Langkah-langkah kaki seorang pemuda yang terbalut jas putih khas seorang dokter terdengar lirih di atas lantai keramik. Langkahnya menapak teratur ke arah kakinya membawa. Raut wajahnya yang tampan dengan kulit putih dan sepasang bola mata peri terlihat tenang. Setenang lorong berdinding putih yang di laluinya. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, wajar jika lorong lantai tiga salah satu Medical Research Center di Seoul ini terlihat lengang. Hampir tak ada orang lain yang ditemuinya sepanjang jalan yang di laluinya di lantai tiga. Kecuali suster-suster yang masih bertugas di lantai dua untuk menjaga pasien. Lima pintu metal yang tertutup di kanan-kirinya telah dilalui, ketika pemuda itu mencapai ujung lorong dan berbelok ke kanan. Melewati lorong lagi, yang kini salah satu sisinya menampilkan pemandangan di luar rumah sakit. Sejenak pandangannya menangkap langit hitam di luar yang kini berhias titik-titik bintang dan gumpalan awan. Ia selalu menyukai langit, terutama dengan awan yang senantiasa memberi warna lain pada langit. 'Malam yang cerah,' bisiknya dalam hati. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Sebuah senyum yang menenangkan bagi yang beruntung melihatnya.

"Pasien itu mengalami schizophrenia. Penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamine, yaitu salah satu sel kimia dalam otak, selain itu dia juga mengalami peristiwa buruk yang mengakibatkan trauma pada jiwanya." Suara seorang wanita terdengar dari salah satu pintu yang sedikit terbuka. Pemuda itu berpikir, seingatnya tak ada pasien baru dalam waktu dekat ini. Sejenak ia berhenti di luar pintu, menunggu lanjutan suara wanita di dalam, yang sepertinya tengah membicarakan sesuatu yang serius. "Sebenarnya, schizophrenia adalah gangguan jiwa psychotic paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal, yang sering kali diikuti dengan delusi atau keyakinan yang salah dan halusinasi atau persepsi tanpa ada rangsang pancaindra. Namun hal ini semakin memburuk bagi pasien itu karena tak hanya delusi biasa, kini dia bahkan bertingkah seperti anak berusia delapan tahun. Kita tunggu saja, semoga Kris mau menanganinya…"

Dan ketika namanya mulai disebut, pemuda itu pun memutuskan untuk masuk.

"Malam…" salam pemuda yang merasa memiliki nama Kris itu ketika melihat dua sosok lain yang berpakaian dokter yang sama dengannya tengah berbincang di dalam ruangan.

"Kris, kami menunggumu dari tadi," sambut MinSeok dengan senyum manis saat menyadari kedatangan Kris. Kris membalas senyum itu dengan anggukan kecil. Di sisi lain sosok yang bernama SuHo yang merupakan paling tua di antara mereka juga tersenyum. Kris segera mendekat dan mengambil tempat di sisi mereka.

"Ada apa?" tanya Kris langsung. "Sepertinya tadi namaku disebut-sebut."

Kris adalah salah satu psikiater di EMRC. Hampir empat tahun ia berada di sini, sejak magang hingga kini mulai bergabung menjadi salah satu psikiater tetap.

SuHo memandang MinSeok sebelum menjawab pertanyaan Kris.

"Sebenarnya baru saja kita kedatangan pasien baru. Dan kalau tidak keberatan kami meminta kau yang merawatnya," terang SuHo. "Kupikir kau sedang senggang sekarang. Lagipula sepertinya ini butuh perawatan khusus." SuHo melanjutkan sebelum Kris bertanya 'kenapa harus aku'.

"Dia mengidap schizophrenia, 'kan? Mungkin aku bisa menanganinya seperti biasa."

"Kurasa tidak akan semudah itu," sela MinSeok.

"Wae?"

"Lebih baik kau lihat sendiri."

Tanpa berniat memberikan keterangan lebih lanjut, SuHo keluar dari ruangan. Dan dua sosok lain itu pun mengekornya dengan patuh.

Langkah mereka menuju ruangan yang tepat berada beberapa ruang di samping kiri ruangan mereka tadi.

Belum sempat keduanya mencapai pintu sebuah teriakan terdengar. Sontak keduanya mempercepat langkahnya, bahkan Kris seakan berlari, meninggalkan dua temannya di belakang.

Sebuah perasaan aneh menderanya.

Memaksanya untuk segera menemui pasien yang tepat berada di dalam ruangan.

Napasnya memburu.

Langkahnya terhenti tepat di depan pintu. Seakan ada paku kuat yang menahannya.

Matanya menangkap sosok dengan kaki terikat yang kini tengah memeluk lututnya.

Wajahnya memang tak terlihat.

