Hello Stranger

.

Disclaimer: Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime.

Genre: drama/friendship/supernatural.

Happy reading~


.

Levi menyambut hari baru dengan membuka jendela, membiarkan angin segar menyambangi kamarnya. Setelah meregangkan otot tubuh yang kaku setelah semalaman diistirahatkan, Levi bergerak menuju kamar mandi.

Dibasuhnya muka dengan air dingin dari keran. Wajah kuyu sehabis bangun tidur (yang sebenarnya tidak beda jauh dengan tampangnya sehari-hari) terpantul di cermin. Tangan meraih sikat gigi.

Sayup-sayup terdengar kicauan burung bernyanyi riang mengalun merdu. Matahari menyembul separo di balik awan. Udara masih sejuk dan segar untuk dinikmati paru-paru. Tambahkan semua metafora cantik di sini untuk melengkapi pagi hari Levi yang tenang, syahdu, damai sentosa, dan—

"Selamat pagi!" Sesosok makhluk berambut pirang menyeruak keluar dari dalam cermin. Levi hampir tersedak air kumuran karenanya.

"Sudah kubilang jangan muncul tiba-tiba!"

—ah, demi apa Levi sampai melupakan eksistensi si hantu kecil yang menjadi penghuni baru rumahnya itu.

Berkat bantuan Erwin, mobil Levi terbebas dari kutukan makhluk jahil sehingga akhirnya ia bisa pulang. Tapi tentu saja semenjak itu Erwin jadi mengikuti Levi sampai ke rumah. Awalnya Levi berniat untuk mengelabui anak itu dengan berkata Erwin tidak boleh ikut tinggal di rumahnya tapi ia akan mengunjungi Erwin setiap hari sembari membantunya mencari cara untuk reinkarnasi atau apalah namanya itu. Padahal sesungguhnya Levi bermaksud pergi dan takkan pernah kembali lagi.

Malang bagi Levi. Rupa Erwin boleh anak-anak. Tapi dia tidak semudah itu dibodohi. Erwin dapat membaca rencana busuk Levi. Erwin tetap memaksa ikut kalau tidak ia akan memanggil para rekan sesamanya untuk menghantui Levi.

Ancaman ini tak pelak mengharuskan Levi mengakui kekalahannya. Saat itu itu ia berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Levi bukan ahli nujum. Bukan pula paranormal. Levi hanyalah manusia biasa yang terancam dikeroyok sekawanan hantu.

Oh, tidak bisa.

Levi belum ingin mati (walaupun maksud Erwin memanggil kawannya bukan yang seperti itu). Karir masih panjang terbentang. Belum menikah. Dan tentunya tidak mau melihat makhluk-makhluk tidak jelas setiap kali ia membuka mata di pagi hari. Setiap jam. Setiap detik.

Ya kali dirinya yang tampan, kece, rupawan, penuh pesona ini harus berakhir demikian. Semua setuju? Oke, lanjut.

Tidak ingin hidupnya lebih runyam lagi, diambilnya jalan aman yakni menyetujui tawaran Erwin.

Maka di sinilah mereka berdua berada. Di kamar mandi sementara Levi setengah telanjang.

"Keluarlah. Aku mau mandi," usir Levi. Ia mengambil handuk yang tergantung. Kenop pintu diputar sampai terdengar bunyi klik.

Sesungguhnya kalau dipikir-pikir, percuma saja Levi mengunci pintu. Toh yang namanya hantu bisa menembus benda padat. Tapi Erwin tetap menurut. Ia melayang rendah melewati tembok. Erwin adalah hantu bermoral, tidak suka mengintip orang mandi.

Butuh waktu hampir sejam untuk menyelesaikan aktivitas mandinya yang sakral. Bagi Levi, mandi bukan hanya sekadar pembersihan tubuh tapi juga kesempatan merenung. Entah kenapa otaknya bekerja lebih optimal jika berada di tempat yang bersih. Kamar mandi, khususnya. Bisa saja sabun-sabun dan semua perlengkapan mandi menyumbangkan energi positif untuknya. Feng Shui a la Levi.

Levi berendam dalam bathtub, disusunnya rencana apa yang harus ia lakukan terhadap hantu tersebut.

