"KRIS!"

Sebuah teriakan terdengar. Keduanya menoleh.

Mata Kris terpaku menemukan Tao yang memandangnya dengan mata berkaca-kaca melihatnya tengah berada dalam pelukan KyungSoo.

"Tao?" ucap Kris nyaris seperti bisikan.

"Kris jahat!"

Dan pemuda itu pun bergegas pergi meninggalkan Kris yang belum sepenuhnya sadar atas apa yang terjadi.

.

.

.

.

.

.

"Tao!"

"Kris!" Tangan KyungSoo mencekal lengan pakaian khusus pasien yang Kris kenakan sekaligus menahan pemuda yang telah bangkit dari kursi rodanya itu. "Kau mau ke mana?"

"Tao! Kau tidak lihat Tao tadi pergi begitu saja?" suara Kris naik membuat KyungSoo terkesiap dan melepaskan pegangannya pada lengan Kris perlahan.

"Ma–maaf." KyungSoo menunduk. Menghindari tatapan tajam Kris dengan memilih merunut marmer putih yang dipijaknya. "Kau masih sakit, Kris."

"Aku selalu sakit, Kyung."

"Tapi—" KyungSoo memberanikan diri mengangkat wajahnya dan menatap Kris. "Kenapa demi pemuda itu kau sampai bersikap seperti ini, Kris?"

"Kalau saja kau punya orang yang berharga untukmu kau akan mengerti posisiku, Kyung."

KyungSoo terkesiap. Gadis itu menggigit bibirnya dan kembali menunduk. Kata-kata Kris barusan telah memukulnya dengan telak. Pemuda itu telah menunjukkan dengan terang-terangan bahwa selama ini, ia sama sekali tidak mengerti tentang Do KyungSoo. Kris sedikit pun tidak mengerti.

Drrtt...

Getaran ponsel di saku jas KyungSoo membuat gadis itu berjengit sekaligus mengempaskanya kembali ke bumi untuk menghadapi Kris yang masih bergeming di depannya.

"Yeobseyo... Oh, kau ingin ke sini? Baiklah, hati-hati."

KyungSoo mengakhiri panggilan singkat itu dan menatap Kris yang telah selesai mengenakan jasnya dengan wajah bersalah.

"Maaf, a–aku tidak bisa menemanimu mencari Tao. Aku tahu ini sangat tidak bertanggung jawab, tapi selain karena ada seseorang yang ingin menemuiku, kalau Tao tahu jika kita pergi berdua pasti itu hanya akan memperburuk keadaannya."

Kris tidak menjawab. Pemuda itu bergegas pergi meninggalkan KyungSoo yang hanya mampu menatap nanar punggung Kris yang menjauh.

'Kris...maafkan aku...'

.

.

.

.

.

.

"Tao."

Pencarian Kris berakhir di sisi jalan raya yang tepat berada di depan rumah sakit. Tao memang tidak lari terlalu jauh. Tapi, posisinya berada sekarang cukup untuk membuat Kris memaku langkahnya beberapa meter di belakang pemuda itu. Huang ZiTao berdiri di tepi jalan, menangis, boneka panda besar yang diberinya nama Peach berada dalam pelukannya.

"Tao," panggil Kris pelan.

Tao menoleh menatap Kris. "Gege jahat. Kenapa Gege membiarkan Noona itu memeluk dan menciummu, Ge? Apa Gege sudah tidak menyayangi Peach dan aku lagi?"

"Kau salah paham, Tao. Dengarkan Gege." Kris mendekat ke arah pemuda itu.

"Jangan mendekat atau aku dan Peach akan melompat."

Kris membeku. "Jangan, Tao. Gege mohon jangan lakukan itu. Maafkan Gege."

"Tidak! Gege jahat!" Tao melompat tepat ke tengah jalan tepat ketika lampu menyala hijau.

"HUANG ZITAO!" Teriakan keras yang seolah berasal jauh dari dalam dirinya adalah hal terakhir yang Kris ingat sebelum bayangan Tao yang melompat mengabur ketika kesadaranya perlahan menghilang. Gravitasi menarik tubuhnya dengan anggun berduet dengan kegelapan yang perlahan menyapa.

Kenapa ia harus pingsan di saat seprti ini? Sialan!

Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi.

Tao terbelalak.

Lalu, sebuah bayangan melompat ke arahnya.

'CITTTTT'

"GEGE TOLONG!"

'BRUAGHH!'

Suara rem yang berdecit dan benturan dua benda adalah hal terakhir yang terdengar di tempat itu sebelum darah membanjir memberi warna lain pada aspal yang tadinya hitam.

"Jadi kau benar-benar akan ke Italia?" SuHo menatap sosok tinggi yang tengah duduk di kursi milik Kris di salah satu ruangan di EMRC.

"Kau beruntung sekali," sambung Kris yang tengah berdiri di sisi lemari seraya merapikan beberapa rekam medis pasien.

"Tentu saja. Lagipula setelah tugas kemarin aku perlu liburan–!"

"Selamat pagi semua!" sapa MinSeok yang kini memasuki ruangan.

"Hey you, Baby!" ChanYeol meloncat dari kursinya dan berjalan menyambut MinSeok. Kris hanya melirik sebentar dan kembali fokus pada kerjaan di tangannya.

"Kudengar kali ini kau membawa mainanmu pulang, eh?" ChanYeol mengalungkan tangannya ke leher MinSeok dan menarik gadis itu untuk mendekat ke arah meja.

"Apa maksudmu?" MinSeok melirik sosok tinggi itu sebal. "Aku tak pernah menganggap pasienku mainan."

ChanYeol tertawa lebar seraya melepas pelukannya. "Jadi benar kau membawa salah satu pasienmu?!"

"Jangan menggoda MinSeok terus. Dan jangan sebut mereka mainan, Park ChanYeol," lerai SuHo lembut.

