Chapter 1 : 分離と面会(Perpisahan dan Pertemuan)


Hotaru in :

Dedicate for all reader yang sudah mereview dan mendukung karya-karya Ho sebelumnya.

NARUTO FANFICTION

Angel? No Devil!

Diclaimer : Naruto ©Masashi Kishimoto

Angel? No Devil!©Hotaru

Genre : Romance, H/C, Fantasy

Rate : T+

Pairing : Naruto x Hinata

Warning : OOC, MISSTYPO(S), GAJE

Bagi yang anti NaruHina disarankan segera tekan tombol back!

Tidak menerima flame yang tidak bertanggungjawab dan tidak rasional

Sangat terbuka untuk kritik dan saran

Don't Like Don't Read!

.

.

.

.

Deal!

はじめ

.

.


Apa malaikat itu ada?

Kalau ada, Dimanakah mereka berada?

Seperti apa wujudnya?

Apakah tampan rupawan? Atau cantik mempesona?

Apakah aku nanti bisa bertemu dengan mereka?

.


.

Dingin angin malam bulan Desember kembali berhembus kencang bagaikan gulungan ombak kasat mata yang bergerak tanpa putus ke selatan kota Konoha. Kota yang sudah berselimutkan salju sejak pagi menjelang itu kini terlihat anggun mempesona dalam keheningan malam.

Rasa dingin yang menggigit menyebar, menyapu rata hingga pelosok seakan tak ingin melewatkan satu sudut pun. Tidak terkecuali pada bangunan putih bertingkat enam yang seluruh pintu dan jendelanya tertutup rapat, seolah tak membiarkan penghuni di dalam terusik dingin yang melanda.

Ralat― tidak semua jendela tertutup rapat.

Hembusan kencang berhasil menyibak sepasang tirai salah satu jendela di lantai tertinggi hingga bergeser ke kedua sisi.

Tanpa ampun angin yang dapat membuat tubuh menggigil menerobos masuk, kemudian menerpa seseorang yang tampak tak terusik dengan hawa dingin yang terus berputar menurunkan derajat suhu dalam ruangan.

.

Penghuni kamar tersebut tak lain ialah seorang gadis. Kulit putih bersih yang dapat menyaingi salju, rambut panjang berwarna hampir sekelam malam, dan mata indah seindah kilau amethyst tertimpa sinar rembulan.

Seribu sayang…

Amethyst yang seharusnya berkilau penuh pesona tampak redup bagai kehilangan sinarnya.

.

Duduk tenang dipinggir ranjang putih khas rumah sakit, kaki mungil kurusnya ia biarkan menggantung beberapa inci dari lantai dan mengayun pelan. Sekilas... ruangan itu tampak sunyi dan tenang. Tetapi kalau diperhatikan dengan jelas, terdengar sayup-sayup suara merdu seseorang sedang bernyanyi. Suara yang entah kenapa semakin menambah atmosfer kesuraman di sana.

.

Lalu, siapa yang sedang bernyanyi? Bukankah sudah jelas hanya ada seorang gadis di kamar itu?

.

Sorot mata yang menatap lurus ke depan seolah dapat melihat gerangan di balik tembok putih memang terlihat kosong. Tetapi lihat, bibir mungil berwarna peach pucat itu bergerak bukan?

Lalu, apa yang dinyanyikannya?

.

Entahlah, hanya gadis itu dan Kami-sama yang tahu.

.

.

.


.

.

.

Terdengar lagi dari arah yang sama...

.

Naruto menghentikan pergerakan seketika ketika indera pendengarnya yang tajam kembali mendengar suara tak asing. Sebuah nyanyian merdu namun terdengar sangat sedih. Lagi... terdengar dari arah yang sama setiap ia melintas di tempat tersebut.

Gedung rumah sakit Konoha.

Tak jauh dari Naruto, Sasuke otomatis ikut berhenti merasakan ketiadaan gerakan rekan sekaligus sahabat yang sejak tadi mengekorinya di belakang. Alisnya sedikit terangkat heran mengikuti arah pandang Naruto.

