.
Karna ada kalanya kejadian yang terjadi tidak sesuai dengan keinginan kita.
.
Ren present,
"Reality"
to Kurobasu Fandom.
AkaKise [Akashi Seijuuro x Kise Ryouta]
Rate : K-T
Warning : MPreg, boy x boy, OC, and many more.
Summary : Tidak semua keinginanmu bisa berjalan sesuai dengan kenyataan.
Saya tidak mengambil sedikitpun keuntungan disini―terkecuali keuntungan batin LoL―, jadi, saya harap, yang tidak suka, tolong, yang tidak suka dengan hubungan boy x boy, AkaKise, uke!Kise, terlebih ada OC nyempil disini, harap menekan tombol X dipojok kiri ^^
Pik pik pik—
Suara berisik alarm membuat Seita membuka matanya, menampilkan iris sewarna crimson dan topaz miliknya.
Dengan malas, tangannya bergerak mematikan alarm berbentuk telur yang ada di atas meja kecil dekat tempat tidurnya. Pemuda itu mengerjap, kemudian bergumam tidak jelas yang keseluruhannya berisi protes terdengar dari mulutnya. Merutuk kesal pada alarm laknat yang sudah mengganggu tidur nyenyaknya. Seita kemudian duduk, menggumpulkan kesadarannya yang melayang saat tidur tadi.
Beberapa menit kemudian, setelah merasa jiwanya sudah terkumpul. Ia turun dari ranjangnya dan menuju kamar mandi dengan langkah gontai.
.
Setelah selesai mandi dan memakai seragam sekolahnya, pemuda berusia enam belas tahun itu memeriksa tas sekolahnya—memastikan tidak ada barang yang tertinggal–dan bergegas menuju dapur—yang merangkap ruang makan—.
Melempar tasnya dengan sembarang keatas meja, pemilik surai pirang itu dengan cepat mengambil susu kotak di kulkas dan roti keju—yang biasa ia beli di konbini depan stasiun— dari rak.
Sembari menaruh roti di atas piring yang diambil acak dari rak, Seita duduk dan menatap foto di hadapannya.
"Selamat makan, Mama."
.
Seita berlari secepat yang ia bisa agar tidak ketinggalan bus menuju sekolahnya yang hanya datang sejam sekali. Oh Kami-sama, salahkah ia membantu ibu-ibu tetangga sebelahnya untuk mengambil sesuatu diatas lemari yang tingginya mencapai dua meter lebih sedangkan tinggi tetangganya yang tidak berdaya itu hanya seratus lima puluh centi?
Tidak mungkin 'kan ia tega membiarkan tetangganya itu? Tentu tidak. Ia tidak mungkin menolak permintaan Yamada-san yang tidak berdaya itu.
(Lagipula ia bisa tidak diberi makan malam lagi jika tidak membantu. Ini alasan paling pribadi yang tidak mungkin dipungkirinya)
Halte sudah didepan mata, bus sudah tiba—bahkan kelihatan sudah ingin berangkat lagi. Menambahkan tenaganya sedikit, lalu melompat sebelum pintu menutup—
Hup!
—berhasil. Kaki jenjangnya menginjak lapisan besi—oh, hampir saja ia menabrak sang supir— tepat sebelum pintu bus menutup.
"Kau harus biasakan bangun lebih pagi, Sei." Saran supir itu sembari menggelengkan kepalanya. Seita hanya cengengesan.
"Warui na~" Seita melenggang menuju bangku paling belakang, spot favoritnya. Begitu sampai, ia langsung mengeluarkan earphonenya kemudian duduk sembari menyenderkan kepalanya di jendela.
Melihat pemandangan yang kabur akibat laju bus, mau tak mau membuat siswa SMA Kaijou itu tenggelam dalam lamunannya.
Membuat ingatan delapan tahun lalu menyeruak tanpa dikehendaki sama sekali.
-o-
"Mama, Papa kemana?"
"Papa tidak pulang? Padahal, Papa teman Seita saja selalu pulang sebelum jam tujuh malam."
"Mama, apa Seita boleh meminta pada Santa untuk membuat Papa lebih sering pulang?"
"Mama—"
"Seita, Papa tidak bisa pulang karna dia tidak bisa bersama lagi dengan kita. Seita mengerti, 'kan?"
Suara Mama-nya sangat halus kala itu, dengan raut wajah sendu, seperti ada sesuatu yang berusaha disembunyikannya.
"Iya, Ma…"
Dan sejak saat itu, ia berjanji dalam hati, tidak akan bertanya lagi tentang Papanya.