"Benar, SeHun juga tak akan senang mendengar itu!" dukung MinSeok seraya melirik ke arah pintu tempat ia masuk tadi.

"Eh? Kau membawanya ke sini?" Kris meletakkan berkasnya dan menoleh menatap MinSeok.

"Dia di luar. Karena sedang libur dia memaksaku untuk membawanya ke sini. Kurasa tidak masalah bukan?" MinSeok menatap SuHo seolah minta persetujuan.

SuHo mengangguk singkat. "Lagupula Kris juga membawa Tao hari ini."

"Baiklah, Lady and Gentleman yang terhormat. Cukup sekian pembicaraan kita karena aku harus segera mengejar pesawat ke Italia," interupsi ChanYeol seraya meraih kopernya yang ada di atas meja.

"Eh? Kau mau ke luar negeri?" MinSeok bertanya karena memang hanya dia yang belum tahu tentang rencana ChanYeol.

"Benar sekali, Baby-ahjumma!" jawab ChanYeol genit. "Jadi jangan merindukan aku selama aku pergi, 'kay? Annyeong!" ChanYeol segera melesat keluar tanpa menghiraukan MinSeok yang bersiap melemparnya dengan ponsel saat mendengar pemuda itu memanggilnya 'Baby-ahjumma'.

.

.

.

.

.

.

Gedung pertunjukkan di tengah Venice, Italia itu penuh sesak dipadati penonton yang berpakaian resmi dan terhormat. Semakin bertambah pulalah nilai para artis yang tampil malam ini. Dengan didampingi sosok cantik di sisinya, ChanYeol menjatuhkan dirinya duduk di kursi VIP paling depan. Gadis yang tidak seperti gadis Italia pada umumnya yang memiliki rambut gelap dan mata sewarna lelehan caramel ini bernama Mary Celeste O'Jacsen, rambutnya blonde lurus dengan poni dan bola mata sewarna langit musim panas membuatnya terlihat seperti barbie yang berjalan. Gadis yang telah tiga tahun menjadi teman ChanYeol inilah yang telah berbaik hati mengundangnya untuk melihat pertunjukkan opera musim panas di Venice, yang dengan senang hati langsung diterima sang Cassanova. Mungkin banyak yang bertanya-tanya kenapa seorang ChanYeol mengabaikan gadis secantik Mary, namun Mary yang telah berteman lama dengan ChanYeol tentu mengerti bagaimana orientasi dan karakter sosok yang bekerja sebagai seorang psikiater itu, yang menurut Mary, seharusnya ChanYeol mengobati dirinya sendiri.

Acara dimulai dengan penampilan para penyanyai opera yang melengking tinggi memenuhi sudut-sudut gedung pertunjukkan. ChanYeol terus mengeluarkan kata-kata pujian atas penampilan memukau dari para artis-artis itu.

"Mereka hebat sekali! Berapa lama merela latihan untuk pertunjukkan ini?"

"Sekitar dua tahun kurasa. Mereka dipilih dan dipersiapkan dua tahun sebelum pertunjukkan musim panas ini berlangsung. Dan tentu saja tidak sembarang artis dan para seniman bisa mengisi acara ini!"

"Perche?" ChanYeol menatap Mary yang tetap memfokuskan matanya pada pertunjukkan di atas panggung.

"Karena ini adalah pertunjukkan besar yang dihadiri kritikus dunia untuk masing-masing seni. Lihat! Mereka berbakat bukan?"

"Si. Molto."

ChanYeol segera mengalihkan perhatiannya kembali ke panggung yang kini menampilkan seorang ballerina yang tengah meliuk dengan indah di atas panggung. Ballerina itu seolah tak menyentuh bumi dengan pointe-nya yang sempurna lewat toe shoes yang dikenakannya. Ia membawakan balet klasik dari sajak Hrymlus. Dan pada babak Grand Pas De Deux, mata ChanYeol semakin terbuka lebar menyaksikan sosok dancer noble yang menjadi pasangan sang ballerina. Dua sosok yang bertubuh mungil baik sang ballerina maupun sang dancer noble begitu memukau seorang ChanYeol untuk tetap menatap mereka.

Dalam iringan musik klasik dan lampu sorot, keduanya menjadi pusat perhatian penonton. Mereka berpegangan, berpelukan, berdekapan, meliuk…

"Hebat sekali mime-nya! Dancer Noble itu Byun BaekHyun bukan? Dia memang pantas mendapat gelar itu di usianya yang masih belia!"

"Benar-benar sosok pemuda hebat. Keahliannya dalam seni memang tidak bisa diragukan lagi!"

Banyak sekali pujian yang ChanYeol dengar dari sekelilingnya.

"Hebat sekali si Byun BaekHyun itu!" teriak ChanYeol tanpa sadar.

"Tunggu sampai kau melihat penampilannya yang lain," ucap Mary kalem.

"Maksudmu?"

Belum sempat Mary menjelaskan panggung sudah kembali riuh dengan sosok pemuda tampan yang tengah bersiap memainkan piano yang ada di depannya. Semua penonton seakan terhipnotis saat tarian jemarinya dengan sempurna melantunkan lagu-lagu klasik sekelas Mozart dan Beethoven. Tak ada yang bersuara selama pemuda bernama Byun BaekHyun itu menarikan jemarinya di atas piano. Termasuk ChanYeol yang kini tak mengalihkan pandangannya sedikit pun dari sosok memesona di atas panggung. Hanya terasa hatinya yang berdesir aneh. Serta suara detak jantungnya yang terdengar keras seolah hanya ia yang mendetakkan jantungnya dalam ruangan itu.

