Semua orang selalu menganggapnya sebagai bocah nakal yang tidak bisa diatur. Terlalu bebal, keras kepala, dan egois untuk diberitahu. Bocah introvert yang tidak bisa berbaur dengan yang lain. Wajah mengerut dengan tatapan tajam menusuk selalu membuatnya dijauhi. Ekspresi datar dan dinginnya tidak pernah gagal membuat yang lain gusar. Ia bukan tipikal bocah yang mudah didekati.
Seharusnya, di umur yang masih tergolong sangatlah muda, ia bisa menikmati masa-masa kecilnya dengan bermain tanpa memikirkan beban hidup seperti kebanyakan orang dewasa. Sebenarnya ia adalah anak baik yang sangat penurut, namun hanya kepada ibunya saja, tidak pada yang lain.
Keadaan ekonomi yang serba pas-pasan mendesak keluarga kecil itu selalu berpindah-pindah tempat. Paling lama selama 3 bulan, lalu pindah lagi. Meskipun selalu berpindah-pindah, namun sang ibu tidak pernah membiarkan anaknya tidak pergi ke sekolah. Lokasi tempat baru mereka tidak pernah jauh dari sekolah dasar sang anak.
Namun sekolah adalah mimpi buruk baginya. Seringkali ia dipanggil si anak yatim, atau si anak haram karena tidak memiliki seorang ayah. Dijauhi anak-anak seusianya –bahkan orang dewasa yang seharusnya bersikap bijak ikut mengasingkan bocah lelaki berusia 6 tahun. Bocah nakal, bocah bebal, bocah egois, bocah tak tahu diri, anak iblis, ̶ atau anak haram sudah tidak begitu asing ditelingnya. Tidak peduli apa yang orang lain katakan tentang dirinya. Selama masih ada ibunya, ia tidak peduli perkataan orang.
Tak serorang pun pernah melihat senyum lebar atau suara lepas tawanya. Hanya wajah datar dan dingin yang ia tunjukkan pada siapapun kecuali kepada ibunya.
Meskipun tidak punya teman, dijauhi orang-orang, diejek, dihina, dicaci, dijahili, bahkan dipukuli –tapi ia tidak pernah melawan atau membalas. Ia hanya akan membalas jika mereka mulai menghina ibunya. Ia bahkan selalu berbohong perihal luka-luka lecet dan lebam yang sering nampak di kaki, lengan, pipi, dan punggung jika ibunya bertanya. Ia tidak ingin membuat raut khawatir nampak di wajah cantik wanita yang ia panggil 'ibu'.
Pernah dalam satu waktu, ia memukul wajah salah satu 'teman' sekelasnya ketika anak itu mengatakan bahwa ibunya adalah seorang 'wanita penghibur'. Pukulan bocah berumur 6 tahun yang mampu mematahkan hidung lawannya. Perkelahian tak bisa dihindari hingga orang dewasa yang ia panggil 'guru' harus menampar keras pipi hingga sudut bibir kirinya sobek. Alasan klasik karena 'terjatuh' membuatnya menjadi pembohong kelas amatir. Senyum tipis selalu membingkai wajah cantik ibunya. Kalimat singkat "Lain kali hati-hati" cukup membuat perasaan bocah itu tenang karena tak ada raut khawatir yang nampak, meskipun dalam hati ibunya menangis meraung melihat anaknya terluka baik fisik dan mental.
Si bocah tidak tahu bahwa ia tidak pandai berbohong, karena sang ibu jauh lebih unggul.
Ia sungguh anak yang kuat. Jarang-jarang ada bocah lelaki yang begitu peduli pada ibunya. Seharusnya ia bisa tumbuh menjadi pribadi yang menyenangkan. Namun, masa kecilnya terenggut begitu saja. Wajah tersenyum polosnya hanyalah tinggal kenangan, suara tawanya sayup-sayup perlahan menghilang, dan ekspresi bahagianya semakin memudar saat ia kehilangan cahayanya. Satu-satunya sumber kebahagiaan yang bisa ia dapatkan tak ada lagi disisinya. Dinding beton yang menjulang tinggi mulai mengurungnya di dalam kegelapan. Menjebaknya menjadi bocah yang penuh dengan kebencian.
Tak ada yang bisa mengerti betapa hancurnya hati seorang bocah saat wanita yang telah melahirkan, membesarkan dan memberinya kasih sayang telah pergi untuk selamanya dan meninggalkannya seorang diri di dunia yang dibencinya karena penyakit AIDS yang selama ini membuatnya dibenci dan dijauhi oleh semua orang.
Yunho tenggelam ke dalam lubang kebencian yang tak berdasar.
.
.
.
Disclaimer: "I don't own all characters in here. They are belongs to them selves. If I can, I would do it ! xD I don't own the story. The original story made by Guiyeon. I just insipired by her story. I make no money from this—please don't sue me. "
Title: SHINE
Based on manhwa: "That Guy Was Splendid" by Guiyeon
Author : kurorenji aka blackorange
Rating : Slightly lemon
Main Casts: Kim Jaejoong, Jung Yunho, Park Yoochun, Kim Junsu, Shim Changmin
Genre : AU, crack, romance, fluff, humor, school life.
Backsong: I Will by Chelsy [Instrumental Version]
Length this chapter : pages MsW
WARNING INSIDE: raw draft means no editing, lot of error plot, typos, and etc
.
.
.
Twenty One: "Memories"
.
.
"Jung Yunho!" Jaejoong masih belum menyerah untuk menyuruh Yunho menurunkannya. Entah sudah berapa pasang mata yang menatapnya saat melewati lorong di kediaman utama yang sangat megah dan luas dengan tatapan yang sulit untuk Jaejoong jelaskan. Harga dirinya sebagai seorang Kim Jaejoong semakin terinjak-injak. Mencoba untuk pasrah, namun ia masih belum bisa menerima dan memaafkan perlakuan juga keputusan Yunho yang seenaknya. Bagaimana bisa Yunho mencoba untuk meninggalkannya disaat kehidupan Jaejoong sudah dibuat jungkir balik tidak karuan hingga sampai pada tahap ia tidak bisa berpisah darinya?
You sly, Jung fuckin Yunho!
"Turunkan aku, Yunho!" Jaejoong masih menjerit. Yunho tak peduli. Tubuh jangkungnya kini berbelok ke arah kanan di persimpangan lorong yang panjang lalu masuk ke dalam suatu ruangan besar yang bangunannya terpisah dari kediaman utama.
Kamar Jung Yunho.
"Ya!" tubuh Jaejoong dilempar ke atas tempat tidur king size hingga memantul pelan. Ia tidak terima dirinya diperlakukan seperti karung beras, "Kau pikir aku ini barang?!"
Yunho masih memilih bungkam tak merespon. Mengatur nafasnya yang naik turun tidak teratur karena suhu tubuh yang mulai menurun. Jaejoong mengumpat dan memaki ketika laki-laki bermata coklat itu menghiraukan dan tak menjawabnya. Yunho tetap tidak mempedulikan umpatan-umpatan Jaejoong ketika tubuh berkulit putih pucat dihadapannya terlihat menggigil kedinginan.
Ia menarik selimut tebal di atas tempat tidur lalu menutupi kedua bahu Jaejoong yang masih bergetar. Tak peduli jika tempat tidurnya menjadi basah. Kedua kaki jenjangnya kini melangkah lebar mendekati lemari yang berada di dalam ruang wardrobe di dalam kamar. Memberantakan isinya lalu kembali ketempat dimana Jaejoong berada dengan membawa beberapa helai handuk kering. Ia masih menghiraukan celotehan Jaejoong yang tidak pernah absen untuk mengatai dan memaki ketika kedua tangannya sibuk mengeringkan rambut hitam Jaejoong dengan handuk. Ia harus mengeringkan dan menghangatkan tubuh Jaejoong sebelum laki-laki berambut hitam itu terkena hiportemia meskipun tubuhnya sendiri sudah seperti mati rasa. Pakaian basah yang masih melekat di tubuh membuat tubuhnya merasakan dingin yang menggigit.
"Ya Yunho! Apa kau mendengar apa yang kukatakan padamu? Apa sekarang kau tuli? Apa sekarang kau bisu?! Apa kau ada pembelaan dengan semua sikapmu padaku?"
"..."
"Kau benar-benar brengsek Jung Yunho! Kalau tahu akan begini jadinya, aku tidak akan pernah membiarkan diriku untuk menyukaimu! Seharusnya aku terus membencimu!"
"..."
Jaejoong masih saja mengumpat dan memaki Yunho yang sedari tadi sibuk mengeringkan rambutnya dalam diam. Well, meskipun sesungguhnya ia tidak cukup berani untuk memaki pewaris tunggal itu, namun kesempatan untuk memaki Jung Yunho yang hanya diam pasrah seperti terdakwa yang divonis bersalah, sangatlah jarang terjadi. Ia justru menggunakan kesempatan itu untuk kepuasan batinnya yang sering diinjak seenaknya oleh Yunho. Ia ingin balas dendam.