Namun Kris serasa telah mengenal sosok yang kini terisak di atas bangsalnya.

Tak ada petugas lain di ruangan itu.

Dengan jantung yang serasa ingin melompat keluar.

Didekatinya sosok itu.

"Tao…" panggil Kris pelan. "Tao…"

Kris serasa tak kuasa untuk menunggu sosok itu menjawab panggilannya atau sekedar mendongak. Tubuhnya serasa mati rasa saat beranjak mendakati bangsal sosok itu meringkuk. Tangannya bergerak begitu saja, meraih tubuh rapuh itu, dan memeluknya erat.

"Tao… Tao… Maaf. Maafkan aku…"

Suaranya tercekat, tak keluar tergantikan air mata yang mengalir begitu saja. Mengalir menjatuhi surai kecokelatan yang tengah berada dalam dekapannya.

"Kris! Apa yang k—!"

Teriakan SuHo terhenti demi dilihatnya sosok pasien yang kini tengah berada dalam pelukan seorang Kris Wu. Sesuatu. Sesuatu telah terjadi….


"EXOST MEDICAL RESEARCH CENTER"

[KrisTao – SuLay – LuMin – KaiHun – ChanBaek - ChenSoo]

—llllll|| 0068 || 779910 || 217 || 61412 || 9488 ||llllll—

standard disclaimer applied

Remake dari fanfiksi lama hasil kolaborasi saya dengan author 'nathanttebane' berjudul 'Breathing on Your Coagulation' (SJ's casts). I didn't do plagiarism or stuffs. Genderswitch for Kim MinSeok and Do KyungSoo!


kau tahu kenapa aku berani menjatuhkan pilihan padamu?

memasrahkan hidupku padamu?

karena aku tahu…

hanya kau yang mencintaiku dengan caramu

bukan sekadar dengan kata-katamu

dan

hanya kau juga yang bisa membawaku melewati semua ini

tanpa harus terluka untuk kedua kali


|| 0068 || 779910 || 217 || 61412 || 9488 ||

"Dia datang empat hari yang lalu, saat itu kau sedang tidak berada di sini. Keadaannya sangat tidak stabil, karena itu kami mengikatnya. Dan keterkejutan kami semakin bertambah saat dia bertingkah seperti anak kecil," terang SuHo. Saat ini, ia dan Kris tengah berada di taman di belakang rumah sakit.

"Aku yang akan merawatnya…" ucap Kris pelan.

"Aku akan menyerahkan Tao padamu." SuHo menyetujui dengan cepat. "Akan tetapi ada yang ingin aku tanyakan padamu, Kris."

Ditatapnya sosok di sampingnya dengan serius.

"Sejak dia datang, dia tak pernah mau didekati psikiater wanita maupun pria. Dan terutama pria. Aku tahu mungkin itu karena trauma pelecehan seksual yang dialaminya. Tapi kenapa denganmu dia berbeda. Kau mengenal Huang ZiTao sebelumnya, 'kan? Aku tahu dia salah satu pasienmu saat kau masih magang dulu. Aku meneliti datanya dan kau juga merawatnya untuk sakit dan trauma yang sama… Ada apa sebenarnya?"

Kris menatap langit sebelum menjawab pertanyaan SuHo. Terlihat awan berarak. Langit musim semi benar-benar indah di matanya. Dan kenangan yang penuh penyesalan pun harus ia buka lagi…

"Kris…" panggil SuHo pelan.

Kris menghela napas pelan, "Sebenarnya…."

...

Kris menatap pintu di depannya sebentar. Sudah sebulan ia bertugas di apartemen ini, dan ia tak pernah terbiasa pada suasana sunyi dan dingin yang menyambutnya. Semua hal yang ia lakukan berujung pada satu hal: sulit. Sulit sekali menghadapi sosok yang berada dalam ruangan apartemen kecil ini.

Menghela napas sebentar, pemuda tampan itu segera memasuki apartemen yag tidak dikunci. Sunyi. Lagi-lagi itu yang menyambutnya. Kris menelusur sekeliling dan tak menemukan sosok yang dicarinya. Sosok pemuda bernama Tao. Kris melongok lebih ke dalam. Ke sebuah ruangan di mana Tao biasa bermain dengan ikan badut dalam aquarium kecil miliknya. Nihil. Ruangan itu kosong dan hanya dipenuhi dengan mainan anak-anak, seperti kereta api, boneka panda, mobil-mobilan dan puzzle yang berserakan. Memutuskan untuk mencari Tao lebih dulu, Kris segera beranjak menuju kamar Tao, yang terletak di ruangan berikutnya.

"Tao… kau di dalam?"

Kris membuka pintu dan berniat masuk ke dalamnya, saat sebuah pukulan keras menghantam tengkuknya.

