Bagaimana mungkin namja bisa hamil?

Benarkah ia seorang gay dan telah menikah dengan Siwon?

Pertanyaan itu bermain di kepalanya. Hanya saja, kali ini ia tak punya pilihan, selain menanamkan rasa percaya pada sosok—

"—Choi Siwon?"

Siwon yang tengah memeriksa berkas YeSung di sampingnya mengangkat wajahnya. Terdiam, menunggu pemilik suara bass itu melanjutkan kalimatnya.

"Apa...alasan kita dulu menikah?"

Siwon terdiam.

.

.

.

.

.

.

Rumah yang menjadi tempat tinggal YeSung adalah rumah besar di pinggir sebuah hutan pinus. Rumah itu terdiri dari dua lantai dengan cat warna putih yang mendominasi eksterior rumah, berikut tiang-tiangnya yang besar. Interior rumah terlihat lebih lembut dan berwarna dengan warna broken white pada dinding dan hitam pada furniture-nya.

Beberapa pelayan tinggal untuk memenuhi kebutuhan mereka. YeSung sedikit terkejut ketika ia baru saja datang tapi, para pelayan itu seolah tidak kaget dengan kedatangannya. Mereka seolah telah mengerti jika tuan mereka telah menikahi seorang pria. Mereka seolah juga telah mengenal YeSung dan terbiasa dengan adanya dua tuan di rumah. YeSung berharap sambutan hangat dari para pelayan itu akan membantu untuk mengembalikan ingatannya. Semoga saja.

.

.

.

.

.

Pagi menjelang, semalam ia cukup lelah setelah perjalanan yang cukup panjang dari pusat kota Seoul ke rumah yang sekarang di tempatinya, hingga ia langsung tertidur begitu tubuhnya menyentuh hangatnya selimut. YeSung tidak bisa mengingat apa yang biasa ia lakukan sehingga ia memutuskan untuk berjalan-jalan, melakukan petualangan kecil di sekitar rumah. Menurut YoonA, salah sau pelayan, Siwon sudah pergi sejak pagi-pagi tadi, dan tidak meninggalkan pesan apa-apa selain agar YeSung tidak lupa untuk meminum obatnya.

YeSung tidak bertanya lebih jauh dan pelayan membiarkannya ketika ia mengakhiri petualangan kecilnya di taman yang terletak di belakang rumah. Lelaki tampan itu mendudukkan dirinya di atas kursi yang terletak di samping kolam. Di depannya, dengan sebuah kolam dan tanaman ivy sebagai jeda terdapat jajaran pinus yang entah berakhir di mana. YeSung tergelitik untuk menyusur hutan pinus itu dan menemukan akhirnya. Tapi, ia ragu apakah Siwon akan mengizinkannya melakukan hal itu. Bisa saja di balik hutan pinus ada hutan sebenarnya.

"Apa...alasan kita dulu menikah?"

Siwon terdiam. Lama.

"Cinta."

"Cinta?"

Siwon tersenyum, lembut dan untuk sesaat dada YeSung berdesir saat menemukan mata pria itu. "Ya. Kau mencintaiku dan aku mencintaimu. Karena itulah kita menikah."

YeSung menggigit bibirnya ketika mengingat percakapannya dengan Siwon kemarin—saat ia masih di rumah sakit. Siwon berkata jika mereka menikah karena cinta. Jawaban yang cukup masuk akal walau dirinya belum puas. YeSung berharap semakin lama waktu yang akan dilaluinya bersama Siwon, maka ingatannya juga akan kembali dan keraguannya menghilang. Juga jawaban atas semua pertanyaan dan penyebab hilangnya ingatannya akan datang.

.

.

.

.

.

.

"Kenapa kita tidur di kamar yang berbeda?" YeSung menatap pria di depannya tak mengerti. "Bukankah kita sudah menikah?"

"Aku hanya tidak ingin kau merasa tidak nyaman."

YeSung mengernyitkan dahinya. "Jelaskan padaku."

YeSung bisa melihat pria di depannya menghela napas sebelum menutup pintu dan berbalik untuk kembali berjalan ke arahnya.

"Dengar." Siwon berdiri di depan YeSung, jemari pria itu berada di pucuk kepalanya. Meremas surai ebony YeSung lembut, membuat YeSung seakan tersengat listrik ketika dari gerakan sederhana itu tubuhnya bergetar tak wajar.

"Aku mendengarkan." Mati-matian YeSung berusaha menguasai dirinya. Mungkin alasan mereka dulu menikah memang benar-benar cinta, karena tubuhnya terlihat bereaksi begitu hebat atas sentuhan Siwon. Sentuhan fisik yang lebih dari ini dan ia tidak yakin ia akan bisa menahan dirinya lagi.

"Aku tahu kau masih meragukan soal pernikahan gay kita, kecuali fakta bahwa kau hamil, karena kau telah melihat hasil pemeriksaan di mana di perutmu memang ada calon janin."

YeSung mengangguk. "Lalu?"

"Sekarang, ini mengenai 'perasaan'."

"Aku tak mengerti."

"Aku tahu perasaanmu tidak nyaman jika aku tidur seranjang denganmu."

"Bodoh." YeSung tersenyum. Dan kali ini Siwon yang melempar pandangan tak mengerti. "Sekalipun kita tak ada hubungan apa-apa, bukankah hal yang wajar jika dua pria tidur seranjang? Aku bisa menganggapmu sebagai teman kalau kau ingin."

"Bukan seperti itu."

"Lalu?"

"Aku hanya takut, jika aku tidak bisa menahan diriku," bisik Siwon samar yang sayangnya masih bisa didengar YeSung, membuat senyum lelaki itu semakin lebar.

