadis memanggil tertangkap olehnya, "Hei, Sakura-chan." Sakura tersenyum lebar menyukai panggilan akrab Naruto padanya.

"Bagaimana kabarmu?"

Walau gugup Naruto tetap menjawab, "Baik, kau sendiri?" Gadis itu lagi-lagi tersenyum. "Sangat baik." Sekilas dia tidak terlihat seperti orang yang baru putus dengan kekasihnya.

Langkah Naruto berlanjut mengikuti Sakura. Saat ini mereka ada di koridor fakultas ekonomi namun Naruto tidak heran kenapa Sakura ada bersamanya sekarang. "Jadi—" Naruto sengaja menggantung ucapannya.

"Ya, seperti yang kujanjikan." Sakura terkikik melihat Naruto setengah melotot padanya. "Tenang, bagian Sasuke dan Naruto fans club itu tidak termasuk." Pemuda itu hanya mendengus geli.

Detik berlalu dalam keheningan, hanya ada suara sepatu yang bergesekan dengan lantai dan cahaya matahari yang jatuh melapisi dinding putih di samping mereka. Sakura melirik jam putih minimalis yang melingkari kulit susunya—lewat dua puluh menit dari pukul lima—pantas hanya ada segelintir mahasiswa di sana, dia sedikit bersyukur masih bisa menemukan Naruto.

"Kiba dimana? Tumben dia tak bersamamu, Naruto?" Sejauh yang Sakura pahami, dimana ada Naruto maka di situ akan ada Kiba yang menemani. "Ah, dia baru kembali dari rumahnya sore ini." Gadis itu mengangguk paham, rupanya jatah lima hari tidaklah cukup untuk liburan mendadak bagi Kiba. "Kau sendiri tidak pulang ke rumahmu?"

Sakura cuma diam melihat Naruto menggeleng, dia merasa tak perlu tahu mengapa si pirang memilih tinggal di apartemennya ketimbang pulang ke rumah. "Lalu, bagaimana dengan Sasuke-kun?" Gadis itu melihat Naruto tersenyum sedih.

"Dia menemuiku semalam—" Sejalan dengan kalimatnya senyuman di wajah kecoklatan itu berubah jadi lebih tulus "—sekalipun sempat menyakitkan, tapi aku sudah memutuskan untuk membiarkan semuanya berjalan seperti biasa." Sakura mengangkat alisnya sebelah. "Jadi?"

Naruto berhenti kemudian menatap gadis di hadapannya, "Terima kasih sudah mau membantuku, Sakura-chan, seperti yang kau katakan perasaan seseorang tidak bisa dipaksakan—" Naruto yang tersenyum terlihat semakin tampan di hadapan gadis itu. "—lagipula, seseorang memintaku untuk tidak berubah." Kemudian Naruto berjalan meninggalkan Sakura yang masih mencerna kata-katanya.

"Hah? Apa maksudnya itu?" Tuntut Sakura yang menyusul Naruto. Lagi-lagi pemuda itu cuma tersenyum. "Ah kapan-kapan akan kuceritakan saat-saat Sasuke masih suka tersenyum." Naruto tergelak sedangkan Sakura cuma memutar bola mata mendengar jawaban Naruto yang tidak koheren dengan pertanyaannya.

Tapi tawa itu tidak berlangsung lama saat Sasuke berdiri tegap seolah menghadang jalan di hadapan mereka.

"Eh? Sasuke-kun?"

Sasuke yang diam semakin mendekat dan berdiri tepat di hadapan Naruto—ujung sepatu mereka bahkan hampir bersentuhan. Naruto yang belum sepenuhnya siap menatap sedikit gentar pemuda di hadapannya, "Hei, Sasu—"

"Naruto—aku minta maaf."

Ucapan Naruto tertelan kembali. Sakura yang mengerti situasi tersenyum senang saat melihat Sai, teman sekelasnya yang setia, melambai dari kejauhan bagai dewa penyelamat. "Well gentlements, temanku sudah menunggu—" Dia melemparkan senyum penuh arti pada Naruto dan tepukan pelan di bahu Sasuke "—semoga beruntung!" Gadis itu kemudian berlari kecil dan meraih lengan pemuda pucat bernama Sai itu untuk menjauh dari sana.

"Gadis yang baik." Aku Naruto sambil tersenyum manis pada tempat terakhir Sakura berdiri. "Ah, kalau begitu aku juga mau pulang, sampai jumpa Sa—" Pegangan erat di lengannya menghentikan Naruto. Mata biru itu tertumbuk pada tangan putih yang menggenggam kuat lengannya kemudian ke mata hitam yang memandangnya putus asa.