Lagu terakhir selesai, dan ChanYeol berhenti bernapas saat tak sengaja matanya menangkap netra bulan sabit BaekHyun yang tengah terpancang padanya. Sebuah senyum yang sangat indah menurut ChanYeol terukir di bibir BaekHyun yang ia yakin seratus persen untuknya sebelum akhirnya pemuda manis itu membungkuk dalam sebagai penghormatan.

Seketika suara menjadi riuh kembali dan berdengung. Penonton mulai berdiri ketika layar ditutup.

"Encore! Encore!" teriak mereka sambil bertepuk tangan dengan meriahnya. ChanYeol ikut berdiri seraya melirik Mary yang kini sudah nyaris meloncat-loncat meneriakkan 'encore' berulang-ulang. Tak lama dari balik layar, Byun BaekHyun kembali muncul. Terlihat peluh yang membanjir di wajah pucatnya. Ia terlihat begitu bahagia saat membungkuk dan memberi hormat atas sambutan penonton. Beberapa penonton kehormatan maju ke panggung dan menyerahkan karangan bunga pada BaekHyun dan menyalaminya. Ia tertawa lebar kala puluhan lampu blitz mengarah padanya. ChanYeol tetap terpaku di antara ribuan penonton, ia tak lepas dari sosok yang mampu mencuri semua perhatiannya dalam semalam itu.

.

.

.

.

.

Back stage terlihat sangat riuh dan sibuk saat sosok tinggi ChanYeol masuk ke dalamnya. Namun itu menguntungkannya karena membuat para manusia itu tak peduli dengan kehadirannya. Mata ChanYeol menyusur mencari sosok yang membuatnya membatalkan acara makan malam dengan keluarga Mary dan memilih berada di sini setelah pertunjukkan usai. Bingo! Dan sosok manis Byun BaekHyun pun terlihat tengah mengganti trench coat-nya dengan hoodie berwana merah. Tak lupa topi yang kini tergenggam di tangannya. ChanYeol tersenyum. Diraihnya secangkir coffee late di atas meja di dekatnya dan ia mendekat ke arah BaekHyun yang sepertinya belum menyadari kedatangannya.

"Questa la tua tazza, per favore." ChanYeol menyodorkan cangkir itu ke arah BaekHyun yang memandangnya tak mengerti, sebelum akhirnya tersenyum kecil seraya menerima cangkir dengan isi yang masih mengepulkan uap.

"Grazie…" ucap BaekHyun pelan.

"Prego." ChanYeol menjawab singkat seraya mengikuti BaekHyun yang kini berjalan membawa barangnya keluar.

"Biar kubantu." Tangan ChanYeol yang panjang reflek meraih gitar yang nyaris terlepas dari tangan BaekHyun karena kerepotan membawa barang-barang itu. BaekHyun mengangguk singkat dan membiarkan ChanYeol membantunya membawa barang-barang itu. Keduanya kini berjalan keluar dan mengambil tempat duduk di taman yang terletak di kanan, di luar gedung pertunjukkan. Taman yang penuh dengan lampu hias warna-warni yang memenuhi sudut-sudut taman membentuk aneka bentuk bunga dan karakter-karakter negeri dongeng ini terlihat sepi. Sekitar lebih dari lima belas meja yang ada, hanya lima yang terisi, termasuk meja yang kini tengah diduduki BaekHyun dan ChanYeol.

"Fa freddo. Kau sudah ingin pulang?" ChanYeol bertanya. Ditatapnya sosok manis yang kini menyesap minumannya pelan seraya menatap pasangan lain yang ada di sekitar mereka. Terlihat sepasang remaja Italia yang tengah berpelukan mesra yang akhirnya berujung pada sebuah ciuman panas. BaekHyun memalingkan wajahnya yang memerah melihat adegan tersebut.

"Non anchora," jawabnya singkat seraya kembali menatap ChanYeol di depannya.

"Ah, iya. Kita belum memperkenalkan diri. Namaku Park ChanYeol, aku dari Korea, dan sekarang bertugas di salah satu MRC di Seoul. Dan aku sangat mengagumi kemampuan baletmu maupun permainan pianomu. Aku juga bisa sedikit bermain piano. Namun kuakui tidak sehebat dirimu." Dalam jarak sedekat ini, BaekHyun terlihat berkali lipat lebih menggemaskan di mata ChanYeol. Mata sipitnya yang terpasang sempurna di atas kulit wajah sewarna porcelain-nya. Benar-benar mahakarya Tuhan yang indah. ChanYeol belum pernah merasakan perasaan tertarik dan terpesona sedalam ini. Jantungnya seolah tak ingin berdetak lebih lambat dan terus berdetak cepat. Bahkan ia takut BaekHyun juga akan mendengar detaknya.

"Namaku BaekHyun, Byun BaekHyun." BaekHyun memperkenalkan dirinya singkat.

"Melihat wajahmu sepertinya kau bukan orang Italia?"

BaekHyun mengangguk. "Aku selama ini tinggal di Seoul juga. Dan datang ke sini beberapa bulan yang lalu untuk mempersiapkan pertunjukkan ini."

"Kau hebat sekali membuat orang-orang ini mengundangmu di acara besar mereka, Baekie."

"Eh?" Netra BaekHyun menyipit mendengar panggilan sok akrab ChanYeol.

"Maaf aku memanggilmu begitu." ChanYeol mengusap tengkuknya yang tidak gatal.

"Tidak apa-apa." BaekHyun tersenyum.

ChanYeol terkekeh. Di sekitar mereka para pasangan satu persatu sudah pergi meninggalkan taman. Hanya tinggal mereka yang masih bertahan.

"Sudah malam. Kurasa kita harus segera pulang. Dan kau juga perlu istirahat." ChanYeol menatap sosok di depannya yang kini mengangguk menyetujui. "Aku akan mengantarmu menuju mobilmu."