Dasar lugu.
"Jung Yunho kau benar-benar –"
" –diamlah! Aku mendengar semua makianmu padaku. Aku mendengar semua cacianmu padaku. Aku mendengar semuanya! Ku akui kau masih punya nyali untuk mengataiku sebegitu hebatnya, he?! Apa kau sudah puas? Sekarang berhentilah bersikap seperti ikan terdampar di daratan. Tenanglah sedikit! Aku mencoba mengeringkan dan menghangatkan tubuhmu! Apa kau ingin terkena hipotermia, hah?!" Yunho menutup bibir Jaejoong yang terlihat sedikit membiru dan tidak ada hentinya berceloteh dengan telapak tangan kanannya. Ia kehilangan sisi 'cool' nya karena rasa panik dan cemas yang luar biasa.
Kedua mata Jaejoong mengerjap pelan. Suaranya langsung teredam begitu tangan besar yang dingin itu menempel di atas bibirnya. Nyalinya mendadak ciut ketika Yunho memarahinya dengan wajah bekerut seram. Meskipun tadi ia bersikap sok berani dan nekat, namun saat Yunho menanggapi ocehannya, ia justru mendadak lupa bahwa seharusnya dirinyalah yang marah pada Yunho. Bukan bersikap pasrah dan takut seperti kucing yang ketahuan mencuri ikan di atas meja.
Keadaannya memang tak pernah berubah.
Kini Jaejoong memilih untuk diam dan tenang jika tidak ingin singa dihadapannya tiba-tiba mengamuk dan lepas kendali. Manik hitamnya kini bergulir perlahan memperhatikan wajah Yunho yang terlihat begitu dekat di hadapannya. Rasanya sudah lama sekali ia tidak melihat wajah tampan itu dalam jarak sedekat ini. Kening berkerut samar dengan tatapan mata sipit yang terlihat begitu serius ketika sedang mengeringkan rambutnya membuat Jaejoong menyadari bahwa wajah berkerut seram itu bukanlah ekspresi marah yang ia takutkan. Ia pernah melihat ekspresi itu. Ekspresi yang pernah ditunjukannya pertama kali di gudang tak terpakai saat ia mencoba menyelamatkannya.
Ekspresi aneh yang ditunjukkan Yunho ketika sedang khawatir dan cemas.
Yunho memang tidak pernah berubah. Laki-laki bermata coklat itu selalu menempatkan kepentingannya terlebih dahulu bahkan sebelum kepentingan Yunho sendiri. Seperti saat ia akan dilucuti oleh ketua geng Double Dragon, Yunho menghiraukan tubuhnya yang babak belur hanya untuk memukul Taecyeon dan menyelamatkannya. Atau seperti saat ia terjebak di dalam kamar mandi In Heaven Club bersama Tiffany dan bertemu dengan orang-orang yang sama, Yunho tidak peduli jika dirinya dijebak oleh mereka hingga berakhir di rumah sakit hanya karena ingin menyelamatkannya. Atau seperti saat ia memutuskan untuk berpisah dengannya, Yunho tidak mempedulikan tubuhnya yang belum sembuh total dan menunggu di tengah dinginnya malam seperti idiot hanya karena ingin bertemu dengannya. Jika diingat kembali, sesungguhnya masih banyak hal kecil lainnya yang mungkin tanpa Jaejoong sadari bahwa sikap barbar, egois, temperamen, dan sedikit gila itu adalah karena Yunho ingin melindungi dirinya.
Perkataan Yuu tentang dirinya adalah ketakutan terbesar Jung Yunho tiba-tiba saja terlintas dibenaknya. Yunho tidak pernah mempedulikan dirinya sendiri jika semua hal itu bersangkutan dengan Jaejoong. Yunho benar-benar menjaga hal yang sangat berharga baginya.
Meskipun hal itu membuat Jaejoong merasa senang karena diperlakukan sangat spesial olehnya, namun melupakan kenyataan bahwa saat ini tubuh Yunho menggigil kedinginan membuat Jaejoong jengkel dengan sikap egois dan bebalnya.
Jika Jaejoong mendapatkan pertanyaan: apa yang membuatnya bisa menyukai laki-laki barbar, egois, temperamen, bebal, dan sedikit gila itu? Maka jawaban Jaejoong adalah karena sikap barbar, egois, temperamen, bebal, dan sedikit gilanya itulah yang membuat ia bisa menyukai seorang Jung Yunho.
Cinta itu memang aneh dan gila.
"Aish! Kau pikir hanya aku yang kedinginan?! Lihatlah tubuhmu yang menggigil!" Jaejoong merebut handuk yang dipegang Yunho lalu berlutut di atas tempat tidur dan melingkarkannya di atas kepala laki-laki bermata coklat itu.
"Aku bisa mengurus diriku sendiri!" Yunho merebut handuk putih yang ada di atas kepalanya.
"Aku tahu kau itu bodoh!" Jaejoong tidak menyerah.
"Apa kau benar-benar sudah bosan hidup, hah?!"
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, idiot!" Keduanya mulai tarik-menarik handuk putih yang nyaris terbelah dua.
"YA! Apa kau tidak bisa untuk bersikap manis walau sebentar saja, heh? Hanya kata-kata makian yang selalu kau ucapkan padaku. Kau ini benar-benar tidak ada manisnya."
"Mwo?! Apa kau tidak punya cermin, hah?! Apa perlu aku membelikannya untukmu?! Level bodohmu benar-benar keterlaluan!"
"Bagaimana bisa orang bodoh mengatakan orang lain bodoh?! Apa kepalamu hanya berisi labu saja hah?"
"YA! Kau baru saja mengataiku!"
"Itu kenyataannya, Kepala Labu!"
"Astaga Yunho! Apa seperti itu cara memperlakukan pacarmu sendiri, ohng?!" Urat-urat Jaejoong semakin menegang. Entah setan apa yang merasukinya hingga ia gelap mata menyukai orang berwajah arogan dan barbar seperti Jung Yunho. Kesabarannya semakin menipis.
"Sudah kubilang, aku bisa mengurus diriku sendiri! Bagian mana dari kalimat itu yang tidak kau mengerti, Kepala Labu?! Kalau kau seperti ini, kau akan terkena hipo –"
Suara Yunho tertelan kembali saat bibirnya yang sedang mengomel bertubrukan dengan bibir lembut dan dingin Jaejoong. Sensasi familiar yang sangat dirindukannya kini terasa sangat nyata baginya. Meskipun bibir merahnya terlihat pucat, meskipun bibir hangatnya terasa dingin, dan meskipun bibir manisnya terasa hambar, namun ia tetap bisa merasakan perasaan mendamba yang tak pernah pudar darinya.
Jika teori tidak bisa membuat Yunho mengerti, maka praktek yang konkrit akan membuatnya cepat mengerti. Bertindak sebelum berpikir adalah gayanya, karena jika terlalu banyak bicara tidak akan ada gunanya.
Jaejoong langsung mencium Yunho tepat di bibir. Memagutnya dengan perlahan. Membungkam bibir penuh yang tak berhenti mengomel seperti bocah. Mengklaim bibir penuh yang selama ini dirindukannya. Menunjukkan pada laki-laki barbar itu bahwa ia ingin menghentikan perdebatan konyol tak berarti dan memulai sesi romantis bersamanya, dan yang terakhir.. Jaejoong ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa sosok solid dihadapannya bukanlah ilusi semata yang selama ini selalu dibayangkannya.
Ciuman Jaejoong membuat laki-laki bermata coklat itu terkejut bukan main dengan kontak fisik yang begitu intim secara tiba-tiba. Kepalanya hendak bergerak mundur untuk melepaskan diri, namun laki-laki berkulit putih itu justru mengunci pergerakannya dengan menarik handuk yang melingkar di leher hingga membuat Yunho semakin menekan bibir yang masih menempel di atas bibirnya. Pergerakannya benar-benar terkunci. Ia seolah dibuat tak berkutik oleh seorang Kim Jaejoong.
Beberapa detik lamanya ciuman itu terasa normal. Terasa seperti ciuman platonik tanpa nafsu yang membutakan akal sehat kedua insan yang sedang kasmaran. Namun detik berikutnya, ciuman platonik itu ternodai saat Jaejoong mulai menjulurkan lidah basah dan hangatnya. Menyapu permukaan bibir penuh Yunho dengan sangat perlahan dan menggoda. Mengeluarkan desahan tak termaafkan dan decakan ciuman basah yang terdengar seksi. Kedua tangan Jaejoong bergerak cepat. Ia langsung melepas kancing kemeja hitam Yunho yang basah hingga tubuh atletis berkulit coklat karamel dengan abs six pack terekspos di hadapannya. Tubuh Yunho menggelinjang saat jari-jari yang terasa dingin menggerayangi dan menyapu perlahan dada bidang yang tak terbalut sehelai benang. Menggesek –tanpa disengaja atau memang disengaja– bagian yang menonjol di bagian dada hingga suara desahan Yunho teredam oleh ciuman Jaejoong yang tak melonggar sedikitpun. Perubahan gaya ciuman yang sangat drastis membuat laki-laki polos dan virgin itu terkejut bukan main hingga sesuatu dibawah sana mulai bereaksi terhadap ciuman dan sentuhan Jaejoong.
