3600


-disclaimer-

Inspired by Love Phobia. I was adapting the plots and charas not mine. Copy-paste is allowed as long as it's just for re-read. I beg you to don't disclaiming it as yours.

genres: sweet-angst (bitteromance)
rating: T (PG-12)
length: twoshoot

warn(s): Shounen-Ai | OOC | AU | EYD-failure | Kleenex-warning

p/s: LONG! This is a very-very long fanfiction. Baca ketika sedang luang saja :)


-forewords-

Baekhyun tak pernah bermaksud menolak Chanyeol; Chanyeol hanya berpikir jika Baekhyun terlalu takut…


Az, with nonsense things followed…

presented

3600


.

.

.


Terkadang, bagai hembus angin yang tak kita ketahui akan ke mana mereka terarah; begitupun halnya seperti cinta. Meski kadangkala telah sampai haru-biru dan lecet lebam, mungkin cintanya hanya sebentar dipedulikan. Cinta seperti inilah yang kadang menyelekit, namun amat manis.

Butuh waktu lama untuk dapat menyampaikannya. Butuh waktu lama untuk menyadarinya. Dan butuh waktu teramat lama bahkan untuk menerima keadaannya.

Itulah yang terpelik; di saat di mana seorang akan berdiri-duduk, jatuh-bangun, kejar-tangkap—tapi objeknya hanya berupa bayangan. Tenggelam dalam keterpurukan, merasa kesendirian dan kebahagiaan sekaligus, menyesapi betapa indah sekaligus perihnya ketika kebersamaan itu terjalin dahulu.

Meski terkadang akhir cinta yang seperti ini tidaklah mudah, beberapa yang yakin akan kuat-kuat menggeleng—meski itu harus beribu kalipun. Karena kisah mereka adalah seperti dongeng semasa kecilnya. Namun anehnya, sekali lagi… Kisah cinta itu berakhir dengan sangat indah.


3600


Chanyeol masih ingat betul akan rupa kekasihnya. Tidak sama sekali terhapus. Karena ia percaya, apa yang tersimpan dalam hati ialah yang terbaik; maka itu ia memilih untuk menyimpan keping hatinya rapat-rapat.

Sewaktu usianya tujuh tahun (pertama kali ia bertemu dengan kekasihnya), Chanyeol telah merasa hidupnya berubah untuk selamanya. Ia tahu banyak orang penasaran ketika dia mengatakannya. Tapi…, Chanyeol selalu akan membalas ujaran mereka dengan mengatakan sesuatu yang berbau nonsense.

Chanyeol bilang ia suka Matematika. Chanyeol menyukai warna kuning. Dan Chanyeol tergila-gila pada apapun yang menyangkut kadal.

…karena kekasihnya pun melakukan itu.

Dan, mereka balik menatap Chanyeol dengan heran seakan mencoba membayangkan apa kiranya yang terjadi ketika itu, walaupun Chanyeol jarang (bahkan enggan) berusaha menjelaskan. Sebab ia telah tinggal di Bumi selama hampir seluruh hidupnya, ia tidak merasa perlu untuk menjelaskan kecuali jika dirinya mau, dan itu akan menyita waktu lebih lama ketimbang yang akan disisihkan oleh kebanyakan orang.

Kalaupun Chanyeol ingin bertutur jujur, kisahnya tidak akan dapat dirangkum dalam dua atau tiga kalimat saja… Juga tidak dapat dikemas secara ringkas dan sederhana sehingga orang-orang dapat langsung memahaminya. Terlampau sukar. Meskipun sudah lebih dari sepuluh tahun berlalu sejak itu, mereka yang masih tinggal di sini dan sudah mengenalnya sejak tahun itu menerima keengganan Chanyeol dalam menjelaskan tanpa mempertanyakannya.

Chanyeol berusia 37 tahun sekarang, namun dia masih bisa mengingat semua yang terjadi di tahun-tahun kenangan itu dengan mendetail. Ia masih bujang, dan ia masih sering memikirkan kejadian di tahun-tahun yang telah lalu, membayangkannya kembali. Karena ia menyadari bahwa setiap kali ia melakukannya, Chanyeol selalu merasakan kombinasi aneh antara kegembiraan dan kesedihan.

Tapi… Ada saat-saat ketika Chanyeol berharap dapat memutar kembali jarum jam dan meniadakan semua kesedihan di sana… Namun perasaannya mengatakan bahwa kalau ia sampai melakukannya, saat yang menyenangkan itu juga akan ikut hilang bersamaan dengan leburnya harapan semu untuk bersua dengan keping hatinya.

Jadi Chanyeol memilih untuk menerima semua kenangan itu apa adanya. Memilih untuk menerima semuanya, membiarkannya menuntun dirinya setiap kali ia bisa. Hal itu terjadi lebih sering daripada yang disadari olehnya.

Langit tampak gelap dan kelabu, namun sewaktu Chanyeol menyusuri jalanan, ia melihat tanaman dogwoods dan azalea tengah bermekaran dalam waktu bersamaan. Ia menaikkan ritsleting jaketnya sedikit demi sedikit. Apron masaknya melekat dengan kebanggaan tersendiri, tersemat rapih karena diikat dengan simpul sederhana. Udara terasa sejuk, meskipun ia sendiri tahu dalam waktu beberapa minggu lagi cuaca akan lebih menyenangkan, dan langit yang kelabu akan berangsur menjadi hari-hari yang membuat tempat ini menjadi salah satu daerah paling cantik di dunia ini.

Dan, tentu saja. Sekarang salju mulai merintik lemah. Chanyeol menghela napas, dan merasakan semuanya kembali…

Matanya terpejam, dan tahun-tahun itu mulai bergerak merasuki dirinya. Perlahan-lahan seolah mundur ke masa lalu, seperti jarum jam yang berputar dengan arah berlawanan. Seakan melalui mata orang lain, Chanyeol melihat dirinya menjadi makin lama semakin muda.

Saat Chanyeol membuka mata, ia begitu terhenyak. Dirinya transparan namun entah mengapa ia seolah dapat melihat dengan mata kepalanya sendiri. Ia sedang berada di Vihara dengan lonceng tua besarnya, saat dia memandang ujung jalanan itu. Di depan anak kecil berjas hujan kuning cerah. Dia ada di sana…


3600


1st

1x1 = 3600

"Jangan pernah kau sentuh aku selama kau percaya kita teman."

Daun-daun ek tengah terserak dan terhempas angin pagi. Dingin menusuk, meski itu telah masuk hitungan musim gugur. Kini dengan gerakan terlampau semangat, seorang anak laki-laki menghambur keluar dari dalam salah satu Vihara tua itu dengan sebelumnya mendorong pintu kayunya.

Anak itu tersenyum dengan cerah seakan mentari menyambut tanpa beban. Ia memakai sepatu merah mencoloknya dengan cepat. Sedang dari arah depan ada biksu tua bersahaja menapaki halaman depan, mondar-mandir dengan agak linglung sebelum akhirnya menghampiri si anak seraya menatap dengan selidik.

Biksu itu terlihat kebingungan sampai si anak berjas hujan kuning menengadahkan kepala dan memberinya satu senyuman pembuka hari. Cerah sekali.

Anak itu berlari kecil, membalikkan badan, kemudian melambai dengan gerakan khas. Sang biksu membalas lewat senyum kecil ketika mengerti akan isyaratnya.

Bersama-sama mereka menapaki jalanan kecil yang menghubungkan Vihara ini dengan dunia luar. Tentu saja dengan si anak berada di depan, memimpin ekspedisi kecil ini. Sesekali ia melompat-lompat girang, tentu saja, apa lagi yang lebih menyenangkan ketimbang hari pertama bersekolah?

Meski anak itu cukup iseng, jangan ragukan ketaatannya. Ia sangat meyakini sang Buddha sampai-sampai biksu tua itu kebingungan mencari dia yang menghilang beberapa meter. Hingga desah napas lega biksu itu dapat terdengar ketika ia sadar bahwa sang anak hanya menyoja sebentar dengan batu-batu yang disusun. Sepertinya memohon agar harinya dimudahkan.

Perjalanan mereka tidak gampang. Keduanya harus turun bukit serta menyeberang danau kecil dahulu, namun anak itu tidak bergeming.

Di lain sisi, di waktu bersamaan; Park Chanyeol kecil tengah berada di boncengan sepeda ayahnya seraya bernyanyi sebuah tembang konyol.

"Bernyanyi di padang alang-alang…"

Ayahnya menyahut, "Kau burung tekukur kecil yang bersedih…"

"Burung kecil yang bersedih…"

Ayahnya tersenyum meski membelakanginya, terkadang melengkapi kata-kata yang rumpang dari nyanyian si keriting tampan. Barulah saat nada sumbang Chanyeol terdengar begitu jelas, "Cinta stroberiku yang tulus…" Ayahnya memprotes, "Nyanyianmu salah!"

Pria muda itu tetap mengayuh sepedanya meski tengah mengoreksi. "Harusnya nyanyikan seperti ini; Cinta stroberiku yang tulus…" kau mengerti?"

Chanyeol mengangguk enggan dan menggumam. Tampak sebuah tanda tanya ia simpan sejak anak itu menyanyikan lagu tersebut, "Memangnya cinta yang tulus itu apa, Ayah?"

"Itu artinya cinta yang sejati!" jawab ayahnya menggebu. Chanyeol masih belum mengerti, "Apa artinya?"

"Cinta yang tulus?" gumam ayahnya. Ia nampak berpikir dengan keras, "Uhm…, yah, maksudnya kurang lebih adalah cinta ketika kau mencintai satu orang untuk seumur hidupmu."

Chanyeol mengernyit. "Tapi kenapa cinta yang tulus itu seperti stroberi?"

Ayahnya mengerang. Ia mengerem sepeda dengan tiba-tiba dan menoleh dengan cepat pada Chanyeol yang memandang inosen. "Tugasmu cukup nyanyikan lagu sialan itu tanpa banyak tanya!" katanya.

Akhirnya Chanyeol mengalah; "Cinta stroberiku yang tulus…"

"Jika kau menolak cintaku…

apa yang akan aku lakukan?"

Mereka tidak sadar bahwa kendaraan roda dua itu telah membawa mereka melintas jembatan yang menghubungkan kota dengan desa. Kota di mana Chanyeol akan mulai bersekolah. Yang Chanyeol tahu dan lakukan hanyalah melanjutkan syair, "Aku akan sangat merindukanmu…"

"Itu akan menghancurkan hati—"

Pandangan Chanyeol terpaksa terpaku pada satu objek yang mencuri perhatiannya pagi itu. Nyanyiannya berhenti begitu saja ketika manik matanya menumbuk pada seorang anak seusianya—dengan jas hujan kuning dan sepatu merah mencolok—tersenyum dengan ramah kepadanya. Langkahnya kecil-kecil tapi tegas. Ada seorang biksu yang Chanyeol kira bijak, berjalan di sampingnya.


3600


Chanyeol dibuat berdansa lega ketika mengetahui ia juga bersekolah di tempat yang sama dengan anak itu. Bahkan, mereka semeja.

Namanya adalah Baekhyun. Anak berjas hujan kuning itu Byun Baekhyun. Kurang lebih itu yang ia katakan ketika sedang gilirannya memperkenalkan diri di depan kelas.

Baekhyun terus mengoceh, mengutarakan seputar dirinya, dan menceritakan tentang segala mengenai senangnya ia bisa bersekolah.

"—Apa kalian punya pertanyaan?" tutupnya mengakhiri sesi perkenalan singkat itu. Tapi seisi kelas tetap hening. Beberapa anak menggeleng dan ada pula yang menguap lebar. Tidak ada sambutan hingga Baekhyun terpaksa bertanya, "Mengapa kalian diam saja? Apakah kalian tidak senang melihatku?"

Sunyi lagi.

Baekhyun cemberut, "Mana ketua kelasnya?"

Seorang anak laki-laki culun dengan potongan rambut cepak dan berkacamata bulat, mengacungkan tangan dengan takut-takut. Ia berdiri berkat dorongan anak perempuan yang jadi teman sebangkunya. Baekhyun sumringah dan melirik tag namanya, "Jongin?"

Yang bersangkutan mengangguk.

"Kamu. Beri aku sebuah pertanyaan?" suruhnya.

"Me—Mengapa kau memakai jas hujan? Hari ini bahkan tidak hujan." cicit si anak berkacamata, Jongin. Ia memandang Baekhyun yang membalasnya dengan senyuman, "Ini untuk mencegah kutukanku agar tidak menyebar."

"HAAAH?"

Baekhyun menyengir seraya melanjutkan, "Tapi aku baik-baik saja. Pendeta Siwon dan Tirukaka selalu menemaniku.

"Tapi…, berhati-hatilah supaya tidak menyentuhku. Karena kutukannya mungkin akan menyebar…"

Jongin mendengus, kurang puas dengan apa yang Baekhyun katakan. "Apa yang akan terjadi jika kutukanmu menyebar?"

"Hmm," gumam Baekhyun, "ada seorang anak laki-laki yang patah tangannya ketika dia jatuh dari sepedanya.

"Pendeta Siwon terjatuh dari tebing setelah dia menyentuhku, dan anjing tetangga dimakan oleh pemiliknya sendiri…" jelasnya kemudian sambil bermimik lucu. Baekhyun mengerucutkan bibirnya, "Kutukan ini bermula ketika aku lahir."


Di sebuah ruang operasi, telah berhasil dilakukan pembedahan caesar terhadap seorang ibu muda yang terpaksa tidak bisa melakukan persalinan normal.

Ia melahirkan bayi laki-laki yang nampak begitu putih. Tanpa dosa dan matanya tipis. Bayi itu menguap sesekali ketika beberapa perawat yang bertugas memakaikan baju, membaringkannya di samping si ibu.


"Hari pertama yang kulihat adalah cahaya terang yang berbicara… Cahaya itu berkata, 'Kau adalah seorang Pangeran dari planet Epsilon. Tapi kau telah dibawa ke sini karena kutukanmu. Setiap orang yang kau sentuh akan dikutuk."


Si ibu muda tersenyum dengan lemah seraya berusaha meraih anaknya. Yang aneh ialah, sang bayi sama sekali tidak menangis sejak dari menit pertamanya menghirup udara Bumi. Jadi wanita itu agak mengernyit.

Otaknya mengisyaratkan jemarinya untuk mengusap rambut anaknya—bayi yang kini dalam gendongan seorang perawat.


"…Aku akan menjemputmu setelah kutukannya hilang.""


Sayang, ketika jemari lentik nan rapuh itu berhasil menangkup bagian tubuh lemah bayinya, napasnya habis. Ibu muda itu tidak tertolong lagi. Diduga, ia kehabisan tenaga sewaktu melahirkan anak itu…


Baekhyun masih terus melanjutkan ceritanya—

"Ayahku melakukan semua yang dia bisa untuk menghilangkan kutukanku itu."


Pria muda itu betul-betul bertekad. Ia telah berjanji begitu kuat dalam hati—demi istri dan anak semata wayang yang amat ia cintai.

Ia mendaki gunung-gunung terjal berbatu; menyeberangi sungai yang alirannya sederas air terjun; bahkan melintasi samudera dengan kapal yang akan karam.

Sampai ia tiba ke sebuah dukun ternama. Ya, pria itu bahkan mengunjungi seluruh dukun terkenal (yang mungkin bisa membantunya) di penjuru Negeri itu.

Dengan sambil menggendong anaknya yang masih belum genap setahun, ia tertatih. Mulutnya membulat kala melihat pondok tempat bernaung sang dukun hebat.

Dukun itu mengguncang-guncang kumpulan lonceng kecil yang dijalin dalam ikatan merah darah. Ia berputar-putar seakan menjalankan satu ritual wajib. Si bayi mungil duduk dengan tertib di bawah pelataran pohon tua. Ayahnya—pria muda itu—duduk menumpu kaki sembari kadang bersujud dengan taat.

Dukun aneh berpakaian aneh pula itu kemudian menutup prosesinya dengan merapal satu mantra. Tapi bersamaan dengan hampir suksesnya ritual penyembuhan anaknya, badannya oleng, tak mampu tegak kembali.

pria itupun sukses menghembuskan napas terakhirnya.


"—Tetapi bahkan ayahku juga tidak dapat lari dari kutukan ini…"


Semenjak kematian kedua orangtuanya, anak itu terpaksa hidup dalam naungan satu-satunya keluarga yang ia punya. Hak asuhnya mutlak jatuh pada tangan sang nenek.

Ia telah tumbuh menjadi anak laki-laki berumur lima tahun yang lincah. Ia selalu tersenyum meski tidak banyak yang tahu bahwa anak itu selalu menyembunyikan kesedihan di balik topeng 'bedak tebal'.

Sekali waktu, ketika ia tengah duduk-duduk santai di serambi rumah dan mencungkil tanah untuk dijadikan mainan, neneknya yang renta tergopoh menghampiri dan menyuruhnya makan. "Oh, Sayang. Kau ada di sini?"

Nenek itu memeluk si anak dengan gerakan penuh kasih, "Cucuku sayang…"

Si anak yang baru kehilangan orangtua dan segala kasih sayang yang harusnya mereka limpahkan, mulai merasa terhibur kembali ketika ia tahu neneknya mengasihinya melebihi apapun. Mereka tinggal dengan damai dalam sebuah pondok sederhana di pinggir hutan.

Tapi…

bukankah sesuatu yang bahagia itu tidak pernah bertahan lebih lama?

Benar saja. Tidak lama setelah pelukan sepihak antara cucu dengan nenek itu terjadi, kutukannya mulai bekerja lagi. Si nenek jatuh tanpa sebab ketika tengah menimba air sumur untuk dipakai mandi.

Anak itu tersedu-sedu di depan pigura yang menampilkan gambar neneknya. Wanita tua berbudi telah tiada. Menyisakan beberapa tangkai dupa yang ujungnya masih nyala tersulut api.