"Nyanyian menyedihkan itu lagi." Komentar Sasuke datar ketika memahami sesuatu. Sayup-sayup telinganya juga menangkap suara yang diyakini menjadi sebab utama pemuda pirang itu berhenti.

.

Sebuah nyanyian yang terasa menyayat hati,

.

Ketiadaan respon Naruto membuat Sasuke kembali berbalik ke tujuan awal mereka setelah sebelumnya diam beberapa saat mengawasi gesture rekannya dengan sepasang mata tajam yang menyorot penuh arti.

"Jangan berpikir untuk sengaja melibatkan diri." Sasuke memperingatkan, nada tajam dan dingin sengaja diselipkan. Kembali ditatapnya Naruto dari balik bahu, memandang sosok blonde yang masih terfokus pada satu titik.

Ada sedikit kilatan kelembutan terpancar samar dari sorot tajam bak elang. Sangat samar. Tidak akan ada yang sadar dengan kilatan yang bertengger di wajah minus ekspresi Sasuke, meskipun berada tepat di depan wajah dan menatapnya langsung ke dalam sana karena pemuda itu terlalu pintar mengatur ekspresi.

"Bergegaslah, kita sudah terlambat." Ujarnya kemudian dan kembali bergerak, melesat cepat meninggalkan sosok dibelakangnya yang masih mematung.

.

Sebuah nyanyian yang membuat tubuh ini terhisap dan hati ini terpikat.

.

Sasuke mendengus keras merasakan pergerakan sang sahabat yang justru berlawanan arah menjauhi tujuan awal mereka.

"Aku sudah memperingatkan, kau yang memilih." Gerutunya tanpa berbalik maupun mengurangi kecepatan. Sedikit meruntuki tindakan Naruto yang kebodohannya tidak pernah berkurang.

.

"Maaf , Sasuke." Suara Naruto terdengar lirih, meminta maaf atas tindakan egois yang baru saja dilakukannya ke dalam kepala Sasuke.

.

Hingga hasrat terdorong untuk membuat keputusan itu.

.

Sesaat Sasuke terdiam, tidak tahu harus bicara apa. Naruto yang penuh dengan kekoyolan bodoh dalam setiap ucapannya tidak lagi dia dirasakan. Terlebih lagi namanya juga disebut dengan benar dan jelas, tak pelak membuat dahi mulusnya terlihat sedikit mengkerut.

Bukan, —bukannya Sasuke tidak senang akhirnya Naruto memanggil namanya dengan benar, —mengingat julukan-julukan konyol Naruto yang selalu ditujukan padanya, hal ini justru semakin menunjukan keseriusan dalam perkataan sang pemuda pemilik rambut yang sewarna dengan jagung.

Naruto―saat ini―benar-benar meminta maaf pada Sasuke. Astaga.

.

"Kalau tidak bodoh, bukan kau namanya, Dobe." Akhirnya Sasuke memutuskan merespon perkataan Naruto, tidak lupa sebuah dengusan mengejek ikut terlontar.

"Bwahaha! Terima kasih pujiannya." Sahut Naruto ringan beserta cengiran tiga jari khasnya ketika menangkap sedikit sarkasme yang terselip dalam nada datar Sasuke.

"Aku tidak memujimu." Sasuke memutar bola matanya malas. Menghela nafas letih menghadapi tingkah konyol Naruto yang kumat mendadak. Benar kan, kebodohan rekannya ini tidak pernah berkurang. Pada saat ini pun Naruto masih saja bersikap konyol.

Meski begitu Sasuke sadar, sebodoh-bodohnya Naruto ia yakin rekannya itu paham apa yang akan terjadi nanti kalau dirinya tetap keras kepala.

"Aku tahu." Senyum kecil tersungging di bibir tipis pria berkulit tan itu. Nada suaranya tidak biasa, seolah menyadari apa yang tengah Sasuke risaukan. "Terima kasih, sudah menemaniku selama ini." Naruto kembali berucap, kali ini dengan lebih tulus.

.