Tak lama terdengar ketukan pintu.

"Paman, sudah selesai belum mandinya? Kok lama amat di dalam?"

Erwin menunggu di luar.

Sedikit banyak Levi merasa terganggu. Ia yang terbiasa hidup sendiri kemudian tiba-tiba sekarang ada yang komplain mengenai kebiasaannya ini. Mau Levi bermeditasi atau mau berenang di bak mandi, ini rumahnya dan tak ada yang boleh mengatur.

"Memangnya kenapa? Kau mau pakai toilet?" sahut Levi malas.

Levi tahu pertanyaan itu nampak konyol. Namun ia hanya bermaksud sarkastik.

"Ng, tidak kenapa-kenapa. Aku hanya memastikan paman masih hidup. Sebab kalau paman mendadak mati karena terpeleset, maka siapa lagi yang mau membantuku," jawab Erwin apa adanya.

OH JADI BEGITU. Oke, cukup tahu.

Cepat-cepat sisa busa sabun dibilas. Dipakainya piyama mandi secara terburu-buru. Levi murka.

Pintu menjeblak terbuka. Erwin sempat mundur beberapa langkah ke belakang sebelum mengenai tubuhnya. Ia sejak tadi bergeming di situ. Berjaga di depan pintu, kalau-kalau Levi nantinya kabur lewat jendela. Erwin belum sepenuhnya mempercayai Levi, apalagi setelah Levi berusaha mengelabuinya. Jadi, langkah antisipasi harus diambil walau seabsurd apapun.

"Lihat? Aku masih hidup. Puas sekarang?" Levi melipat tangan di depan dada.

Erwin menarik sudut bibirnya. "Baguslah kalau begitu."

Levi mendecih.

.


.

"Nah, karena sekarang kau menumpang di rumahku dan aku tidak mau kau tinggal gratisan, akan kutunjukkan tugas-tugasmu selama di sini."

Erwin membalas perkataan Levi dengan satu anggukan mantap.

Mereka menuju dapur yang hanya bersebelahan dengan ruang makan tanpa dinding pembatas. Rumah Levi memang tidak besar. Bergaya minimalis didominasi warna putih susu untuk cat tembok. Tidak banyak pula dekor ruangan—seperti guci, misalnya—sehingga rumahnya terlihat luas walau kecil. Levi merasa tidak perlu memenuhi tempat tinggalnya ini dengan perabotan yang tidak penting karena hanya menambah daftar barang yang harus dibersihkan.

"Pertama, kau harus menyiapkan sarapan untukku setiap pagi sebelum ke kantor. Perhatikan baik-baik," Levi berujar.

Levi tidak tahu anak itu berasal dari zaman apa. Tapi jika ditilik dari cara berpakaiannya yang necis tapi kuno (ayolah, mana ada anak modern yang masih pakai cravat ke mana-mana), diduga dia seangkatan dengan nenek moyang Levi. Sebab dari itu Levi berkesimpulan Erwin buta teknologi. Diputuskannya mengajari Erwin cara menghidupkan kompor sebelum rumahnya terbakar habis.

Levi menekan kenop kompor lalu diputar ke kiri. Lidah api biru terpantik, menjilat pantat penggorengan yang agak berkerak arang. Diambilnya dua butir telur dan bacon dari dalam lemari pendingin. Telur dibenturkan pelan di pinggir penggorengan hingga retak. Setelah minyak cukup panas, isi telur meluncur bebas dari cangkangnya, menyusul bacon. Aroma gurih menggugah selera merebak.

Erwin menaruh atensi dengan saksama. Tidak ada satu pun langkah yang ia lewatkan.

"Jangan lupa kalau aku suka teh hitam sebagai pendamping sarapan."

Sekaleng teh hitam kualitas tinggi dikeluarkan dari laci. Levi menyiapkan satu set teko beserta cangkir berbahan keramik.

"Air mendidih paling bagus untuk menyeduh teh hitam."

Tiga sendok teh dimasukan ke dalam teko. Air dituang dengan gerakan memutar agar penyeduhannya merata. Seduhan pertama tadi ia buang karena hanya untuk membuat daun teh membuka sehingga lebih harum. Teh diseduh lagi sampai memenuhi ¾ teko.