Semua mendadak terlihat gelap.

Dan tubuh pemuda itu pun terjatuh dengan gerakan slow motion di atas lantai yang dingin…

"Dan setelah itu?" SuHo menatap pemuda di sampingnya kasihan.

"Tao menculikku. Dan kejadian yang mengerikan itu terjadi. Aku takut. Tapi aku tidak bisa membenci Tao. Aku tidak bisa membencinya." Kris berucap serak. "Bahkan saat Tao mencoba—

membunuhku."

SuHo tercekat. Ia tidak mengira jika masalalu Kris dan Tao akan sedramatis itu.

"Me-membunuh?"

"Satu-satunya nyawa yang ada di ragaku mungkin akan melayang saat itu. Melayang di tangan Tao…"

"Kau tidak apa-apa, Kris?" SuHo menatap pemuda di sisinya khawatir.

"Aku tidak apa-apa," jawab Kris pelan. "Hanya saja sepertinya penderitaanku belum berakhir."

"Apa maksudmu?" SuHo tak mengerti.

"Aku…" Kris menunduk. "Aku sakit."

"Sakit…?"

"Setelah kejadian itu, aku menerima diagnosis bahwa aku mengidap kanker otak."

SuHo tercekat. "Ka-kau tak pernah bilang hal ini sebelumnya Kris!"

"Karena itu aku meninggalkan Tao. Aku mengikuti terapi. Dan terapi itu… tak sebaik yang kuharapkan."

"Aku tak mengerti? Apakah MinSeok dan ChanYeol tahu soal ini?"

Kris menggeleng.

Tak tahan, SuHo meraih bahu pemuda itu dan mendekapnya dalam peluknya. "Ceritakan padaku, Kris!"

"Barusan aku menerima diagnosis terakhirku. Aku… kankerku telah mencapai stadium akhir."

Air mata mengalir di pipi SuHo. Pria berwajah malaikat itu mencoba menahan isakannya yang berbaur dengan isakan pedih pemuda dalam peluknya. Satu hal. Tak ada satu hal yang terlintas di kepalanya bahwa pemuda yang pendiam itu menyimpan luka dan sakit lebih dari yang mampu ditanggung oleh orang sepertinya.

"Aku takut kematian. Aku takut aku akan meninggalkan... Tao." SuHo memperat pelukannya pada pemuda itu. Mencoba, sedikit. Sedikit membagi kekuatan.

"Tapi, aku sekaranng tak peduli. Aku mati di tangan Tao. Atau mati karena penyakit ini. Aku hanya ingin bersamanya."

Kris melepaskan pelukan mereka. Mata basah itu menatap langit yang kini mulai bersih tanpa awan.

"Kris…"

"Apa harapanku terlalu naif dan terlalu tinggi?"

"Tidak, Kris. Samasekali tidak."

"Aku ingin hidup bersama orang-orang yang menyayangiku. Aku akan bersamanya. Selama kehidupan yang masih memberiku kesempatan—"

"—aku ingin hidup bersama ZiTao."

SuHo tersenyum lembut. Diusapnya pelan surai dark chocho Kris layaknya seorang ayah yang membelai anaknya.

"Aku tahu kau bisa melewati ini semua, Kris…"

"Drrtt…"

Mendadak terdengar getaran handphone SuHo yang menginterupsi dua sosok itu. SuHo melempar pandangan 'sebentar' pada Kris dan mengangkat panggilan dari nomor yang tidak dikenal itu.

"Yeobseyo?"

"…"

Kris melihat raut wajah lembut itu memucat.

"Ya. Secepatnya. Kamsahamnida.…"

Kris memandang SuHo ingin tahu.

"Yixing kritis…" kata SuHo pelan, bahkan sebelum Kris sempat bertanya. "Aku harus ke rumah sakit."

Kris mengangguk singkat.

"Hati-hati."

SuHo mondar-mandir di ruang tempat Yixing dirawat.

Yang ia dengar, Yixing ditemukan pingsan dengan darah yang tak hentinya mengalir dari mulut, hidung, dan telinganya. Tekanan jantungnya terus menurun. Bahkan dokter harus memacu kerja jantungnya dengan alut pacu jantung.

Mata SuHo berair.

Dirinya tidak siap jika harus kehilangan Yixing untuk saat ini.

Apalagi mereka baru saja bertemu.

SuHo sudah berjanji.

Berjanji pada dirinya sendiri dan pada Yixing bahwa ia tak akan membiarkan Yixing pergi.

Tidak untuk saat ini dan dalam waktu secepat ini.

ChanYeol baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang membalut setengah bagian tubuhnya. Pemuda tinggi itu bersiul-siul pelan dan tengah bersiap untuk pergi ke Exost Medical Research Center, tempatnya bertugas. Rambut kecokelatannya yang basah dibiarkannya jatuh menambah pesona pemuda itu.