" Tidak ada yang tahan dengan ocehanmu selain aku." Tukas Sasuke sarkastik, mau tak mau seringai kecil nan menyebalkan yang selalu menjadi trendmark pemuda itu terpeta jelas di pikiran Naruto.

"Dan tidak ada yang tahan dengan sikapmu yang menyebalkan selain aku!" tak mau kalah Naruto membalas lontaran tajam Sasuke.

"Terima kasih." Tanggap Sasuke narsis. Nada datar penuh tersisip kepercayaan diri yang begitu tinggi berhasil meng- counterback perkataan Naruto dalam sekejap.

"Aku tidak memujimu, Teme!" Bentak Naruto, balik menyuarakan protes seperti yang dilakukan sahabatnya tadi. —Lho?! kenapa keadaannya jadi berbalik gini? "Oh, Astaga! kenapa nada berbicaramu selalu berkali-kali lipat lebih menyebalkan dibanding aku heh?! Groaahh! Baka! Kuso! Aho!" Umpatan kekesalan yang meluncur langsung disambut dengan kekehan sinis Sasuke.

"Usuratonkachi." Kekehan Sasuke semakin jelas terdengar menggema dalam kepala Naruto.

"Teme da…!"

Naruto menggeram. Ingin menyumpal mulut berbisa Sasuke yang tidak pernah kehabisan stock kata-kata pedas dengan batu atau merekatkan kedua bibirnya dengan lem agar tidak ada satu katapun yang lolos dari sana.

Meski begitu kesal, rasa geli kembali menggelitik pemuda itu dan menggantikan kekesalan yang tiba-tiba terbit karena ulah sahabat raven―yang gemar memancing emosi melalui perdebatan tidak penting setiap mereka berbicara―tatkala sebuah pikiran terlintas; cepat atau lambat ia akan merindukan sikap menyebalkan sahabat sekaligus rival ajaibnya. Karena Naruto sadar, ini kali terakhir kemungkinan mereka bertemu dan bertelepati.

Keputusannya sudah bulat.

.

Ya, keputusannya sudah bulat.

.

.

Tepatnya sebulan yang lalu, pertama kali tanpa sengaja Naruto mendengar sebuah nyayian ditengah langkah kaki santainya menuju pusat kota. Nyanyian aneh bervolume rendah, tersamarkan dengan apik ditengah hiruk pikuk kesibukan penduduk kota. Hanya Naruto yang bisa menangkap suara sekecil itu.

Semenjak saat itu dengan alasan yang tidak bisa dijelaskan, nyanyian tersebut selalu terdengar berulang kali di kepalanya. Menggema bagai kaset rusak yang terus memutar lagu yang sama. Berkali-kali Naruto berupaya menepis nyanyian tersebut dari pikirannya, berulang kali pula Naruto mengalami kegagalan serupa.

Suara lembut nan indah, tersirat penuh dengan rasa kesedihan, kekecewaan, dan kekosongan. Suara itu terasa bagai bisikan yang memerintahkan tiap sel dalam tubuhnya untuk bergerak mendatangi tempat dari mana suara tersebut berasal. Bisikan serupa hasutan yang selalu dilakukan mereka diwaktu senggang.

Tidak pernah terlintas sedikitpun dalam benak Naruto bahkan Sasuke−Naruto menjamin−kalau dirinya akan merasakan sendiri bagaimana rasanya terhasut.

'Sial'

Memikiran hal itu sungguh membuatnya tertawa. Masih tak percaya, bisa-bisanya ia berani mengambil langkah ini. Sungguh, betapa terkutuknya wahai pemilik suara indah yang menarik makhluk sepertinya.

Naruto benar-benar dalam masalah besar kali ini.

.

Keputusan yang sangat besar.

.

"Aku akan melapor; para Cyclops jatuh cinta padamu. Mereka menguliti kulitmu dan menjadikannya sebagai pakaian dalam, memotong kepalamu yang mencolok sebagai liontin kalung, dan memotong daging berserta tulangmu untuk persediaan makanan dan memasukan sebagian ke dalam panci untuk dijadikan sup makan malam mereka." Sasuke berkata datar, ia menghentikan gerakannya kemudian menjulurkan tangan kanannya ke depan.