Kekuatan untuk mendorong tubuh Jaejoong dan melepaskan diri dari jeratan hasrat yang menggairahkan seolah menguap mengudara saat gigi-gigi Jaejoong menggigit dan menarik bibir bawahnya, lalu lidah basah dan hangat yang sedari tadi menari liar di atas permukaan bibir menyeruak masuk ke dalam mulut. Menjilati setiap sudut rongga tanpa terlewat. Menyapa penghuni rongga lalu menariknya. Menantangnya untuk berduel. Kedua lidah mereka bergumul mesra hingga terasa lumer seperti eskrim. Yunho sudah kehilangan momen untuk melepaskan diri saat ciuman platonik itu berubah menjadi ciuman liar yang sungguh menjeratnya. Jung Yunho yang polos tak lagi polos saat Kim Jaejoong memegang kendali atas dirinya.
Laki-laki bermata coklat itu mulai kehabisan nafas.
Jung Yunho memang jagonya dalam hal berkelahi. Ia memang profesional dalam hal bisnis. Ia juga sangat ahli dalam hal mengintimidasi lawan. Tapi sungguh, ia hanyalah seorang amatir dalam hal bercumbu. Tubuhnya terdiam dan terasa begitu kaku seperti manekin. Kedua tangannya bahkan hanya diam pasif di samping tubuh. Kepalanya mulai terasa pening saat aliran darah mengalir begitu cepat ke atas ubun-ubun. Otaknya seolah berhenti berfungsi seperti barang rongsok yang tidak berguna. Tak lupa desiran aneh dengan sensasi baru yang menekan anggota tubuh paling sensitif diantara selangkangan membuat sisi liarnya semakin seperti dipaksa untuk bangkit.
Ini terlalu nikmat.
Hanya sepersekian detik waktu yang dibutuhkan Jaejoong untuk menarik tubuh kaku Yunho ke atas tempat tidur –dan butuh waktu satu detik baginya untuk berada di atas tubuh laki-laki bermata coklat itu tanpa melepaskan ciumannya. Seolah oksigen tak dibutuhkan oleh keduanya disaat mereka saling berbagi oksigen yang begitu minim di sela-sela desahan dan decakan ciuman basah mereka.
Tak sedetikpun Jaejoong menjauhkan diri dari Yunho. Tubuhnya semakin menempel seperti lem di atas tubuh atletis Yunho yang mulai terasa panas. Pakaian basah yang masih melekat di tubuh Jaejoong membuat tubuh Yunho menggelinjang dingin merasakan sensasi pertemuan dua suhu yang berbeda.
Bibir Jaejoong yang lihai perlahan turun melepaskan bibir penuh Yunho dan mencium dagunya, lalu semakin turun ke leher dengan meninggalkan jejak-jejak basah jilatan lidah. Desahan Yunho terdengar begitu lepas di dalam ruangan besar yang gelap temaram hanya ditemani cahaya rembulan dari luar jendela kamar saat gigi-gigi Jaejoong menggores kulit leher hingga memberikan sensasi panas membakar. Menggigitnya seperti vampir kehausan darah, menghisapnya seperti penyedot debu kelebihan voltase, menjilatnya seperti kucing liar kelaparan, lalu menciumnya sebagai permohonan maaf.
"Uhm~hng~" suara desahan Jaejoong yang seksi membuat akal sehat Yunho semakin tertutup kabut. Kedua mata sipit laki-laki bermata coklat itu membelalak lebar saat melihat Jaejoong melepaskan pakaian basah yang melekat hingga memamerkan kulit putih tanpa cacat tepat di atas tubuhnya yang topless. Perbedaan warna kulit terlihat begitu kontras dari kedua insan yang sedang bercumbu itu.
Jaejoong kembali menunduk, memagut bibir penuh Yunho untuk yang kedua kalinya. Menangkup rahang kiri Yunho dengan tangan kanan, lalu mengusapnya dengan perlahan. Jung Yunho semakin dibuat kewalahan saat kedua tangan Jaejoong kini semakin liar menjamah setiap lekuk otot seksi miliknya. Rahang kokoh, leher jenjang, garis tulang selangka, bahu lebar, dada bidang, perut six pack, hingga turun semakin menjauhi perut untuk menyentuh si pemeran utama yang nampaknya mulai terasa sesak untuk dibebaskan tanpa melepaskan ciumannya barang sedetikpun.
"STOP!"
Kegelisahan yang luar biasa.
Dalam sekali hentakan, Yunho membalikan keadaan. Ia menarik tangan kanan Jaejoong hingga membuat posisi keduanya berbalik arah. Jaejoong kini berbaring di atas tempat tidur dengan tubuh Yunho yang terasa semakin panas terlihat begitu mengintimidasi di atasnya. Nafasnya tersenggal-senggal seperti asma. Otaknya mendadak berfungsi. Sensor motorik yang sedari tadi ia perintahkan pada tubuhnya untuk menghentikan Jaejoong nampaknya memberikan aksi dan reaksi. Tangannya yang sedari tadi diam pasif, kini sepenuhnya menahan dan menekan kedua lengan yang nakal itu di atas kepala Jaejoong dan menjauhinya untuk tidak menyentuh benda yang sedari tadi memberikan reaksi terhadap sentuhan dan ciuman-ciumannya.
Too dangerous.
"Apa yang kau lakukan?" suara Yunho masih tersenggal-senggal, namun terdengar begitu serak dan seksi. Manik coklatnya kini menatap wajah Jaejoong yang memerah, bibirnya yang membengkak, auranya yang berbeda, dan sepasang manik hitam yang kini menunjukkan emosi baru. Ia tahu apa yang Jaejoong inginkan darinya.
Tatapan seduktif itu adalah jawabannya.
"Menghangatkan tubuh. This is the fastest way." Jawaban Jaejoong justru terdengar seperti sedang menantangnya.
"Damn –it. Kau tidak perlu melakukannya."
"Wae?" sebelah alis mata Jaejoong terangkat. Ia sadar bahwa Yunho masih saja menghindarinya. Kontak fisik yang ia lakukan bersama Yunho tidak lebih dari sekedar ciuman. Bahkan sebuah ciuman adalah kemajuan yang sangat pesat mengingat Yunho sangat tidak suka jika disentuh karena rasa paranoid berlebih dari ketakutan terbesarnya selama ini. Laki-laki bermata coklat itu sering kali menghentikannya setiap ia mencoba untuk melakukan lebih, meskipun Jaejoong tahu bahwa jauh di dalam perasaannya, Yunho menginginkan lebih.
"Sudah kubilang kau tidak perlu melakukannya." Jawab Yunho mengalihkan tatapannya. Ia tidak ingin melakukannya ah –tidak, ia belum siap untuk melakukannya. Masa lalu masih membelenggunya.
Ketakutan yang tak beralasan. Yunho tahu itu lebih dari siapapun.
"Lalu apa yang harus kulakukan untuk bisa menghentikan rencana gilamu?" pertanyaan Jaejoong membuat Yunho menggeram.
"Apa yang kau tahu tentang rencanaku?"
Jaejoong berdecak jengkel, "Kalau kau berpikir aku tidak tahu apa-apa, kau salah besar Jung Yunho. Hankyung bilang padaku, meskipun TOP sudah memakimu, meskipun Yoochun sudah menceramahimu, meskipun Yuu sudah memukulmu dan bahkan meskipun Hankyung sudah menodongkan pistol padamu, kau tetap tidak merubah keputusanmu. Kau begitu bebal tetap akan melakukan penyerangan itu."
"..."
"..."
Keduanya terjebak dalam suasana diam. Hanya deru nafas yang terdengar dari keduanya. Sepasang manik coklat Yunho kembali menatap mata hitam Jaejoong. Mata hitam yang membuatnya selalu terjebak di dalamnya seperti labirin yang tak berujung. Ada binar kekhawatiran yang nampak dari sepasang manik hitam itu. Sorot mata yang sangat tidak ingin ia lihat.
Yunho menyerah dengan suasana diam yang membuatnya tidak bisa tenang, "Apa itu alasan mengapa sekarang kau berada di rumahku dan melakukan hal 'ini'?" suaranya memberat. Ada perasaan tidak suka ketika nama Hankyung terseret dalam konversasi mereka. Ia yakin bahwa Hankyung lah yang menceritakan semuanya pada Jaejoong.
Rahangnya mengatup keras.
"Tugasku hanya satu. Menghentikanmu. Aku sendiri tidak mengerti mengapa Hankyung menaruh harapan besar padaku untuk bisa menghentikanmu. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan karena aku tahu betapa idiotnya dirimu, hingga satu hal terbesit di dalam benakku. Aku harus bisa membuatmu terdistraksi."