Keduanya segera beranjak menuju parkiran yang berada di depan gedung. Hanya tinggal empat mobil yang tersisa di tempat parkir. Satunya adalah mobil BaekHyun yang berwarna putih dan mobil hitam mengkilat adalah milik Mary yang dipinjamkan untuk ChanYeol selama ia berada di Italia.

"Kau menyetir sendiri?" tanya ChanYeol setelah mereka selesai memasukkan bawaan BaekHyun ke jok belakang mobil.

"Si. Appa menyuruhku menyewa sopir selama di sini. Tapi aku lebih nyaman membawa mobil sendiri," terang BaekHyun.

"Ah, iya. Di mana aku bisa menemuimu besok? Aku butuh teman jalan-jalan selama di sini. Kurasa kau teman yang cocok untukku?"

"Royal Academy. Aku selalu di sana," jawab BaekHyun seraya tersenyum manis.

"Baiklah. Hati-hati."

BaekHyun mengangguk singkat. Dipakainya topi merahnya dan ia segera masuk ke dalam mobil sport putih miliknya.

"Buono notte," salam BaekHyun yang telah duduk di belakang kemudi.

"Bunoo notte," balas ChanYeol singkat sebelum akhirnya mobil itu menjauh meninggalkan halaman parkir gedung Oriental Deux.

ChanYeol sampai di hotel yang telah dihuninya selama dua hari ini ketika waktu telah berada lewat tengah malam. Sebelumnya ia telah menghubungi Mary dan meminta maaf. Beruntung gadis itu mengerti. Bahkan ia mau membantu dengan mengirimkan alamat Royal Academy melalui e-mail.

"Buono sera. Signora," sambut petugas hotel dengan ramah saat ia sampai di meja resepsionis.

"Saya ingin pindah kamar. Vorremmo una camera sui davanti sui mare." ChanYeol menyatakan ingin pindah kamar. Entah kenapa ia ingin pindah ke kamar yang menghadap ke laut yang terletak di sisi hotel.

Dengan cekatan sang resepsionis bertepuk tangan memanggil beberapa petugas hotel untuk mengangkut barang-barang ChanYeol. Dan dalam sekejap, ia siap menempati kamar baru.

.

.

.

.

.

Mobil hitam yang dikendarai ChanYeol melaju santai sepanjang jalan raya Venice yang dilaluinya. Ia sibuk memperhatikan sekeliling. Mencari gedung Royal Academy yang menjadi tempatnya untuk bertemu dengan BaekHyun. Setelah berjalan cukup lama, akhirnya gedung besar itu terlihat tepat di sisi kirinya. ChanYeol mamarkirkan mobilnya dan beranjak keluar untuk memasuki bangunan yang didominasi warna putih itu. Tak lupa papan nama besar tepat di atas gedung. Gedung itu terbangun dengan mengikuti model kuil Yunani kuno, tiang besar menyangga sisi luar gedung. Ukiran ballerina terlihat di sisi-sisi tiangnya. Baik dalam posisi pointe maupun grand jate yang sangat sulit. Setelah mengagumi ukiran itu sebentar, ChanYeol segera memasuki gedung dengan lobby yang cukup luas. Langkahnya menuju meja resepsionis di sisi kanan pintu masuk. Setelah bertanya dan mendapat keterangan yang cukup dari bagian resepsionis dan menolak tawarannya untuk mengantarkan ChanYeol, pemuda tampan itu segera berjalan menuju pintu di seberang meja resepsionis.

Sebuah lorong terang dengan lukisan balerina dan seniman terkenal menyambut ChanYeol. Setiap pintu yang dilaluinya terdengar suara dari para intrukstur balet yang sedang melatih para ballerina.

Akhirnya ChanYeol menemukan ruangan yang dicarinya. Dia masuk ke dalam ruangan yang tidak tertutup itu. Dan sebuah kekacauan menyambutnya.

ChanYeol menemukan sosok mungil BaekHyun yang tengah menantang seorang pria yang kelihatannya pelatihnya. Mereka tengah beradu mulut di tengah para pianist lain.

"Kau itu kenapa? Kadang bisa bermain piano dan kadang sangat bodoh!" teriak sang pelatih keras. "Aku melihatmu memainkan instrumen dari Chopin itu dengan sempurna kemarin!"

Ada apa ini?

"Mr. Byun?" panggil ChanYeol pelan. Sontak wajah yang memerah itu manatap ChanYeol sesaat, sebelum akhirnya memilih pergi. ChanYeol memilih tidak mengejar pemuda itu. Didekatinya sosok pelatih yang kini mendengus keras dengan aura kemarahan yang begitu terlihat.

"Mi dispiace. Che chosa?"

Lelaki berwajah Eropa itu manatap ChanYeol sebentar.

"Anda siapa?" tanyanya dingin.

"Saya… kakak sepupu dari Byun BaekHyun." ChanYeol berbohong. Pelatih itu percaya, apalagi mereka sama-sama berwajah Asia. ChanYeol mengikuti langkah sang pelatih yang berjalan menuju sisi ruangan, di mana terdapat sebuah bangku panjang. Ia duduk dan ChanYeol segera mengambil tempat di sampingnya.

"Hal itu sudah terjadi sejak ia datang ke sini beberapa bulan yang lalu. Ketika kami menawarinya pertunjukkan tunggal melihat bakatnya yang luar biasa, hal itu menjadi lebih sering. Ia sering bersikap seolah-olah ia orang lain. Dan bahkan tidak bisa bermain piano." Lelaki itu bernapas sejenak. "Dan anehnya ia kadang lupa kalau ia pernah bersikap seperti itu."

ChanYeol menebak dengan sempurna, BaekHyun menderita kepribadian ganda. Sayangnya orang-orang ini tidak mengerti.

"Kalau hal itu terus terjadi kami bisa saja membatalkan pertunjukkan tunggalnya…"

.