Tawa Naruto mau tak mau kembali meledak mendengar rentetan kronologis konyol yang jabarkan Sasuke sebagai alasan ketiadaan dirinya nanti.

Sejak kapan para Cyclops—raksasa idiot bermata satu berkulit pink dan hijau muda dengan gada besar berduri yang selalu dibawa kemana-mana sebagai senjata—gemar memakai pakaian dalam, memakai aksesoris seperti kalung, dan repot memasak sup untuk makan malam? Para Cyclops idiot itu menelan bulat-bulat mangsanya masih dalam keadaan hidup saat lapar, mereka terlalu bodoh untuk berinisiatif membunuh makanannya terlebih dahulu, bahkan untuk mengunyah pun tidak akan terlintas dalam pikiran para Cyclops. Lagi pula, satu battalion Cyclops kelaparan yang sedang mengamuk tidak akan mampu membuat makhluk sepertinya tergores. Kejeniusan Sasuke benar-benar harus dipertanyakan, ia sangat buruk dalam mengarang sebuah alasan―terlebih kalau dilakukan terpaksa seperti sekarang.

.

Suara hantaman petir yang menyambar dan membakar sebuah bangunan terdengar memekakkan telinga dibelakang Naruto. Naruto tahu itu bukanlah suara petir biasa dan tidak ada satu pun bangunan yang rusak tersambar petir, bahkan keberadaan akan petir itu sendiri di langit pun tidak ada meskipun langit malam ini terlihat mendung. Tanpa menoleh Naruto bisa merasakan, suara seram hasil perbuatan Sasuke yang sedang membuka sebuah gerbang menuju dunia asal mereka dengan kekuatannya sendiri.

.

Keputusan untuk…

.

"Jaga dirimu baik-baik. Naruto."

Naruto menyunggingkan senyum kecil mendengar Sasuke menyebut namanya dengan benar. Jarang-jarang pria itu mau memanggil namanya, hanya saat-saat tertentu saja Sasuke melakukannya dengan benar dalam ribuan tahun kebersamaan mereka, dan Naruto berani bertaruh kejadian langka itu bisa dihitung dengan jarinya. Ya, kejadian langka seperti saat ini…

"Kau juga."

"Beritahu aku jika kau mem—"

"Aku tahu." Potong Naruto, ia menghentikan pergerakan tanpa menoleh ke belakang. "Kau selalu bisa aku andalkan." Ucapnya mantap.

Sasuke terdiam, onyx-nya menatap kosong lubang berwarna ungu kehitaman yang baru saja dibuatnya. Lubang itu terlihat seperti muncul dari sobekan mengerikan yang muncul di tengah-tengah langit, didalamnya terdapat banyak sekali petir hitam berukuran raksasa bergerak tak tentu seolah akan menyambar sesuatu yang mencoba masuk. Disisi lain lubang tersebut tampak seperti terowongan yang terhubung ke suatu tempat mengerikan di dimensi lain. Tempat yang gelap, tandus, dan penuh dengan hawa kematian.

Sasuke tidak tahu harus bagaimana mengomentari ucapan Naruto, paham betul sahabatnya tidak akan pernah membiarkan ia terlibat dalam masalah seperti ini—walau kenyataannya Naruto selalu membuatnya dalam masalah, tetapi kali ini berbeda. Naruto, tidak akan pernah menyeretnya untuk ikut terjerumus dalam masalah yang akan mengubah eksistensinya selama ribuan tahun di dunia ini.

Sasuke mendesah pelan. Pemuda itu sudah mendapat firasat beberapa hari sebelumnya sehingga kejadian ini tidak membuatnya terkejut. Hanya satu yang Sasuke tidak pahami; tujuan Naruto. Sasuke benar-benar tidak mengerti apa yang dipikirkan sahabatnya itu sampai memilih jalan ini.

Meskipun cukup kecewa dengan keputusan yang diambil Naruto, Sasuke tetap menghargai apapun yang sahabatnya pilih untuk….