Ia diam. Ia meratapi kesalahan yang tidak dilakukannya. Suara itu muncul lagi tiba-tiba, menegurnya;

'Aku sudah bilang untuk tidak membiarkan mereka menyentuhmu!'


"—Tapi sungguh itu bukan salahku…" Baekhyun, masih tetap dengan cemberut di wajahnya (dan masih dengan jas hujan melekat), menatap anak-anak sekelasnya yang duduk mengerubung dengan heran. "Dan lihat di belakang ada… HANTU!" Baekhyun teriak dan kemudian terkikik.

Anak laki-laki itu tertawa dengan puas ketika menyadari raut bête dari teman-teman barunya. Beberapa ada yang mendengus, ada pula yang tetap menjaga imej meski tak dipungkiri tadi ia juga sedikit kaget.

Baekhyun masih duduk tenang di lantai dengan Park Chanyeol kecil yang menatap mukanya dingin. Si anak keriting tampan nampak masih begitu penasaran dengan kelanjutan Baekhyun. Jadi ia diam saja ketika yang lain kembali sibuk menata sikap.

Perempuan muda yang diketahui guru mereka itu menghampiri dengan sinis. Ia menghentak hak sepatu dengan kentara dan berhenti di depan dua anak yang duduk manis memegang kain lap—Chanyeol dan Baekhyun. Serta tidak lupa anak-anak lain yang tadi mendengar cerita Baekhyun.

"Baekhyun-ah!" panggilnya. Baekhyun menoleh. Guru itu mencibir, "Apa yang kalian lakukan di sana?" ucapnya, ia lalu menyedekapkan tangan di depan dada, "ayo kembali membersihkan kelas!"

Mereka bubar dengan kemauan sendiri, dan balik melakukan kerjaan semula; membersihkan kelas sebelum pulang. Tapi tidak dengan Chanyeol dan Baekhyun—uhm, maksudnya Baekhyun saja, Chanyeol kini mengelap meja dengan kain basahnya.

Baekhyun menghampiri Chanyeol. Wajahnya berhenti tepat di depan hidung bangir Chanyeol. Chanyeol menatapnya kaget bercampur senang.

"Tidakkah kau takut kepadaku?" tanya Baekhyun.

Chanyeol menjauhkan wajahnya, "Sedikit…?" balasnya sembari tersenyum.

Baekhyun mengerjap, bertanya lagi. "Kenapa kau tidak lari?"

Tampak tidak ada keraguan di mata Chanyeol ketika ia menjawab tanya singkat Baekhyun dengan; "Karena kau teman semejaku…"

Baekhyun mengulum senyum, rautnya berubah malu-malu, rona tipis tercetak samar. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, "Mmm, kalau begitu, apa kau ingin bertemu dengan temanku?"

Chanyeol sudah akan mengintip ke balik lengan dalam Baekhyun yang menyembunyikan sesuatu. Ia mengintip dengan penasaran tapi guru mereka datang dengan tidak bisa diduga.

"Baekhyun! Chanyeol! Bangunlah." Perempuan muda itu berkacak pinggang dan menjewer kedua telinga anak-anak bandel itu, "Apa kalian tidak mendengarkanku?"

Baekhyun memasang tampang datar, sementara Chanyeol mengaduh-aduh sakit. Terkikik sebentar, Baekhyun kemudian sadar jika Tirukaka-nya ada di sana! Duh.

Guru mereka—Kim Taehee—membelalak dengan bulatan maksimal ketika ia tahu ada makhluk asing bertengger di depan kemeja kerjanya. Bagusnya lagi, itu kadal! Hewan yang paling ia benci selama ini.

Ia histeris; terlebih ketika kadal itu menampakkan mimik mengerikan dan menjilat sekitaran mulutnya dengan lidahnya yang panjang dan lengket. Menjijikkan.

Ia lompat-lompat sampai jatuh dari sepatu hak tingginya. Reaksinya dalam menyingkirkan si kadal memang berlebihan, tapi itu masuk akal karena Kim Taehee pada dasarnya punya trauma akan hewan kecil itu. Entah untuk alasan apa.


3600


Setelah perkenalan mereka yang terbilang singkat, Baekhyun dan Chanyeol memutuskan untuk pulang bersama dengan jalan kaki. Mereka menyusuri jalan kecil yang masih sepi oleh kendaraan, berdamping-dampingan. Dengan Baekhyun mendahului dua langkah di depan sebelah kanan Chanyeol.

Baekhyun yang paling tidak suka dengan keadaan hening coba memulai percakapan:

"Tahukah kau kenapa orang-orang takut pada kadal?"

Chanyeol—yang lebih tinggi kira-kira lima senti darinya, berhenti berjalan dan menggeleng. "Tidak tahu."

Baekhyun berbalik, "Ingin tahu mengapa?"

Chanyeol menyeringai dan mengangguk, "Apa?"

Baekhyun memamerkan senyumnya yang cerah, "Kau bersumpah untuk tidak memberitahu siapapun?" katanya balik bertanya.

Chanyeol merasa ia adalah anak laki-laki paling beruntung yang pernah ada karena diberi kesempatan untuk mengetahui sebuah rahasia besar. Tanpa dinyana, ia menciptakan sebuah gestur asing bagi anak di depannya; Chanyeol menepuk-nepuk dada kanan dengan kepalan tangan kemudian mengarahkannya ke depan mulut, ia mengunci mulutnya dengan gerakan cepat dan lalu tersenyum manis. Seolah-olah dengan itu ia mengatakan; 'Kau bisa mempercayaiku.'

Tanpa pikir panjang, Baekhyun mengisyaratkan anak berambut cokelat keriting itu untuk mengikuti langkah kakinya. "Ayo ikut denganku."


Mereka duduk dengan hati-hati di atas naungan batang pohon besar yang cukup tua. Mungkin umurnya telah mencapai beberapa windu, tapi masih sangat kokoh. Udara berhembus dengan syahdu, membuat gemerisik daun terdengar ketika mereka bergesekan satu sama lainnya.

"Pada jaman dahulu, kadal pernah menguasai Bumi…" ucap Baekhyun, memulai kisahnya. Untunglah Chanyeol mendengarkan dengan khidmat dan tidak banyak protes. Jadi Baekhyun mulai merangkai kalimatnya lagi, "—Itulah mengapa manusia takut dengan mereka,"

"Mereka pikir, kadal akan menguasai Bumi lagi."

Chanyeol mengerjap sebelum merespon Baekhyun. "Apa guru kita juga?"

"Tentu saja," jawab Baekhyun berapi-api.

Chanyeol mengangguk dan mengulum senyum. Anak laki-laki itu lalu mengalihkan atensi untuk melirik ke dalam isi saku jas Baekhyun. Tempat di mana kadal kesayangannya biasa ditaruh. "Siapa namanya?" tanya Chanyeol.

Baekhyun ikutan melirik kadalnya, lalu menatap Chanyeol. "Tirukaka Kukukuru Kantapia Saurus."

Chanyeol dibuat linglung dan sedetik kemudian ia menyeimbangi laju jalan Baekhyun yang gesit. Ia berjalan mundur seraya memandang Baekhyun penuh rasa ingin tahu. "Tidakkah namanya terlalu panjang?"

"Nama yang lebih panjang hidup lebih lama dalam ingatan orang-orang," bela Baekhyun.

Anak berjas hujan kuning cerah itu mulai menyenandungkan bait-bait asal yang ia hapal bahkan sebelum ia mengenal Chanyeol.

"The Turtle Crane Scholar

The Chichi Wolly Frida Kang—

—Tapi tanpa disangka, Chanyeol juga mengetahui itu. Jadi mereka bernyanyi bersama, "—Methuselah Cloudy Hurricane

Wall Cat and Dog Dolly!"

Mereka berhenti berjalan, membalik badan untuk berhadap-hadapan, dan tersenyum puas ketika mereka tahu bait itu telah berhasil dinyanyikan bersama dengan ritme pas. Baekhyun tersenyum (entah untuk ke berapa kali sampai saat ini), "Itu juga sebuah nama!" diplomasinya.

Dan sisa jejak mereka sampai ke tempat tinggal masing-masing, dihabiskan oleh Chanyeol yang tidak pernah berhenti menyengir dengan seringai bodohnya.


3600


"Aku sudah bilang untuk jangan lagi membawanya!" bentak Taehee untuk Baekhyun yang sekarang tengah bergeming di depan meja guru.

Di atas meja itu ada sebuah kotak makan berisi jerami dan beberapa lapis kain tipis, dan juga Tirukaka milik Baekhyun terperangkap di dalamnya.

Baekhyun terus-terusan cemberut, menatap Taehee dengan protes kentara. "Tapi Buguru, kadal tidak membuat keributan… Dan mereka tidak banyak makan." ucapnya membela diri.

"Dia juga perlu mendapatkan pendidikan." tambahnya.

Taehee memutar bolamatanya imajinatif. Ia, tentu saja tidak semudah itu menjadi olok-olok hanya karena sebiji anak kecil yang susah diatur. Ia mengangsurkan kotak itu dengan ekspresi jijik memenuhi wajah cantiknya. "Aku tidak mau tahu." ucapnya, "buang dia keluar, sekarang!"

Baekhyun tetap tegak. Ia, juga tidak semudah itu ditindas oleh guru perempuan galak semena-mena ini. Maka itu ia membela dirinya— "Stroberi juga menjijikkan."

Taehee mengernyit.

"—Dari dekat, terdapat bulu halus dan serbuk kuning yang menempel di permukaannya…" kata Baekhyun, "tapi orang-orang tetap menyukainya?"

Muka Taehee kini sudah memerah hebat. Rona kentara itu berkat rasa marah karena dipermalukan seorang anak kecil aneh yang selalu bandel dengan tidak menaati perkataannya. Ia mendengus dengan kesal, "Kau pikir kau sangat pintar, huh?" Ia membuang muka dan lalu tanpa basa-basi lagi menjewer telinga Baekhyun sangat keras.

Benar-benar. Mungkin hari itu adalah hari sial bagi Baekhyun karena Taehee tidak berhenti mencubitnya sampai anak itu menangis.


"Aku mengkhawatirkan guru kita," desah Baekhyun. Ia menoleh ke arah Chanyeol yang duduk di samping—agak jauh dari Baekhyun. "Dia seharusnya tidak menyentuhku,"

Chanyeol memeluk tas merah pekat milik Baekhyun yang ada dalam pangkuannya, "Tapi kata ayahku kutukan itu tidak bisa pindah,"

Baekhyun menggembungkan pipinya, "Umm. Aku tidak bisa memaksamu untuk percaya padaku,"

Tiba-tiba di sesi ngobrol itu Taehee datang dengan mengayuh sepeda merah mudanya. Guru muda berhenti tepat di depan mereka, "Apa yang kalian berdua lakukan di sini?"

"Kami hanya sedang ngobrol, kok." sela Baekhyun sebelum Taehee berpikir aneh. Chanyeol mengangguk, "Ya. Ngobrol."

Taehee mendecih, "Pulanglah kalian…" ucapnya dengan nada tidak suka. "Kalian terlalu muda untuk berkencan." tambahnya. Muka perempuan itu tambah sinis.

Taehee yang tidak mendapat respon berarti hanya mendumal seraya mengayuh sepedanya lagi. Namun sebelum lebih jauh Baekhyun sempat memanggilnya.

Taehee menoleh, "Ada apa?"

"Berhati-hatilah hari ini," kata Baekhyun.

Taehee mendengus, merasa digurui. "Yang benar saja?" Ia lalu mengibaskan tangan dan menyimpulkan itu pasti cuma akal-akalan Baekhyun si anak nakal untuk mengerjai dia.

Guru muda itu melanjutkan jalannya dengan tenang sampai-sampai tidak menyadari kalau ban sepedanya terganjal batu cukup besar yang ada di depan. Alhasil, sepeda merah muda itu mental dua meter ke depan dan Taehee menyungsep ke dalam parit yang ada di dekat semak-semak. Menimbulkan bunyi 'gedubrak' yang cukup keras.

Kutukan Baekhyun terbukti bekerja.

"Kau lihat sendiri, kan?"

Chanyeol mengangguk-angguk dengan mengo.


3600


Berita mengenai keajaiban Baekhyun menyebar dengan cepat ke penjuru sekolah. Sekarang, baik anak kelas satu sampai kelas enam sekalipun akan memberi Baekhyun jalan lebar-lebar ketika anak laki-laki itu lewat di depan mereka, bahkan sampai ada yang bersembunyi tiap kali melihat Baekhyun. Chanyeol pun kini dikenal sebagai ekor Baekhyun lantaran hanya dialah yang menemani ke mana Baekhyun berjalan.

Semua orang takut pada Baekhyun. Semua orang…, kecuali Chanyeol.

Apa yang menjadi pengisi hari-hari mereka tidaklah begitu istimewa. Namun kini Baekhyun positif punya penjaga pribadi. Chanyeol akan setia mendampinginya ke manapun ia ingin.

Mereka berjalan di setapak yang menghubungkan danau untuk sampai ke kota di mana sekolah mereka berada. Dan Chanyeol selalu menjemput Baekhyun untuk berangkat ke sekolah bersama-sama.

Pernah sekali kesempatan, ketika mereka menapaki batu besar yang di bawahnya mengalir sungai bening, Chanyeol (yang berdiri dua langkah di depan Baekhyun) mengangsurkan tangannya untuk meraih tangan si anak berjas hujan. Tapi Baekhyun bilang;

"Jangan bergerak!"

Betul saja, Chanyeol menuruti keinginannya bagai mantra. Ia benar-benar berhenti bergerak seperti apa yang Baekhyun bilang. Dan Baekhyun menggunakan kesempatan itu untuk berlari mendahului Chanyeol.

Setelah beberapa langkah agak jauh baru Baekhyun berkata, "Boleh bergerak~"

Chanyeol menghela napasnya. Ia menarik senyum simpul dan memaklumi jika sampai hari ini Baekhyun benar-benar belum pernah sekalipun ingin digenggam tangannya.

Baekhyun juga punya kebiasaan untuk menciptakan jarak tertentu ketika sedang bicara berdua dengan anak laki-laki tampan berambut keriting itu. Ia membuat garis pembatas tak kasat mata yang digores dengan batu apung kecil dan berkata pada Chanyeol bila ia tidak boleh melewatinya. Ah, tapi itu berlaku ketika Chanyeol selesai menunaikan tugasnya mengantar Baekhyun dengan selamat sampai ke Vihara.

Lalu dengan tampang inosennya, Baekhyun melambai pelan ke arah Chanyeol seraya tersenyum apik. Yang hanya bisa Chanyeol balas dengan lambaian serupa.

Baekhyun tak pernah tahu bila Chanyeol selalu akan menghela napasnya saat tubuh mungil itu hilang di balik pintu kayu.


3600


Mereka berdua kedapatan tugas piket di waktu bersamaan.

Dan itu membuat dua anak laki-laki yang masih hijau-hijau itu tersenyum senang.

Mereka paling suka jika kebagian pekerjaan mengelap kaca. Baekhyun akan mengerjakan sisi luar, sementara Chanyeol di dalam.

Baekhyun akan melakukan gerakan apik dari kanan ke kiri, yang refleks diikuti Chanyeol. Setelah selesai, Baekhyun akan menghembuskan napas hangatnya di permukaan kaca bening itu. Membuat beberapa uap tercetak jelas dan itu adalah kesenangan tersendiri.

Perbuatan paling konyol seperti itupun, akan diikuti Chanyeol!

Ketika Baekhyun selesai meniupi sisi satu, Chanyeol akan melakukan hal serupa terhadap sisi luar si kaca. Dan mereka akan tertawa ketika Taehee mendamprat mereka dengan wajah galaknya.


3600


"Bernyanyi di padang alang-alang…

Kau burung tekukur kecil yang bersedih…"

Ya. Chanyeol selalu mengulang-ulang bait itu kala mereka pulang ke rumah ketika sekolah usai.

Tapi hari itu tampak lain. Baekhyun menghentikan langkahnya tiba-tiba dan wajahnya terkejut saat meraba seluruh isi tas tapi tidak menemukan apa yang ia cari.

"Ada apa?" tanya Chanyeol sambil menghampirinya.

"Dia hilang." lesu Baekhyun.

"Apanya?"

"Tirukaka."

Chanyeol langsung berputar-putar di tempatnya berdiri. Melirik-lirik di sekitar kaki Baekhyun dan kakinya, dan menyisir beberapa langkah dekat mereka. Tapi mungkin Tirukaka sedang mengambek. Chanyeol mendesah panjang.

Saat ia sudah hampir menyerah, ada hewan yang telah familiar merayap pelan-pelan di lingkup pandangnya. Tepat di depannya!

"Itu dia!" pekik Chanyeol. Baekhyun membulatkan mata, "Mana?"

Chanyeol melepas tas Baekhyun dan juga miliknya. Ia mulai mengendap-endap untuk menyergap Tirukaka dengan gerakan hati-hati. Tirukaka Baekhyun melajukan keempat kakinya yang di saat bersamaan, "Kutangkap kau!" Chanyeol melompat untuk menangkap hewan kecil itu.

Mata Baekhyun semakin membulat saat ia melihat Chanyeol nekat. Tubuhnya menyungsep ke depan dan kepalanya hampir terbentur batu, untung saja masih jauh. Baekhyun masih membatu ketika Chanyeol mengangkat wajahnya. Sepercik cairan eboni pekat menghias wajah tampan si anak laki-laki.

Chanyeol meringis.

Ia membuka tangkupan tangannya …

…namun nihil.

Tirukaka tidak ada di sana.

Chanyeol kebingungan dan celingak-celinguk. Ternyata Tirukaka itu berbelok arah dan masuk ke rawa berlumpur yang tidak cukup dalam.