Erwin manggut-manggut meski dalam hati ia tidak paham kenapa membuat teh saja bisa serumit itu. Sepanjang peragaan, Levi tak hentinya cerocos akan betapa pentingnya menjaga kualitas teh.

Semuanya telah siap. Saatnya dibawa ke meja makan.

Erwin membantu Levi menuang teh ke cangkir. Garpu dan pisau makan disediakan di atas meja. Levi sejenak menghirup aroma wangi dari teh, menyesapnya sedikit. Kuning telur mata sapi setengah matang lumer seiiring garpu ditusukan. Irisan kecil bacon masuk ke dalam mulut.

Di tengah menikmati sarapan, Levi perhatikan Erwin menontonnya saat ia sedang makan. Dibaginya telur menjadi dua, begitu pula dengan bacon.

Ia menyodorkan piring pada Erwin.

"Mau?"

Tatapan Erwin jatuh pada makanan tersebut, kemudian balik lagi ke Levi. Ia menggeleng pelan.

"Aku tidak bisa makan."

"Oh—benar." Piring ditarik. Levi hanya membalas singkat. Tidak tahu harus berkata apa. Bisa-bisanya dia lupa bahwa sistem pencernaan hantu tidak lagi bekerja.

"Sebenarnya aku bisa makan. Tapi tidak ada rasanya sama sekali," lanjut Erwin. Dagu bertopang pada tangan. Masih memperhatikan mulut Levi berkunyah.

"Pernah kau coba?"

Bola mata Erwin bergulir ke atas, menatap langit-langit. Berusaha menarik kembali kilasan ingatan silam.

"Yup. Waktu itu pernah ada manusia yang membawa buah-buahan dan diletakan di salah satu nisan. Mungkin keluarganya. Aku mengambil satu."

"Wah, sayang sekali ya. Padahal di sini banyak makanan enak," nada simpatik yang dibuat-buat. Mulut Levi membentuk senyum mengejek.

Alis tebal Erwin tertekuk. Bibir mengerucut. Ia membuang muka. "Biarin."

Levi melirik jam yang menunjukkan angka tujuh lebih seperempat. Ia tinggalkan piring kosong sisa makan untuk dicuci Erwin. Segera Levi bergegas untuk berganti pakaian sebelum terlambat berangkat ke kantor.

Tak lama, Levi tampil rapi dengan setelan kemeja putih menutupi lengan dan celana panjang abu-abu. Rambut hitam dibelah agak samping, menjuntai lemas menampakan sisa tercukur tipis di bagian belakang.

"Cuci piringnya di wastafel. Bersihkan juga rumah ini sampai ke loteng-lotengnya. Sapu dan kain pel ada di dekat gudang. Aku tidak mau ada setitik debu pun."

Erwin menganga mendengar instruksi Levi yang diucapkan dalam satu tarikan napas. Dalam kepalanya mengurutkan satu per satu perintah. Belum juga sehari dia tinggal di sini tapi sudah disuruh kerja rodi.

"Aku harus menunggumu pulang? Kalau aku bosan, bagaimana?"

Di sela memakai sepatu pantofel hitamnya, Levi menoleh ke belakang. "Nonton televisi saja. Remote-nya ada di atas sofa. Tekan tombol merah." Jarinya bergerak ke sana-sini, menunjuk barang-barang yang disebutkan. Mata biru Erwin mengikuti.

Levi bangkit berdiri, diraihnya tas jinjing.

"Aku pergi dulu. Jaga rumah baik-baik. Kalau ada orang mencurigakan yang berusaha masuk, hantui saja dia."

.


.

Levi mondar-mandir mengawasi kinerja bawahannya. Bukannya dia kurang kerjaan, tapi itu merupakan upaya mengontrol produktivitas karyawan. Sebab tak jarang didapatinya mereka malah bercakap-cakap, alih-alih bekerja.

Contohnya saja sekumpulan anak muda ini. Masih saja membahas topik mistis kemarin. Tidak bosan apa, membicarakan itu terus. Rasanya Levi ingin tahu reaksi mereka jika dia bilang sekarang di rumahnya ada hantu. Dijadikannya pesuruh pula.