"Sampai jumpa." Sasuke perlahan bergerak maju memasuki lubang itu.

.

Tinggal di dunia manusia.

.

"Sampaikan permintaan maafku untuk mereka." Naruto kembali bergerak menuju sebuah gedung putih bertingkat enam. Rumah sakit Konoha.

Dimana suara itu berasal...

"Ya."

Naruto tidak lagi merasakan keberadaan Sasuke dan kontak telepatinya terputus begitu saja setelah mendengar jawaban singkatnya.

Kini, sudah terlambat baginya untuk menarik kembali keputusan. Yah... walaupun tidak mungkin hal itu terjadi. Naruto tidak pernah menarik kembali kata-kata yang sudah diputuskannya, karena itu adalah pilihannya sebagai bentuk untuk menikmati eksistensinya di dunia keabadian yang sedikit membosankan agar ia dapat merasa lebih hidup dan memiliki arti.

Jadi, jangan berharap Naruto akan mundur. Itu mustahil.

.

.


.

.

.

Hyuuga Hinata, menjejakkan kaki ke lantai marmer putih yang berada tepat dibawah ranjang. Dinginnya marmer terasa langsung menyengat telapak kaki telanjangnya dan menjalar cepat hingga ke seluruh tubuh seperti aliran listrik bertegangan tinggi. Tulang-tulang di seluruh tubuhnya dalam sekejap terasa ngilu melebihi saat menggigit es batu dengan gigi sensitif atau mendengar suara seseorang mencakar sebuah papan tulis kapur dengan sengaja, —oh, atau denging bor ketika melubangi gigi-gigi sehat dalam mulut. Yah bagaimanapun rasanya itu Hinata tidak peduli.

Dilangkahkan kakinya perlahan menuju tirai jendela yang berkibar pelan, raut wajah yang tidak terbaca seakan menggambarkan tidak sedikitpun dirinya merasakan sakit meski kenyataan berkata lain.

Ya, Hinata bukannya tidak merasakan semua itu; cuaca dingin, tulang-tulang kurusnya yang menjerit ngilu, juga sakit yang dideritanya sejak lama. Hinata bukanlah sebuah robot atau benda mati yang tidak merasakan apapun.

Hinata hanya berusaha untuk tidak merasakan apa yang dirasakannya, ia tidak ingin membuang waktunya di dunia yang tinggal sedikit hanya untuk meratapi penyakit yang menghinggapi tubuh, juga garis takdir yang selalu tidak berpihak.

Oleh karena itu, Hinata hanya ingin berkonsentrasi untuk menikmati rasa syukur yang Kami sudah berikan.

Bersyukur ia masih diberikan hidup hingga umurnya tujuh belas tahun saat ini.

Bersyukur bahwa ia lahir di keluarga terpandang dan berlebih materi.

Bersyukur bahwa ia bisa mendapatkan semua barang yang ia inginkan.

Perawatan terbaik di tempat terbaik dengan pelayanan terbaik dan tindakan terbaik di kota kelahirannya, Konoha.

Ya…

Meski tanpa keluarga atau teman yang mengunjunginya.

.

Serindu apapun Hinata kepada Ibunya, ia tahu tidak akan pernah dapat bertemu kembali, karena mereka sudah berbeda alam. Lain dengan Ayahnya yang masih hidup, meskipun bisa bertemu tetapi Hinata tidak bisa meminta untuk datang mengunjunginya setiap hari. Kesibukan Ayahnya yang sering berpergian keluar negeri mengurusi bisnis tidak memungkinkan hal itu terjadi, bahkan sekedar untuk menelepon menanyakan kabarnya…

Hati kecil Hinata mengatakan bahwa Ayahnya sedang menenggalamkan diri dengan semua pekerjaannya, tepat setelah Ibunya meninggal karena melahirkan adik perempuannya…

Dan hubungan Hinata dengan adik perempuannya tidak berjalan baik, dia membenci Hinata yang bertubuh lemah dan sering keluar masuk rumah sakit, beranggapan Hinata selalu menggunakan alasan tubuhnya yang lemah untuk menarik perhatian Ayah mereka. Terlebih lagi setelah intensitas betapa seringnya Hinata dilarikan ke UGD setahun terakhir ini, membuat Ayah mereka akhirnya mau pulang juga ke kota Konoha...