Hewan itu meloncat, menyisakan hembusan angin yang mengejek.

Baekhyun menghampiri Chanyeol, "Kau tidak apa-apa?" tanyanya. Tapi Baekhyun dibuat heran manakala Chanyeol mencopot kedua sepatunya dan mengangsurkan itu pada Baekhyun.

Tanpa Baekhyun duga, Chanyeol pun melompat ke dalam becekan berlumpur tersebut—mengabaikan fakta bahwa bisa saja Nyonya Park yang cantik akan memukulinya dengan rotan karena anak itu mengotori celana jinsnya.

Chanyeol hampir jatuh beberapa kali. Tubuhnya oleng ke sana ke mari dan terciprat lumpur. Tapi ia tidak sekalipun memedulikannya. Yang ia tahu, ia hanya perlu menemukan Tirukaka secepat mungkin.

Baekhyun menatapnya dengan diam. Anak itu juga tidak mengerti dengan maksud Chanyeol sampai harus masuk ke dalam kubangan itu. Sementara Chanyeol masih terus mencari tanpa banyak mengeluh.

Awannya mendung, petir berkelebat-kelebat di atas kepala mereka. Tapi Chanyeol masih gigih. Bahkan ketika butir air menjelma menjadi badai hujan, Chanyeol tidak berhenti.

Anak laki-laki berambut coklat keriting itu menengadah dan merasakan tetesan hujan menusuk, merembesi celah pakaiannya yang kotor oleh lumpur. Ia menyisir ke kanan-kiri, depan-belakang, samping kemudian samping lagi. Tanpa berpikir untuk menyerah.

Beberapa kali ia mengais jerami basah, kakinya juga ada yang kena gores cangkang siput kosong. Dan Baekhyun terlampau terpana hingga kata-katanya hilang. Melihat Chanyeol begitu bersemangat mencari Tirukaka-nya, membuat Baekhyun tersentuh.

Terkadang Chanyeol mengernyit jijik. Sebetulnya, ia tidak suka bermain kotor-kotoran yang begini. Ini adalah yang pertama kali, dan ia bersumpah ini juga harus jadi yang terakhir kali.

Chanyeol melompat dengan gesit, meniti langkah tanpa suara, dan mendesah panjang saat lagi-lagi hasilnya nihil.

Cbur.

Cbur.

Tes.

Ia suka melihat semangat Chanyeol, tapi di lain sisi Baekhyun sudah tidak kuat untuk menghalau dingin air hujan. Jadi ia bergumam pelan, "Sudahlah. Biarkan saja dia. Ayo kita pergi…" ajaknya.

Chanyeol sempat menoleh, sambil memamerkan senyum lima jarinya ia membalas, "Baekhyun berteduh duluan saja. Aku tidak kenapa-napa," Lalu sibuk lagi dengan kegiatannya.

Chanyeol yang riang. Chanyeol yang bersemangat. Chanyeol yang tidak ingin mengecewakan Baekhyun.

Kurang lebih itu mampu membuat Baekhyun membeku di tempatnya berdiri. Ia mengerat jas hujan kuningnya dengan jari yang gigil oleh dingin. Chanyeol betul-betul rela mengorbankan dirinya demi Baekhyun. Meskipun itu hanya kadal.

"Chanyeol?"


Hujan telah usai semenjak duapuluh menit lalu. Mereka akhirnya memutuskan untuk menumpang berteduh di sebuah bangunan tua yang halamannya luas. Hitung-hitung menunggu tetesannya betul-betul reda.

Meski Chanyeol menggigil hebat, ia tetap memaksakan senyumannya yang konyol ketika menatap Baekhyun. Memang, Tirukaka tak berhasil dibawa pulang, tapi Chanyeol bersumpah esok hari ia akan kembali mencarinya.

Baekhyun menoleh menatapnya dan bergumam, "Kau itu bodoh." dengusnya dengan senyuman miris.

Baekhyun melepas jas hujan kuningnya dan beranjak, melapisinya untuk tubuh Chanyeol yang lumayan beku. Baekhyun tidak kehujanan, dan hanya kedinginan. Ia memeluk kakinya erat seraya mengusap-usap tangannya membuat kehangatan.

Beberapa lama agak canggung, Chanyeol memutuskan untuk mendekati Baekhyun. Si keriting tampan itu membagi hangat lapis jas kuning Baekhyun dengan cara memepetkan tubuhnya dengan Baekhyun.

Baekhyun tidak menolak, dan entah mendapat insting dari mana, ia justru menyandarkan kepalanya di bahu Chanyeol yang kuyup oleh air hujan.

Baekhyun tidak tahu mengapa, meski kenyataannya bahu Chanyeol dingin, itu terasa begitu nyaman disinggahi, jadi ia termangu beberapa saat lamanya. Chanyeol menumpangkan kepalanya di atas kepala Baekhyun. Dan selama itu pula, jantung Chanyeol dibuat berderu karena sentuhan kecil yang terjadi di antara mereka. Ia merasakan percikan kecil.

Perasaan apa itu?


3600


2x7

7200x25200 = 50400:14 = 3600

"Baekhyun sudah tidak di sini, nak…"

Keesokan harinya, Chanyeol mendapat cacar air. Seluruh tubuhnya dipenuhi bentol-bentol berisi cairan yang sangat gatal, rasanya pedih. Ia hanya mampu terbaring lemas dengan kompres menempel di dahi.

Barangkali kutukan Baekhyun kembali bekerja. Anak itu ingat ketika kemarin senja menjelang matahari tergelincir ke peraduannya mereka sempat membagi hangat bersama-sama. Terlebih lagi, Baekhyun menumpangkan kepalanya di bahu Chanyeol.

Jongin (ketua kelas berkacamata) yang kebetulan menengok Chanyeol bilang padanya bahwa Baekhyun terlihat murung di kelas. Ia menangis ketika jam istirahat tiba, ketika ruang kelas mulai kosong. Dan anak itu pulang dengan menaruh harapan besar bahwa Chanyeol akan masuk keesokan harinya.

Tapi cacar bukanlah penyakit mudah. Itu tidak akan sembuh hanya dalam tempo satu-dua hari saja. Dan sayangnya, Baekhyun terlampau diliputi oleh rasa bersalah. Ia pikir, dirinyalah yang menyebabkan Chanyeol menderita sampai harus sakit beberapa lama.

Tapi lain halnya dengan pemikiran Chanyeol, ia yang sakit sama sekali bukanlah kesalahan Baekhyun. Sebab, Chanyeol melakukannya tanpa ada paksaan. Ia ingin Baekhyun terkesan. Namun setelah selang beberapa waktu Chanyeol mulai kembali masuk sekolah, Baekhyun tidak pernah datang kembali ke sana. Anak itu selalu absen. Bangkunya yang kosong, menyisakan kekecewaan bagi Chanyeol.


3600


Seperti jarum jam yang selalu berputar ke kanan tanpa melawan arah, manakala begitu dia telah merasa nyaman dengan sekolah dan rumah barunya, kemarin pagi ibunya bangun dan menganggap tempat tinggal mereka saat itu sudah tidak layak lagi. Jadi, bersama dengan ayahnya dan dirinya, mereka bertiga mengemasi barang-barang mereka dan pindah ke tempat lain. Ya, keluarga Park akan pindah ke kota.

Ayahnya tengah mengangkat tivi untuk dimasukkan ke dalam mobil bak terbuka, sementara ibunya memeriksa perkakas rumah tangga yang belum masuk kardus. Di saat yang sama ketika Chanyeol bangun dengan berlari-lari.

Ia mengenakan sepatu sandalnya dengan terburu-buru sampai alis ibunya dibuat mengerut.

"Apa kau sudah selesai berkemas? Kau mau pergi ke mana?" tanya wanita itu saat melihat Chanyeol tidak pernah segesit ini dalam melakukan sesuatu.

Chanyeol sedikit mengobrak-abrik bawaan ayahnya, "Di mana?"

"Memangnya kau mencari apa?"

Belum sempat ayahnya tahu yang ia cari, Chanyeol berlari dengan kecepatan tak terkendali, ibunya berteriak, "HEI! KAU MAU KE MANA?"

Semasa bodoh. Chanyeol hanya harus cepat!

Samar-samar Chanyeol dapat mendengar oktaf melengking ibunya yang bilang; "Jangan bermain di lumpur lagi! Kau dengar?"


Pendeta Siwon menatapnya dengan mata tipis. Pandangannya menerawang, seolah mencari kebenaran dari sesuatu yang disampaikan oleh si anak yang kini ngos-ngosan menarik napas.

Anak laki-laki itu wajahnya dekil dan kumal tercoreng debu. Ia memakai kaos hijau lumut. Dan di tangannya tertelut kotak antik yang isinya ditebak-ditebak oleh Siwon apa gerangan.

Itu Chanyeol. Dan ia mengangsurkan kotak keramat itu langsung pada Siwon. Yang diterimanya dengan baik.

Hmm. Isinya terlampau unik. Sebuah kadal-kadalan kayu yang tertegun di tumpuk kertas yang ia susun rapih.

Siwon mengernyitkan alis, dan saat ia menatap wajah Chanyeol, anak itu menyoja dengan dalam dan sopan. Menghaturkan salam terakhir kali sebelum berbalik.

Ia pergi dengan gontai setelah sebelumnya menitipkan sebuah pesan beserta kotak kayu itu pada sang biksu.

Dan besoknya, Chanyeol sekeluarga positif pindah.

Sejak hari itu, mereka tidak pernah bertemu lagi…


3600


7+10

(7x365x3600) + (10x365x3600) = 22338000:365:17 = 3600

"Mengapa kau begitu menyukai Matematika?"

Biasanya, sauna di kota tidak pernah seramai ini kecuali ketika di hari libur. Tapi tidak tahu ada angin apa, setiap orang jadi seakan-akan berlomba memenuhi bak berisi air hangat di pemandian umum itu. Seoul sedang sinting.

Ada remaja laki-laki diskusi sesuatu yang menarik dengan ayahnya di salah satu bak. Di saat mereka yang lain sudah tidak betah, dan memilih membasuh badan, mereka justru sebaliknya.

"Rasanya nyaman sekali…," komentar si anak.

Ia membuat gelembung-gelembung udara dalam air sebelum mengangkat kepalanya menatap mata sang ayah.

Ia… tampan. Hidungnya mancung dan matanya berbutir coklat. Telinganya bagaikan peri ELF, lebar mencuat di sisi kepalanya. Membuat fiturnya makin rupawan.

"Ibumu ingin kau masuk ke Perguruan Tinggi sebelum kau pergi…, Chanyeol-ah." ujar ayahnya pelan. Laki-laki itu mendengus, "Tapi aku ke sana untuk belajar, Ayah."

Ayahnya mencibir, "Tapi bukanlah hal yang bagus untuk berada dalam satu ruangan bersama dengan seorang gadis…"

Laki-laki itu—Chanyeol, menggeleng, "Dia bukan wanita, jadi tidak perlu khawatir."

"Heh?" ayahnya tersentak, tapi mengulum senyum. "Sama saja, bisa saja kau hilang kendali meski dia laki-laki?"

"Aish," erangnya, "hentikan itu. Dia hanya seorang teman."

"Begitu kemaluanmu ditumbuhi bulu, kau tidak bisa lagi sekedar menjadi teman!" ujar ayahnya agak keras.

Chanyeol memasang tampang merajuk yang kental dan mengerang, "Ahh." Ia menunduk sebentar kemudian kembali menatap ayahnya, "Tapi dia tidak mungkin semenarik itu." jawabnya sambil terkekeh.

Kini ganti ayahnya mengerang, "Apa aku menikahi ibumu karena penampilannya?"

Oh.

Chanyeol menatapnya curiga dan bergumam, "Haaa…"

"Aih, tidak, tidak. Artinya, perasaanku telah mengalahkanku, dan berikutnya yang aku tahu ibumu hamil dan…"

"Denganku?"

"Hngnggg…"

Chanyeol mulai tertarik menggoda ayahnya, ia menatap pria itu dengan pandangan selidik.


"Omong-omong, apa kalian tetap berhubungan?"

Chanyeol mengendikkan bahu. "Tidak. Dia hanya menghubungiku entah dari mana."

Ayahnya mengeryit seakan mendengar hal paling tabu yang pernah ada. "Sudah sepuluh tahun. Bukankah itu aneh?" tanya Chanyeol lagi, ayahnya tertawa dengan begitu hambar. "Itulah yang daritadi kupikirkan."

Jika dipikir-pikir memang aneh. Baekhyun dan Chanyeol pergi, sama-sama berpisah. Lalu bagaimana Baekhyun dapat dengan mudah melacak keberadaan Chanyeol dan kembali menghubunginya?

Entahlah.


3600


Dua anak laki-laki tengah menunggu angkutan di bangku panjang.

Masih dengan jas hujan kuning, sepatu merah mencolok dan tas besarnya yang juga berwarna merah, ia duduk damai dengan anak laki-laki yang merupakan temannya.

Bis kuning itu datang dan menepi. Mereka segera naik.

Tapi kau salah kaprah jika mengira anak berjas hujan kuning cerah itu adalah Baekhyun; atau anak laki-laki yang merupakan temannya itu Chanyeol.

Bukan, itu bukan mereka. Sebab Baekhyun baru saja datang! Yah, si anak kecil berjas hujan kuning telah menjelma menjadi sosok remaja tujuhbelas tahun dengan rupa menawan.

Baekhyun kini mondar-mandir dengan pakaian yang tergolong sederhana. Ia sudah tidak mengenakan jas hujan kuning, memang. Tapi laki-laki itu tetap menggunakan pakaian yang panjang.

Ia mengantungi kepalan tangannya sembari bersenandung. Tapak kakinya terdengar jelas mengetuk aspal kala ia berjalan-jalan bosan. Ia menunggu dengan gelisah, harap-harap cemas.

Ketika ia menoleh—


Kereta yang memasuki distrik Jeonju akan selesai di pemberhentian terakhir. Itu artinya, Chanyeol akan dapat kembali menyapa kampung halaman ini sukaria.

Ketika kereta itu direm dengan decit yang ngilu, Chanyeol turun sembari mengagumi awan biru (sama sekali tidak berubah sejak sepuluh tahun lalu).

Ia melirik jam tangannya dengan sambil memastikan. Sepertinya cinta masa kecilnya sudah menunggu di situ, deh.


Sudah bus ke-25 yang Baekhyun cek, juga ia tolak naiki sampai detik ini. Ia menoleh ke samping kanan-kiri juga masih nihil. Mungkinkah bus Chanyeol mengalami delay?(uh, terdengar seperti pesawat saja).


Chanyeol sumringah, dan melajukan kakinya lebih kencang ke stasiun terdekat. Laki-laki itu mondar-mandir di sana. Sementara di sisi lain Baekhyun pun melakukan hal serupa.

Bedanya, Baekhyun menunggu Chanyeol mendatanginya di halte—sementara Chanyeol menunggu Baekhyun menjemputnya di stasiun!

Baekhyun duduk dengan gelisah, memandang ujung jalanan yang lengang.

Dan Chanyeol menyandarkan badannya pada bangku panjang di sana sembari matanya melacak keberadaan Baekhyun. Barangkali ada di sana.

Di tempatnya, Baekhyun mengeluh; "Aku tahu. Seharusnya kami sepakat untuk bertemu di stasiun…"

Chanyeol melirik jam tangannya dan bergumam, "Aku tahu. Seharusnya kami sepakat untuk bertemu di halte bus…"

Yah. Mereka sama-sama tidak sadar rupanya.


"Apa dia tidak tahu jam berapa sekarang?"


"Kenapa dia belum datang?"


Baekhyun pun memutuskan untuk menyudahi acara menunggu-Chanyeol-di-halte-bus. Ia melangkah gontai ke arah jalan pulang dengan mengantungi kepalan tangannya. Jalanan basah, sebab semalam Jeonju diguyur hujan agak deras.

Ia melihat traktor milik seorang paman, lewat dengan tumpukan jerami di belakangnya.

Ia mendengus karena matanya yang cukup jeli dapat menilik sesuatu yang kelihatan familiar.

Laki-laki di boks boncengan sang paman petani menatapnya dengan lensa yang membesar tiba-tiba, seperti tersadar.

"Ba.. Baek Baek Hyun~"

Baekhyun mengulum senyum di balik punggungnya ketika ia juga tidak salah menebak, ternyata benar laki-laki bertopi itu Chanyeol, teman masa kecilnya.

Chanyeol masih mengembangkan seringai, "Byun Baekkie~" panggilnya lagi. Tapi ketika ia tidak mendapat respon apapun, Chanyeol melompat cepat dari traktor, mengucap terimakasih bagi paman itu dan berlari menyesuaikan irama langkah kaki Baekhyun.

"Tunggu! Tunggu!"

Baekhyun berhenti berjalan namun enggan berbalik. Chanyeol memandang dengan antusias, "Apa kau Baekhyun?" tanyanya frontal.

Baekhyun membalik badan dan membusungkan dada. "Baekhyun, Baekhyun pantatmu!" makinya. Chanyeol gugup, sumpah ia takut salah orang. "M—Maaf kukira—"

Tapi Chanyeol bukan sedang salah orang atau Baekhyun yang tiba-tiba jadi orang lain; tidak. Baekhyun langsung menghentikan gerakan Chanyeol saat laki-laki itu akan kembali berbalik mengejar si paman traktor.

"Kau bilang kau akan tiba di sini pukul 1?" sinis Baekhyun, "apa kau tahu jam berapa sekarang, huh?"

Chanyeol terkekeh. Baekhyun masih sama menggemaskannya seperti dulu.

Otaknya menarik alasan dengan agak direkayasa, "Kau bilang kau akan datang ke stasiun kereta?"