.

.

.

.

"Aku takut."

ChanYeol menatap nanar sosok yang tengah terisak di depannya. Lavatory yang mereka tempati sekarang menguarkan aroma citrus yang keras.

"Aku takut dengan sosokku yang tadi. Dia menghancurkanku. Dia bodoh. Bahkan bermain piano pun tidak bisa."

ChanYeol tahu, alter ego milik BaekHyun yang satunya adalah wujud dari ketakutannya. Ketakutannya akan ketidak mampuannya meraih kesempurnaan.

"Mereka tidak mengerti. Mereka hanya menganggap itu sebagai diriku yang sedang malas berlatih dan berpura-pura. Tapi dia memang tidak bisa!"

"Aku mengerti."

ChanYeol bergerak ke arah lelaki mungil itu, mengelus bahunya lembut.

"Dia datang semakin sering. Dan setahun lagi aku harus melakukan pertunjukkan tunggal!"

ChanYeol merasa sosok mungil ini benar-benar tertekan. Ketakutannya atas perintah mutlak orang tuanya. Ketakutannya atas kemampuannya. Ketakutannya jika saat ia tampil nanti justru alter egonya yang keluar. Tapi sebagai seorang psikiater ChanYeol tentu tahu, alter ego bisa disatukan. Kepribadian ganda bisa disembuhkan. Ia bertekad akan menolong BaekHyun. Membantunya dan menjaganya dari orang-orang yang tidak mengerti keadaannya.

.

.

.

.

.

.

.

.

ChanYeol membuka pintu kamarnya diikuti BaekHyun di belakangnya. Ia bergegas membuka gorden yang menutup pemandangan ke arah laut. Sementara BaekHyun sibuk mengagumi interior kamar hotel itu. Ada sebuah single bed dengan nuansa putih, warna kesukaan BaekHyun. Satu set heater, tungku penghangat di sudut kamar, kamar mandi, set telepon, televisi, dan laptop yang dibiarkan menyala di atas meja.

"Aku ke kamar mandi dulu," pamit ChanYeol menyadarkan BaekHyun. Ia mengangguk singkat dan berjalan ke arah jendela yang kini menampilkan pemandangan lepas sebuah laut, lengkap dengan ombaknya. Sejenak BaekHyun terpesona dengan pemandangan yang didominasi warna biru itu. Beberapa orang terlihat berada di pantai, melihat banyaknya orang, mungkin mereka tak hanya pengunjung hotel yang merupakan terbesar di sudut Venice ini.

"Aku ingin mengajakmu tinggal di Seoul kalau kau tidak keberatan," terdengar suara ChanYeol yang telah keluar dari kamar mandi. Ia tengah berdiri seraya mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk putih. BaekHyun melirik sekilas.

"Untuk apa?"

"Menjagamu," jawab ChanYeol singkat.

"Tapi aku bukan anak kecil lagi. Dan aku juga tidak sakit."

"Aku tidak bisa meninggalkanmu bersama orang-orang itu. Mereka tidak mengerti keadaanmu."

"Dan aku juga baru kemarin mengenalmu!" BaekHyun berbalik dan menatap ChanYeol tajam. ChanYeol tersenyum, diletakkannya handuk putih itu di bed, ia berjalan dan berdiri di samping BaekHyun yang mengikuti tingkahnya dengan mata sipitnya yang menyorot tajam.

"Memang aku baru saja mengenalmu, tapi aku lebih mengerti keadaanmu daripada mereka…"

BaekHyun terdiam. ChanYeol benar. Mereka baru berkenalan, tapi hanya ChanYeol yang mau mengerti keadaannya. Mereka terdiam, cukup lama…

"Mungkin ini aneh. Tapi perasaan ingin melindungimu itu keluar begitu saja sejak pertama melihatmu. Bukan berarti aku melihatmu sebagai sosok yang rapuh. Sama sekali bukan. Aku ingin menjagamu Byun BaekHyun…" ChanYeol menatap BaekHyun lembut. "Ikutlah bersamaku."

BaekHyun menunduk menghindari tatapan ChanYeol. Ia sangat ingin percaya pada sosok di sisinya. Namun benarkah ChanYeol tak akan menyakitinya?

ChanYeol bergerak ke belakang BaekHyun. Perlahan direngkuhnya tubuh mungil itu. BaekHyun terdiam. Dan tak memberi respon apa-apa atas sentuhan ChanYeol, tak menolak tak juga menerima. Ia membiarkan tangan yang kini melingkar dengan tenang di pinggangnya. ChanYeol menunduk, menyejajarkan pipinya hingga bersentuhan dengan pipi tirus BaekHyun.

"Aku tak akan meninggalkanmu. Dan tak akan menyakitimu… Byun BaekHyun…"

BaekHyun tak menjawab. Namun ChanYeol mengerti pemuda mungil ini mulai memberikan kepercayaan padanya. Satu kepercayaan yang akan ia jaga seumur hidupnya.

ChanYeol terbangun ketika bau masakan dari arah dapurnya mengikuti jejak angin dan menguar memenuhi tiap sudut kamarnya. Hidungnya mengembang mencoba meraih bau seperti pasta dan daging yang tengah dipanggang. Kakinya menapak cepat menuju dapurnya. Benar saja, dilihatnya sosok mungil BaekHyun yang tengah membelakanginya.

Suara mendesis daging yang dipanggang memanja indra pembaunya. ChanYeol tidak tahan untuk tidak menjatuhkan pelukan ke tubuh lelaki itu yang segera berbalik dengan spatula teracung.

"Aduh..." ringis ChanYeol ketika spatula jatuh dengan sempurna di kepalanya.

"Oppa?"

Reflek pelukan ChanYeol terlepas. Obsidian kembarnya membola menatap BaekHyun yang kini telah berputar dan tersenyum manis ke arahnya.