"Tsk~ dia terlalu banyak bicara. Mengapa kau percaya kata-katanya begitu saja?" nada penuh kebencian tidak dapat Yunho sembunyikan ketika Jaejoong menyebut nama Hankyung sebagai alasan mengapa ia melakukan hal ekstrim seperti tadi.
"Kau tidak per –"
" –apa kau tahu kalau dia adalah seorang pembunuh?" Yunho menyela. Kedua mata hitam Jaejoong menatap sepasang mata coklat yang sedang menatapnya dengan sorot mata yang terlihat begitu menyiksa. Sorot penuh penyesalan begitu nampak di dalamnya.
Jaejoong menghela nafas pelan. Kedua matanya menatap wajah Yunho yang terlihat begitu gusar lalu tersenyum tipis.
"Kau tak perlu memaksakan diri untuk membenci Hankyung."
"Jangan mengalihkan pembicaraan."
"Aku tidak mengalihkan pembicaraan. Aku hanya menjawab pertanyaan yang selama ini terus bersarang dan mengerak di dasar hatimu. Aku tidak tahu secara pasti apa yang terjadi antara kau dan Hankyung. Tapi, satu hal yang pasti, aku bisa merasakan penyesalan yang mendalam dari dirinya. Dia terlihat mirip sekali denganmu. He is alive outside, yet he is dead inside."
"Kenapa orang-orang selalu mengatakan aku terlihat mirip dengannya? Heechul, Yuu, Yoochun, TOP, bahkan sekarang kau."
"Kau tahu jawabannya."
Tatapan mata Yunho terlihat semakin gusar. Jawaban singkat Jaejoong seolah menamparnya pada kenyataan yang selama ini berusaha ia hiraukan. Bayangan-bayangan masa lalu seolah berputar-putar di dalam benaknya seperti roll film yang tidak ada habisnya.
Hankyung memang pernah menjadi 'kakak' sama halnya seperti Heechul yang selama ini menjadi penyelamatnya. Bahkan bisa dikatakan, Hankyung lah yang selama ini menariknya secara 'paksa' untuk keluar dari dinding beton yang mengelilinginya. Tak heran jika Heechul sering kali menyebutnya doppelganger Hankyung ketika tanpa sadar, ia selalu mengikuti gaya Hankyung yang saat itu menurutnya sangatlah keren.
Heechul dan Hankyung bagai dua pribadi yang bertolak belakang. Heechul seperti air yang menenangkan dan Hankyung seperti api yang menggebu-gebu. Namun, dua pribadi yang bertolak belakang itu dengan anehnya dapat berbaur menjadi satu dalam diri Yunho. Berkat Heechul, ia bisa mulai membuka diri pada orang lain. Berkat Hankyung, ia bisa menjadi lebih berani. Keduanya bagaikan kekuatan bagi diri Yunho. Ia sangat mengagumi keduanya. Akan tetapi, kejadian dua tahun silam membuat diri Yunho lumpuh saat ia kehilangan salah satu kekuatannya. Kekuatan air yang meredup tergerus api yang begitu besar seolah menjadi penyebabnya.
Hankyung yang bertindak gegabah hingga membuat Heechul terbunuh karenanya.
Yunho tidak bisa memaafkan Hankyung –atau lebih tepatnya ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri yang tidak bisa memaafkan Hankyung atas dosa yang sebenarnya tidak pernah dilakukannya. Kalau bukan karena melindungi dirinya, Hankyung tidak akan berada di balik punggungnya yang begitu sibuk dengan perkelahian hingga tidak menyadari seorang snipper yang sedang membidiknya. Seharusnya memang Hankyung yang tertembak malam itu karena melindungi Yunho, tapi siapa sangka jika Heechul tiba-tiba hadir dalam skenario itu.
Yunho seolah menutup mata pada kenyataan itu.
"Hankyung menaruh banyak harapan padaku untuk bisa menghentikanmu, bahkan semua orang berharap banyak padaku. Dia hanya tidak ingin kau mengulang sejarah yang pernah dia lakukan dulu. Babo ya. Semua orang begitu mengkhawatirkanmu, tapi kau bersikap seperti remaja labil yang tidak ada habisnya. Kau tahu apa artinya itu?"
Suara lembut Jaejoong seolah menyadarkan Yunho dari masa lalu yang tak lagi terlihat abu-abu.
"..."
"Karena mereka semua menyayangimu."
Yunho terdiam. Tenggorokannya terasa tercekat. Seperti ada akar berduri yang membelit dada hingga rasanya sulit untuk bernafas.
Ia melepaskan genggaman tangannya di lengan Jaejoong lalu menjauhi tubuh yang ada di bawahnya dan duduk di sisi tempat tidur dengan punggung bidang yang menghadap Jaejoong. Tangan kanan menyentuh kening ketika rasa pening kembali menyerangnya.
Jaejoong bangkit dari posisi berbaringnya dan menatap punggung Yunho. Ia terkesiap, tertegun, dan terkejut ketika melihat sebuah lukisan hitam besar bergambar naga yang hampir memenuhi punggungnya. Tattoo yang melambangkan sebuah simbol. Simbol yang tidak bisa Yunho hapus dan sembunyikan lagi.
Yunho terkesiap ketika jari-jari Jaejoong menyentuh tattoo yang terlukis di punggungnya. Tattoo yang baru ia dapatkan seminggu lalu membuat kulitnya masih terlihat memerah dan terasa perih. Ia memejamkan mata saat merasakan sentuhan Jaejoong yang bergerak menyusuri tattoo miliknya.
"It's beautiful."
"It's nightmare." Yunho menyangkal. Jaejoong diam memperhatikan. Ada beban tak kasat mata yang terlihat di balik punggung itu, " –Kau tahu.. seringkali pikiran untuk melepaskanmu terbesit di dalam pikiranku." Lanjutnya menoleh menatap sang pujaan hati seraya tersenyum tipis.
Jaejoong menggigit bibir bawah dengan gelisah saat melihat raut wajah Yunho yang terlihat begitu serius. Rasanya seperti di dorong dari ujung tebing kemudian terhempas ke dalam lautan ombak yang mengamuk menghantam bebatuan tajam. Ia menggeleng pelan. Sudah sejauh ini, apa mungkin berpisah adalah pilihan terbaik?
"Kau tidak serius 'kan?"
Yunho bergeming. Lagi-lagi pikiran itu berkecamuk di dalam kepalanya yang seringkali mengalami migrain. Pikiran akan kehilangan orang yang paling berharga membuatnya seolah tak memiliki pilihan lain.
"Kau tahu apa arti dari tattoo yang ada di balik punggungku, hm? Semua mimpi buruk ini berawal saat aku menyadari siapa Jung Yunho sebenarnya. Saat aku mendapatkan tattoo ini adalah saat dimana aku bersedia menjadi pewaris Chil Sung Pa. Keputusan yang kuambil dengan segala pertimbangan. Status sebagai Ketua Kkangpae akan terus mengalir di setiap darah di dalam nadiku. Duniaku bukanlah tempat yang aman bagimu." Manik coklat Yunho bergulir menatap Jaejoong yang terdiam.
Kkangpae adalah sebuah gambling. Tidak cukup menjamin bahwa yang terkuat adalah pemenangnya. Heechul adalah bukti nyata bahwa dunia kkangpae adalah permainan yang tidak bisa ditebak.
"Yunho –"
" –ada asap, pasti ada api. Kau sendiri tahu, aku tidak akan melakukan apapun jika tanpa alasan."
"Lalu alasan apa yang membuatmu melakukan ini? Apa alasanmu ingin mempertaruhkan nyawamu? Apa alasanmu rela ditunangkan dengan Jessica? Apa alasanmu tidak memberitahuku?" nada suara Jaejoong kini terdengar frustasi. Ia ingin tahu alasan apa yang membuat Yunho melakukan hal sejauh ini bahkan hingga mengabaikan perasaannya yang merindu saat Yunho menghilang. Mengabaikan perasaannya yang begitu terluka saat ia mendengar pertunangan antara Yunho dan Jessica. Mengabaikan perasaannya yang tak bisa melupakan Yunho barang sedetikpun.
'Semua berawal saat Ketua Ssang Young Pa –Kakek Jessica– ingin menghancurkan Chil Sung Pa dan merebut kekuasaan secara paksa hingga membuat keadaan kkangpae semakin diluar kontrol. This is war. Interferensi kedua belah pihak antara aku dan juga Jessica memperburuk keadaan saat kau hadir ditengah-tengah kami. Keadaan semakin memburuk dengan hadirnya Tiffany yang memanfaatkan rahasia terbesar Chil Sung Pa –bahwa aku bukanlah anak dari pernikahan yang sah. Keadaan kkangpae semakin krisis. Ssang Young Pa semakin percaya diri untuk menghancurkan Chil Sung Pa ketika mereka menemukan caranya. Mereka memanfaatkan kelemahan Chil Sung Pa dan kelemahanku. Aku tidak peduli dengan apa yang akan terjadi pada kkangpae. Aku bahkan tidak peduli jika akan ada pertumpahan darah. Shit! I don't really care. Tapi aku tidak bisa bersikap tidak peduli ketika mereka menemukanmu. Aku tidak bisa tenang saat Jessica mengancamku. Kau Jaejoong, kau. Kau adalah alasan mengapa aku bertindak sejauh ini. Semuanya kulakukan untuk melindungimu.'