"Kapan aku bilang begitu?" balas Baekhyun sangsi. Wajahnya terangkat, menantang manik Chanyeol dengan nyalang. "Aku punya hal yang lebih baik untuk dikerjakan dari sekedar menunggu seperti idiot di stasiun!"

Chanyeol tertegun dengan rentet kalimat Baekhyun, "Bukan—Bukan itu maksudku…" Ia menunjuk-nunjuk segala arah dengan asal, mencoba membuat pembelaan, "Aku tak bisa mendapat tumpangan, jadi—"

Baekhyun mendecak, "Apa? Ada banyak tumpangan di sini."

Chanyeol meringis, ketahuan bohong. "Emm, mandi. Tadi aku sedang mandi," katanya. "Pasti tidak ada kamar mandi di kuil. Kan?"

Baekhyun melotot semacam biji matanya akan keluar. "Apa? Kau pikir kami tidak mandi? Apa aku terlihat seperti manusia biadab, hoh? Lalu bagaimana caranya aku membersihkan diri? Kau kira aku ini kotor?" rentetnya, ia menggaruk badannya sendiri dengan bermaksud memojokkkan Chanyeol. Sialan sekali laki-laki itu.

Chanyeol memasang tanda damainya. Ia menyengir seraya mengacungkan dua jari—telunjuk dan tengah—di depan muka Baekhyun. "Tapi apa kau tahu?" tanyanya membelokkan arah bicara.

"Apa?" suara Baekhyun masih sangat kesal.

Baekhyun dapat mendengar suara berat Chanyeol yang mengambil napas dalam-dalam, hampir tersenyum ketika teman masa kecilnya itu berubah melembut. Dan kata yang meluncur keluar dari mulut bebas Chanyeol mengejutkannya seperti peluit kereta uap, "Kau makin cantik,"

Chanyeol memuji tanpa menambah atau mengurangi. Apa adanya. Sebab memang begitulah kenyataannya, Baekhyun sepuluh tahun berselang menjadi tampak lebih bersinar.

Baekhyun tertegun, salah tingkah. Ia sempat memandang manik bundar Chanyeol dan memutuskan kontak mata itu. Tepat di saat raut mengejek Chanyeol menguar kembali, "Sedikit. Hanya sedikit."

Mungkin kesal karena merasa dipermainkan, jadi Baekhyun memberinya sebuah tatapan membunuh. Dan itu langsung membuat Chanyeol ciut seketika. Lagi-lagi, ia meringis.


"Aku tidak percaya kau berpikir kami hidup tanpa pernah mandi…"

Chanyeol menghela napasnya, "Apa kau masih marah padaku?"

Baekhyun mencibir, mereka sampai pada pohon tua yang daunnya sangat rindang yang dulu selalu mereka jadikan sebagai tempat curhat ketika pulang sekolah. "Aku tidak akan mengatakan ini, tapi…"

"Tapi apa?" Chanyeol berhenti berjalan. Baekhyun menatapnya tapi langsung memalingkan wajah, "Lupakan saja."

"Apa itu?" kejar Chanyeol yang penasaran.

Baekhyun berhenti berjalan dan menepikan dirinya. Laki-laki itu melihat sekeliling dan memastikan bahwa jalanan itu sedang sepi. Chanyeol memandangnya dengan bingung.

"Kami memiliki sumber air panas di kuil," ucap Baekhyun tiba-tiba.

Chanyeol kaget. "Apa?"

"Jangan bilang ini pada siapapun," decak Baekhyun, "harga tanahnya akan meroket,"

Laki-laki tinggi tampan itu tidak bisa menyembunyikan seringai lebih lama. "Kalian memiliki sumer air panas di sana?"

"Dapatkah kau menyimpan rahasia ini untukmu seorang?" Baekhyun menanya dengan raut serius.

Chanyeol ingat itu. Chanyeol masih sangat ingat bagaimana dirinya menciptakan gerakan yang terlampau tiba-tiba. Hanya demi meyakinkan si bocah berjas hujan kuning dulu.

Ia menatap manik hitam Baekhyun, menepuk dada kanan dengan kepalan tangan, dan mengunci mulutnya lewat satu gestur penutup nan apik. Membuat Baekhyun tersenyum lega dan tertawa kecil, "Kau masih ingat,"

Seperti biasa, seperti kebiasaannya semasa mereka kanak-kanak itu; Baekhyun mengisyaratkan Chanyeol agar mengikuti langkahnya dengan melambaikan tangan. Tidak tahu mengapa dan bagaimana bisa tiba-tiba Baekhyun sudah ada di depan sana, beberapa meter lebih jauh dari tempat Chanyeol berpijak. Aneh.


3600


Mereka memutuskan untuk mengulangi semua yang bisa diulang. Termasuk duduk di batang pohon tua ini, yang di bawahnya mengalir sungai kecil. Pohon yang umurnya telah mencapai bilangan ratus tahunan, barangkali.

Dan Baekhyun menyuguhi Chanyeol akan cerita-ceritanya yang makin ke mari makin tidak pernah masuk akal—

"…Gunung Daebong sebenarnya gunung berapi yang aktif…" ucapnya. Chanyeol mengerutkan alis. Siapapun itu orang Korea pasti tahu kalau gunung itu telah lama vakum dan sudah ditetapkan jadi bukan gunung aktif. Jadi dia menanyakannya, "Apa?"

"Gunung berapi aktif! Dengan lava!" Baekhyun berucap berapi-api.

Untunglah di sana hanya mereka berdua saja yang bercakap-cakap. Coba saja kalau di sini ramai. Pasti Baekhyun sudah dikira mereka seorang yang gila. Betul.

Baekhyun mendesah, "Tapi mereka merahasiakannya, jadi para wisatawan tidak akan datang,"

Chanyeol mendecak. "Yang benar saja,"

"Ish," Baekhyun memandang Chanyeol risih, "kau menjadi lebih sinis sejak tinggal di Seoul." Chanyeol berdeham. "Baru-baru ini lava dimuntahkan dari gunung dan para tentara harus menahan lava agar tidak menyebar," kata Baekhyun lagi.

"Tentara tidak bisa melakukan hal itu," elak Chanyeol, tentu saja.

"Siapa bilang mereka tidak bisa?" Baekhyun mengerucutkan bibirnya. Chanyeol kehabisan kata-kata, "Yah. Karena…, hmm,"

"Apa, apa?"

Baekhyun meringis ketika tahu Chanyeol memang tidak berbakat. "Paman!" teriaknya. Beberapa pria usia tigapuluhan di pinggir sungai itu menatap keduanya dengan raut perhatian. Mereka menginterupsi kegiatannya yang tadi sibuk dengan sekop serta garu. Menyendoki lumpur yang mengendap.

"Jika gunung berapi meletus di sekitar sini, apa kalian akan menghentikan lavanya?" tanya Baekhyun. Cenderung tidak dimengerti dan retorika untuk mendapat sebuah jawaban logis. Satu tentara botak memandangnya bingung, dan mengalihkan tatapan pada temannya yang memakai baju oranye terang. "Lava?"

"Kalian bisa menghentikannya, tidak?" ulang Baekhyun.

"Ya," jawabnya, "kurasa kami bisa."

'Menghentikan lava agar tidak menyebar?' pikir Chanyeol aneh.

Baekhyun bagai kejatuhan durian runtuh. Ia menyeringai begitu mendengar jawaban sang tentara, dan beralih memandang Chanyeol dengan rupa mengejek. "Lihat. Kau lihat itu?"

Chanyeol merasa malu jika ia harus kalah di depan Baekhyun. Ia bertanya, "Apa Anda benar-benar yakin, Paman?"

"Ya, ya. Kita harus pergi sekarang."

Chanyeol dapat mendengar kasak-kusuk si tentara botak dengan temannya; mulai sedeng. "Kita bisa menggunakan sekop,"

Chanyeol mendecih, hal nonsense apa-apaan itu? Ia tertawa dengan hambar. "Dasar sekelompok orang aneh. Mereka pikir sekop bisa menghentikan lava?"


3600


Di tikungan jalan depan bukit, terkenal dengan toko kelontong milik Paman Kim, pria tua paruh baya yang nyentrik, memakai kacamata hitam, dan selalu membawa kipas lipat ke mana-mana.

Chanyeol dan Baekhyun pernah menghabiskan sore hari mereka di sana. Duduk, menyesapi semilir angin berhembus di balik celah daun, dan menyicipi es loli yang baiknya agak sukar mencair.

Saat sepasang anak kecil berusia tujuh tahun masuk dan menggetarkan lonceng di pintu masuk, tepat bersamaan dengan Chanyeol yang keluar toko sembari menggenggam dua buah loli di masing-masing tangannya.

Baekhyun menunggunya di bale-bale dekat pohon besar. Dan ketika Chanyeol mendudukkan diri di sampingnya, ia menoleh.

"Pemilik tokonya masih ingat denganku," ucap Chanyeol. Baekhyun menulum senyum simpul, menerima es loli yang diangsurkan Chanyeol dan membuka bungkusannya.

Sambil sibuk menggigiti permukaan es, Baekhyun menarik napas. "Bukankah anak-anak di Seoul mengikuti les tambahan?" tanyanya. Sedikit bermaksud mempertanyakan kebenaran tentang Chanyeol yang memilih tinggal di Vihara beberapa lama sebelum masuk dan mendaftar Perguruan Tinggi.

Chanyeol mengangguk, "Memang. Tapi itu sama sekali bukan gayaku," katanya. Ia mengangkat-angkat alis dengan maksud 'kalau-kau-tahu-apa-maksudku.'

Baekhyun mendesah, "Itu kalimat yang selalu dikatakan oleh anak yang bernilai jelek," komentarnya.

Chanyeol menoleh, "Nilaiku cukup bagus."

"Benarkah?"

"Ck. Aku hanya perlu sedikit bantuan dalam hal Matematika," erang Chanyeol.

Baekhyun menyeringai dan berniat menggoda Chanyeol lebih jauh, "Bagaimana dengan Bahasa Inggris?"

"Bahasa Inggris-ku lumayan," gagap Chanyeol.

Baekhyun menggigit bibir dan mengangguk. "Baiklah." katanya mengambil jeda, "Do you prefer peeled peas, or unpeeled peas? Partiality to peas; peeled or unpeeled peas, proves pointless."

(Mana yang lebih kau suka, kacang polong yang telah dikupas, atau yang belum dikupas? Memilih kacang polong; yang dikupas maupun tidak dikupas, tidak berarti apa-apa.)

Chanyeol mengangguk-angguk. Sok mengerti.

"Peas, peeled or unpeeled. Presumably persist being peas. Perhaps, currently, I prefer unpeeled peas to peeled peas."

(Kacang polong, dikupas ataupun tidak dikupas. Tetap saja akan tetap dibilang kacang polong. Boleh jadi, saat ini, aku lebih menyukai kacang polong yang tidak dikupas ketimbang yang dikupas.)

"Yeah."

Baekhyun melayangkan jurus terakhirnya. Mungkin saja bisa membuat Chanyeol skak-mat! "How about you?"

(Apa kabarmu? / Kalau kamu? / Bagaimana kabarmu? / Bagaimana denganmu?)

Chanyeol menoleh. Setelah berkosakata hingga mulut si pemuda mungil hampir berbusa, perkatannya tak lebih hanya sebagai 'masuk-telinga-kanan-keluar-telinga-kiri' bagi Chanyeol. Ia hanya familiar dengan pertanyaan Baekhyun yang terakhir. Sisanya, jangan ditanya.

"How about you?"

(Apa kabarmu? / Kalau kamu? / Bagaimana kabarmu? / Bagaimana denganmu?)

Chanyeol tergagap. Salivanya tertahan di batang tenggorokan dan gugup. Ia malu bila harus mengakui kemampuan berbahasanya yang di bawah rata-rata itu.

Akhirnya ia menjawab dengan seadanya; "I'm fine. Thank you, and you?"

(Aku baik-baik saja. Terimakasih, kau sendiri?)

Baekhyun terkikik sampai tertawa dengan sangat geli menyadari jawaban konyol Chanyeol namun memang, itu sangat masuk akal jika dilihat dari question tag yang barusan Baekhyun layangkan. Chanyeol jenius.


3600


Chanyeol sudah sampai di Vihara tempat Baekhyun selama ini tinggal dan menuntut ilmu selepas ia pergi. Laki-laki itu disambut dengan senyum ramah Pendeta Siwon dan juga teh hijaunya.

Tiga orang itu duduk dengan sikap sila di atas tatami bambu dengan sebuah meja kecil membatasi duduk biksu itu dengan dua anak muda. Setelah semua cawan porselen terisi dengan air hangat, sang biksu mempersilahkan mereka sendiri menyeruput bagiannya.

Baekhyun meminum tehnya pelan-pelan. Sementara Chanyeol—yang notaben belum tahu tata-krama dalam Vihara, minum dengan suara sangat berisik. Itu membuat Siwon terganggu dengan caranya. Ia menegur Chanyeol, "Suara yang kau buat cukup mengganggu."

"Maafkan aku, Pak Pendeta." Chanyeol menyoja Siwon dengan dalam.

Siwon tersenyum kecil dan mengalihkan tatapannya pada Baekhyun, "Apa dia si Cacar Air itu?"

Baekhyun dan Chanyeol sempat bertatapan sebelum Baekhyun menjawab, "Ya."

"Kau harus fokus mulai sekarang. Tiga orang yang tinggal di kamar itu berhasil lulus ujian." ucapnya mengambil jeda. "Jika kau berusaha cukup keras, kau juga akan berhasil."

Chanyeol mengerling. "Tapi aku tidak berencana untuk mengikuti ujian," katanya. Sukses membuat Baekhyun tersedak dengan teh, dan kening Siwon mengerut beberapa tumpuk.

"Lalu untuk apa kau ke mari?"

"Sekedar menemui Baekhyun." jawab Chanyeol enteng.


3600


Penerangan Vihara tidak pernah sepekat ini sebelumnya. Meski memang, di sana dilarang bagi para biksu untuk menggunakan listrik. Dengan alasan mereka ingin hidup lebih membumi.

Chanyeol harus membiasakan dirinya dengan semua ini. Udara dingin yang menusuk kulit, nyamuk-nyamuk nakal yang menggigiti lengannya, serta penerangan yang hanya dengan sebuah lilin redup.

Malam itu pula, Siwon memberinya tugas untuk mengerjakan soal beberapa tingkat lebih mudah ketimbang soal milik Baekhyun. Soalnya cukup tebal dan rata-rata terdiri dari esay berstruktur. Itu membuat Chanyeol sangat bosan (bosan karena berpikir jawabannya apa, maksudnya).

Alhasil Chanyeol menggigiti pensilnya dengan gemas dan memandangi wajah adiktif Baekhyun yang ditimpa sinar rembulan. Manis sekali, seperti susu. Permukaannya nampak halus dan Chanyeol sangat ingin menyentuhnya. Tapi ia pun tahu, kalau sampai Chanyeol berani melakukannya sudah habis dia dijadikan sasak tinjunya Baekhyun.

Baekhyun mengerjakan soal-soal dengan tenang. Ia tidak berisik. Dan itu membuat Chanyeol semakin resah.

Chanyeol bergerak-gerak di tempatnya duduk. Ia tidak mengerti harus menjawab soal ini dengan uraian apa, sebab nilai akademiknya dari dulu memang tak pernah bagus. Ia mendongak ketika Baekhyun menunduk dengan dalam, menulisi kertas jawabannya.

Awalnya memang maksud Chanyeol hanya untuk menyalin jawaban dari kertas Baekhyun ke kertasnya, tapi…, ada yang lebih menarik perhatiannya. Baekhyun malam itu menggunakan baju panjang dengan bagian dada yang mengekspos leher putihnya.

Chanyeol berkeringat dingin. Ia menelah ludah susah payah sambil mencari posisi pas untuk melihat.

Sedikit—Sedikit lagi saat pandangan Chanyeol jatuh tertumbuk di celah kaus singlet Baekhyun, laki-laki itu mendongak tiba-tiba.

Chanyeol langsung salah tingkah dan bolamatanya bergerak-gerak. Ia segera menggenggam pensil dengan cepat dan pura-pura menuliskan jawaban.

Baekhyun mencibir, "Apa kau melihatnya?"

"A—Apa? Melihat apa? Aku tidak," elak Chanyeol.

"Kau melihatnya! Kau pasti melihatnya!" Baekhyun bersikeras.

Chanyeol mengendikkan bahu, "Yah…"

Baekhyun membelakkan mata. "Kau melihat jawabanku? Ish, kau curang!"

Chanyeol tertegun. Syukur beribu syukur ternyata Baekhyun mengiranya melihat jawaban—bukan yang bukan-bukan. Ia mengulum bibir atasnya, "Oh…"

"Mengapa kau melihatnya?"

"Aku tidak bisa menahan diri." Oh yeah! Apa yang tersirat dan apa yang tersurat itu beda lho, ya.

Chanyeol terkikik kegelian di balik lengannya ketika Baekhyun mengambil penggaris plastik. "Berikan tanganmu!" suruh Baekhyun.

"Untuk apa?"

"Supaya kau bisa dihukum!"

Chanyeol menyeringai main-main. Oh ayolah, Baekhyun itu tubuhnya jauh lebih mungil dari Chanyeol. Mana mungkin tenaga laki-laki seperti dia akan mempan bagi Chanyeol? Dan, apa itu? Cuma penggaris plastik?

"Kau bercanda, ya? Baiklah~" Chanyeol akhirnya mengangsurkan tangannya. Senyumnya yang konyol membuat emosi Baekhyun naik ke ubun-ubun. "Kau sudah siap?" tantang Baekhyun. Chanyeol tertawa-tawa dalam hati, "Ya, ya. Pukullah sekuat yang kau mampu."

Plak.