Setelah mengambil kemeja putih kebiruannya yang akan dikenakannya di bawah jas dokternya, ia bergegas mengenakan kemeja yang terbuat dari bahan yang cukup nyaman itu. Dan layaknya seorang Cassanova, ia mulai berdandan yang menurutnya akan meningkatkan pesona senyum creepy-nya. Walau yang memuja itu hanya wanita yang tidak cukup beruntung belum mengetahui bahwa sosok tinggi itu adalah Cassanova.

Namun dengan satu sosok yang kini ada di sisinya, pemuda itu mulai belajar melepas predikatnya sebgai Cassanova. Walau godaan masih kerap ia lemparkan untuk para wanita yang sedang sial menerima godaannya.

Sosok yang membuat seorang Park ChanYeol bertobat sekaligus bertekuk lutut itu adalah…

"BaekHyun?" panggil ChanYeol setelah selesai dengan ritual 'setelah mandinya'.

Tak ada sahutan dari pemilik nama yang dipanggil oleh ChanYeol. Terdorong rasa penasaran, ChanYeol bergegas menuju ruang tamu di apartemennya. Kosong.

Gorden balkon bergoyang tertiup angin.

ChanYeol menangkap kelebatan sweater merah dengan garis putih tertangkap matanya tengah berada di balkon. ChanYeol hafal, itu adalah sweater kesayangan BaekHyun. Dengan langkah berjinjit, ChanYeol keluar ke arah balkon.

Sepertinya BaekHyun tidak menyadari keberadaanya.

Senyum mesum terpasang di wajah ChanYeol sebelum ia menjatuhkan dirinya untuk memeluk tubuh BaekHyun erat.

"Lepaskan! Siapa kau?! Dan kenapa aku ada di sini?"

Sontak ChanYeol melepaskan pelukannya. ChanYeol memandang BaekHyun tak percaya.

"BaekHyun?" panggilnya lagi mencoba meyakinkan dirinya bahwa BaekHyun sedang tidak memberinya 'morning shock'.

Nihil.

Pemuda mungil itu tetap memandangnya dengan wajah garangnya.

ChanYeol sedikit heran.

Seingatnya alter ego BaekHyun tetap bisa mengenalinya.

Satu kenyataan yang sangat ditakutkan ChanYeol mendadak membayang di depan matanya.

Bagaimana kalau ternyata pemecahan kepribadian BaekHyun…

lebih dari dua?

Kris yang telah kembali ke lantai atas setelah mengantarkan kepergian SuHo langsung di sambut wajah ambigu MinSeok. Tanpa banyak bicara gadis berpipi chubby itu menarik tangan Kris cepat.

"Ada apa?" tanya Kris pada gadis yang tak juga melepaskan tangannya.

"Ada pasien baru," jawab MinSeok singkat. "Dan kau tidak akan percaya ini!"

Kris menelengkan kepalanya tak mengerti.

Dan setelah melewati beberapa saat dalam rasa pegal karena tarikan MinSeok. Mereka berhenti di salah satu kamar yang terletak di ujung.

Satu kamar khusus dengan satu penghuni di dalamnya.

Tak ada petugas yang berjaga ketika keduanya masuk.

Hanya ada satu sosok yang duduk membelakangi mereka dengan pandangan yang lurus memandang jendela buram di depannya.

Kris nyaris tersedak saat sosok itu menoleh.

"Bagaimana keadaannya?" SuHo berusaha mencecar dokter yang baru saja keluar dari ruangan Yixing dirawat. Dokter itu tersenyum, yang membuat perasaan SuHo ditelusupi satu rasa tenang. Jika dokter itu tersenyum berarti—

"Keadaannya sudah stabil. Keajaiban ia berhasil melewati fase kritis. Yixing-sshi… adalah pemuda yang luar biasa…"

"Jadi, apa yang menyebabkan pemuda itu mengidap delusi yang err… sangat mengerikan?" Kris menatap MinSeok dan SuHo bergantian. Berharap salah satu dari mereka mau menjelaskan kegilaan yang terjadi.

"Menurut hasil pemeriksaan dari Research Medical Center yang menangani anak itu sebelumnya serta informasi dari ChanYeol. Anak itu…" MinSeok menatap Kris. "… membunuh kekasihnya sendiri."

"Me-membunuh?" Mata Kris membulat. SuHo dan MinSeok mengangguk.

"Kupikir, aku akan menanganinya saat ia datang kemarin. Tapi entah kenapa aku merasa MinSeok-lah yang cocok untuk menangani anak itu." SuHo berucap panjang. Ada sedikit nada penyesalan dalam kalimat pria lembut itu.