"Oppa, kau mengejutkanku. Baru bangun? Tunggulah, sebentar lagi sarapan siap.'

Deg. ChanYeol memasang wajah bodohnya.

Sejak kapan BaekHyun memanggilnya 'oppa'?

Lagipula terakhir ChanYeol melihatnya, Byun BaekHyun adalah seorang laki-laki. Asli. Selain itu, ia tahu BaekHyun tidak bisa memasak.

Apakah ini alter-nya yang lain? Tapi, apa artinya ini?

Apakah artinya alter BaekHyun yang ini—

"Kenapa kau memasang wajah seperti itu, Oppa?" BaekHyun menjentikkan jemarinya di depan wajah ChanYeol. Membuat psikiater tinggi itu tersadar. "Oppa terlihat seperti orang mesum."

—wanita. Alter BaekHyun yang ini adalah wanita.

"BaekHyun..." panggil ChanYeol hati-hati. Ia menarik BaekHyun duduk di kursi makan setelah sebelumnya mematikan kompor di sisi belakang BaekHyun.

"Ya, Oppa?" BaekHyun masih memasang kurva manis di bibirnya dan menatap ChanYeol dengan sepasang caramel-nya yang polos. Ya Tuhan. Ini. Terlalu. Manis. Jika saja ChanYeol tidak teringat bahwa ini adalah alter BaekHyun yang lain, pasti Chanyeol sudah benar-benar hilang kendali melihat pemandangan semanis ini. Kendalikan dirimu, Park Chanyeol. Ia memukul kepalanya berkali-kali secara harafiah.

"Kau mengenalku?" ChanYeol berusaha memasang wajah seriusnya kembali.

BaekHyun terkikik yang sontak membuat alis kanan ChanYeol terangkat. "Apa yang lucu?"

"Bagaimana aku bisa tidak mengenali suamiku sendiri." BaekHyun mengedip genit di sela kikikannya. "Apa Oppa mimpi buruk sampai-sampai terbangun dengan tidak mengenali istrinya sendiri?"

"I-istri?"

"Oppa, sekarang bukan April's Mop 'kan? Oppa berusaha mengerjaiku dengan berpura-pura lupa ya?"

"BaekHyun dengar—!"

"Ssttt." BaekHyun meletakkan telunjuknya di bibir Chanyeol yang sontak membuat pria tinggi itu menghentikan kalimatnya. "Oppa yang dengarkan aku. Namaku, Byun BaekYeon bukan BaekHyun. Lagipula siapa BaekHyun itu? Selingkuhan Oppa, huh? Tapi, sekarang menjadi Park BaekYeon karena kita telah menikah. Lihat aku ingat 'kan? Jadi, jangan coba-coba mengerjaiku dengan berpura-pura lupa seperti ini lagi, arra?"

ChanYeol terdiam menatap BaekHyun atau BaekYeon yang kini kembali mendekati kompor untuk melanjutkan acara memasaknya. Mengingat kepribadian BaekHyun yang terpecah banyak, ia tidak akan terkejut jika salah satunya adalah wanita. Tapi, yang tidak ia mengerti adalah bagaimana bisa salah satunya merasa sebagai istrinya?

Satu yang ChanYeol sadari, 'Byun BaekYeon' muncul setelah BaekHyun tinggal bersamanya.

Tapi, bagaimana bisa?

.

.

.

.

.

.

Kris terbangun dan disambut dengan aroma obat-obatan yang sangat dihafalnya, karena benda-benda berbahan kimia itu telah menemani hampir separuh hidupnya. Benda yang sangat dibencinya, namun juga ia sangat bergantung pada benda sialan itu. Tak lupa masker oksigen yang terpasang dengan angkuh di tubuhnya. Seolah bersikap sombong karena nasib seorang Kris Wu kini berada di dalam balutan mereka. Mata Kris bergerak menatap langit-langit putih khas rumah sakit dan akhirnya menemukan sosok yang tengah berada di sisinya dan melemparkan tatapan cemas.

"SuHo?" panggil Kris samar. Karena masker oksigen yang masih berada di mulutnya. SuHo bergegas dengan terampil mengganti masker oksigen dengan selang oksigen biasa. Memberi kesempatan pada Kris untuk lebih bebas bicara.

"Kau tadi pingsan," kata SuHo pelan.

"Tao? Di mana Tao?" Kris bangkit dari tidurannya begitu bayangan Tao menyentuh kembali kesadarannya.

"Dia baik-baik saja. Tapi—" SuHo menggantung kalimatnya.

"Tapi apa?"

"Orang yang telah menolongnya. Maksudku—kau tidak akan senang mengetahui hal ini."

"Bawa aku ke tempat orang itu sekarang."

Raut wajah SuHo kembali terlihat khawatir. "Kau yakin?"

SuHo tak perlu mendengar jawaban ketika melihat Kris yang segera setengah melompat dari ranjang dan menyeret langkahnya keluar dari ruangan.

.

.

.

.

.

.

"—operasinya berhasil dengan baik. Kami akan segera memindahkannya ke bangsal perawatan biasa. Tapi, kemungkinan besar pasien akan mengalami kelumpuhan dan kebutaan setelah sadar nanti."

Kris dan SuHo menemukan Do KyungSoo yang tengah berbicara dengan dokter bedah yang baru saja selesai melakukan operasi pada sang malaikat penolong Tao.

"KyungSoo..." KyungSoo menoleh dan mata basahnya menatap mata Kris dan SuHo. Dokter di depannya mengangguk sebelum akhirnya pergi meninggalkan mereka bertiga—

"Gege!" —berempat, Kris menemukan Tao yang tengah meringkuk di sisi kanan lorong dengan Peach di dalam pelukannya. Ia segera berdiri begitu melihat Kris dan menjatuhkan pelukannya ke tubuh Kris, mata panda pemuda itu merah. "Maafkan Tao. Tao bodoh. Tao jahat."