Baekhyun melayangkan satu pukulan.

Dan itu cukup keras.

Parahnya, itu sangat-sangat-sangat menyakitkan!

Raut Chanyeol seketika berubah masam. Sialan, sialan, sialan, sialan. Tapi, ini di depan Baekhyun, jadi imejnya jangan sampai luntur.

Pelan-pelan Chanyeol menarik kembali belah tangannya. Ia merasakan panas pukulan itu mulai menjalar di permukaan tangannya. Namun ia memasang wajah sok cool.

Baekhyun mengatup mulut, "Oh, Tuhan. Aku telah memukul terlalu keras!" Ia bergerak gelisah dalam duduknya dan beringsut menghampiri tas mereka yang tergeletak di samping, mengobrak-abrik isinya, "Apakah sakit?"

Sementara Baekhyun sibuk mencari salep pereda nyeri, Chanyeol sebisa mungkin menahan satu teriakan ataupun pekik yang mungkin saja akan lolos dari mulutnya bila tidak ditahan. Ia menggosok-gosok tangannya cepat, sambil berdoa supaya sakitnya cepat reda.

"Di mana salepnya? Aku ingat kalau menyimpannya di sini," erang Baekhyun.

Ketika Baekhyun menolehkan kepala untuk bertanya, "Kau tidak apa-apa?" Chanyeol langsung membalas, "Tenang saja. Aku orangnya kuat." Meski dalam hati, Chanyeol sibuk mengumpat penggaris yang Baekhyun pakai untuk memukulnya tadi.


3600


Hari demi hari terasa bagai lelehan es loli yang cepat mencair dalam mulut. Meski begitu, baik Chanyeol maupun Baekhyun tidak ada yang keberatan. Walaupun kehidupan di sini jauh dari gemerlap kota. Betul, mereka hidup tidak seperti remaja seusia mereka yang mana mungkin saja sangat akrab dengan yang namanya bar atau pub.

Tapi Vihara tidak pernah mengajarkan keindahan dunia semata. Lebih cenderung pada keikhlasan hati. Selama hampir setahun Chanyeol di sini, tak sekalipun ia mengenal sesuatu berdampak buruk. Paling tidak, Siwon memperlakukannya bagai anak asuh sendiri.

Jadi, mereka membersihkan lantai bagian depan Vihara dengan berlomba-lomba paling cepat selesai; mengeluh kelelahan ketika selesai. Mandi dengan air sumur yang dinginnya mengalahkan es; Baekhyun mengguyur Chanyeol yang hanya menggunakan bokser dan mulai menyirami tubuh atasnya, dengan tidak lupa Chanyeol selalu memprotes Baekhyun dan mulai mempertanyakan di mana letak sumber air panas yang pernah ia bilang. Menurutnya, buat apa mandi dengan air es kalau punya sumber air panas di sekitar situ?

Baekhyun lalu menggetok kepala Chanyeol menggunakan gayung saat itu. Dan menghadiahkan si laki-laki tinggi dengan sekulah air hangat.

Fakta bagusnya, Chanyeol juga sering merasa lelah untuk sekedar melirik bukunya dan mengulang pelajaran untuk esok hari. Kalau sudah begitu Baekhyun segera menarik bantal kecil dan menyangga kepala Chanyeol menggunakan itu. Dan Chanyeol akan tidur pulas, dengan Baekhyun menopangkan dagunya tanpa suara. Mengamati cara tidur Chanyeol yang unik meski laki-laki itu mendengkur dengan suara cukup mengganggu.

Mereka menghabiskan waktu dengan sederhana. Makan dengan menu sederhana pula.

Yang Chanyeol paling suka adalah saat Baekhyun memasak mi ramyun langsung panas-panas dari pancinya.

"Kelihatannya enak" selalu jadi komentar pertamanya untuk mengapresiasi hasil keringat Baekhyun yang bagi orang lain mungkin tidak seberapa. Dan meski Baekhyun tidak bisa memasak selain hanya merebus ramyun, Chanyeol tetap kukuh berpendirian padanya.

Berdua mereka makan di dapur yang asapnya masih mengepul. Uap hangat dari panci menyembul, membuat embun di sekitar pelipis.


"Ingin memainkan permainan?" tawar Baekhyun. Mereka sudah kenyang dengan menu makan malam hari ini (Ya, ya. Baekhyun membuat ramyun. Apalagi?).

"Permainan apa?" Chanyeol balik bertanya. "Berbicara dengan kalimat, tiga kata. Yang kalah harus mencuci piring!"

Chanyeol menggumam.

"Rasanya sangat enak." [Tiga kata]

"Aku tahu itu." [Tiga kata]

Giliran Chanyeol lagi tapi otaknya sudah buntu. Ia menggerak-gerakkan matanya dengan imajinatif, dan mendapat ilham.

"Tubuhmu indah, Baekhyun." ucapnya, lalu menahan tawa. [Tiga kata]

Baekhyun melongo dan segera tersadar. "Ayo cuci piringnya!" [Tiga kata]

"Hah?" kaget Chanyeol. "Kenapa? 'Tubuhmu indah, Baekhyun' itu juga tiga kata!"

"'Ayo cuci piringnya juga tiga kata, bodoh!" ejek Baekhyun dengan mimik menggemaskan. Chanyeol mendesis sial.

Mungkin setelah ini peringkat akademik Baekhyun sangat meroket jauh daripada Chanyeol. Ia terjebak. Maksud Baekhyun memang mengecohnya. Ia bukan menyuruhnya untuk mencuci piring, melainkan memancing Chanyeol mengucapkan lebih banyak kata agar ia protes dan jadi kalah. Benar-benar licik.

"Sialan,"


3600


Di pagi di akhir pekan, mereka selalu mendedikasikan diri untuk hari berekspedisi. Suatu kali, mereka akan menyeberangi batu setapak yang di bawahnya mengalir danau. Dan pada suatu kesempatan, Chanyeol pernah berhenti dan menghalangi jalan Baekhyun.

Baekhyun, melompat ke samping di mana ada batu lain untuk dipijak dan meninggalkan Chanyeol tertegun sembari menggelengkan kepalanya. Terpana dengan kesungguhan Baekhyun yang benar-benar tidak mau disentuh olehnya.


Mereka kembali ketika hari sudah gelap. Sedang ada di area pemakaman koloni perang. Baekhyun berjalan beberapa langkah diikuti Chanyeol di belakangnya, menyorot jalanan menggunakan senter.

Chanyeol merutuki dirinya yang tidak pernah bisa nekat. Tangannya selalu berhenti sebelum menempel persis dengan Baekhyun. Entah itu untuk mengusap rambut, merangkul pundak, atau hanya sekedar menggenggam tangannya.

Chanyeol tidak berani.

Ketika ia mulai kehabisan akal, ia coba mengakali Baekhyun dengan bilang, "Lihat! Apa itu hantu?"

"Kau ingin aku memelukmu? Atau sebaiknya kita berpegangan tangan?" tanyanya lagi. Memodusi Baekhyun yang memandangnya dengan heran. "Aku pikir ada hantu di sini!"

Raut Baekhyun berubah serius. Ia berhenti berjalan, "Sebenarnya, banyak…" katanya dengan berbisik, "…tentara Amerika banyak yang terbunuh di sini selama perang."

Ia menyorot beberapa patok nisan yang mulai berlumut. "Lihat, ini semua kuburan!"

Chanyeol seperti 'senjata makan tuan'. Ia menolah-noleh ke arah depan belakangnya seraya mencari sesuatu tak kasat mata. "Tidak mungkin ada hantu di sini,"

Baekhyun memonyongkan bibirnya, "Terserah saja. Yang penting jangan percaya padaku." ucapnya. Laki-laki muda itu lalu meninggalkan Chanyeol berdiri dengan gagah sambil masih mengerat senter.

Ting.

Ting.

Ya, Chanyeol agaknya mulai takut.

Ia mengejar laju Baekhyun yang jauh di depannya.

"Baekhyun-ah."

Tap.

Tap.

"Baekhyun-ah."

"WAAAAAA!" Baekhyun berbalik tanpa pemberitahuan. Menyorot wajahnya dengan senter dan membulatkan matanya maksimal. Chanyeol hampir mati beku di tempat karena kaget—bercampur takut.

Chanyeol menetralkan napasnya yang menderu dan mendecak, membuat Baekhyun bertanya, "Apa aku menakutimu?"

Chanyeol berjalan ke depan tanpa mau menoleh ke belakang meski Baekhyun memanggil-manggilnya. Laki-laki itu merasa sangat kesal.

"Apa kau tahu mengapa Bahasa Inggris-ku begitu lancar?" Baekhyun mengoceh yang diabaikan Chanyeol. "Aku mempelajarinya dari hantu."

Chanyeol memejamkan mata, menghentikan jalannya, dan membuat dada Baekhyun yang berjalan tepat di belakangnya bertubrukan dengan punggung lebarnya.

"Hentikan semua omong kosongmu…" desahnya, "Apa jangan-jangan mereka itu temanmu juga?"

Bibir Baekhyun mengerucut beberapa senti, "Menurutmu bagaimana aku bisa lancar berbahasa Inggris? Aku tidak punya kaset pelajaran itu,"

"Tapi bagaimana bisa kau mempelajarinya dari hantu? Itu omong kosong."

"Sebenarnya normal bagi hantu Amerika untuk berbicara dalam Bahasa Inggris,"

Chanyeol mendengus, "Jadi, apa yang mereka katakan kepadamu?"

Baekhyun mengembangkan senyumnya dengan pasti.

"Ada seorang pria yang menangkap dua orang perampok di Hari Natal. Dia baru berusia delapan tahun! Bukankah itu hebat?"

"Dia bilang begitu padamu?" tanya Chanyeol lagi.

"Ya."

"Dalam Bahasa Inggris?"

"Tentu saja."

"Ck," Memutar bolamatanya, Chanyeol mengibaskan tangan, "yang benar saja."

"Kadang-kadang, dia juga datang untuk mengunjungiku di malam hari."

Chanyeol merubah raut mukanya menjadi agak keras. Dagunya bergemeretak, "Apa? Mengapa?" Baekhyun menggembungkan pipinya, "Dia bilang karena dia kesepian…"

"Lalu? Dia tidak bisa begitu saja seenaknya memasuki kamarmu seperti itu di malam hari!" maki Chanyeol, "Dia seperti orang cabul, kau mengerti?"

Baekhyun mengerjap tidak mengerti, "Yah, terkadang dia datang mengunjungiku ketika aku tidak berpakaian."

"APA?"

Chanyeol membuang mukanya tidak percaya, ia mendecih, menyumpah serapah dan bahkan memaki-maki si hantu sialan yang dimaksud. Dia juga hampir menumpahkan kesalnya saat Baekhyun sudah kembali menyambung perkataannya, "Sekali waktu, dia pernah datang ketika aku sedang mandi di danau…"

"Ah? Itu sangat gila!" desah Chanyeol, kemudian menatap mata Chanyeol yang membulat dengan kadar inosen. "Kau begitu naïf."

"Dia datang mengunjungimu bukan karena dia kesepian," tambah Chanyeol lagi.

"Lalu mengapa?"

"Hah," sentak Chanyeol, "dengar, laki-laki tidak berpikir seperti itu."

"Jadi apa?" tanya Baekhyun lagi. Sama sekali tidak terkoneksi.

Chanyeol berkata dengan sangat frontal; "Dia ingin melihatmu telanjang! Itulah sebabnya! Tidak heran jika hantu konyol itu mendatangimu. Dia hanya ingin melihatmu!" desah Chanyeol, menepuk dahinya sangat kesal. Dia saja belum pernah melihat Baekhyun telanjang—masa keduluan oleh hantu yang tak jelas apa dan bagaimananya?

"Lagipula mengapa kau mandi di danau?" cibir Chanyeol, "Kau harusnya memberitahu Pendeta untuk menyingkirkan hantu itu,"

"Ck. Lagipula siapa namanya?"

Baekhyun mengulum senyum, "Macaulay Caulkin. Dia tinggal di New York."

Dengan jawaban menyebalkan milik Baekhyun, telak membuat panas hati Chanyeol. Laki-laki itupun meninggalkan Baekhyun yang sumringah dengan seringai di bibirnya. Mendesah kesal. Sangat-sangat kesal.

"Hei! Tunggu aku!" teriak Baekhyun di belakangnya.


Mereka sampai di sebuah gudang tua tempat menyimpan makanan milik para biksu di Vihara. Hasil sumbangan dari warga sekitar. Baekhyun bilang, biksu-biksu itu tidak memakannya sekarang dengan alasan untuk jaga-jaga saat-saat darurat saja. Seperti ketika musim paceklik, atau saat sudah tidak ada lagi bahan makanan yang pantas untuk dimakan.

Baekhyun menyorot senternya, membuat beberapa anak tikus yang tadi sibuk berkejaran lari-lari dan mencicit ketakutan ke balik induknya. Chanyeol mengikuti di belakangnya.

"Kau mau makan sesuatu?"

"Tidak."

Baekhyun membuka sebuah peti besar berisi beras. Tapi ia bukan bermaksud mengambil berasnya. Mendesah panjang ketika sesuatu yang ia cari tak ada di sana.

Baekhyun berpindah ke bagian kiri. Di sana terdapat kotak-kotak kayu tergantung di dindingnya dengan rapih. "Apa yang kau cari?" tanya Chanyeol ketika membantu penglihatan mereka dalam gelap.

"Sesuatu yang nikmat." jawab Baekhyun. Ia mendongak bagian atas beras hingga sebuah benda dengan tutup merah terlihat jelas. Berkilau, dan bentuknya seperti…

"Stoples?" tanya Chanyeol.

"Sst. Ini bukan sekedar stoples."

"Apa itu?"

"Anggur raspberi," goda Baekhyun mengguncang-guncang stoples itu. Gemericik isi di dalamnya terdengar jelas bagi telinga Chanyeol yang lebar. Dah oh, anggur raspberi? Itu adalah terbaik dari semua anggur terbaik yang pernah ada! Jarang ditemukan karena tidak diproduksi secara massal. Lebih tepatnya sebab ini adalah jamuan khusus bagi keluarga kerajaan.

"Aku yakin kau belum pernah merasakannya?" Baekhyun memeletkan lidah. Ia mengajak Chanyeol duduk di bale kayu terdekat, dengan Chanyeol yang sudah hampir meneteskan liur saking ingin. "Wow!"


Mereka bersulang menggunakan wadah batok kelapa yang Baekhyun cari dari tempat ditatanya. Setelah sebelumnya mengisi itu dengan kuah (anggur), Baekhyun menyerahkannya untuk diminum oleh si tinggi Chanyeol.

Ia membiarkan Chanyeol meneguknya lebih dulu. Gluk. Dan Baekhyun tertegun untuk menanti reaksi dari Chanyeol.

Ketika rasa itu mengecap di lidah Chanyeol untuk pertama kali, asing adalah yang paling kentara baginya. Ada manis, asam, sepat, serta getir, bercampur aduk menjadi satu dan membuat sensasi tersendiri. "Enak!" komentarnya, dan kembali menyeruput isi wadah dengan tidak sabar.

Baekhyun melongo. Ia menaruh wadahnya dengan cepat seraya merebut wadah minum milik Chanyeol, "Hati-hati. Jangan diminum semuanya!" peringatnya. Dan ia hanya bisa mengatup mulut takut ketika Chanyeol mulai menampakkan wajah orang mabuk.

"Aku merasakan kedatangannya. Ia mulai mendatangiku…" igau Chanyeol seperti orang sedeng. Ia memejamkan mata, dan bergestur sangat-amat menggigit, "Ah, itu hebat sekali!"

Baekhyun menatapnya maklum. Chanyeol sama halnya dengan dirinya ketika baru pertama disuguhi yang seperti itu. Jadi Baekhyun mengambil sendoknya yang tergeletak dan menggunakannya untuk menciduk air raspberi yang tersisa dalam wadah miliknya.

Ia menggunakan kelingking kanannya untuk mengaduk-aduk isi sendok sebentar dan tersenyum, menenggaknya dalam satu teguk. "Kau mana bisa menggunakan sendok!" sela Chanyeol namun terlambat. "Aku merasakannya," kata Baekhyun tiba-tiba.

"Benarkah?"

"Ya. Dia mendatangiku!" Uh, anggur raspberi memang tidak ada tandingannya!

"Benarkah?" Chanyeol bertanya ulang. "Dia mendatangiku seperti gelombang."

"Bagai gelombang?"

Atensi Chanyeol teralih menatap hewan kecil yang merayap di pinggir stoples. Punya antena kecil dan berlendir. Mungkin bagi beberapa orang akan sangat menjijikkan.

Yah, itu seekor siput kecil yang makin terlihat mungil di telapak lebar Chanyeol.

Chanyeol mengambilnya dan memamerkannya di depan Baekhyun. "Yang satu ini terlihat mirip denganmu," katanya.

Baekhyun mendengus tidak suka. "Kalau begitu, bisakah kau menaruhnya dalam lidahmu?"

"Kenapa aku harus melakukannya?"

"Itu bagus untuk kita yang laki-laki!" kata Baekhyun. Sedikit memanas-manasi. Chanyeol menoleh, "Dalam hal apa?"

"Membuatmu menjadi lebih jantan!"

Chanyeol menjadi tertarik, "Benarkah?"

Baekhyun mengangguk, "Aku mendengarnya dari keturunan ahli seksologi legendaris," ucapnya meyakinkan. "Jangan beritahu orang lain, karena kalau rahasia ini sampai bocor pasti siput akan punah…"

Dengan gerakan terlampau cepat, Chanyeol meletakkan siput kecil itu tepat di rongga mulutnya. Baekhyun tercekat, "Apa yang barusan kau lakukan?"