Naruto menghela napas, mereka sama-sama belum dewasa. Bukan cuma dirinya yang egois dan seolah memaksa Sasuke untuk menepati janji masa kecil mereka. Tapi Sasuke juga, pemuda tampan di hadapannya ini tak lebih dari seorang remaja tanggung di luar kecerdasannya yang di atas rata-rata.

Tangan Naruto yang lain bergerak menyapu pipi putih Sasuke, membuat mata hitam itu ikut terpejam. Pemuda di hadapannya ini juga ternyata sama-sama belum dewasa seperti dirinya. Di satu sisi dia akan bertindak jadi orang paling kejam di hadapan Naruto, menghempas Naruto dengan kalimat caci dan tatapan yang menyudutkan, tapi di satu sisi dia tidak bisa menampik kenyataan bahwa dia masih membutuhkan dan merindukan sahabat pirangnya itu.

"Maafkan aku." Tangan putih itu melepas cengkramannya di lengan berlapis sweater cokelat tua Naruto dan melapisi tangan hangat yang mendarat di pipinya. Naruto tersenyum mendengar permintaan maaf Sasuke.

"Sepertinya kau baru ingat apa yang kau tulis padaku dua belas tahun yang lalu, Teme." Naruto tersenyum lima jari melihat mata hitam Sasuke sedikit membola karena tebakan tepat sasarannya. "Dobe—"

"Tak apa, karena surat itu aku jadi memaafkan semua kekejamanmu padaku, kau tahu?" Bibir merah muda itu mengerucut dalam canda membuat Sasuke mau tidak mau tersenyum dan memaksa Naruto masuk dalam pelukan hangatnya.

"Tadaima, Naruto."

Naruto tersenyum sendu di balik bahu Sasuke, kalimat yang dia tunggu bertahun silam akhirnya dapat dia dengar dari Sasuke.

"Okaeri, Sasuke."

Owari

.

.

.

.

Omake

Untuk Naruto sepuluh tahun yang akan datang,

Aku harap kau tidak jadi orang yang bodoh lagi seperti sekarang.

Tapi tetaplah jadi Naruto yang kukenal saat ini, kalau nanti aku berubah jadi orang yang jahat aku harap kau tetap jadi orang baik yang akan mengingatkanku. Tapi itu bukan berarti aku mau jadi orang jahat.

Dan kalau kau membaca ini sepuluh tahun yang akan datang itu berarti kita sudah jadi orang dewasa, jadi aku mau kau jadi pengantinku, Dobe. Jangan tanya kenapa dan kau tidak boleh menolaknya.

Dari sahabatmu,

Uchiha Sasuke.

Naruto tergelak sambil memegangi perutnya, setitik air mata bahkan mengalir dari mata biru itu. "Tertawalah sesukamu, Dobe." Si pirang mengucap maaf sambil menghapus air mata yang menghalangi pandangannya dari wajah Sasuke yang terlipat.

"Aku hanya tidak menyangka kalau kau benar-benar egois bahkan saat menulis surat." Sasuke mendengus saat Naruto kembali tertawa.

Sejak kejadian di koridor fakultas ekonomi kemarin, Naruto tidak henti-hentinya menggoda Sasuke karena isi suratnya sepuluh tahun yang lalu. Sasuke sendiri tidak ingat betul apa yang dia tulis sampai ketika dia melihat Naruto menangis di balik pintu apartemennya beberapa hari yang lalu. Saat dia menggali surat di dekat sekolah mereka, yang ada di pikiran Sasuke hanyalah untuk membuat Naruto yang menurutnya mengganggu itu menjauh darinya.

Dia sama sekali tidak terpikirkan isi surat itu. Well, setidaknya surat itulah yang justru membuat mereka bisa seperti sekarang.

Sauke bangkit menghiraukan Naruto yang masih mencoba bernapas normal karena terlalu banyak tertawa—meraih botol yang kusam termakan waktu di atas meja belajar Naruto.

Untuk Sasuke sahabatku tercinta sepuluh tahun yang akan datang,

Aku yakin saat itu aku pasti lebih tampan dan pintar daripada kau yang sekarang. Jujur saja aku tidak tahu harus menulis apa, yang pasti aku berharap saat kau membaca surat ini kita masih jadi sahabat yang baik seperti sekarang.