Ingin sekali Yunho mengutarakan hal itu pada Jaejoong. Pada kekasih hatinya, belahan jiwanya. Namun ia mengurungkan niatnya saat ia bisa menebak apa yang akan dilakukan Jaejoong jika tahu bahwa dirinya lah alasan dari semua hal yang sedang ia lakukan sekarang.
Yunho tidak ingin membuat Jaejoong merasa terbebani.
"Apa yang kau harapkan dari seorang pewaris kkangpae sepertiku, Kim Jaejoong?" Yunho berbuat curang. Ia mengambil cara aman untuk menemukan jawaban dari semua kegelisahannya. Membiarkan Jaejoong menemukan jawaban dan memutuskannya sendiri.
Ada kegelisahaan dan ketakutan yang terasa begitu kental dari nada suara Yunho. Tubuh tegap dan berotot itu terlihat seolah mengkerut tak berdaya. Tatapan mata yang terlihat sayu dan sorot mata yang meredup kehilangan bara apinya membuat Jaejoong bisa mengerti perasaan yang dirasakan oleh Yunho saat ini.
"Aku tidak mengharapkan apapun dari seorang pewaris kkangpae. Tsk~ aku bahkan tidak ingin berurusan dengannya."
Jawaban Jaejoong membuat Yunho berdecak pahit.
"Tapi... yang kuharapkan sekarang adalah Jung Yunho kembali padaku. Jung Yunho yang egois. Jung Yunho yang barbar. Jung Yunho yang temperamen. Jung Yunho yang seperti bocah. Jung Yunho yang bodoh. Jung Yunho yang tidak tahu malu. Jung Yunho yang bebal. Jung Yunho yang lembut. Jung Yunho yang perhatian. Jung Yunho menyukaiku melebihi siapapun. Aku menginginkannya kembali padaku. Bisakah kau mengembalikannya padaku? Aku tidak peduli jika dia memang seorang pewaris tunggal kkangpae, karena apa yang kulihat dari dirimu sekarang adalah seorang Jung Yunho yang sangat kurindukan."
"Maaf Jaejoong, sungguh aku minta maaf karena sudah menarikmu terlalu jauh ke dalam lingkaran kehidupanku yang menyedihkan. Tidak seharusnya aku membiarkan perasaan itu tumbuh dan memakanku tanpa ampun. Aku sungguh menyesalinya, ini semua kesalahanku."
'PLAK!'
Sensasi panas dan perih terasa menjalar perlahan di pipi Yunho. Wajahnya sampai terlempar kesamping. Ia bahkan tidak bisa marah atau meluapkan emosi saat seseorang berani menamparnya karena kini ia memang pantas untuk mendapatkannya. Tak berani untuk menatap wajah Jaejoong, Yunho hanya terdiam dalam posisi yang sama tak bergerak sedikitpun.
"Jadi sekarang kau menggap bahwa perasaanmu padaku dan perasaanku padamu adalah sebuah kesalahan? Sebuah penyesalan?!" Jaejoong mendesak meminta jawaban. Merasa sangat tidak berguna karena tidak bisa membebaskan Yunho dari kegelapan hatinya yang terkurung di balik dinding beton yang selama ini mengurungnya. Membiarkan Yunho berputar-putar di dalam labirin yang tak berujung. Ia sangat ingin membebaskan Yunho dari kegelisahan hatinya itu. Memberitahunya bahwa ia bisa berbagi apapun dengan dirinya.
"..."
Yunho terdiam. Tak ada kata yang mampu ia ucapkan. Bagaimana bisa ia mengatakan bahwa Jaejoong adalah kesalahan dan penyesalannya? Demi Tuhan, Jaejoong adalah anugerah baginya. Apapun akan dilakukannya untuk mendapatkan dan mempertahankan Jaejoong di sisinya. Tapi, ia tidak ingin Jaejoong menderita karena dirinya yang seorang kkangpae.
Seburuk itu.
"Kalau kau merasa bahwa simbol di balik punggungmu adalah beban yang harus kau tanggung sendiri, lalu apa yang harus kulakukan dengan 'beban' yang kini melekat pada tubuhku?" Kini Jaejoong berbalik memunggungi Yunho.
Perkataan Jaejoong membuat manik coklat hazelnut Yunho bergulir menatapnya. Kedua mata sipitnya kini membelalak saat melihat goresan tinta hitam terukir di bahu putih itu. Sebuah goresan membentuk dua sayap nampak begitu nyata di depan kedua matanya.
"A –apa yang kau lakukan?" Yunho bertanya penasaran. Tangan kanannya terangkat perlahan lalu menyentuh tattoo yang melekat di bahu Jaejoong.
Permanen.
"Aku mendapatkannya saat kau mencampakkan dan membuangku." Jaejoong mengingat bagaimana ia mendapatkan tattoo di balik tubuhnya, " –orang tuaku bahkan tidak tahu kalau aku mentato tubuhku."
Yunho terkesiap. Ia teringat masa lalu saat ia begitu kecewa dan marah pada Jaejoong hanya karena laki-laki bersurai hitam itu tidak datang di hari ulang tahunnya. Memang alasan yang sangat kekanakan hingga membuatnya terjebak dalam situasi yang justru memperburuk keadaan. Kalau saja ia bisa mengendalikan emosinya, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi. Ia bahkan tidak menyadari bahwa sikap dan perkataannya pada waktu itu begitu melukai Jaejoong hingga membuatnya berpikir bahwa ia mencampakkan dan membuangnya. Lagi-lagi karena keegoisannya, ia justru membuat Jaejoong menderita.
"Katakan saja, saat itu terjadi, duniaku seolah runtuh. Orang yang kupikir menjadi belahan jiwaku tiba-tiba saja bersikap kasar dan dingin. Rasanya seperti mau mati saja."
"Maaf." Yunho berlirih pelan, tertunduk. Merasa sangat tidak berguna dan malu. Ia pikir, sikap seperti itu adalah cara terbaik untuk bisa melindungi dan membuat Jaejoong membencinya lalu menjauh dari ancaman-ancaman yang ada. Namun yang terjadi kebalikannya, ia justru melukai Jaejoong melebihi siapapun.
"Setidaknya, saat jarum tinta itu menembus kulitku dan merasakan sakit yang nyata, aku bisa mengabaikan rasa sakit yang begitu abstrak di dalam dadaku saat kau mencampakkanku." Lanjut Jaejoong seraya berbalik menatap Yunho yang tertunduk, ia tersenyum tipis, " –apa kau tahu artinya?" kedua tangannya menangkup wajah Yunho untuk terangkat dan menatapnya. Menatap manik coklat hazelnut yang mampu membuat Kim Jaejoong jatuh hati padanya.
"Aku sangat menyayangimu dan tidak ingin kehilanganmu." Jaejoong mengecup pelan bibir Yunho yang bergetar. Jari-jarinya kini basah oleh air mata yang mengalir di kedua mata sipit Yunho. Baru kali ini ia melihat sisi lemah tak berdaya Jung Yunho. Tubuhnya ia peluk erat lalu mengusap lembut punggung bertato naga yang masih terlihat memerah, " –kau harus berbagi bebanmu denganku dan aku akan berbagi bebanku denganmu. Begitulah cara orang saling melengkapi."
Rasa hangat seketika menjalar di dalam dada Yunho. Sudah sangat lama ia tidak merasakan sensasi hangat seperti ini. Pelukan tulus yang sudah lama ia dambakan setelah kehilangan cahaya mataharinya –sang ibu. Hanya dari ibu dan Jaejoong yang dapat memberikan rasa nyaman di dalam tubuhnya yang dingin.
Yunho tidak ingin kehilangan Jaejoong dan Jaejoong tidak ingin kehilangan dirinya.
"Maafkan aku, Jaejoong ah. Sungguh, aku minta maaf." Lirih Yunho pelan di dalam pelukan Jaejoong. Seorang Jung Yunho melafalkan kata maaf dengan begitu frustasi. Seolah permohonan maaf itu adalah nyawa terakhir yang dapat ia pertaruhkan.
"Kalau kau sekarang mengerti keadaannya, apa kau masih nekat mau melakukan penyerangan itu? Apa tidak ada cara lain?"