"Sebentar, sebentar. Aku cek dulu." Si pemuda berambut cokelat meraih ponsel layar sentuhnya. Mengetik beberapa kata, munculah sebuah situs di layar. Situs itu berupa forum untuk saling bertukar informasi.

"Kemarin malam cuaca berkabut. Seharusnya ada kasus baru. Tapi kok hari ini tidak ada laporan..."

Yah, kalau saja dia tahu 'korban' yang dimaksud sedang berdiri di belakang dengan tatapan predator. Teman-teman rumpi lain—yang menyadari kehadiran Levi—buru-buru kembali ke tempat masing-masing. Armin sempat memberi kode dengan menyenggol kaki Eren. Namun apa boleh dikata daya tangkap yang bersangkutan agak kurang.

"Lho? Kenapa kalian kabur—"

"Apa yang kalian lakukan jam segini?! Kalian dibayar bukan untuk makan gaji buta!"

Auman membahana. Terkejut, Eren balik badan.

"Uwaaaa! Ma-maafkan saya, Sir!"

Menyembunyikan ponsel yang belum habis dicicil sebelum disita sang pimpinan. Eren mengkeret. Tidak berani beradu pandang dengan Levi. Peluh berjatuhan dari kening. Sensasi tegang seperti ini mengingatkan Eren akan kejadian lampau di mana dia ketahuan memecahkan vas bunga kesayangan ibu.

Tapi yang satu ini dua kali lebih seram.

"Datang ke ruanganku lima menit dari sekarang. Pekerjaanmu akan kutambah."

Eren tertunduk pasrah.

"Ba-baik…."

Telunjuk Levi menyentuh pinggir keyboard komputer Eren. Digesekan dengan ibu jarinya. Sesaat bekernyit, mata berpindah pada si pemuda malang yang nyengir paksa mencari pengampunan. Tidak berlebihan jika mengatakan kalau semua orang di Recon Corps tahu sifat maniak kebersihan Levi. Dan Levi tidak segan mempermasalahkan hal sepele (bagi orang lain) tersebut.

Celakalah Eren.

"Ini kotor. Bersihkan."

Mengangguk frantik. Bersyukur Levi tidak ceramah bahaya kuman bagi tubuh seperti biasanya.

Levi memutar badan, berjalan meninggalkan mereka. Sebelum benar-benar menghilang dari pandangan, Levi berbalik. "Satu hal lagi, jangan ada yang membicarakan rumor sialan itu di depanku."

.


.

Erwin Smith akan mengingat hari ini sebagai hari di mana dia diperbudak seorang manusia kurang tinggi bernama Levi. Walaupun fakta berbicara bahwa dia sendirilah yang mengajukan proposal ini. Namun semua ini karena Erwin punya tujuan yang dikejar. Ada harga yang harus dibayar. Saat ini mereka berdua terikat hubungan simbiosis mutualisme.

Levi majikan dan Erwin pembantunya.

Tidak masalah. Kalau hanya bersih dan beres-beres rumah sih cuma hal kecil bagi Erwin. Lagipula rumah Levi tidak seberapa besar. Satu lantai, plus loteng untuk menyimpan barang-barang tidak terpakai. Hanya ada dua kamar. Di bagian belakang terdapat halaman cukup luas yang terpisahkan pintu geser kaca. Menyajikan pemandangan yang apik dari dalam rumah. Saat malam tiba, pintu kaca diselubungi korden biru.

Prinsip militer; kenali medan sebelum bertempur.

Selesai berkeliling, si kecil Erwin memulai mandat yang Levi serahkan padanya.

Terbang menuju dapur. Erwin mengambil piring kotor dan diletakan di wastafel. Mencucinya hingga bersih. Berpindah ke gudang. Tempat itu lebih pantas disebut ruang Levi menyimpan perkakas kebersihannya. Aneka cairan pembersih—seperti sabun cuci piring, deterjen, dan lain-lain—berdiam di situ. Tak ketinggalan sapunya juga bermacam jenis dan model demi apa. Erwin curiga Levi punya fetish sapu.

Satu benda asing menarik atensi Erwin. Berbadan mungil dengan dua roda di bawahnya dan tombol di samping. Tersambung belalai panjang yang menjulai. Moncong lebar di ujung. Diduganya itu adalah salah satu jenis sapu modern. Tak berani sentuh. Takut rusak.