Pokoknya aku tidak mau ada yang berubah selain aku yang semakin tampan dan pintar. Oh iya Sasuke, kalau kau membaca surat ini umur kita kira-kira berapa ya? Aku (tidak tahu) malas menghitungnya, tapi aku rasa kita pasti sudah jadi orang dewasa (dan tampan) dan aku yang lebih tampan dan lebih hebat darimu. Pokoknya kalau kau tidak punya pacar saat itu (aku siap jadi pacarmu) aku pasti akan membantumu mencari pacar karena aku pasti jadi lebih keren dan pintar jadi aku pasti bisa membantumu.

Dari sahabatmu yang baik hati,

Uzumaki Naruto

Mata Naruto mengerjap beberapa kali, Sasuke dengan selembar kertas yang menguning dan seringai penuh kemenangan membuat Naruto bangkit dan merebut surat yang sudah terlebih dahulu Sasuke sembunyikan di balik punggung. Wajah itu sudah memerah karena Sasuke sengaja membaca bagian yang dia coret.

"Kembalikaaaann!" Naruto yang kalah cepat merengut, Sasuke memutar bola mata dan diam-diam menyelipkan surat itu di saku belakangnya. "Jadi Naruto, apa kau sudah lebih tampan dariku?"

Naruto mundur dan kemudian duduk bersandar di ranjangnya, dia yang merasa kalah cuma menunduk kemudian detik berikutnya kembali mendongak menatap Sasuke dengan alis yang terangkat sebelah. "Aku jadi pengantinmu?" Si pirang memasang pose berpikir yang membuat Sasuke muak.

"Mmm bagaimana ya?"

"Kau tidak mau?" Sasuke berdelik tajam membuat sebulir keringat mengalir di pelipis Naruto. "Baiklah tuan, Sasuke. Tapi setelah kita yakinkan orang tuamu." Naruto meringis pelan mengingat hal penting seperti itu.

Sasuke mendengus kemudian berlutut di hadapan Naruto dan meraih dagu kecoklatan itu. Satu kecupan di dahi disusul di seluruh wajah dan berakhir di bibir manis Naruto. "Mereka tidak akan menolak kalau itu kau, Naruto." Napas segar Sasuke di hadapan wajahnya memaksa Naruto membuka mata—sempat terbuai dengan hujaman ciuman dari Sasuke.

Naruto tersenyum manis, "Semoga." Sasuke akhirnya tersenyum dan memeluk pemuda di hadapannya, menyalurkan permintaan maaf tak tersirat yang tak cukup walau sekali bagi Sasuke untuk menebus semua kesalahannya pada Naruto. Orang yang mencintainya dengan tulus dari hati.

Tangan hangat Naruto bergerak di punggung Sasuke, diam sekalipun Naruto tahu Sasuke masih meminta maaf. "Kau tahu aku sudah memafkanmu, Sasuke."

"Hn, Dobe."

Jika sepuluh tahun tak cukup maka dia akan menunggu lebih lama lagi, itu janji Naruto. Hingga akhirnya penantian dua belas tahunnya terbalas dengan Sasuke yang datang membawa dua surat yang menyimpan semua kenangan yang sempat terlupakan sepihak.

Setidaknya dia dan Sasuke sudah belajar untuk jadi lebih dewasa dan menghadapi perjalan mereka yang masih panjang. Namun dalam hati mereka percaya tak akan ada lagi janji yang diingkari.

FIN

Well, lagi-lagi saya minta maaf untuk keterlambatan ini. Karena suatu event yang mendadak weekend kemarin, sy tidak bisa melanjutkan fic ini. Thank God, dosen sy ada yg dismiss jd bisa saya kebut sampai pagi ini =,=

Sy tahu ceritanya rada maksa. To be honest, sy sempat bingung buat milih kalimat yg cocok diucapkan anak umur 6 tahun di suratnya. Haha! Makanya sy buat sesuai karakter mereka saja.

Again thank u so much buat yg baca dan review fic ini ataupun kalian yang fav, follow, dan yang pasti juga buat silent reader sekalian :* I am nothing without you, Minna! ^^

Oh iya, untuk isi surat Naruto, yang dalam kurung () itu sebenarnya dicoret sm Naruto tp masih bisa kebaca sm si Sasuke. Aslinya itu emg sy coret tp kayaknya ga berfungsi simbolnya di ffn ._. jd terpaksa sy edit ulang jd () LMAO

Best Regards,

Kitsune Haru Hachi