Chanyeol membuka mulutnya dan menjulurkan lidah. Siput kecil itu berjalan di atas lidah Chanyeol yang liat. Baekhyun bergidik, sangat mual. Chanyeol benar-benar mempercayai seluruh apa katanya.

Oh Tuhan.

Setelah mereka selesai, dan isi stoples anggur tinggal tersisa setengahnya, Chanyeol menatap Baekhyun, "Bolehkah aku menanyakan sesuatu?"

Baekhyun masih bergeming.

"Apa kau masih memiliki kutukan itu?"

"Tentu saja masih," jawab Baekhyun tanpa ragu.

Chanyeol mundur sebentar dan menghela napasnya. Badannya bersandar pada tumpukan jerami dan ia menuding Baekhyun, "Kau aneh sekali."

"Aku tahu kalau aku memang aneh."

Chanyeol lalu memajukan wajahnya, berkata tepat di depan Baekhyun. Entah itu pengaruh mabuk atau sadar, Baekhyun tak perlu tahu. Tapi yang jelas, kata-kata Chanyeol terlalu menohok ulu hatinya. Baekhyun merasa sangat-sangat jauh dari Chanyeol padahal orang itu berada tepat di sampingnya. Entah untuk alasan apa, dia pikir kalau mereka memang tidak pernah mengikrarkan kejelasan tentang semuanya:

"Walaupun kakiku bisa patah karena aku menciummu, aku tetap akan melakukannya suatu hari nanti,"

Lalu yang Baekhyun lihat sedetik setelah berkata begitu adalah Chanyeol yang menarik dirinya dari Baekhyun, tampak menyeringai dengan guraunya yang menyebalkan.

Sebentar tertegun. Mengerjap. Waktu menyisakan Baekhyun menggumam sendirian, "Itulah sebabnya kita tidak bisa melakukannya. Aku takut akan menyakitimu…" ucapnya pilu. Menoleh ke samping, ia mendapati Chanyeol telah lelap dalam mimpi. Dan mungkin perkataannya hanya sekedar lalu. Mungkin juga nanti ketika ketika bangun, Chanyeol sudah lupa kalau ia pernah mengatakan sesuatu yang telah lama Baekhyun pendam. Ingin ia katakan dan rasakan, tapi ia sadar itu tidak mungkin.

Lirih terdengar bersamaan setitik air bening yang turun melalui lekuk pipi pucatnya; "Aku mencintaimu…

…Maafkan aku, Chanyeol-ah."


3600


Sudah genap dua tahun lebih Chanyeol menghabiskan hidupnya di Vihara. Menjalani kehidupan apa adanya layaknya para biksu. Dan hari ini, sudah waktunya ia akan kembali ke kota. Menuruti apa kata ibunya; mendaftar Perguruan Tinggi dan hidup di rumah mereka di Seoul.

Siwon melepasnya dengan upacara minum teh seperti waktu pertama Chanyeol datang ke mari.

"Apa kau benar-benar ingin pergi besok?" tanyanya final. Chanyeol mengangguk, menyisakan Baekhyun yang tertunduk dalam-dalam. Kali ini, mereka harus berpisah lagi.

Siwon meneliti Chanyeol, "Apa sudah cukup belajarmu?"

"Ya, Pendeta." balasnya. Siwon lalu mengalihkan perhatiannya memandang Baekhyun yang daritadi hanya diam. Siwon menarik napas, "Kau akan menjadi senior tahun depan. Kau harus belajar lebih keras."

"Ayo diminum," Siwon mempersilahkan mereka.


Baekhyun tidak menyia-nyiakan kesempatan terakhir Chanyeol berada di sini. Ia menyajikan menu, hanya beberapa potong apel dan menu sehari-hari biksu. Dan mengetuk pintu kamar tempat Chanyeol menempat. Kamarnya, hanya saja ia membolehkan Chanyeol bertandang. Khusus malam ini.

Beberapa detik dia masih mengerat pegangan pada nampan. Di atas tempat tidur sebelah kanan ada dua potong selimut yang masih bersih dan tampaknya kasur jerami yang isinya baru diganti. Di sebelah kiri ada sebuah meja tempat Baekhyun menaruh barang-barang miliknya. Tembok batu sebelah-menyebelah dibuat begitu kuat supaya jangan terdengar ketuknya dari luar tapi bagian dari terobosan pipa pemanas kamar didempul, sehingga suaranya agak menggema. Hangat, begitulah kamar Baekhyun karena ia memasang pemanas. Ia tidak bisa tidur dalam suhu cukup dingin. Lagipula, pipa pemanas itu sendiri rupa-rupanya memang turut menyalurkan suara. Jendelanya dibuat kira-kira setinggi pinggul. Sehingga orang yang menatap ke luar langsung dapat tersuguhi apiknya bintang malam.

Chanyeol iseng menggeratak barang-barang Baekhyun. Ia memilih kamera SLR di antara banyak yang terjajar. Baekhyun menghampirinya, "Apa yang kau lakukan?"

"Hmm. Mau berfoto?" tawar Chanyeol. Baekhyun mendesah, "Jangan sembarangan mematai kamarku,"

"Maaf," Chanyeol balas menyeringai. Baekhyun tidak mengindahkan, "Kau tahu caranya mengupas apel?"

"Aku bisa mencobanya."

Chanyeol dan Baekhyun duduk di atas ranjang sederhana Baekhyun. Dan Chanyeol benar-benar melakukannya. Ia mengupas apel dengan gerakan memutar. Dan meski belum terampil, itu digolongkan lumayan untuk seorang yang seumur hidup tidak pernah mengupas apel. Walau yah, daging buah apelnya banyak menempel di kulit apel.

"Apa kau dibolehkan makan daging?" tanya Chanyeol tiba-tiba. Baekhyun mengendikkan bahu, "Aku tidak pernah peduli daging. Tapi… Aku sangat menyukai sushi."

Baekhyun memejamkan mata. "Pernah aku memimpikannya. Rasanya begitu indah…" kata Baekhyun dibuat-buat. Chanyeol menatapnya dengan menaikkan alis, "Aku malah sudah bosan makan itu. Ayahku membuka restoran Jepang."

"Kau mesti sangat beruntung."

Chanyeol masih sibuk dengan apelnya yang belum tuntas-tuntas. "Kau melihat dirimu menjadi seperti apa sepuluh tahun mendatang?"

Baekhyun mengulum bibirnya, "Mungkin aku akan menikah," komentarnya singkat.

Chanyeol tertegun, "Menikah?"

Dan tak butuh dua kali bagi Baekhyun untuk mengulang dan berkata, "Ya." agar Chanyeol mengerti.

"Dengan siapa?" tanya Chanyeol pada akhirnya.

Baekhyun mengalihkan tatapannya, menatap Chanyeol penuh kesungguhan, "Seorang bankir muda yang tampan,"

Chanyeol menyeringai, "Tapi aku tidak ingin menjadi bankir, Baek…"

Baekhyun mencibir, "Apa kau baru saja bermaksud bilang kau itu tampan?" ucapnya, membuat rona tipis Chanyeol memenuhi wajah karena malu.

"Yah… Tapi mengapa harus bankir?" protes laki-laki tinggi itu.

Baekhyun berdiri, melihat bintang dari jendela kamar dan menjawab, "Agar kami bisa merampok bank bersama-sama…" jedanya sebentar, "…lalu kita akan membeli pesawat ruang angkasa buatan Rusia."

Tak mendengar ada respon berarti, Baekhyun tersenyum pelan, "Kemudian aku akan menggunakannya untuk pergi dari planet ini…,"

Chanyeol mengulum senyumnya taat, "Memangnya untuk apa?"

Agak lama sebelum Baekhyun beralih menatap pasang mata coklat terang milik Chanyeol. Masih dengan binarnya yang kekanakan seperti dulu, itulah dia. "Karena planet ini bukanlah tempatku…" bisik Baekhyun kelewat halus.

Bukan. Ini bukan tempat Baekhyun. Baekhyun…

bukan berasal dari sini.


Mereka memutuskan untuk mengambil foto sebagai kenang-kenangan.

Duduk dengan berjauhan tapi dengan raut muka cerah, tersenyum, meski tanpa bergandeng tangan. Kamera telah melakukan hitung mundur. Ketika Baekhyun mengerjap, kamera itu berhasil berkedip dan melakukan tugasnya.

Malam itu pula. Di tempatnya masing-masing, baik Chanyeol maupun Baekhyun, sama-sama tidak bisa memejamkan matanya. Berulang-ulang mereka merubah posisi tidur yang pas namun tidak dapat terpejam.

Chanyeol terus-menerus memikirkan perkataan Baekhyun tentang asalnya. Betulkah itu, ia tidak tahu.

Baekhyun menyibak selimut tidurnya dan mendesah, memikirkan Chanyeol yang barangkali kebingungan dengan semua yang pernah ia katakan. Memangnya Chanyeol akan percaya?

Mereka sama-sama memandang langit-langit kamar masing-masing. Pikiran itu jadi menerawang.

Sampai akhirnya Chanyeol memutuskan untuk nekat dan kabur dari kamarnya tepat pukul 12 tengah malam.

Ia mengendap-endap. Meminimalisir supaya tidak ada suara sedikitpun yang timbul, dan mengenakan sepatu hati-hati.

Saat sampai di pemakaman Amerika yang tempo lalu sempat ditakutinya, ia menyorot beberapa makam. Tidak ada yang aneh. Mungkin hanya hawa dingin jadi perasaannya dibuat merinding.

Napasnya tersengal-sengal. Ketika sampai di tengah-tengah hutan, ia berhenti untuk menarik napas. Kemudian melanjutkan perjalanan tanpa membuang banyak waktu. Kemejanya berkibar ditiup angin malam.

Chanyeol menyetop tumpangan. Beruntung ada sebuah mobil boks berhenti dan arahnya kebetulan menuju Seoul.

Dan meski angin dingin sangat ngilu menusuk kulit, Chanyeol akan mengerat pakaiannya yang tergolong tipis dan tersenyum lebar hanya dengan memikirkan senyuman Baekhyun.

Chanyeol bisa menjadi apapun dan mengorbankan semuanya demi Baekhyun seorang.

Berkilo-kilo meter untuk sampai di Seoul dan juga itu artinya masih berpuluh-puluh meter untuk dihabiskan untuk berlari hingga Chanyeol bisa sampai di restoran Jepang milik ayahnya tepat jam dua dini hari.

Ia menggedor pintu dengan tidak sabar dan memanggil ayahnya dari luar.


Dengan terkantuk-kantuk, Yoochun alias Tuan Park terpaksa menuruti permintaan Chanyeol yang aneh: sebuah bento yang ditata cantik lengkap dengan sushi di dalamnya.

Tidak berselera dan mata masih terpejam setengah, Yoochun mengepal nasi dengan potongan ikan.

"Itu mengerikan!" komentar Chanyeol dengan nada merajuk. Yoochun menghela napas, "Biarkan saja dia makan yang seperti itu,"

Chanyeol merajuk lebih hebat. Ia menghentak-hentak kaki dan sampai melakukan aegyo gagal—demi sushi Baekhyun. "Bangunlah, Ayah."

Demi Tuhan, itu adalah yang pertama kali dalam tujuhbelas tahun hidupnya seorang Park Chanyeol melakukan aegyo, dan konyolnya lagi itu di depan sang ayah. Chanyeol merasa kali ini memang perlu mengeluarkan jurus andalan terjitu. Dan bila ini tidak mempan Chanyeol telah menyiapkan perangkat lain lagi seperti—

"Ayah! Membuat sushi adalah kemampuanmu yang terbaik! Tiada koki yang sebanding denganmu!" rayu Chanyeol.

Ketika Yoochun mengangkat wajahnya dengan malas-malasan, di sana telah terpampang jelas wajah Chanyeol yang sangat konyol dan kusam—mungkin pengaruh debu dari perjalanannya ke mari. Dan serius, siapapun yang melihat pasti akan tertawa. Chanyeol kini bahkan bertingkah seperti bocah tiga tahun yang bila tak dibelikan mainan akan mengambek dan minta diajak pulang. Kurang lebih begitu.

Ayahnya tertegun sebentar sebelum membalas, enggan menuruti Chanyeol. "Jangan diragukan lagi yang itu," serta melanjutkan pekerjaannya menggulung nori bersama sekepal nasi putih.

Alis Chanyeol berkedut dengan kentara. "Ahaha, ayolah Ayah! Ini untuk Baekhyun~" Ia berdalih lagi. "Aku butuh bantuanmu, Ayah!" serunya. Ia menghentak meja dengan kaki panjang yang tak sabar dan sarat kegemasan. Ayahnya sangat tidak peka.

"Sudahlah, bawa saja." ucap Yoochun, menyodorkan senampan sushi berantakan ke muka anaknya.

Di saat Chanyeol hampir frustasi, kelebatan pikir dalam otaknya mampir. Memaksa dia untuk menatap mata Yoochun yang sangat tipis. Ini jurus terakhir, dan kalau tidak mempan juga dia berjanji akan menceburkan diri ke dalam sumur di Vihara.

"Aku akan mendapatkan posisi lima besar untuk ujianku selanjutnya!" seru Chanyeol begitu serius. Nadanya terkesan dewasa, tidak ada lagi main-main. Yoochun sampai terbengong menatapnya. Betulkah ini Chanyeol si bandel yang itu? "Lima besar?"

Chanyeol mendesis, terlampau cepat ia mengutarakan. Dan pasti ayahnya tidak mau diajak main-main dengan ucapan itu. Dengan cepat pula Chanyeol menggaruk tengkuknya kikuk, ia mengambil napas, memalingkan wajah. "Sepuluh besar," lirihnya.

Tak butuh pengeras suara bagi Yoochun untuk bisa mendengar ucapan terakhir dari anaknya. Ia memundurkan tubuh seraya mengangguk, "Baiklah," katanya, "itu cukup lumayan. Tapi… Bagaimana jika kau gagal?" sinis pria itu. Ia menyilangkan tangan di dada, Chanyeol tidak dapat sepenuhnya diandalkan, ia yakin itu.

Tiba-tiba Chanyeol menarik kotak lumayan besar, berisi garam kristal yang bubuknya menyengat. Baunya menyegrak seperti ingin menohok kerongkongan. Dengan sangat pasti ia menyekop isinya dengan sendok kayu dan mengarahkannya ke mulut. Yoochun menghela napas dengan tercekat. Tidak pernah percaya Chanyeol akan betul-betul senekat itu. Anaknya, terasa seperti bukan anaknya. Sebab Chanyeol yang ia kenal, belum pernah melakukan hal yang peluangnya bakal merugikan diri dengan banyak. "Apa harus kubuktikan padamu?"


3600


Matahari mulai merayap malu-malu ke singgasananya. Ini waktunya bagi tiap orang untuk kembali menghirup udara pagi yang belum tercampur polutan. Termasuk juga Baekhyun.

Berhubung Baekhyun adalah pecinta hidup sehat, ia tak pernah sekali-kali bangun saat jarum jam melewati angka delapan. Subuh hari ia sudah menyibak selimut. Pintu kayu kamarnya berdecit menandakan empunya keluar dari sana.

Sebentar ia duduk di pelataran kayu. Menguap. Menghirup oksigen dengan rakus, sampai pasang matanya yang cukup jeli teralihkan oleh gugusan batu menyerupai anak panah. Tergambar dengan jelas.

Awalnya hanya sebuah. Dua buah. Tiga. Namun ketika ia mengikuti alur si tumpuk batu, ia mendapati hal mencengangkan lain, bahwa anak panah yang disusun dengan batu itu berjumlah banyak dan menunjuk ke satu arah.

Memutuskan untuk mengikuti, ia bangun dari tempatnya. Mengikuti dengan khidmat sembari mencermati apa kiranya yang akan menghubungkannya dengan ujung si batu. Penasaran. Ia menyeringai tertahan. Mencoba menerka. Apa? Ia berusaha menebak hingga akhirnya tungkai kakinya berhenti saat susunan batu itu pula disetop di depan sebuah tikar.

Itu di dalam hutan tempat beberapa batu yang di bawahnya ada sungai kecil. Bentuknya seperti danau, dan tempat itu amatlah indah. Seperti Nirwana. Baekhyun mengerti, pasti ada seorang yang berusaha memancingnya ke mari. Tapi ia diam saja.

Kembali ke tikar tadi, di atasnya telah tersusun keranjang perbekalan seperti barang-barang yang biasa dibawa orang untuk pergi piknik. Baekhyun menoleh ke sana ke mari, kemudian menumpu lututnya dan duduk. Keranjang makanan itu dibungkus oleh kain dan diikat dengan jalinan yang rapih. Dengan penasaran dan sikap lancang, ia membuka simpul yang mengikat si keranjang, dan detik setelah itu Baekhyun dibuat tercekat.

Keranjang itu berwarna hitam, tersusun dalam tiga tumpuk.

Di dalam keranjang tingkat teratas—yang ternyata adalah kotak bento—tersusun apik di sana; paduan sushi segar dengan batu-batu kecil putih cantik. Beberapa hydrangea tersemat melengkapi riasan. Persis seperti sushi yang ada dalam mimpinya.

Ia sumringah dengan mata berkaca dan melanjutkannya. Menyingkirkan tingkatan teratas dan menilik tingkat tengah. Ada ikan salmon segar dengan saus tomatnya—yang pastinya nikmat.

Mata Baekhyun semakin berair seiring dengan hatinya yang melompat tatkala ia mendapati tingkat terbawah sekaligus yang paling akhir. Di sana, di kotak hitam itu, ada susunan sushi membentuk hangul bagi namanya, serta secarik kertas bertuliskan: "Semoga kau menyukainya" tersemat di atasnya. Itu sempurna. Dan bahkan Baekhyun bingung harus dengan kalimat mana ia menyanjung jamuan ini.