"Wae?" Kris masih tak mengerti.

"Kau lihat sendiri kan anak itu seolah kembar dengan Oh SeHun?"

Kris mengangguk.

"Aku juga punya kabar yang tak kalah mengejutkan dari itu!"

Tiga pasang mata itu menoleh dan menemukan sosok tinggi ChanYeol yang berdiri di depan pintu.

"Ada apa?"

SuHo menyambut pemuda itu dengan menyorongkan satu kursi ke arahnya. ChanYeol mengempaskan dirinya di atas kursi yang disodorkan SuHo sebelum bercerita.

"Mengenai BaekHyun?" tanya Kris tepat sasaran.

"Apa masalahnya?" tanya SuHo meminta penjelasan.

"Kalian tahu?" Tiga kepala itu menggeleng. "BaekHyun memiliki enam alter ego…"

Kris memasuki ruang rawat di lantai tiga itu dengan dua bungkusan besar di tangannya. Ruangan yang terletak di atas taman utama EMRC itu terlihat asri dengan beberapa bunga di depannya. Kris membuka pintu yang tidak terkunci dan kembali menutupnya dengan pelan. Bergegas ia menuju satu-satunya bangsal yang ada di ruangan kecil itu.

Beberapa mainan anak terlihat berserakan. Ruangan kecil itu hanya berisi satu bangsal di samping jendela menghadap keluar. Satu kamar mandi dalam, nakas kecil, dan satu kursi pengunjung.

Kris memandang ruangan kecil itu. Dan tak menemukan apa pun. Seprei di atas tempat tidur juga sedikit berantakan.

"Tao?" panggil Kris pelan.

Nihil tak ada jawaban. Kris tersenyum.

"Tao, kalau kau keluar aku akan memberimu mainan yang kau suka. Aku membawa sesuatu untukmu lho…" Kris berusaha merayu seraya menggoyangkan kantung bawaannya.

Masih sepi.

"Jadi, kau benar-benar tak ingin melihat apa yang kubawa, eh?" Kris berpura-pura kecewa. "Sayang sekali padahal aku membawa boneka panda yang besar kali in—!"

"—Kris-gege!" Sebuah teriakan keras terdengar dibarengi dengan pelukan erat seorang pemuda yang sontak membuat tubuh Kris oleng.

"Hei! Hei berhentilah memelukku seperti ini," ucap Kris lembut seraya mengusap surai pemuda manis di depannya. Yang kini tangannya mulai berusaha merebut kantong di tangan Kris.

Kris mengalah. Dibiarkannya kantong itu berpindah ke tangan pemuda manis itu.

Tao segera duduk di ranjangnya dan membuka dengan tidak sabar kantong besar itu. Kris tertawa melihat tingkah Tao, ia segera beranjak dan duduk di depan Tao.

"Kau suka?" tanya Kris setelah Tao berhasil membuka kantong pertama. Sebuah boneka panda yang besar terlihat begitu manis. Tao mengangguk kuat.

"Aku suka!" ucapnya seraya berusaha membuka kantong kedua. Sebuah boneka alpaca berwarna toska tersembunyi di kantong kedua.

"Tao akan memberi nama alpaca ini 'Ace'. Bagus tidak?" tanya Tao dengan mata pandanya yang menatap Kris.

"Tentu. Sebuh nama yang bagus..." Kris mengusap surai ebony Tao sekali lagi.

"Terima kasih!" teriak Tao kencang. Dipeluknya dua boneka itu erat-erat. "Kris-ge..."

"Hm?" tanya Kris lembut seraya membalas tatapan anak-anak Tao.

"Kapan kita pulang? Tao bosan di sini. Tao ingin es krim di depan rumah kita..."

"Sebentar lagi, okay? Kau nanti bisa bermain dengan SeHun dulu."

"Tapi, SeHun dari tadi belum datang." Tao mengerucutkan bibirnya seraya berbalik menatap jendela di depannya. "Dia sudah bilang ingin mengajari Tao bermain game. Tao ingin Nintendo. Kata SeHun itu game yang hebat."

"Kau akan mendapatkannya nanti..." ucap Kris lembut.

"Sungguh?" Tao kembali menatap Kris dengan binar mata kekanakannya. Binar mata yang sangat disukai Kris namun pada saat yang sama juga... menyakitinya. Nanar ia menatap pemuda berusia 21 tahun dengan jiwa anak berusia delapan tahun di dalamnya itu.

"Tao..." panggil Kris tiba-tiba.

"Ya?" Lagi-lagi mata bocah itu membulat lucu.

"Aku punya satu hadiah lagi untukmu..." Kris tersenyum lembut. "Kemarikan tanganmu..."