Pertanyaan Jaejoong terngiang di dalam telinganya. Ia tidak ingin kehilangan Jaejoong, tentu saja. Tapi ia sendiri tidak bisa menjamin bahwa ia akan kembali dalam keadaan utuh atau bahkan mungkin hidup. Jika ia tidak melakukan penyerangan itu malam ini juga, tidak ada yang menjamin bahwa Jaejoong dan keluarganya akan selamat. Ssang Young Pa sudah mencium perihal penyerangannya malam ini. Ia tahu persis dengan apa yang akan dilakukan mereka. Membayangkan Jaejoong terluka atau yang terburuk terbunuh oleh Ssang Youn Pa sudah cukup membuat tubuh Yunho menggelinjang takut. Namun membayangkan Jaejoong yang kehilangan dirinya dan bersedih atas apa yang terjadi, membuat Yunho tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.
Mereka saling membutuhkan dan melengkapi.
Apa benar-benar tidak ada pilihan lain?
"Gunakan kartu As mu. Selama ini kau memilikinya, hanya saja kau terlalu bodoh untuk menyadarinya."
Perkataan Yuu tiba-tiba saja terbesit di dalam benaknya. Kartu As. Ia masih memilikinya. Mungkin itu adalah pilihan terakhir yang bisa Yunho gunakan, meskipun taruhannya adalah harga diri yang selama ini ia junjung tinggi. Jika meminta bantuannya dapat mengurai benang kusut yang selama ini membelit pikiran dan hatinya lalu membuat semua keadaan menjadi win win solution, ia tidak keberatan untuk menggunakannya. Selama ia tidak kehilangan Jaejoong dan Jaejoong tidak kehilangan dirinya.
Persetan dengan harga diri.
Kepulan asap rokok mengudara perlahan dari bibirnya. Kegelapan malam seolah menyembunyikannya dari cahaya rembulan. Menyisakan bara api dari ujung rokok yang menyala. Hembusan angin malam yang dingin menusuk seolah tak ada arti bagi dirinya yang berdarah dingin. Sudah lebih dari 20 menit ia menunggu. Menunggu seseorang yang –entah datang, entah tidak. Namun ia sangat yakin bahwa orang itu akan mendatanginya. Tawarannya terlalu menggiurkan, tidak mungkin jika orang itu tidak datang padanya.
"Kupikir kau tersesat, little kitty~" seringain tipis terlihat di bibir keringnya yang masih terselip sebatang rokok mentol yang sudah memendek. Manik hitamnya bergulir menatap seseorang yang berjalan perlahan mendekatinya menuju kegelapan malam di balik dinding gedung kosong di kawasan Gangnam.
Orang itu berdecih pelan, "Tidak perlu basa-basi."
Ia terkekeh seraya membuang puntung rokok ke atas aspal lalu menginjaknya. "Apa ada yang mengikutimu?"
Orang itu yang kini tertawa mengejek, lalu berkata, " –oh, kupikir The Sadistic Hwang Hankyung tidak takut pada apapun?"
"Khkhkh~ jangan besar kepala, Jessica. Karena yang kulihat, kau lah yang ketakutan jika ada yang mengikutimu. Lihat saja dirimu, The Fashionable Jessica berpenampilan seperti gelandangan hingga beanie besar dan masker yang menutupi kepala dan wajahmu. Kau berusaha keras. What a sight~"
"Kalau kau hanya ingin mengolokku, sebaiknya aku batalkan saja pertemuan ini." Suara Jessica terdengar mengancam.
"I dare you~" Hankyung bergeming dengan ancaman itu. Ia menatap angkuh Jessica yang terlihat lebih pendek darinya dengan tatapan tajam menusuk. Berada di lingkungan yang gelap dalam waktu cukup lama membuat penglihatannya terbiasa hingga ia bisa melihat ekspresi wajah perempuan yang kini terlihat jengkel dan kesal. Ia hanya tersenyum menyeringai.
"Apa aku bisa mempercayai ucapanmu?" pertanyaan Jessica terdengar skeptis. Jelas ada keraguan pada dirinya. Menjadi pengkhianat klan sendiri tentu tidak mudah. Ia butuh seseorang atau apapun itu untuk bisa melindunginya –dan Hankyung, memberikan penawaran itu.
Hankyung mengeluarkan sebuah amplop coklat dari balik jaket lalu menyerahkannya pada Jessica. Meski ada keraguan, namun Jessica tetap menerima amplop coklat itu. Ia membuka isinya. Ada beberapa dokumen yang tidak bisa ia lihat isinya karena gelapnya tempat yang Hankyung pilih. Ia berdumel pelan. Ada satu dokumen yang kini ada di genggaman tangannya. Ia hapal betul bentuk, ukuran, dan tekstur dari dokumen itu. Tidak salah lagi.
Sebuah paspor.
"Dokumen itu adalah identitas baru mu di New York. Sebuah tiket pesawat, kunci apartemen, kunci mobil, tabungan, dan beberapa properti yang bisa kau jadikan aset semuanya atas nama dirimu." Hankyung menjelaskan singkat. Jessica tertegun.
"Kenapa kau begitu yakin aku akan menerima penawaranmu?" Jessica menginterogasi. Merasa curiga karena hal seperti ini begitu mudahnya bagi Hankyung.
"Tsk~ bukankah menjadi seorang designer adalah impianmu?" pertanyaan Hankyung membuat Jessica kembali tertegun. Tidak ada yang tahu tentang impiannya itu kecuali dirinya, sang Kakek, dan Tiffany, " –Tiffany menceritakannya padaku." Lanjutnya.
Ah~ Tiffany.
"Lalu?" Jessica berdesis. Seolah tak menemukan korelasi antara pertemuan ini dan mimpinya yang ingin menjadi seorang designer.
Pertanyaan Jessica membuat Hankyung tertawa geli. "Aku tahu kau membenci kakek dan klanmu."
Lagi-lagi perkataan impulsif Hankyung membuat Jessica terkejut. Namun kegelapan malam berhasil menyamarkan ekspresi terkejutnya. Sejauh mana ia mengetahui tentang dirinya?
"Impianmu adalah menjadi seorang designer. Tapi takdirmu yang justru menjadi cucu kesayangan Ketua Ssang Young Pa membuatmu hanya dijadikan sebuah 'trofi' kebanggaan Si Kakek tua. Kau selalu dielu-elukan bahwa kau yang akan mewarisi semua yang menjadi miliknya termasuk menjadi pewaris Ssang Young Pa dan kau... membenci takdirmu, membenci klan mu sendiri, membenci kakekmu yang tidak mau mendengarkan mimpi seorang putri yang ingin menjadi seorang designer. Kau ingin keluar dari lingkaran kehidupanmu yang menyedihkan."
Perkataan Hankyung menelisik masuk ke dalam relung hati dan terasa begitu mengganggu. Manik coklatnya bergerak menatap laki-laki jangkung yang berdiri dihadapannya dengan tatapan dingin. Jessica membenci Hankyung. Membecinya karena ia bisa mengerti apa yang diinginkan olehnya selama ini. Tak ada satupun yang mau mendengarkan tentang impiannya yang ingin menjadi seorang designer ternama dan mempelajari banyak hal tentang dunia fashion di New York –kiblat fashion dunia. Termasuk sang kakek yang menentang keras mimpinya.
Ia tidak ingin menjadi seorang gengster yang melakukan pekerjaan kotor hanya untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan. Ia benci kkangpae, ia benci pertarungan antar gengster, ia benci bau amis darah, ia benci segalanya, dan ia sangat membenci kakeknya yang selalu memperlakukannya seperti trofi kebanggaan di hadapan seluruh kolega. Ia hanyalah barang yang dijadikan pajangan semata. Ia tahu, Yunho hanya memanfaatkannya untuk mengambil alih Ssang Young Pa, dan ia pun tahu bahwa kakeknya tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Yunho. Mereka hanya memanfaatkan dirinya saja tanpa memikirkan perasaannya.
Ia ingin keluar dari takdir yang menghimpit. Apapun caranya. Tidak peduli dengan apa yang akan terjadi antara dua kkangpae terbesar itu jika ia membongkar seluruh informasi yang dipunya.
Jessica adalah kartu joker yang memiliki dua sisi. Ia memiliki apa yang di butuhkan Ssang Young Pa dan ia memiliki apa yang diinginkan Chil Sung Pa. Hanya tergantung kepada siapa ia akan memberikan kartu joker itu. Hankyung terlalu cermat mengamati situasi. Sang kakek dan Yunho kalah satu langkah olehnya.
Kedua tangan meremas amplop coklat yang digenggamnya. Jika ini adalah satu-satunya kesempatan yang ia punya, ia tidak keberatan jika harus memulai segalanya dari nol. Ia bahkan tidak membutuhkan semua properti yang Hankyung berikan padanya. Ia hanya membutuhkan dunia baru. Dunia yang tidak menyeretnya dalam kegelapan dunia kkangpae.
"Kalau kau menerima tawaranku, kau tahu apa yang harus kaulakukan, Jessica." Hankyung berdesis pelan. Keraguan Jessica membuatnya sedikit tidak sabar. Ia hanya khawatir jika Jaejoong tidak bisa melakukan tugasnya dengan baik untuk mengulur waktu.