Walaupun hanya satu kali…

Adiknya, lebih memilih untuk bersenang-senang diluar bersama teman-temannya, menghamburkan uang yang diberikan Ayah mereka sebagai bentuk pelarian dari kurangnya perhatian dan tuduhan Ayah yang selalu memandangnya sebagai penyebab kematian Ibu.

Memiliki dan tidak memiliki keluarga itu, sama saja bagi Hinata…

Tidak ada kehangatan…

Tidak ada kasih sayang…

Biasanya pada saat seperti ini kehadiran seorang teman untuk berbagi cerita suka duka dan saling menguatkan saat salah satu dari mereka bersedih sangat tepat.

Tetapi…

Hinata tidak pernah memilikinya…

Sejak kecil Hinata hanya diperbolehkan home schooling, tubuhnya tidak mampu melakukan kegiatan sekolah seperti kebanyakan orang normal pada umumnya, meskipun kemampuan akademis Hinata bisa dikategorikan di atas rata-rata.

Sedih?

Sudah lama rasanya Hinata tidak mengeluarkan air mata saat sedang bersedih, entah karena dulu dirinya terlalu sering menangis hingga membuat air matanya seakan kering, atau karena hatinya menjadi kebas dan bebal atau factor lainnya—Hinata tidak mau memikirkannya—membuatnya lupa bagaimana rasanya 'rasa sedih' itu.

Sepi?

Hinata sendiri bingung bagaimana rasanya sepi, ia sudah terbiasa diam sendirian di tempat sepi seperti sekarang ini. Dan lagi, keramaian membuatnya pusing, Hinata tidak menyukai itu, ia lebih suka tempat yang tenang dan tidak ada seorangpun mengganggu waktu damainya. Jadi bisa dibilang, Hinata menikmati 'rasa sepi ' itu sendiri. Kalau ditanya sepi dalam konteks yang lain, Hinata tidak tau konteks kalau 'rasa sepi' memiliki konteks lain—dan lagi, Hinata tidak mau memikirkannya.

Bosan?

Banyak fasilitas yang ada di kamar ini. Mulai dari TV, internet, laptop, smartphone, segala macam jenis game, dan buku-buku menarik yang selalu dipesannya melalui situs online.

Well, setidaknya Hinata tahu bagaimana cara mengusir rasa bosan.

.

Apa malaikat itu ada?

Langkah kaki kecil Hinata berhenti di dekat jendela.

Kalau ada, Dimanakah mereka berada?

Diraihnya tirai putih yang tersibak di kedua sisi jendela itu, bermaksud untuk menutup kembali jendela yang sengaja dibukanya lebar-lebar.

Seperti apa wujudnya?

Sampai nyanyian lirih dan gerakannya terhenti seketika saat dirinya menangkap sesosok yang datang menghampiri dan bertengger santai di atas jendela…

Apakah tampan rupawan? Atau cantik mempesona?

Sosok seorang pemuda berusia sekitar tiga atau empat tahun di atasnya, tampan rupawan dengan tiga garis kembar mirip kumis kucing di pipinya, rambut jabrik berwarna pirang cerah yang berkibar halus saat tertiup angin seakan bersinar terang, kedua kelereng mata bak sapphire berkilau memukau, menyorot tegas langsung ke dalam amethyst Hinata, bibir tipisnya tersenyum lebar hingga menampakan deretan gigi putih rapi yang mengingatkan Hinata pada senyuman sebuah iklan pasta gigi di TV dan jangan lupakan sepasang sayap di balik punggungnya.

Tunggu!

Sayap…?

Apakah aku nanti bisa bertemu dengan mereka?.

.

Mata Hinata melebar, menghancurkan wajah tanpa ekspresi yang selalu dipakainya beberapa tahun belakangan begitu melihat sepasang sayap sungguhan tampak menyembul di balik punggung pemuda itu, sayap yang terlihat menyeramkan sekaligus memesona disaat yang sama.