Ia bangun, menahan tangisan yang bergema dalam rongga dada. Serta menoleh ke kiri dan kanannya, "Chanyeol-ah, aku tahu kau ada di sini!" ucapnya agak keras.

Ia kesal saat tak kunjung ada jawaban sama sekali. "Aku tidak akan memakannya kecuali kau keluar!" ancamnya. Tak lupa berkacak pinggang dengan alis dikerutkan.

"Kau sebaiknya keluar pada hitungan ketiga! Satu," ucapnya. "Dua…"

Srak.

Chanyeol yang awalnya bersembunyi di balik pohon akasia besar yang menghalangi pandangan keduanya, memutuskan keluar. Ia menyeringai pelan mendapati raut merajuk Baekhyun.

Baekhyun terkekeh.

Selangkah demi selangkah mereka meminimalisir jarak. Dengan itu tubuh mereka hanya berspasi kira-kira tiga langkah. Baekhyun berada tepat di depan tubuh tegap Chanyeol yang lebih tinggi.

"Aku hanya menumpang mobil seorang paman dan membawa mereka (sushi)ke mari," bela Chanyeol sambil menjelaskan, tepat sebelum Baekhyun ingin bertanya.

Baekhyun menggeleng dan maju dua langkah. Ia menatap Chanyeol dengan tidak percaya dan sekaligus terkesan. "Chanyeol-ah," panggilnya. Baekhyun mengusap surai kecoklatan milik pemuda yang lebih tinggi, membuat pemiliknya berjengit tidak mengerti. Katanya, mereka tidak boleh sampai bersentuhan, bukan? Tapi mengapa Baekhyun memulainya? Namun begitu, Chanyeol tak sama sekali menepis perlakuan Baekhyun yang tiba-tiba jadi membiru begini.

Ia terbawa suasana kala menilik manik mata Baekhyun yang diselingi air.

"Apa kau mau mendapat cacar air lagi?" tanya Baekhyun cepat. Chanyeol tidak sadar sama sekali sampai ia merasakan kenyal belah bibir Baekhyun yang tipis, menyapa pelan bibirnya sendiri. Ia tak punya waktu untuk menjawab pertanyaan Baekhyun yang singkat dan cenderung retorik karena Baekhyun telah melakukannya lebih dulu.

Pemuda yang lebih mungil agak kewalahan dan berjinjit untuk menyeimbangkan posturnya. Ia menumpangkan kedua tangannya di bahu tegap pasangannya dan terus menyalurkan perasaan itu lewat sebuah ciuman suci tidak terduga.

Baekhyun tak mau melepas tautan itu bahkan ketika Chanyeol mencoba menghalau tubuhnya yang makin merapat. Baekhyun telah memejamkan mata dan mulai menikmati ciuman itu. Sementara Chanyeol yang masih bingung, ikutan memejamkan mata namun lebih erat. Dengan gerakan yang masih awam dan terbilang baru, Chanyeol menyesuaikan dan instingnya bekerja dengan sendirinya. Tangannya bergerak dan mengalung pelan di pinggang Baekhyun. Meski awalnya sedikit gemetar.

Tidak ada lumatan. Tidak ada kecupan. Hanya dua bibir yang saling menyapa satu sama lain dan mencoba menyesuaikan alur konstan.

Saat itu, rasanya, baik hati kecil Chanyeol maupun Baekhyun, sama-sama terisi oleh banyak kupu-kupu. Seperti ada parade sirkus kuda liar, perut mereka bergemuruh seiring memori yang menjalin.

Ciuman pertama dengan pelataran hutan dan kicau anak burung. Yang jelas itu sangat indah.

—Tapi yang Chanyeol lewatkan adalah pemandangan Baekhyun yang menangis di sela ciuman indah mereka.


Sepertinya, kutukan Baekhyun memang tak pernah main-main.

Kali ini flu.

Tepat di pagi hari yang kemarinnya mereka berciuman di tepi danau, Chanyeol mengeluh pusing.

Ia pun dilarikan ke rumah sakit dan baru sadar beberapa lama setelahnya.

Virus influenza memang cukup umum. Maka itu Chanyeol berdalih ia tidak apa-apa.

Baekhyun taat menungguinya di samping ranjang pasien. Sesekali ia menatap miris pada Chanyeol yang tergolek. Suara batuk pemuda tinggi itu mengusik telinganya dan membuat penyesalan tersendiri. Ia menyesal mengambil langkah gegabah. Dan ia berharap jika ciuman kemarin tidak pernah terjadi karena hanya dengan itu, Chanyeol tidak akan jadi menderita seperti ini.

Lain hal dengan isi otak Baekhyun, Chanyeol kira seperti dulu penyakit masa kecilnya—cacar air—ini juga bukan salah Baekhyun.

Chanyeol tidak ingin salah paham itu terulang dan terjadi kembali. Ia takut akan kembali kehilangan Baekhyun kalau-kalau rasa bersalah itu menyelinap dalam ruang hatinya. Ia tidak mau.

Sampai Baekhyun yang ingin pergi sebentar ke toilet, Chanyeol akan larang. Ia selalu kembali menggenggam tangan kekasihnya secara erat dan kembali meletakkan tautan tangan mereka di atas selimut yang membungkus tubuhnya seraya berkata, "Jangan pergi…"

Tapi…

…itu tidak penting bagi Baekhyun.

Peristiwa Chanyeol yang sakit membuatnya bersedih.

Maka tidak heran ketika pagi hari tepat saat Chanyeol dibolehkan pulang, kekasihnya tidak dapat menemukannya di manapun berada. Tidak bisa dicari ke mana-mana.

Baekhyun tiba-tiba saja menghilang. Menyisakan koridor rumah sakit yang sunyi. Dan tentunya, Chanyeol.


3600


8

3600x365x25 = 90000x365

164250 = 1314000:8

(17) = 22338000

(22338000+1314000):25 = 946080:365 = 2592x25 = 64800:18 = 3600

"Ini temanku. Ini sahabat baikku."

Suatu pagi yang padat di kota besar seperti Seoul yang tidak pernah tidur.

Park Chanyeol kini semakin menawan dengan balutan jas formalnya yang apik disertai dengan langkahnya yang tegas berkelas.

Ia menunggu bus di trotoar seraya mengecek arloji.

Dan ia… Betul-betul mewujudkan mau Baekhyun. Bicara mengenai pekerjaan Chanyeol, selepas diwisuda dari Perguruan Tinggi-nya (dan ia benar-benar mendapat peringkat atas saat ujian masuk), ia sukses menjadi seorang bankir di salah satu bank Negeri yang gajinya sangat lumayan.


"Obligasi ini bebas pajak, mengapa Anda tidak mengambil brosurnya?"

Chanyeol mengernyit dengan main-main dan menatap salah seorang pelanggan cilik lewat wajahnya yang konyol. Beberapa kali si anak terkekeh dengan dia yang membuat ekspresi aneh.

Dan sementara temannya yang lain sibuk mengurusi para nasabah yang makin hari makin mengeluh tentang fasilitas, Chanyeol justru diusiki anak kecil.

Anak perempuan itu duduk di depan kursi Chanyeol dan tertawa-tawa.

Beberapa menit kemudian, Chanyeol menekuni layar komputer lagi. Anak itu sudah diseret pulang oleh ibunya. Dari belakang bangku Chanyeol, rekan kerjanya menatap dengan sinis yang dibuat-buat. Itu dia namanya Jongin. Pria itu bermaksud menanyai obligasi pajak yang tidak ia ketahui harus dikenakan berapa persen. Yang bersamaan dengan bos mereka datang, memergoki Jongin jalan-jalan dari tempatnya. Dan pria itu marah tapi tidak pada Chanyeol sebab ia mendapati Chanyeol sedang tekun. Sialan. Jongin yang kena.


Di jam makan siang, Chanyeol dan rekannya itu keluar untuk mengisi perut.

Dan selalu, ketika selesai dengan acaranya, akan menjadi kebiasaan Chanyeol untuk memandangi kotak kaca berisi beragam kadal yang dipajang apik di depan restoran Cina tempat mereka makan.

Dan selalu pula, Jongin akan menanyainya, tidak pernah tidak:

"Kenapa kau sangat menyukai kadal?"

Chanyeol pun menjawabnya dengan jawaban yang itu-itu saja, "Bukankah mereka lucu?"

Jongin melihat satu ekor yang coba merayap ke bagian sisi kaca. Jelas, dari dekat kadal tidaklah merupakan binatang yang sedap dipandang. Menyeramkan, apa yang lucu?

Jongin berjengit, "Kau bercanda? Mereka menjijikkan."

Chanyeol menyeruput kopi gelasannya dan beralih menatap Jongin. "Apa kau tahu alasan mengapa orang membenci kadal?"

"Karena lidah mereka yang panjang?" jawab Jongin cepat.

Chanyeol menggeleng dan menatap kotak kaca itu lagi. "Bukan. Mereka benci kadal sebab mereka takut." Jongin mendengus, "Kenapa?"

Menyeringai, Chanyeol mulai menjelaskan teorinya. "Ingat dinosaurus yang pernah menguasai Bumi?"

Jongin mengangguk.

"Saat itulah manusia mulai merasa takut."

Kerjapan pelan.

"…Mereka takut kalau dinosaurus akan menguasai Bumi kembali," jawab Chanyeol sambil menerawang. Ketika ia menjawab itu memang, ia merasa seperti dirinya kembali merindukan orang itu.

Dan persis. Chanyeol berujar persis apa yang Baekhyun pernah katakan padanya.

Jongin mendesah kemudian menarik napasnya dengan tenang, "Tapi ini bukan dinosaurus."

"Mereka masih sepupu!" bela Chanyeol.

"Oh, begitu." Jongin terkekeh dibuat, merasa enggan. "Ah, omong-omong, Minseok bertanya padaku apakah kau masih lajang?"

Chanyeol yang tadinya sedang menyeringai iseng, memudarkan senyumnya itu dan menggantinya dengan tatapan miris. "Oh," komentarnya pelan. Lalu meninggalkan Jongin berdecak ketika tahu pria tinggi itu meninggalkannya beberapa langkah. "Tapi dia punya $300.000,- di bank." seru Jongin.

"Aku bahkan lupa namanya," Chanyeol menjawab menggantung. Pikirannya menerawang.

Jongin menghentikan langkahnya. Menarik Chanyeol berhenti juga, "Namanya Kim Minseok."

Chanyeol tidak mengindahkannya melainkan menyibukkan diri dengan kembali mengingat sesuatu. Ia berjalan lagi. Dan Jongin dibuat mengerti bahwa Chanyeol bukan menanyakan nama gadis yang menaksirnya itu melainkan memikirkan hal lain.

Ia bergumam-gumam dengan aneh, "Tiru… Tirukara? Kukukuru? Tirutiru? (Tirukuruka?—gadis seksi.)"

Jongin mengernyit, "Gadis seksi? Di mana?" Melongokkan kepalanya sambil mencari, "Tidak ada siapa-siapa di sana!"


3600


"Jangan menghabiskan uangmu."

Ini minggu kedua di bulan Juli. Dan ini juga merupakan minggu ke sekian ratus tepat Baekhyun meninggalkan Chanyeol di kamar rawatnya.

Jongin menasehati Chanyeol yang malam ini terkesan sangat boros.

Chanyeol berulang-ulang meneguk minuman yang kadar alkoholnya tergolong tinggi. Dan mulai mabuk.

Sialnya lagi, tadi pagi bos mereka yang kumisnya bak sapu ijuk itu menuding Chanyeol menggelapkan uang bank dengan nominal sangat besar.

"…Katakan pada mereka kalau kau tidak tahu ke mana uang itu pergi." sambung Jongin. Ia memang figur sahabat setia. Patut dicontoh.

Tapi omongannya terhenti ketika ada gadis cantik yang merupakan pramusaji di pub ini mengantarkan minuman pesanannya. Jongin menoleh sebentar dan menunggu dia pergi, lalu beralih menatap Chanyeol. "Bukankah dia seksi?" tanyanya. "Ayo kita minta nomor teleponnya!" goda Jongin lagi. Namun Chanyeol masih bergeming di tempatnya. Pria itu menatap ke depan dengan ekspresi kosong. Tidak berselera.

Ia mengerat pegangan pada gelasnya yang kini tinggal berisi separuh.

"Mengapa kau terlihat begitu tertekan?" desak Jongin menanyakannya.

"Bagaimana caraku agar bisa menemukannya?" lirih Chanyeol ganti menjawabnya. Jongin berjengit, "Siapa? Baekhyun?"

Jongin menghela napasnya. Chanyeol sama sekali belum menyerah mencari keberadaan Baekhyun. Bahkan sampai ia rela menyewa detektif mahal segala.

"Apa yang detektif itu katakan?" Chanyeol menaruh gelasnya di meja dan beralih menatap kacamata yang bertengger di hidung Jongin, "Dia bilang kalau Korea adalah Negara yang luas,"

"Benarkah? Mengapa kau tidak menyewa detektif swasta yang lebih bagus?"

Chanyeol mendesah, "Aku sudah melakukan itu selama lima tahun lebih,"

"Kalau begitu tanyakan pada Pendeta Siwon!"

"Dia tidak mau memberitahuku."

Jongin mendecih, "Itu karena kau terlihat lemah. Lebih gesit sedikit!" Diguncangnya bahu sahabatnya dengan tidak sabar, "Harusnya kau pergi ke sana dan hancurkan tempat itu!"

"Aku tidak bisa melakukan itu pada seorang biksu."

Jongin menghela napasnya, kali ini sangat-sangat dalam. Ia menunduk dan kemudian menerawang pandang terhadap Chanyeol, "Itu dia jawaban untukmu! Menyerah sajalah,"

Chanyeol tertawa dengan miris dan terang-terangan menatap balik Jongin. "Tolong jawab jujur. Apakah aku ini aneh?"

"Tentu saja! Sudah delapan tahun!" seru Jongin bercampur emosi. Bukan apa-apa, ia hanya tidak ingin Chanyeol terlihat mengais keping harapan yang tak pernah datang kembali.

Chanyeol seperti idiot.

Mengharapkan apa yang tidak seharusnya.

Dan Jongin benci itu.

Ia benci sahabatnya dibodohi soal begini.

"Berhentilah mengganggunya," saran Jongin. Ia menuangkan wine pekat ke gelas Chanyeol yang tergeletak.

Chanyeol memutar bolamata, "Aku tidak pernah mengganggunya."

"Ya. Tapi kau seperti penguntit," ejek Jongin. "Begini. Aku yakin anak itu—"

"Baekhyun. Namanya Baekhyun," sela Chanyeol membetulkan.

"Baiklah. Maksudku, aku yakin Baekhyun merasa takut padamu," katanya. "Itulah mengapa dia terdorong pergi,"

Chanyeol tertegun lewat kata-kata Jongin. Itu… ada benarnya.

Chanyeol memang seperti penguntit Baekhyun. Mungkinkah ia tidak nyaman karenanya?

Ia memalingkan wajah dan meneguk wine dengan acuh.

Jongin tersenyum pelan, "Benar. Lupakanlah dia. Aku muak dengan tindakanmu itu."

Cukup lama Chanyeol tertunduk sambil memikirkan perkataan Jongin yang seolah berputar satu dalam tempurung kepalanya. Ia memikirkan semuanya, termasuk Baekhyun juga, sampai akhirnya ia mengangguk skeptis. "Aku juga sudah muak dengan diriku sendiri. Ayo kita bicara tentang hal yang lain." Ia mengangkat kepalanya sungguh-sungguh, "Aku tidak akan menyebut nama Baekhyun lagi."

"Oke. Bagus." setuju Jongin. Kemudian ia mulai menatap lawan bicaranya dengan sangat tertarik, "Aku punya berita bagus."

"Ya?"

"Aku dengar ada karyawan wanita baru yang akan datang ke kantor kita,"

Chanyeol menyeringai, "Apa dia cantik?"

"Pasti cantik! Dia seperti bidadari!" jawab Jongin mendiplomasi. Dan Jongin terpaksa kembali menelan kegembiraannya tatkala tanggapan Chanyeol membuatnya menarik senyum sangat kecut, "Apa dia lebih menarik dari Baekhyun?"


3600


Sebuah kopi gelasan tertelut apik dalam genggam tangannya. Ia melangkah dengan hati-hati bersama sebuah buntalan kecil yang disampirkan di pundak.

Ketukan sepatu botnya terdengar jelas bagi telinga sesiapa. Dan ia berjalan dengan sopan.

Dia menghampiri salah satu meja transaksi dan berhenti. Menunduk sebentar. Lalu ia menaruh kopi gelasan yang dibawanya untuk disodorkan pada dia yang duduk dengan serius di meja itu.

"Apa ada yang bisa saya bantu?"

Seorang Park Chanyeol. Untuk kali itu dibuat membatu lagi. Sangat lama. Cukup lama hingga ia tersadar dan menganggap itu mimpi.

Baekhyun, berdiri tepat di depan mejanya. Tersenyum dengan cengiran khas. Dengan keadaan masih sama seperti dulu. Dan masih dengan penampilannya yang terjaga—baju yang cenderung selalu berlengan panjang serta sepatu bot.

"Apa kerjaanmu masih lama? Aku akan menunggu di sana," ucap Baekhyun tiba-tiba. Menarik Chanyeol menuju alam nyatanya.

Chanyeol mengerjap. Baekhyun… telah kembali.

Dengan sendirinya.

Kalau begitu mengapa ia repot-repot sampai menyewa detektif yang dikenal hebat yang bahkan tidak mampu melacak di mana Baekhyun kalau nyatanya Baekhyun hadir di sini? Entah bagaimana caranya.

Kopi itu mengepul dengan uap yang menerpa wajah Chanyeol.

Matanya tidak berhenti beralih pandang untuk menilik tubuh Baekhyun. Ia kini duduk di salah satu kursi panjang tempat para nasabah gunakan untuk menunggu giliran.