-o-
Tiiiin—
Suara klakson bus menyadarkan Seita dari lamunannya. Ia menatap sekeliling, sudah tidak ada penumpang lain di bus. Sang supir hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat anak muda itu.
"Kau masih muda, tidak baik jika terus melamun seperti itu," nasihat pria setengah baya itu.
Seita bangun dan menuju pintu keluar. "Maaf, Paman. Aku terlalu banyak pikiran," ia menyangkal sembari tertawa.
"Hah~ Kau benar-benar mirip dengan Ibumu. Dia juga sering melamun sambil melihat keluar jendela." Paman itu menggelengkan kepalanya. "Rasanya aku seperti melihat Ibumu lagi kalau melihatmu, Seita."
Seita tersenyum menanggapi perkataan pak supir. Pemuda enam belas tahun itu kemudian beranjak turun dari dalam bus. "Tentu saja, aku 'kan anak Mama." Lanjutnya sebelum pintu itu tertutup.
Sayup-sayup ia bisa mendengar, "…dasar! Aku kan fans Ibumu, melihat wajahmu membuat nostalgia, tahu!" dari dalam bus.
Seita tersenyum makin lebar kemudian melambaikan tangannya. Bus berwarna merah itu melaju dan semakin lama semakin menghilang dari pandangan mata.
"Ah, aku harus cepat-cepat." Seita mulai berlari lagi menuju sekolahnya.
.
"Anak-anak, hari ini Bapak ingin mengumumkan bahwa salah satu dari teman kalian berhasil menjurai lomba kaligrafi tingkat Nasional. Kurasa kalian sudah bisa menebak siapa orangnya, 'kan?" wali kelas X-A mengumumkan kabar penting, membuat semua murid mendengarkan dengan seksama. Tetapi tidak untuk Seita, dia lebih sibuk menatap keluar jendela dan tenggelam dalam lamunan.
"Nah, beri tepuk tangan yang meriah untuk Kise Seita!"
Namun Seita tak acuh, ia tetap asyik menatap langit biru, seakan semua itu jauh lebih penting daripada omongan sang guru di depan kelas.
"Oi, oi! Sei-pyon, kau dipanggil, 'tuh!" Fujisaki Hikari, teman sebelah bangkunya menyikut perut Seita, membuat siswa dengan tinggi seratus delapan puluh lima itu mengaduh karna kesakitan.
"Hikari, sialan kau…" Seita menggeram sembari memegangi pemuda yang tingginya sedikit lebih pendek itu memang tidak main-main.
"Kau dipanggil Taka-sensei, baka." Dengus Hikari sembari menunjuk sang guru dengan dagunya.
Tanpa menjawab apa-apa Seita mulai berjalan kedepan. "Awas kau, Hikari." Desisnya.
"Ada apa, sensei?" Tanya Seita begitu ia berhadapan dengan guru Bahasa Jepang itu.
Guru itu tersenyum lebar sembari menjabat tangan Seita. "Selamat, Seita. Kau benar-benar membuat sekolah ini bangga."
Merasa tidak nyaman, ia buru-buru menarik tangannya. "Jika saya boleh tahu, selamat untuk apa?"
"Karyamu," jawab guru itu, senyum tidak lepas dari wajahnya yang sudah keriput.
Alis Seita naik satu mili."Karya apa?"
Tanpa beban, guru itu menjawab, "Kaligrafi. Sebagai wali kelas dan guru Bahasa Jepang, aku sangat bangga ketika kau diumumkan menjadi juara Nasional!"
Manik beda warna milik Seita membelak.
"Bukankah sudah kubilang jika aku tidak ingin kaligrafi itu diikut sertakan dalam lomba manapun?" bisik Seita dengan nada rendah.
"Me—memang betul, tapi Bapak merasa sayang jika karyamu yang bagus itu hanya disimpan di laci ruang guru, jadi—"
"TAPI SEHARUSNYA ANDA BERTANYA PADA SAYA DULU!" teriak Seita murka, sedangkan pria yang jauh lebih tua dihadapannya terdiam.
Dengan mengentak-hentakan kaki, Seita berjalan keluar dan menutup pintu dengan tenaga yang agak berlebih—sehingga membuat pintu berdebam keras.
Namun Seita tidak ambil peduli. Ia melangkahkan kakinya menuju tempat favoritnya, atap.
.
Teng— Teng— Teng—
Bel tanda pulang sekolah telah berbunyi, namun Seita tidak punya secuilpun keinginan untuk beranjak dari atap.
Pikirannya melayang sewaktu iamasih berusia tiga tahun.