'Itu benar-benar sayap?'

Sayap itu terlihat melebar, berwarna putih dengan tekstur keras seperti seonggok tulang bergerigi yang meruncing disetiap sudut, selaput transparan tipis membentang sepanjang lekukan indah tulang-tulang berbentuk menyeramkan di atasnya, selaput itu juga terdapat pada renggangan diantara dua tulang,—bentuknya mengingatkan Hinata pada sayap salah satu monster pada sebuah game yang pernah dimainkannya bernama illidian.

Sangat mengerikan, tetapi sungguh memukau mata.

Kembali tersentak ke alam nyata, Hinata menyadari tangan kanannya sudah diraih oleh pemuda asing yang−entah sejak kapan−sudah masuk ke dalam ruangan. Setengah membungkuk, ia menarik perlahan tangannya mendekat kemudian mencium punggung tangan Hinata. Matanya terpejam dan Hinata melihatnya menarik nafas panjang perlahan seakan tengah menikmati aroma memabukan yang menguar dari sana. Adegan bak pangeran yang bertemu tuan putri pujaannya tidak serta merta membuat Hinata terpesona karena rasa terkejutnya jauh lebih besar daripada rasa malunya. Otaknya mendadak macet untuk bereaksi sebagaimana mestinya. Terlebih lagi ketika matanya kembali teralihkan saat melihat pergerakan kecil dari sayap tulang itu.

Hinata melihat dengan pandangan takjub—sangat takjub malah—sayap yang semula terbuka lebar tadi kini mengatup perlahan, mungkin menyadari ini dalam ruangan. Dirinya semakin takjub menyadari fakta bahwa sayap tersebut benar-benar menempel—Hinata menganggapnya seperti itu—pada punggung yang tak tertutup pakaian apapun, pemuda itu hanya memakai celana panjang berbahan kulit dengan kaitan di sana sini dan entah berapa banyak jumlah saku tertutup reselting bertebaran di sepanjang kakinya—mau tak mau Hinata teringat pada style gothic asal Jerman yang sering ditiru masyarakat Jepang, hanya saja celananya berwarna putih bukan hitam—gothic identik dengan hitam.

"Namaku Naruto. Nyanyianmu memanggilku, Hime." Suara baritone yang terdengar merdu ditelinga Hinata penuh dengan nada memuja.−Meski agak terendam dibalik punggung tangan− membuat pandangan Hinata yang semula focus pada punggung dengan sayap beralih menatap wajah rupawan yang kini sudah membuka kelopak mata dan menampilkan kembali permata sapphire mempesona yang sempat dilihatnya.

Keindahan dan kejernihan mata sebiru lautan, membuat Hinata tidak dapat berpaling untuk tidak menatapnya. Hinata merasa dirinya seakan terhisap dan larut melebur dalam lautan biru itu. Sungguh sangat memukau.

"Malaikat?!" tanpa sadar kata itu terucap spontan dari mulut Hinata yang terus saja menganga sejak tadi.

Raut wajah geli dan tawa kecil lolos dari sosok memukau yang mengaku bernama Naruto.

Naruto menyunggingkan senyum menawan yang sanggup melelehkan siapa saja yang melihatnya seraya berkata "Bukan, tetapi iblis."

.

.

.

.

.

終わり/つづく

.

.

.

A/n : jujur… Ho lagi-lagi gk pede mau publish apa gk ya… soalnya ide Ho benar-benar buruk apalagi kalo harus bikin tbc. Jadi sisanya Ho serahkan pada reader. Minat tuk review? Kira-kira end/TBC yah?

Istilah :

Dobe : Bodoh/idiot (julukan untuk orang)

Teme : Breangsek (julukan untuk orang)

Usuratonkachi…! : Cerewet (Julukan untuk orang)

Teme da : Dasar brengsek (makian)

Baka! : Bodoh! (makian)

Kuso! : Sialan! (makian)

Aho! : Tolol! (makian)


Akhir kata Ho ucapkan

本当にありがとうございます

Hotaru Out.