"Sshh tidak. Tao tidak jahat." Kris mengelus surai hitam pemuda dalam pelukannya lembut. Berusaha menenangkannya.

.

.

.

.

.

.

"Dia Kim JongDae, pemuda yang dijodohkan denganku. Lalu, sekarang dia lumpuh dan buta karena menolong kekasihmu." KyungSoo menunduk, suaranya bergetar. Tangannya meremas jas putih yang menutup tubuhnya erat. "Kau benar Kris, aku yang tidak punya orang yang berharga mungkin memang tidak akan pernah mengerti apa-apa."

KyungSoo menatap getir JongDae yang masih belum sadar pasca operasi dua jam tadi. Di belakangnya Kris dan SuHo menatap pemandangan itu nanar. Tak ada yang mengerti apa yang tengah ia rasakan. Bahkan dirinya sendiri tak mengerti.

"Maaf..." ucap Kris nyaris seperti bisikan. "Ampuni aku, Kyung."

KyungSoo mengangkat wajahnya. Permata basah itu menatap Kris tajam.

"Permintaan maafmu tak akan membuat JongDae berjalan dan bisa melihat lagi, Kris."

Kris terperangah. Gadis itu benar. Tapi, untuk sekarang ia memang tak bisa melakukan apa-apa selain mengucapkan maaf dan memohon ampunan dari gadis keras kepala itu.

"Keluar." KyungSoo menatap ketiga makhluk di belakangnya bergantian. Mereka bergeming. "Haruskah aku perjelas, Tuan-Tuan? Aku ingin kalian keluar dari ruangan ini. Segera."

"Kyung..." Kris melepaskan pelukan Tao dan bergerak untuk meraih gadis itu. Tapi, KyungSoo memilih mundur, matanya berkilat berbahaya menatap Kris membuat psikiater itu menahan langkahnya. Ada kilatan benci yang menguar dari bola mata basah itu.

"Pintu keluar ada tepat di belakang kalian." Jari KyungSoo menunjuk pintu metal yang terbuka sedikit.

Mereka tak punya pilihan. Tanpa suara ketiganya meninggalkan ruangan itu, membiarkan KyungSoo yang kini tungkainya menopang tubuhnya yang terjatuh begitu saja. Air matanya mengalir deras membasahi selimut yang menutupi tubuh Kim JongDae.

Taman yang terletak di belakang mansion milik Do KyungSoo itu terlihat indah dan terawat. Aneka bunga tertata cantik. Mulai dari kanguru paw yang terangguk-angguk, jenis bunga liar seprti daisy. Anemone yang menjadi lambang ketulusan. Carnation red, jasmine, akasia, anggrek, hingga mawar dengan lima warna berbeda dan magnolia yang menebarkan aroma yang memenuhi sudut-sudut taman.

KyungSoo yang tengah berdiri di sisi lingkaran mawar sedikit berjengit saat menyadari sosok yang kini berdiri disisinya.

"Aku penasaran. Siapa yang menanam bunga-bunga indah ini?" Sosok itu, Kim JongDae membuka percakapan.

"Kau suka?"

JongDae tersenyum dan mengangguk. "Sangat suka."

"Bunga-bunga ini memiliki arti… orang menyebutnya bahasa bunga. Bahasa yang tak kalah indah dari ribuan bahasa di dunia. Bahkan walau bahasa bunga tidak keluar dari mulut penyair, akan terdengar sangat indah."

"Bisa kau beritahukan padaku apa artinya?" Mata cemerlang JongDae memandang sosok KyungSoo menuntut.

KyungSoo membungkuk dan menyentuh mawar di depannya. "Mawar ada bermacam-macam warna. Setiap warna memiliki arti. Misalnya mawar jingga yang artinya keinginan, hasrat."

"Lalu itu bunga apa?"

"Anemone. Orang menyebutnya lambang ketulusan. Dan yang berwarna ungu itu Cattleya yang berarti ketenangan dan kedewasaan."

JongDae berjalan mengitari taman diikuti KyungSoo dibelakangnya.

"Aku tak mengerti kenapa kau juga menanam daisy? Bukankah itu bunga liar di Australia?"

KyungSoo tersenyum. Gadis itu berjongkok di samping lingkaran daisy . "Bunga daisy memiliki arti yang bagus. Kepolosan, kemurnian, dan kesucian.

"Bagaimana dengan bunga itu?" Tangan JongDae menujuk bunga yang berwarna kuning terang berbetuk bundar.

"Akasia, artinya adalah cinta terpendam."

"Dan bunga ini?" jemari JongDae menyentuh bunga anyelir berwarna merah terang.

"Carnation red. Artinya aku menginginkanmu…" jawab KyungSoo pelan.

"Aku juga menginginkanmu, Soo!" balas JongDae dengan bercanda.

KyungSoo terdiam.

"Chen?" panggil KyungSoo pelan. Hanya KyungSoo yang memanggil Kim JongDae dengan nama 'Chen' sejak pertama mereka bertemu di universitas.

"Ya?" JongDae yang sibuk mengagumi bunga Aster di depannya tak menoleh.

"Apa kau benar-benar menginginkan pernikahan kita?" tanya KyungSoo hati-hati.

"Kenapa kau bertanya begitu?"

"Aniyo. Hanya saja—!"

"—kau tidak mencintaiku, 'kan?" potong JongDae getir.

KyungSoo lagi-lagi terdiam.

"Aku bisa mengerti perasaanmu, Soo. Untuk sekarang aku mencoba menerimanya. Tapi nanti aku akan membuatmu mencintaiku," ucap JongDae mantab.

"Memilihku hanya akan menyakitimu."