Tao menurut. Sebelumnya ia letakkan dulu boneka pandanya di sisinya dan tangannya terjulur ke arah Kris yang tengah mengeluarkan sesuatu dari saku jas dokternya. Kris mengeluarkan sebuah kotak kecil.

"Apa itu, Ge?" tanya Tao penasaran.

"Orang menyebut ini 'rantai takdir'," jawab Kris seraya mengeluarkan sebuah gelang berwarna perak dengan bandul naga. Gelang itu sepasang karena salah satu gelangnya berbandul panda kecil.

"Kenapa kau memakaikan ini? Ah! Dan kenapa Tao dapat yang naga?" protes Tao ketika Kris tengah memasangkan gelang itu pada pergelangan tangannya. Kris tak menjawab. Pemuda itu segera memakaikan gelang pada tangannya sendiri. Setelah selesai, ditatapnya wajah Tao yang tengah menatapnya dengan wajah penuh tanya.

"Rantai takdir ini agar kau tidak pergi dariku. Dengan ini kita tidak akan pisah. Kau tahu aku suka panda... jadi kita harus memasangnya berbalikan," terang Kris panjang. Mata indah itu mengerjap lucu.

"Apa itu berarti kau tidak akan meninggalkan Tao, Ge?"

"Tidak, Tao..."

"Selamanya?" Tao seolah memastikan.

"Selamanya..."

"Selama-lamanya?"

"Selama-lamanya, Kris Wu tidak akan meninggalkan Huang ZiTao..."

"Selama-lama-lama-lamanya?"

Kris tertawa. "Selama yang kau mau... Aku akan terus bersamamu."

"Kau harus berjanji, Ge!" Tao menujukkan kelingkingnya. Dan menatap Kris yang segera menautkan kelingkingnya pada kelingking Tao.

Tao tersenyum. "Kau sudah berjanji! Aku tak akan memaafkanmu kalau kau nanti pergi meninggalkan, Tao..."

"Janji, Tao..." Kris memajukan wajahnya dan mengecup dahi Tao lembut. "Kita akan bersama... Selama kau mau..."

Selama kau mau...

Kris Wu akan selalu ada untuk Huang ZiTao...

"Maafkan saya. Tapi itulah kenyataannya..."

Kris menatap getir sosok dokter di depannya. "Apakah tidak ada cara lain, Dok?"

Dokter itu menggeleng prihatin. "Satu-satunya cara adalah Anda harus mengikuti terapi ini secara rutin. Dan meninggalkan sejenak kegiatan Anda sebagai psikiater, untuk fokus pada terapi ini. Hanya ini satu-satunya jalan."

Kris terdiam.

"Sekali ini saja, Mr. Wu pedulilah pada nyawa Anda sendiri..."

Mata sehitam blackhole itu menatap nanar lalu-lalang manusia di depannya.

Hari telah lelah untuk bertugas hari ini. Berganti dengan satu senja yang jatuh dengan rasa malas menunggu sang malam yang akan menyusulnya. Mengabaikan satu hati yang berharap bisa menahan hari. Mengikat waktu. Berharap ia tak berjalan dan berhenti sekalian. Agar ia tak perlu pergi dan menghadapi kenyataan bahwa mungkin hari-hari berikutnya. Detik-detik setelahnya, Kris tak akan bernapas lagi. Tak akan tersenyum lagi untuk hari yang tak akan kembali sama.

"Dari wajahmu aku menduga kau sedang bingung memikirkan antara hidupmu yang tak akan lama dan keadaan orang yang kau cintai. Hidup dan cinta... Apa aku salah?"

Kris menoleh untuk menemukan siapa sosok yang telah berhasil membaca pikirannya barusan.

"Kau..." bisik Kris tertahan.

Sosok itu tersenyum...

"Ni hao, Kris…"

"K-kau… KyungSoo? Kau Do KyungSoo, 'kan?" Kris terbata mengeja nama sosok gadis Korea yang kini mendekat ke arahnya.

"Aku senang kau tidak melupakanku." Sosok itu berdiri di hadapan Kris tetap dengan senyum menawannya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Kris pelan. Sejenak ia merasa bodoh dengan kalimatnya sendiri. Jelas-jelas ia melihat jas dokter yang dikenakan KyungSoo.

"Aku menengok salah satu pasienku yang kebetulan dirawat di sini," jawab KyungSoo singkat. Mata tajam miliknya masih menatap mata redup Kris yang kini bibir indahnya mulai mengulas senyum.

"Aku tidak mengira akan bertemu denganmu di sini," ujar Kris jujur.

"Aku juga…"

Kris meringis seraya menggaruk kepalanya. Ternyata kebiasaan minim bicara gadis di depannya tidak berubah.