-o-
Kala itu Seita sedang bermain bola di halaman rumah yang luas. Iris crimson dan topaz miliknya memandang ruangan tempat sang Papa biasa menghabiskan sore yang indah dengan menulis sesuatu yang tidak ia ketahui.
Melihat Papanya sedang serius dengan posisi punggung yang tegap membuat Seita mau tidak mau menjadi penasaran. Apa gerangan yang sedang dilakukan oleh Papanya?
Sembari meletakkan bola sewarna pelangi itu, ia berjalan dengan tergesa. Begitu sampai di dekat roka, ia melepas sepatunya dan meletakkannya di bebatuan yang lumayan besar, kemudian berusaha untuk naik ke lantai kayu itu.
"Nghh…"
Suara itu tak ayal membuat membuat sang kepala keluarga menolehkan wajahnya ke sumber suara.
"Cebental lagyi…" Seita mulai menggerakan kaki-kaki mungilnya untuk terlebih dahulu menaiki roka, dan— berhasil. Dia tersenyum senang kepada sang Papa yang melihat hasil usahanya.
Dengan terhuyung, ia berjalan menuju sang pria yang sedang memakai kuromontsuki berwarna merah. "Papa~"
Dengan penuh kasih sayang, sang Papa menaruh Seita di pangkuannya sembari terus melanjutkan kegiatan yang tadi tertunda.
"Papa cedyang apya?" Seita bertanya dengan penasaran. Sang Papa sibuk menuliskan sesuatu diatas lembaran kertas dengan menggunakan tinta.
"Sedang menulis kaligrafi," jawab pria itu singkat. Ia memang tidak banyak bicara.
"Apya ityu? Buktyi?" Seita mencoba membaca tiap goresan disana. Tapi susah. Meski dia berasal dari bibit unggul, terlalu sulit bagi anak kecil yang bahkan belum menginjak usia tiga tahun untuk membaca kanji.
Sang Papa hanya tertawa kecil. "Ini nama keluarga. Suatu saat nanti kau akan mengerti apa artinya, Seita," suara pria yang selalu ia hormati semenjak ia bisa berjalan itu berkata dengan lembut, selembut angin musim semi.
Dia adalah pria yang sangat Seita hormati. Dia baik, dia berwibawa, dia punya segala sesuatu yang Seita inginkan.
Dia adalah Papanya.
Dia adalah Akashi Seijuuro.
-o-
Seita melangkahkan kakinya dengan pikiran kosong, ia tidak peduli sekarang sudah sangat sore. Toh, tidak ada lagi sosok berambut pirang yang selalu ia tunggu ketika membuka pintu apartment mereka yang sederhana namun hangat.
Pikirannya kacau sekarang. Ia mengikuti kemana kakinya melangkah. Tapi… sepertinya ia kenal daerah ini…
Tapi dimana?
Ini dimana?
Seita mendecih kecil. Hanya karna pikiran kacau dan mengikuti insting, ia sampai tersasar ke daerah yang tidak ia ketahui.
(Namun terasa sangat familiar untuknya.)
Membalikkan kakinya dengan maksud untuk pulang, ia malah terdiam menatap rumah dihadapannya.
Rumah bergaya tradisional Jepang, dengan beberapa pohon tinggi yang menghiasai bagian depan gerbang dan sinar matahari yang menimpa atap rumah bergaya tradisional itu—membuat atapnya terlihat kemerahan.
Ia kenal rumah ini.
Ia kenal daerah ini.
Memori membawanya untuk kembali mengingat tempat ini. Tiga belas tahun yang lalu, ruangan, kaligrafi, rambut merah dan senyuman Papanya…
Tidak! Ia harus pergi dari sini!
Dengan kaki yang gemetar, ia memaksakan dirinya untuk berlari.
Lari dari tempat ini.
Lari dari kenyataan.
Lari dari sosok Papanya.
Lari dari masa lalunya.
Lari dari bayangan Mama-nya yang berlumur darah…
-o-
.
.
.
Karna kejadian yang kita alami sebenarnya hanyalah permainan scenario dari sang produser terhebat…
.
.
.
-o-
.
.
.
TBC
.
.
.
-o-
A/N : Fic ini terinspirasi dari fic yang berjudul Let me leave three words behind dari fandom sebelah. Ga boong, itu fic brengsek banget sampe bikin ren nangis :")
Makasih buat ArcSa Reiyu yang udah ngebeta fic ini xDDD
.
Footnote :
Roka : bagian berlantai kayu, yang mirip dengan lorong-lorong.
Kuromontsuki : kimono untuk pria dan mempunyai lambang keluarga di bagian depan kimono.
.
Okay, review are loved!
.
Love,
Ren