"Aku tidak peduli. Aku hanya menginginkanmu dan membuatmu mencintaiku."

"Tapi kau tak bisa memaksakan perasaan pada seseorang, Kim JongDae!" teriak KyungSoo keras.

JongDae terdiam. Jemarinya beralih pada bunga yang kini tertanam di sebelah Aster.

"Bagaimana dengan bunga yang terakhir itu? Aku tahu kalau tidak salah itu bunga Aburtus dan tulip merah. Aku ingin tahu apa arti dari dua bunga itu? Soo! KyungSoo terangkan arti dua bunga itu padaku!" JongDae mencoba melupakan bentakan KyungSoo dan kembali menghidupkan pembicaraan mereka. Hening.

Lama tak ada jawaban dari sosok di belakangnya.

"Aku punya kisah yang belum selesai, Chen."

JongDae berbalik dan menatap tepat ke manik bulat KyungSoo. Suara pemuda itu terdengar begitu penuh dengan keyakinan yang mampu membuat bibir Kyungsoo mengulas senyum kecil pada akhirnya.

"Kalau begitu cepat selesaikan agar kita bisa segera memulai kisah kita, Nyonya Kim KyungSoo."

"Soo...KyungSoo, kaukah itu?"

KyungSoo yang nyaris lima jam menangis di sisi ranjang JongDae hingga akhirnya tertidur, tergeragap, dan mengangkat wajahnya.

"Chen." Jemari lentik KyungSoo meremas jemari JongDae lembut. "Akhirnya kau sadar juga."

"Apa yang terjadi, Soo? Kakiku sakit sekali... selain itu rasanya semuanya gelap..."

Deg.

KyungSoo terperangah. Gadis itu membisu ketika air mata kembali mengalir di pipinya—kali ini lebih deras.

Bagaimana ia harus mengatakan semua ini pada JongDae?

.

.

.

.

.

.

.

.

BERSAMBUNG...


special thanks to:

Ruiki Kaera | MidnightPandaDragon1728 | EXO shipper | lay-gege | Guest

Imeelia | Park ByunBaek | abc | KimKeyNa2327 | Guest

EXO12 | Guest | jettaome | Guest | hyona21 | Guest | Haren Sshi

chanbaek | RaeMii | Loluuuuu | Krisooexotic | noona-saranghae

Nindi | twentae | sweetyYeollie | babychanbaek | baekbutton

Guest | Jung Ha Ki | lilis kepo | chen's | Guest | dewicloudsddangko

Miku | Nareudael | | Nn | GaemGyu92 | Tsuki Janko | babypanda518

chenma | Guest | Krisho Exotics | baboddang | Baby HZT-ao | binarichanbaek | nicha | Aulexo


Author's Corner:

(1) Fanfiction ini adalah remake, maka dari itu versi asli flashback part dari ChanBaek masih ada di FFn (di akun FanboyRaka yang di-hacked dengan judul 'Grand Pas de Deux') saya menjelaskan ini untuk menghindari pertanyaan yang nanti muncul dan mengira ini adalah plagiat. Mulai dari chapter 2 kemarin—selain flashback ChanBaek—fanfiction ini bukan lagi collab. (Silahkan kritik saya jika ada isi dari fanfiction ini yang asdfghjkl(?) XD)

(2) Di sini, mereka—SuHo cs—adalah psikiater bukan psikolog, dengan kata lain petugas EMRC berhak untuk memberikan terapi dengan obat-obatan.

(3) Ini yang paling penting, dan saya merasa harus menjelaskannya mengingat betapa seriusnya fanfiction ini adalah jika muncul pertanyaan seperti ini (untuk saat ini memang belum muncul): "Petugas EMRC itu kan psikiater, tapi kenapa mereka gay?", "Mana ada psikiater homo?", "Berarti Kris dkk itu juga sakit." Ada pendapat mengenai homoseksualitas (meliputi gay dan lesbi) bahwa hal tersebut tidak lagi merupakan kelainan mental atau mental disorder, pendapat lain mengatakan bahwa homoseksualitas merupakan kelainan orientasi sex. Di sini saya mengikuti pendapat di mana homoseksualitas itu bukan termasuk mental disorder. Lalu ini juga menjawab pertanyaan; kenapa KyungSoo dan MinSeok saya buat gender switch, hal ini untuk mengurangi kegheian(?) dalam fanfiction ini. Saya rasa tidak lucu kalau semua psikater EMRC ghei. Selain itu, kalau saya pribadi menganut faham jika manusia itu cenderung 'go both ways' alias 'bi'. :lol

(4) Saya lulusan kesehatan, tapi bukan mahasiswa psikolog atau kejiwaan, saya hanya seorang lulusan veterinary medicine. (Ayo sini yang punya kitty atau puppy bisa periksa kesehatan rutin gratis ke saya selama promosi. :lol) Karena itu banyak sekali kekurangan dari fanficion ini, dan saya tidak menolak saran dan koreksi dari reader yang mungkin lebih tahu dari saya. Btw, saya EXO's SeKai line yang lebih suka dipanggil 'kak Anna' if you're younger, 'Crane' if you're older, or 'baby' if you're—*dibekep*

(5) Saya memang tidak memunculkan semua couple dalam setiap chapter, tapi setiap couple punya part yang sama di dalam fanfiction ini, hanya saja kemunculan mereka harus mengikuti alur. Karena itulah saya menulis EXO di summary, karena semua adalah main, tidak ada yang sekedar menjadi slight. Fyi, di chappie tiga ini tidak ada istilah medis, sebagai jeda—agar readerdeul sempat bernapas(?)—untuk dua chapter sebelumnya yang nyaris penuh istilah medis. Dan akan ada lagi di chappie depan. :D

(*) Thanks for reading. Mind to gimme feedback juseyo? ^^