Kadang-kadang, Baekhyun akan tersenyum dengan cengirannya yang apik saat Chanyeol—yang masih tidak percaya—memandangnya sembari bertanya-tanya.

Ia gelisah di tempatnya duduk, dan salah tingkah.

Bingung ingin mengambil sikap.

Ia terlampau protektif.

Ketika Baekhyun berdiri sebentar untuk mengambil koran pun, Chanyeol resah. Ia dibuat refleks berdiri dari tempatnya juga. Bahkan ketika seorang pria yang merupakan pelanggan tetap bank ini datang.

Chanyeol memang menyambut pria itu dengan sama ramah. Tapi pandangannya tetap menuju Baekhyun.

Baekhyun kini membolak-balik halaman koran. Mulai membaca. Sementara Chanyeol, melayani pria itu.

"Aku datang untuk mendapatkan pinjaman," jelas sang pria.

"Oh, begitu," Chanyeol berdeham, "Pemerintah telah menawarkan pinjaman dengan transaksi menarik. Suku bunga tahunannya hanya sebesar 5,3% per tahun. Sangat stabil, dan Anda bisa mendapatkan pemasukan hingga $15.000,- uhm, maksud saya $150.000,-" Chanyeol menjelaskan sambil mengamati wajah Baekhyun, "Tapi gaji Anda harus…" ucapnya tergantung. Ia melirik pelanggannya yang memandang dengan muka bingung. Dan sedetik kemudian, Chanyeol memantapkan diri. Ia undur diri. "Permisi sebentar, Tuan."

Si pria mengangguk saja meski tidak mengerti.

Sementara itu Chanyeol menunduk, melepas simpul ikatan tali sepatunya dan menjulurkan untainya. Ia berjalan dengan yakin ke tempat Baekhyun duduk sambil membuka-buka koran.

"Chanyeol?" Baekhyun menatapnya tidak mengerti. Namun Chanyeol memilih tak ingin banyak berkata. Ia berlutut di depan Baekhyun dan segera bertindak langsung.

Rupanya Chanyeol mengikat kaki Baekhyun dengan kaki bangku panjang itu supaya si pria mungil tidak dapat berpindah ke mana-mana. Begitulah caranya menahan Baekhyun. Terlampau tidak mau Baekhyun pergi. Lagi.

Baekhyun masih tidak mengerti, "Apa yang kau lakukan?"

Chanyeol masih belum selesai menyimpul. Di tempatnya, Jongin tercekat menahan tawa yang ingin meledak; tawa yang maksudnya menertawakan kekonyolan sekaligus kesungguhan Chanyeol.

Ketika simpul itu terikat rapih, Chanyeol menengadah. Pasang bola jelaga Baekhyun membidik onyx-nya. "Aku janji hanya satu jam, tidak lebih," mohon Chanyeol. Baekhyun tertegun. Senyum Chanyeol terkembang.


3600


Mereka pulang bersama dan berjalan di trotoar yang ibarat lautan manusia. Lampu-lampu jalanan berpendar cantik di sisi-sisi jalanan.

"Apa pekerjaanmu menyenangkan?" tanya Baekhyun ke Chanyeol.

Chanyeol mengendikkan bahu, "Tidak ada pekerjaan yang menyenangkan."

Baekhyun terkekeh. "Tapi omong-omong… mengapa kau menjadi teller? Itu pekerjaan yang sangat membosankan…" komentarnya.

Chanyeol berhenti berjalan dan menatapnya dengan raut kesal, "Apa kau bercanda?"

"Apa…" Baekhyun balik bertanya inosen.

Chanyeol menghela napasnya dengan terluka. "Apa?" ulang Baekhyun lagi.

"Pesawat ruang angkasa!"

"Pesawat ruang angkasa apa?"

Chanyeol melanjutkan langkahnya, "Kau bilang kau akan merampok bank untuk membelinya?"

Seringai Baekhyun terkibar, "Benarkah?"

Chanyeol tersenyum simpul, "Jika kau ingin uang yang banyak, kau harus merampok kantor utama kami." Ia mengalihkan atensi menghadap Baekhyun yang sangat sumringah kini. "Tapi aku tak bisa membantumu ke sana. Maaf."

Sekarang ganti Baekhyun berhenti berjalan, "Bagaimana bisa kau berpikir untuk merampok bank? Apa kau sudah gila?"

"Ya," ujar Chanyeol pasti, "aku memang gila."

Chanyeol gila…, karena Baekhyun.


"Kau sekolah di mana selama ini?" Chanyeol bertanya pada Baekhyun yang selesai meneguk cokelat hangatnya.

Bukannya menjawab tanya Chanyeol dengan benar, namun Baekhyun menghela napas, "Aku diculik," katanya.

"Apa?"

Baekhyun menyingkirkan gelasnya, "Bisakah kau menyimpan rahasia?"

Dan, walau setelah delapanbelas tahun berlalu, Chanyeol masih tetap mengingatnya lekat. Chanyeol menepuk-nepuk dada kanan dengan kepalan tangan kemudian mengarahkannya ke depan mulut, ia mengunci mulutnya dengan gerakan cepat dan lalu tersenyum manis. Seolah-olah dengan itu ia mengatakan; 'Kau bisa mempercayaiku.'

Baekhyun merasa nyaman kembali.

"Beberapa orang dari NASA datang."

"…"

"Kau tahu apa itu NASA?"

Chanyeol mengangguk, "Mengapa mereka mendatangimu?"

"Karena UFO selalu muncul ke manapun aku pergi."

"…"

"Mereka pikir aku alien…"


Bag.

Ctak.

Chanyeol memukul bola tenis dengan sangat kesal. Ia sengaja datang dan menyewa tempat ini khusus. Untuk meluapkan kemarahannya.

Sementara dari jaring besi di luarnya, Baekhyun hanya bisa melihat Chanyeol sendu.

Beberapa kali pukulan Chanyeol meleset. Tapi lebih banyak lagi yang kena dan tepat sasaran. Matanya mulai dirembesi sesuatu yang berat, berair.

"Kau tidak percaya padaku!" Baekhyun berteriak padanya. Cukup keras bagi telinga Chanyeol untuk mendengar.

Chanyeol terengah-engah dengan peluh. "Apakah aku mesti percaya?"

"Tidak juga,"

Chanyeol menjawab sinis, "Apa hanya itu yang bisa kau pikirkan? Alien, huh?"

Baekhyun tersenyum miris, "Memangnya kenapa?"

Chanyeol yang tidak tahan lagi akhirnya membalik badannya dan berkata tegas, "Tak bisakah kau memikirkan sesuatu yang lebih baik?" tanyanya, "Siapa yang akan memercayaimu jika kau mengatakan E.T. adalah sepupumu?"

Baekhyun memalingkan mukanya dan menahan isak, "Kau telah berubah. Chanyeol yang dulu begitu percaya padaku…"

Cukup lama sampai akhirnya Chanyeol meluapkan kata-katanya, "Itu karena aku sudah dewasa!" pekiknya, "Aku bukan lagi anak kecil yang selalu mencium Tirukaka Kukukuru Kantapia Saurus lagi!"

Baekhyun menggigit bibir, sebentar kemudian ia tersenyum. Matanya berkaca, "Kau masih ingat namanya?"

Kerjapan samar sebelum Chanyeol memukulkan tongkat bisbol menghalau bola lagi.

"Chanyeol-ah," panggil Baekhyun. Chanyeol menoleh, mendapati Baekhyun inosen, "Aku lapar,"


Daging ikan salmon beberapa tumpuk. Nasi kepal yang diratakan menjadi lapis. Nori hitam gurih dengan dilengkapi mayonnaise. Udang segar disematkan di beberapa sisi. Kecap manis yang ditabur sebagai pemanis. Serta, jangan lupakan keterampilan sang koki yang handal mengolah waktu. Ia menyajikannya kurang dari setengah jam.

Baekhyun mengatup mulut sembari bergumam, "Enak sekali."

Yah, mereka berakhir di rumah makan Jepang milik Yoochun. Restoran ayah Chanyeol.

Sementara Baekhyun sumringah, Chanyeol menutup wajahnya dan mengeluh. "Kita bisa pergi ke tempat lain yang lebih baik,"

Ketika sajian itu benar-benar siap dan dihidangkan di depannya, Baekhyun tak henti bertepuk tangan dan menatap dengan sangat berselera. "Mereka kelihatannya enak sekali!"

Yoochun tersenyum malu-malu mendengar sanjungan singkat itu.

Chanyeol mendengus.

Tiba-tiba suara Baekhyun menyambung, "Tapi, bagaimana bisa aku memakannya?"

"Kenapa tidak?" Yoochun bertanya bingung.

"Aku tidak bisa menghancurkan sebuah karya seni," cicitnya.

Detik kemudian Chanyeol mengerang dan Yoochun tertawa lebar. Baekhyun itu ada-ada saja.

Yoochun lalu menyorongkan soju ke cawan Baekhyun. "Paman, aku ingin habis-habisan malam ini," kata Baekhyun. Yoochun tersenyum bijak, "Alkohol seharusnya diminum sesuai kebutuhan, tapi selalu lebih baik jika kita minum sebanyaknya!"

Chanyeol mengerang ketika ia merasa pria tua—ayahnya—itu mengusik momennya yang hanya ingin bersama Baekhyun. Dengan alasan itu ia bertanya kurangajar, "Bisakah kami ditinggal berdua saja?"

Yoochun mendelik, Baekhyun mulai menyumpit potongan sushi. Memasukkannya ke dalam mulut.

"Langsung meleleh dalam mulutku!" komentarnya.


Seperti apa kata Baekhyun, malam ini memang begitu habis-habisan.

Beberapa kali ia minta tambah menu karena merasa kurang. Ia juga beralasan jika masakan Yoochun sangatlah enak. Dan Baekhyun menceritakan apa yang telah lebih dulu ia ceritakan ke Chanyeol. Tentang dirinya dan UFO. Dan juga tentang ia yang alien.

Mereka, dua orang itu telah benar-benar sibuk dalam percakapan dan meninggalkan Chanyeol mendesah tidak suka atas eksistensi Yoochun.

"…Lalu apa yang terjadi?"

"Mereka menculikku!"

"Mengerikan sekali…"

"Mereka bilang aku harus pergi ke NASA."

"NASA? Apa itu?"

"Tempat yang khusus membuat pesawat ruang angkasa."

"Oh. Yang itu."

"Sepertinya medan magnetku telah menarik UFO."

"Bagaimana mereka bisa mengetahuinya?"

"Karena UFO selalu muncul ke manapun aku pergi."

"…"

"Begitulah mengapa identitasku terungkap."

"Identitas apa?"

"Aku adalah alien, tentu saja."

Yoochun bengong. Baekhyun alien?

What the fucking God this would be?

Akhirnya dengan tersenyum paksa Yoochun mengangguk. "Oh ya, tentu saja."

Baekhyun melanjutkan ceritanya dengan antusias, "Lalu keparat-keparat itu ingin menggunakanku untuk menangkap UFO."

"Tapi kenapa mereka tega menculik orang sepertimu?"

Baekhyun menyengir, "Mereka ingin mencuri teknologi super alien~"

"Ah," jeda Yoochun, "bajingan-bajingan itu…"


Sebetulnya Chanyeol suka ketika ia hanya ditinggal berdua saja dengan Baekhyun, tapi tak tahu kenapa ia merasa dirinya agak gugup. Barusan Yoochun pamit ke belakang. Dan kini hanya ada dia dan Baekhyun di ruangan itu.

Chanyeol mendeham pelan, "Apa kau harus menaiki pesawat ruang angkasa?" tanyanya.

Baekhyun menatapnya dan beringsut dari acara menopang dagu yang ogah-ogahan. "Aku terpaksa," ujarnya, "bus tidak bisa melakukan perjalanan melintasi luar angkasa."

Chanyeol pun mengangguk. Ia mengerti. Mulai entah kapan itu ia memang menjadi pihak yang selalu memberi.

Ia menatap mata Baekhyun taat, "Baekhyun-ah, apa yang harus kita lakukan besok?"

Baekhyun balik menatapnya dan menarik napas, "Bila ada pesawat ruang angkasa datang dan menjemputku, maukah kau melepas kepergianku?" sergahnya, membuat Chanyeol tertegun sebentar.

"Memangnya bagaimana kau akan membuat pesawat ruang angkasa untuk datang ke sini?" ejeknya dengan seringai konyol. Meski ia tahu, Chanyeol tahu dirinya bertanya begitu hanya untuk menutupi luka hati.

Baekhyun masih kepala batu. "Aku hanya tanya maukah kau?"

Chanyeol menarik garis senyumannya, "Memangnya sejak kapan kau memerlukan izin dariku?"

"Berjanjilah padau kau akan mengucapkan selamat tinggal sambil tersenyum." tantang Baekhyun. Chanyeol mulai luluh dan tenggelam dalam rona kalutnya, dan ia memilih untuk tak menjawab statemenasi milik Baekhyun barusan. "Ayo kita pergi menonton film besok, dan pergi ke restoran yang mahal?" tanya pria tinggi itu. Onyx-nya membidik dengan penuh pengharapan, "Ayo kita berkencan sungguhan, Baekhyun."

Baekhyun memandang Chanyeol sendu. Ia mengerjap beberapa kali dan mengulum senyuman pahit di bibir. Ia memalingkan wajah bersamaan dengan ujaran, "Aku akan pergi ke Amerika Serikat besok,"

Dan suasana mendadak jadi ribuan kali lipat lebih canggung ketimbang sebelumnya.


"ARRRRRRRRRHHHH!"

Chanyeol berlarian lurus-lurus di trotoar. Ia meneriakkan seluruh yang berkecamuk dalam hatinya tatkala jalan raya sudah begitu lengang dan sepi. Membuat gema perkataannya hilang ditiup gemuruh malam.

Bulan berpendar separuh. Uap sisa pembakaran tenaganya lolos begitu saja dari celah mulut Chanyeol yang terengah-engah. Mengais sisa oksigen dengan terburu.

Sementara di saat yang sama, Baekhyun tak melakukan apapun kecuali berjalan dengan arah serta pandangan mata yang lurus dan kosong.

Ia berhenti berjalan kala Chanyeol pun berhenti berlari.

Chanyeol menghela napasnya susah, ia menunduk, mengais harapan yang dipaksa pudar untuk ke sekian kali.

Baekhyun berbalik lalu menghampiri Chanyeol yang diam, berdiri di tempatnya dengan tatapan sangat tidak bernyawa.

"Jangan pergi…" lirih Chanyeol, cukup kuat untuk sampai ke gendang telinga pria yang lebih mungil. Sesekali Chanyeol mengatur napasnya yang mulai membaur bersama lelah. Muak dengan semua sandiwara yang Baekhyun hadirkan di hidup mereka. Dan Baekhyun hanya menatap dengan sama pilu ketika Chanyeol mengulangi pintanya lagi, "Jangan pergi. Kumohon."

"…"

"Jika memang akhirnya kau pergi lagi, mengapa kau harus datang kembali?" serang Chanyeol lagi. Pria itu memang membelakangi Baekhyun, semata menutupi airmata yang beranjak membentuk alir di kontur hidungnya.

Napas Chanyeol tersengal. Berkali-kali ia mengais oksigen susah payah. Sebab menangis di kala cuaca dingin tidak membantu sama sekali, yang ada malah menyusahkan.

Masih dengan setelan jasnya yang lengkap semenjak pulang kerja, ia berbalik. Menatap Baekhyun yang kelihatan tidak apa-apa. Meminta lagi, "Kumohon, jangan pergi."

Baekhyun, yang lebih rendah darinya sebelas senti, menatap Chanyeol tegar seraya tersenyum manis, "Kau seperti anak kecil."


3600


Walaupun enggan, Chanyeol terpaksa mengantar Baekhyun ke tempat ini. Ke stasiun di mana Baekhyun akan berangkat untuk kembali meninggalkan Chanyeol.

Chanyeol menyeret kopor bawaan Baekhyun sementara pria itu sendiri sibuk oleh langkahnya.

"Kau tidak terlihat sehat," komentar Chanyeol ketika ia melihat wajah Baekhyun sangat pucat.

Baekhyun mengulum bibir bawahnya, "Aku tak bisa tidur."

Setelah itu sunyi sampai Baekhyun berhenti berjalan dan membalik badannya. Kebetulan memuakkan, di sana ada garis kuning yang seperti pembatas.

Baekhyun menarik napasnya. "Ini garis batasnya. Jangan melangkah lebih jauh lagi," katanya, lalu merebut genggaman Chanyeol terhadap kopornya.

Chanyeol masih menatapnya seraya mengisyaratkan agar Baekhyun mempertimbangkan keputusan ini.

Baekhyun mulai melangkah mundur namun ia berhenti tatkala Chanyeol maju selangkah menyeimbanginya.

"Berhenti," suruh Baekhyun. "Jangan sampai kau melintasinya," sambungnya lagi. Itu membuat Chanyeol mengerut. Dimundurkannya kakinya itu menuju ke balik garis kuning tadi.

Dan kembali menatap Baekhyun dengan sarat makna.

Baekhyun tersenyum.

"Selamat tinggal" adalah kata terakhir yang Chanyeol dengar dari bibir Baekhyun sebelum pria itu dengan cepat membalikkan badan dan menyembunyikan rautnya yang sudah tak karuan.

Tapi… di belakang sana, Chanyeol pun tidak tahu jika sedaritadi mata Baekhyun sudah tak kuat lagi menampung beban di pelupuknya. Air suci itu menetes tiba-tiba dalam gerakan kasar. Menuruni lekuk wajahnya yang pualam dan terlanjur pucat.

Garis kuning itu benar-benar tidak dilanggar


tbc—