Erwin memilih yang tradisional. Ia ambil tiga. Ia bawa ke ruang tengah dan dibaringkan di lantai secara berderet. Lamat-lamat Erwin memfokuskan konsentrasi pada tiga benda itu. Perlahan mereka bangkit berdiri tanpa ada yang membantu.

Memberi komando lewat kibasan jari. Satu per satu sapu bergerak sendiri seolah punya kaki, berpencar ke seantero rumah. Mulai menyapu lantai. Menjangkau sawang di area sempit. Berjalan vertikal membersihkan sudut atas langit-langit.

Erwin tersenyum puas dengan hasil karyanya.

Ia sekarang bisa santai. Membiarkan para serdadu sapu bekerja, Erwin mengambil daftar tugas yang sempat dicatat.

1.) Cuci piring. Cek.

2.) Bersih-bersih. Cek.

"Hmm… apa yang harus aku lakukan sekarang?" Erwin bergumam sendiri.

Jam belum beranjak dari pukul sebelas siang. Levi belum akan pulang dalam waktu dekat. Tiduran di sofa seraya mengkhayal. Rumah dengan arsitektur modern ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan tempat tinggalnya dulu—saat ia masih hidup. Zaman berganti. Melahirkan ide-ide baru, teknologi futuristik, gaya hidup. Membuka mata Erwin akan hal-hal baru.

Erwin terlalu lama mendekam di pekuburan. Memagari dirinya sendiri dengan dunia luar, tanpa sadar waktu berlari cepat meninggalkannya. Saat ini, ada seberkas keinginan untuk melangkah ke luar.

Tapi, tidak. Erwin memantapkan hati agar tidak tergesa-gesa. Ia tetap harus fokus akan tujuan awalnya.

Tiba-tiba perkataan Levi sebelum dia pergi melintas dalam memori.

Tangan bertepuk sekali. "Televisi! Tapi televisi itu apa ya…."

Matanya menjelajah ke benda-benda yang dianggap potensial. Kemudian teringat di mana Levi tunjukan. Tepat berada di depannya, berdiri kotak tipis berwarna hitam seukuran 44 inci di atas meja panjang berlaci banyak. Ada kaki tunggal pendek sebagai penyangga. Mendekat, Erwin menyentuh pinggiran kotak yang mengilap dengan hati-hati. Erwin mengeratkan pegangannya dan televisi diguncang.

Rasa penasaran membuat Erwin melakukan tindak penganiayaan terhadap objek tak berdosa itu. Ia ingin tahu jenis permainan macam apa ini. Mungkinkah akan ada burung merpati yang keluar dari dalam? Begitu pikir Erwin.

Dasar hantu norak.

"Remote ada di atas sofa. Tekan tombol merah."

Teringat lagi. Logikanya bekerja cepat. Tanpa buang waktu, Erwin mencarinya. Benda persegi panjang terselip di antara punggung sofa dan bantal. Dipencetnya tombol merah.

Dalam satu kedipan, monitor menampilkan gambar. Berwarna dan bergerak dan bersuara. Paket komplit untuk membuat Erwin tercengang.

.

.

.

TBC


.

[review reply untuk anon]

- garahan: makasih /w\\\ maaf lama update ya ;;

- Rin Asuka: lol jangan panggil saya sensei. noct aja *kedip-kedip gaje*. iya ini (akhirnya) udah update :'D

- Gishapon: shota Erwin itu emang lucu bingits akshdkjas

- Mio: maaf menunggu lama ;;

.


A/N:

YOOOO! saya ga yakin masih ada yang baca fic ini setelah terlantar DELAPAN BULAN. Mana jumlah words-nya dikit pula. iya, saya memang patut dirajam *menyerahkan diri*. Hamba mohon maaf ;_;

tapi sebenarnya fic ini cuma pendek. bentar lagi tamat. rencananya sih gitu…

Bagi yang mengira ini adalah fic eruri atau apapun yang bersifat romance, sayangnya bukan. Saya lagi ingin menggali hubungan mereka secara platonik :)

Terima kasih sudah membaca :')

see you next chapter! (kali ini beneran ada uwu)