Semuanya terlalu mendadak saat Yunho dengan cerobohnya menyatakan akan melakukan penyerangan malam ini. Terlalu gegabah dan terburu-buru. Ia bahkan hanya punya sedikit waktu untuk bisa menata kembali bongkahan balok yang sudah tersusun rapi namun hancur dalam waktu singkat. Tengah malam hampir tiba, ia tidak punya banyak waktu karena ia harus segera kembali.
"Aku tidak membutuhkan semua aset yang kau tawarkan padaku." Jessica berbisik pelan. Rahang Hankyung mengatup keras. Jika Jessica tidak menerima tawarannya, he screwed. Tidak ada jalan lain selain melakukan penyerangan itu. Berharap jika hal itu terjadi, ia tidak akan melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Ia akan melindungi Yunho apapun yang terjadi. Ia akan memperbaiki dan menebus dosanya. Manik hitam Hankyung melirik Jessica yang tertunduk. Kedua tangannya mengepal keras. Harap-harap cemas dengan pilihan Jessica.
Sungguh permainan gambling yang sangat menegangkan.
Jeda beberapa detik sebelum akhirnya, perempuan berambut pirang itu menghela nafas panjang kemudian berkata, " –yang kubutuhkan hanyalah identitas baru dimana tidak akan ada orang Ssang Young Pa, Chil Sung Pa, atau kkangpae manapun yang mengejarku, mencariku, dan mungkin membunuhku. Jika kau bisa menjamin itu semua, you get what you want." Ucap Jessica penuh harap.
Tubuh tegang Hankyung mulai terasa rileks. Air mukanya yang mengerut kembali tenang. Ia mengulum lidah. Memperhatikan perempuan itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tubuh mungilnya terlihat bergetar. Ketakutan itu mulai menyelimutinya. Ini bukanlah pilihan yang mudah baginya. Ia tahu itu.
"Tidak akan ada yang bisa menyentuhmu. Aku janji. Kau berada di bawah perlindunganku seutuhnya. Kalau kau memberikan apa yang kuinginkan, tidak akan ada lagi Ssang Young Pa di dalam kehidupanmu, atau bahkan di dunia ini. Jika itu yang kau mau, kau bisa memegang ucapanku dan kau tahu –aku bisa melakukannya." Ucap Hankyung meyakinkan. Ia mulai bisa bernafas lega.
Menjadi pengkhianat klan memanglah tidak mudah. Begitu banyak yang harus dikorbankan. Tapi, Jessica lebih tahu dari siapapun apa yang dilakukan kakeknya dan orang-orang yang berada di bawah Ssang Young Pa. Cara kerja mereka sangatlah kotor, kejam, dan tidak berperikemanusiaan. Sangat berbeda jauh dengan cara kerja Chil Sung Pa. Meskipun keduanya sama-sama kkangpae, namun cara kerja mereka sangatlah bertolak belakang. Terkadang, Jessica selalu merasa iri dengan Tiffany dan Yunho yang terlahir sebagai Chil Sung Pa.
Ah~ iri. Ternyata selama ini perasaan yang ia rasakan terhadap Jung Yunho adalah karena rasa iri yang membuatnya begitu membenci Yunho. Hingga membuatnya bersikap seperti itu hanya untuk menyalurkan rasa bencinya. Ia hanya ingin melihat orang lain sama menderitanya seperti dirinya.
Jessica mengeluarkan amplop coklat dari balik jaket tebal yang menyembunyikan dirinya dari orang-orang suruhan sang Kakek untuk terus mengawasi dirinya. Ia menyerahkan amplop coklat itu pada Hankyung.
"Akan selalu ada harga yang harus di bayar, Jessica." Ucap Hankyung seraya mengambil amplop coklat yang disodorkan padanya. Cukup tebal, sepertinya Jessica memberikan semua yang ia minta. Bahkan ada hardisk eksternal di dalamnya. Segala informasi yang dibutuhkan ada di sana, bahkan lebih. Seringaian penuh rasa puas terlihat di sudut bibir lelaki berwajah oriental itu.
Jessica mendengus pelan. Ia mengerlingkan mata menatap Hankyung. Kedua matanya sudah mulai terbiasa dengan kegelapan yang sedari tadi menyelimuti pandangannya. Kini ia mulai bisa melihat sosok solid yang berdiri di hadapannya. Menatapnya tanpa ada rasa takut dan keraguan. Tidak ada yang perlu disesali lagi. Semuanya sudah terjadi. Menjadi yatim piatu di usia muda dan berada di lingkungan kkangpae membuat Jessica menjadi pribadi yang dingin dan ambisius. Ia sudah tidak peduli lagi.
"I've paid enough." Bisik Jessica kemudian berbalik dan berjalan meninggalkan Hankyung di dalam keheningan dan kegelapan malam.
Yuu yang sedang menemani Boa di ruang minum teh terkejut bukan main saat melihat Yunho menggeser pintu dengan tenaga berlebih hingga membuat pintu geser itu keluar dari jalurnya. Boa sampai berlari ke balik punggung Yuu saat melihat ekspresi Yunho yang terlihat begitu menyeramkan. Ini pertama kalinya Boa melihat Yunho begitu dekat. Meskipun Yuu sudah menceritakan semuanya, namun tetap saja ia tidak bisa tenang mengingat siapa Jung Yunho sebenarnya. Yuu melirik tubuh mungil yang berlindung di balik tubuhnya, lalu kembali menatap Yunho.
"For fuckin God's sake, apa yang kau lakukan Jung Yunho?!" Yuu memaki kesal karena pintu ruang minum teh pribadinya menjadi rusak.
Satu hal. Hanya satu yang Yuu harapkan dari Yunho. Jangan pernah Jung Yunho merusak barang pribadi miliknya. Ia bersumpah, setidaknya, ia akan mematahkan satu jari tangan Yunho akibat perbuatannya itu.
Namun setelahnya, raut wajah kesal Yuu berubah menjadi serius mengingat ini sudah mendekati tengah malam. Jika Yunho keluar dari kamarnya sebelum tengah malam tiba, itu artinya Jaejoong tidak bisa menghentikannya. Ekspresi wajah Yunho yang begitu serius membuat Yuu menjadi lebih waspada dengan apa yang akan dilakukannya. Laki-laki barbar yang tidak sabaran itu selalu melakukan tindakan impulsif yang bahkan tidak bisa ia tebak.
"Dimana dia?" desis Yunho seraya menatap manik abu tua Yuu, " –aku tidak menemukannya di ruang kerjanya."
"Siapa yang kau cari?"
"Kau tahu siapa yang kucari."
"Ada urusan apa kau mencarinya, huh?"
"Itu bukan urusanmu."
"Hei! Jangan seenaknya kau mengatakan sekarang ini bukan urusanku, sialan!"
"Kau yang menyuruhku untuk menggunakan kartu As-ku." Ucapan Yunho membuat Yuu terdiam. Sebuah seringaian tipis kini nampak di sudut bibir lelaki blasteran itu.
"Kau rela menjual harga dirimu?" Yuu tidak bisa menahan diri untuk tidak menggodanya. Pada akhirnya, Jung Yunho akan takluk juga oleh Jaejoong hingga ia berani membuat keputusan untuk meminta bantuan ayahnya. Membawa Jaejoong kemari memang bukan pilihan yang buruk.
"..."
Yunho tak berkomentar. Gemertak gigi terdengar darinya seraya menatap tajam manik abu tua Yuu dari balik mata sipitnya. Kesal karena Yuu kini mengoloknya.
"Baiklah, aku tidak akan menggodamu lagi. Jika kau mencari Sajangnim, sekarang beliau sedang berada di Hongkong."
"Shit!" Yunho memaki dan memukulkan kepalan tangannya pada pintu yang sudah rusak. Yuu memutar kedua bola matanya.
"Kau tidak perlu menjual harga dirimu yang agung itu pada Sajangnim dan kau bahkan tidak perlu repot-repot melakukan penyerangan itu." Suara seseorang dibalik punggung Yunho membuatnya menoleh cepat pada sumber suara.
Hankyung.
Yunho mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Kedua tangannya mengepal keras. Gemertak gigi semakin terdengar darinya. Masih ada luapan amarah yang tersisa pada dirinya. Bukan karena masa lalunya. Bukan. Bahkan mungkin ia sudah bisa memaafkan Hankyung ketika Jaejoong menyadarkannya. Ia tahu betul bahwa kejadian dua tahun silam bukanlah kesalahan Hankyung seutuhnya. Amarah yang justru kini membelitnya karena Hankyung sudah menyeret Jaejoong semakin jauh ke dalam lingkaran kehidupannya yang tidak pernah aman dan tenang. Kalau saja Hankyung tidak membawa Jaejoong ke kediaman utama, mungkin saja ia tidak perlu repot-repot mencari ketua Chil Sung Pa atau mungkin membahayakan Jaejoong.