"Jadi kau sekarang telah menjadi dokter?" Kris memastikan. Tubuh itu kembali menghadap keluar. Menatap langit yang kini menghitam.

"Hm." KyungSoo mengambil tempat di samping pemuda yang lebih tua darinya itu. Ada kecanggungan aneh di antara mereka. Kecanggungan yang bersebab dari masa lalu. Masa lalu yang belum selesai.

Dan mungkin sekarang harus diselesaikan,

atau dilanjutkan?

"Chukkae…"

"Xiexie."

Angin malam membelai kulit-kulit alabaster mereka yang tak tertutup.

Sesekali dedaunan yang ditanam di teras-teras rumah sakit bergoyang pelan. Sunyi.

Hanya binatang malam yang sesekali bernyanyi. Untuk sekedar membuktikan eksistensi.

"Kudengar kau telah menjadi psikiater utama di EMRC?!" KyungSoo melirik pemuda yang kini memejamkan matanya dan bersenandung lirih. "Cita-citamu dan— MinSeok sejak dulu."

Kris menghentikan senandungnya sejenak, mengangguk singkat.

"Mianhae…" ucap Kris tiba-tiba.

KyungSoo tersenyum. Lengkung senyum yang tak sempurna. "Gwaenchana."

"—Prognosis schizophrenia. Walaupun remisi penuh atau sembuh pada skizofrenia itu ada, kebanyakan orang mempunyai gejala sisa dengan keparahan yang bervariasi. Secara umum 25% individu sembuh sempurna, 40% mengalami kekambuhan dan 25% mengalami perburukan. Sampai saat ini belum ada metode yang dapat memprediksi tingkat kesembuhannya, tetapi ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya seperti: usia tua, faktor pencetus jelas, onset akut, riwayat sosial atau pekerjaan pramorbid baik, gejala depresi, menikah, riwayat keluarga gangguan mood, sistem pendukung baik, dan gejala positif ini akan memberikan prognosis yang baik. Sedangkan onset muda, tidak ada faktor pencetus, onset tidak jelas, riwayat sosial buruk, autistik, tidak menikah/janda/duda, riwayat keluarga skizofrenia, sistem pendukung buruk, gejala negatif, riwayat trauma prenatal, tidak remisi dalam tiga tahun, sering relapse dan riwayat agresif akan memberikan prognosis yang buruk. Selain itu—!"

'Kringgg…!'

Kris menutup buku tebal mengenai skizofrenia yang ada di depannya ketika weker di meja yang berada di sisinya berbunyi nyaring. Pemuda itu melipat buku untuk menandai sampai halaman berapa ia membaca, sebelum meletakkan buku terbitan tahun 2007 itu dan melepas kaca mata bacanya. Sesaat kemudian ia bangkit meninggalkan kursinya dan berjalan menuju rak di ujung ruangan.

Sudah waktunya ia meminumkan obat pada Tao.

Tangannya meraih persediaan obatnya yang ada di rak. Mencoba tidak tertukar antara obat miliknya dan obat milik Tao. Sejenak mata dark chocolate itu terpaku pada obat-obatan di tangannya. Tak lama pilihannya jatuh pada clozapine dan fluphenazine decanoate.

Clozapine adalah salah satu 'Anti Psikotik Generasi ke Dua' (APG ll). APG II sering disebut sebagai serotonin dopamine antagonist (SDA) atau anti psychotic atypical. Bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamine pada ke empat jalur dopamine di otak yang menyebabkan rendahnya efek samping extrapiramidal dan sangat efektif mengatasi gejala negatif. Sementara fluphenazine decanoate adalah APG l yang bekerja dengan memblok reseptor D2 di mesolimbik, mesokortikal, nigostriatal, dan tuberous funicular sehingga dengan cepat menurunkan gejala positif. Beruntung Tao tidak rewel meminum obat-obat tersebut, membuat Kris tidak mendapat kesulitan berarti saat meminumkannya.

Dengan cepat psikiater EMRC itu membawa obatnya ke dapur. Meletakkan kedua obat tersebut di meja makan dan segera tangannya terampil menyeduh susu hangat.

Senandung lirih keluar dari bibir mungilnya saat ia membawa nampan yang berisi obat dan susu itu ke kamarnya yang juga menjadi kamar Tao.

"Tao?" panggil Kris seraya melongokkan kepalanya. Di dalam terlihat pemuda yang tengah menyusun balok mainannya.

"Ge?" sambut Tao ceria.

Kris masuk dan meletakkan nampannya pada buffet di samping tempat tidur. Pemuda itu segera berjongkok di depan Tao. Mengambil satu balok dan memberikannya pada Tao untuk menyempurnakan lapangan sepakbolanya.

"Gege pintar!" teriak Tao senang. Pemuda itu mengangkat kedua tangannya dan bersorak. "Selesai!"

"Apa hadiah untukku?"

Tao terdiam, sejenak berpikir, dan kemudian pelukan eratnya ia jatuhkan pada Kris yang kini terhujung dan terjatuh ke belakang karena tidak siap dengan serangan Tao yang tiba-tiba.

"Pelukan untukmu!"

Keduanya tertawa lebar.

Kris yang sedikit terengah untuk menahan berat tubuh Tao yang menindihnya, mulai membuka matanya.

"Kau berat, Tao," ucap Kris seraya mengacak rambut pemuda di atasnya.

Tao mengerucutkan bibirnya lucu. "Hei! Tao tidak berat. Gege saja yang tidak kuat menahan tubuh Tao!"

Kris tertawa semakin keras. "Baiklah. Kau tidak berat. Hanya saja sangat tidak ringan."

"Sama saja, Gege bodoh!"

"Hei! Jangan sebut aku bodoh!"

Tangan Kris terjulur dan menangkup wajah yang kini tepat di depannya. Sejenak jemari mungil itu menelusur wajah imut yang kini matanya mengerjap lucu.

Wajah itu pun mendekat. Menyatukan dua bibir yang memerah indah. Mengalirkan rasa menakjubkan saat belahan itu menyatu. Tao terkesiap. Bola mata itu membulat. Sebelum akhirnya sentuhan dan lumatan yang Kris tawarkan membuatnya menyerah dan mulai menutup matanya rapat.

Sentuhan yang Kris berikan begitu melenakan.

'Deg.'

Satu kilasan bayangan yang mendadak berkelebat di dalam kepala Kris, membuat pemuda itu segera menghentikan ciuman yang tengah berlangsung.

"Gege?" Tao membuka matanya dan menatap Kris tak mengerti.

Kris tersenyum pahit.

"Sorry, Baby. Kau harus segera minum obat."

Tao masih menatap dengan pandangan tak mengerti. Namun ia segera bangkit dari posisinya yang menindih tubuh Kris.

Kris menyusul bangkit dari posisi telentangnya. Mengibaskan sejenak tangannya yang serasa kebas dan berjalan menuju buffet, diekori Tao yang kini duduk manis di tempat tidur mereka.

"Ge? Kenapa Tao harus minum obat? Tao tidak merasakan sakit…"

Kris tersenyum mendengar celetukan pemuda kecil itu. Tangannya masih terampil menyiapkan dosis yang tepat untuk obat itu.

"Minum obat bukan hanya untuk menyembuhkan orang sakit. Tapi juga, untuk mencegah agar kau tidak sakit."

"Tao sering melihat Gege minum obat juga. Bahkan lebih banyak dari Tao. Berarti itu bukan karena kau sakit juga, 'kan?"

Sejenak, kalimat polos Tao membuat gerakan Kris terhenti.

"Gege? Kau tidak sakit juga, 'kan?"

"…"

"YAH! GEGE JAWAB TAO!"

"Ti-tidak, Tao." Kris tergagap. "Du bu qui. Tentu saja aku tidak sakit, okay?"

Tao tersenyum senang.

"Kalau aku sakit, siapa yang akan memberimu obat nanti?" Kris berbalik dengan segelas susu dan dosis obat yang pas di tangan kanannya. "Minum obatnya."

Diangsurkannya butiran tablet itu pada sosok pemuda yang ragu-ragu menerimanya.

"Pahit?"

Kris menggeleng dengan senyum yang menenangkan. "Bukankah kau sudah sering merasakannya? Susu akan membuatnya manis."

Tao mengangguk singkat. Perlahan tangan itu mulai mendekatkan butiran obat ke mulutnya. Namun—

"Ge… hidungmu berdarah…" Tangan itu membuang obatnya dan segera mengusap liquid merah yang mengalir di hidung Kris.

sesuatu mendadak menghentikannya.

"A-apa?" Tangan Kris meraih tangan Tao yang barusan mengusap wajahnya. Dan menemukan tangan alabaster itu kini bernoda cairan merah.

Darahnya.

"Ge? Kau tidak apa-apa?" tanya Tao khawatir.

"Ti-tidak, Tao…" Kris berusaha mengusap cairan yang kini semakin banyak.

Gagal.

Pandangannya justru mulai mengabur dan dipenuhi warna-warna yang hilir mudik di kepalanya.

'Prang!'

Bunyi gelas yang jatuh melatari tubuhnya yang kini ikut jatuh dengan gerakan slow motion. Terempas tertarik gravitasi dan menyentuh dinginnya lantai.

"GEGE!" teriakan Tao adalah hal yang terakhir ia dengar sebelum kesadaran berkhianat padanya.

.

.

.

.

.

.

BERSAMBUNG...