Bukan. Bukan itu juga yang membuat Yunho marah padanya.
"Kau bisa tenang sekarang." Lanjut Hankyung seraya berjalan mendekati Yunho lalu menempelkan amplop coklat tepat di dadanya. Yunho menyentuh amplop coklat itu saat Hankyung berjalan melewatinya, " –Ssang Young Pa sudah berada di tangan kita. Mereka tidak akan berani macam-macam lagi." Lanjutnya tanpa menghentikan langkah kaki dan terus berjalan di tengah koridor utama menuju kamarnya. Melewati ruang minum teh Yuu dan mengabaikan ekspresi penuh tanya lelaki blasteran itu.
Kedua tangan Yunho buru-buru membuka isi amplop tebal yang ada di genggamannya. Banyak dokumen yang menunjukkan hasil kejahatan dan kecurangan Ssang Young Pa yang penuh dengan catatan hitam. Bukti yang bisa menghancurkan kkangpae Ssang Young Pa dan merebut seluruh klan yang bergabung dengan mereka. Melemahkan kekuasaan Ssang Yong Pa dengan bukti-bukti yang kini ada di genggaman tangannya. Dokumen penting yang selama ini Yunho incar hingga ia harus rela berpura-pura menjadi tunangan Jessica dan membuat keputusan melakukan penyerangan secara paksa di kediaman utama Ssang Young Pa untuk mendapatkannya.
Tapi, darimana Hankyung mendapatkannya? Bahkan seorang diri tanpa menimbulkan keributan yang berarti.
"Tunggu." Panggil Yunho pada Hankyung. Namun lelaki berwajah oriental itu tetap terus melangkahkan kakinya. Ia tidak perlu menjelaskan apapun pada Yunho. Hanya itu yang bisa ia lakukan pada adik kecilnya. Melindunginya dari kesalahan yang mungkin terulang kembali.
"Tunggu.. hyung."
Hankyung berhenti melangkah. Matanya membelalak lebar saat mendengar kata itu meluncur dari mulut Yunho. Rasanya sudah bertahun-tahun lamanya ia tidak mendengar kata itu dari Yunho. Tubuhnya diam bergeming. Menunggu Yunho untuk melanjutkan kalimat selanjutnya.
Ragu. Namun Yunho tetap membulatkan keputusannya. Selama ini, ia bukan membenci Hankyung karena kecerobohan yang diperbuat di masa lalu. Selama ini, ia bukan membenci Hankyung karena menyeret Jaejoong ke dalam permasalahan dirinya yang pelik. Selama ini, ia bukan membenci Hankyung karena sudah menginterferensi kehidupannya.
Bukan. Bukan itu semua. Ia mengerti sekarang.
Selama ini, ia membencinya karena Hankyung bersikap seolah-olah semua yang terjadi pada dirinya karena kesalahan yang dilakukan di masa lalu. Hingga rasa bersalah itu seolah terefleksikan seperti cermin pada diri Yunho. Membuat Yunho bersikap seperti apa yang diharapkan Hankyung padanya.
Membencinya.
Hankyung memikul beban itu seorang sendiri selama dua tahun lamanya. Membiarkan orang-orang berpikir bahwa kekacauan di masa lalu memang karena kesalahannya. Membiarkan Yunho membencinya agar pewaris tunggal itu tidak menyalahi diri sendiri karena tidak bisa melindungi Heechul dan klan. Bersikap seolah-olah kematian Heechul dan kekacauan kkangpae memang karena kesalahannya, bukan Yunho. Ia berusaha melindungi klan dan Yunho dengan caranya sendiri.
Egois.
Bukankah semua orang selalu mengatakan kalau mereka sangatlah mirip?
"Gomawo... hyung." Lanjut Yunho menatap punggung Hankyung lalu melangkahkan kakinya menuju kamar di mana Jaejoong yang harap-harap cemas menunggu.
Keringat dingin meleleh di kening dan mengalir ke pelipis kiri. Hankyung terkekeh pelan. Ia menolehkan kepala kebelakang. Memperhatikan punggung Yunho yang semakin menjauh. Ia tahu, ia sudah memperbaiki semuanya. Bahkan ini jauh melebihi ekspektasinya. Ia bahkan tidak mengharapkan Yunho memaafkannya. Setidaknya, ia bisa membuat Yunho berpikir bahwa keberadaan dirinya di rumah ini bukanlah suatu kesalahan.
Rasa benci adalah cara termudah untuk melindungi sesuatu yang berharga, bukan?
"Sweet, eh?" suara bariton Yuu menginterupsi. Hankyung menoleh menatap lelaki blasteran yang kini berdiri bersandar pada pintu yang rusak. Kedua tangan terlipat di depan dada. Senyum seringaian nampak jelas di bibirnya.
"Seharusnya kau bisa menjaganya, Yuu." Desis Hankyung kesal.
"I did."
"Kau membuatku harus bekerja ekstra, dasar brengsek." Hankyung berdecih.
"Apa kau puas dengan hasilnya, hum?" tanya Yuu terkekeh. Ia tahu betul apa yang selama ini Hankyung lakukan untuk klan dan juga Yunho. Hanya saja, ia tidak mau banyak bicara dan mengikuti alur 'permainan' yang di mainkan Hankyung. Sesungguhnya, kekuatan terbesar Chil Sung Pa adalah Hankyung yang berkerja di balik bayangan dan Yunho yang berada di garis depan. Tanpa disadari, mereka sesungguhnya saling melengkapi.
"Well, not that bad~"
"Hankyung.. apa yang –" Boa tak melanjutkan pertanyaannya. Ia bersembunyi dan mengintip di balik dinding ruang minum teh Yuu. Mendadak ia merasa takut dan ngeri pada Hankyung. Siapa sangka jika adik kelas yang dulu sering ia marahi dengan jurus taekwondo dan karatenya ternyata seorang klan dari kkangpae Chil Sung Pa. Tentu saja hal itu membuat Boa merasa bodoh dengan apa yang dulu sering ia lakukan padanya. Bersyukur ia masih hidup di dunia hingga saat ini.
" –apa yang akan terjadi pada Yunho? Dan mugkin Jaejoong? Kau harus menjelaskan semuanya padaku." Lanjut Boa tak bisa menutupi rasa penasarannya. Cerita Yuu tentang hubungan Yunho dan Jaejoong, juga keadaan kkangpae yang sedang dalam masa kritis tentu membuatnya khawatir pada adik kecilnya itu.
"Ah –" Hankyung lupa jika Boa masih berada di kediaman utama. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal lalu berjalan mendekati wanita mungil yang bersembunyi takut-takut di balik dinding.
"Nuna tidak perlu khawatir. Semuanya baik-baik saja. Tidak akan ada pertumpahan darah malam ini. Terima kasih pada Jaejoong yang bisa menahan Yunho untuk tidak melakukan tindakan gilanya tepat waktu." Tubuhnya sedikit menunduk, mensejajarkan wajahnya pada wajah Boa, lalu tersenyum.
"..." Boa tak bisa berkomentar. Namun wajah tersenyum itu terlihat begitu yakin. Dari sekian tahun mengenalnya, baru kali ini ia melihat senyum Hankyung terlihat begitu lepas. Seolah tak ada beban yang menghimpit.
.
.
.
— TBC/DISCOUNTINUED—
.
.
.
Hello? Hehehe udh lama ga mampir ke sini :) kpn ya trakhir ke sini? 4 taun yg lalu, I guess
Wow, waktu yg cukup lama untuk update 1 chapter yg bahkan di ending nya kalian harus berpait hati melihat tulisan discountinued
Yup, dengan berat hati aku hrs bilang ff ini akan berhenti sampai disini, sad but true
Chapter 21 ini yg trakhir aku tulis sekitar 2 taun lalu, udh rampung.. tp rasanya ga pede buat update. Maafkan :) akhirnya aku harus membuat keputusan, update chapt 21 dgn bbrp pencerahan plot, dan berhenti.
Aku tahu aku bersikap gak berprofesional, tp rasanya aku udh ga bsa nulis ff yunjae lg :( bayangan mrk terlau kabur di dalem kepala, sampe2 rasanya I dont feel anything anymore. Aku ga bakal banyak alasan, aku mampir kesini cma untuk bilang itu. Aku bahkan mungkin berhenti jd author yunjae, but I'll try to make another story in the future~ dan maaf bgt ya klo aku bikin kalian nunggu dan di php :'( jujur aja aku pun ga mau klo ff ini ga lanjut, tp apa daya, imajinasi liar ttg yunjae ini sudah tak seliar dulu :'D aku pasti kena WB.
Maaf ya.
Tapi, kalian jgn berkecil hati~ ff ini akan di take over dan di remake~ kalian bisa baca di wattpad dengan id GreenAster, dan judul yg sama SHINE tp dgn cast yg berbeda :) yup~ she will end this ff with her style~
Happy a nice day
With love,
kurorenji :)