"Kau tidak harus menahan dirimu. Aku suamimu. Ingat?"

Siwon terdiam. Dan YeSung melanjutkan kalimatnya dengan gugup. "Kita bisa melakukan seks kalau kau ingin."

Hening. YeSung merasa sedikit menyesal dengan kata-katanya barusan. Ia menunduk, menolak memandang wajah tampan berahang tegas milik Siwon. Apa ia terlihat begitu murahan sekarang?

"Mungkin hal itu juga akan membantu mengembalikan ingatanku—hfft!" Tangan Siwon mengangkat dagunya dan menutup bibir indah milik YeSung dengan bibirnya sendiri secara tiba-tiba. Siwon menciumnya. Sebuah ciuman lembut. Netra YeSung terbelalak untuk sesaat sebelum akhirnya ia menutupnya dan memiringkan kepalanya sebagai respon saat berciuman.

"Nggh..." Ia mengerang ketika merasakan lidah Siwon telah berhasil memasukinya dan mulai menggelitik langit-langit mulutnya. Tangan Siwon bergerak menekan tengkuknya, sementara tangannya sendiri bergerak meremas kemeja yang Siwon kenakan. Ciuman itu berlangsung lama dan intim. Gelenyar aneh menjalar dan menyentuh saraf-saraf sensitif tubuh YeSung.

"Sssh-Siwon..." Dan lagi-lagi ia mengerang. YeSung tak mengira jika berciuman dengan seorang pria akan seperti ini. Menurutnya ini tidak terlalu buruk dan ia tak menolak ketika Siwon mendorong tubuhnya dengan kasar hingga ia jatuh di atas ranjang di belakang mereka.

Ciuman terlepas. Kedua pasang biner itu bertemu. Napas YeSung tersengal. Matanya meredup saat menemukan netra Siwon yang tertutup kabut nafsu di atasnya dan tengah menatapnya intim. Sunggguh, YeSung tak mengerti kenapa dadanya berdetak sedahsyat ini hanya karena tatapan intim dari sesama pria.

"Kau yakin?" tanya Siwon serak. Dan rasanya lama sekali untuk sekedar menunggu anggukan dari YeSung di bawahnya.

"La-lakukan. Ahhh..." Lenguhan lolos dari bibir YeSung ketika lidah Siwon menyusur dari pipinya hingga bertahan di telinga kanannya untuk sesaat. Menjilat dan menghisapnya keras. Tubuh YeSung bergetar. Ini belum apa-apa. Ada sesuatu dari dalam dirinya yang menginginkan lebih. Sentuhan lebih. Tubuh YeSung terangkat tanpa sadar. Membuat sesuatu miliknya di selatan bergesekan dengan milik Siwon yang telah menegang.

Siwon melanjutkan perjalanan lidahnya di leher YeSung dan mulai mengecup leher putih itu. Tangannya tak ingin kalah dan mulai menyusup ke dalam kaus putih transparan yang YeSung kenakan. Melakukan sentuhan kasar di perut yang masih rata milik YeSung menyusur hingga ke atas dan berhenti di dadanya. Tempat dua nipple cokelatnya berada. Mencubitnya dan YeSung kembali melenguh seraya mengangkat tubuhnya.

"Sepertinya..." Siwon mulai bergerak dan menggesekkan miliknya pada milik YeSung di balik celana yang masih membungkus milik mereka dan meningkatkan kerja tangannya, "aku mulai merindukan dirimu yang seperti ini, Baby."

Mata YeSung terbuka. Ia menatap Siwon dengan pandangan memohon yang di mata Siwon terlalu indah. "Kumohon..."

Tangan Siwon yang bebas bergerak, menyusup lebih jauh ke dalam celana YeSung. Ia mendapatkannya. "Apa?"

"Khh-kumohon..."

Meremasnya.

"Sentuhh...aku Siwon." Mata YeSung terpejam, merasakan dada dan bagian bawahnya yang tengah diusap oleh dua tangan Siwon. "Buat ingatanku kembali dengan sentuhanmu...ughhh."

"Aku mengerti."

Tangan keduanya bergerak seirama untuk melucuti kain beda warna yang membungkus tubuh mereka masing-masing.

.

.

.

.

.

.

"Kau membawanya ke sini?" DongHae bertanya dari balik rekam medis yang tengah menjadi fokus biner kembarnya yang terbungkus kacamata baca.

"Kurasa dengan membawanya ke tempatnya bekerja akan membuat ingatannya kembali lebih cepat. Selain itu, aku juga lebih mudah mengawasinya."

"Akhirnya kau bisa berpikir cerdas juga," ucap DongHae antara memuji dan mencela.

Pria di depannya—Siwon, mengabaikan kata-kata DongHae dan memilih untuk mengetukkan jemarinya pada meja kayu di depannya. "Daripada itu, Hae... Aku ingin minta tolong."

DongHae melepaskan atensinya pada rekam medis dan meletakkannya di meja. Ia bergerak membetulkan kacamatanya sebelum melempar perhatian penuh pada Siwon yang kini juga tengah menatapnya. "Sudah kuduga, kau punya rencana lain dengan membawa YeSung ke sini." Dokter Lee DongHae menyeringai.

"Aku tak punya pilihan."

"Kau punya!" nada suara DongHae meninggi tanpa ia sadari. "Jujurlah pada YeSung dan semuanya akan baik-baik saja."

"Tidak, sebelum aku memastikan hal ini." Pria itu menolak kata-kata DongHae dan menggelengkan kepalanya. "Semalam aku berhubungan dengan YeSung."

"Lalu?"

"Buruk."

"Hal itukah yang membuatmu yakin dengan ini?" DongHae melunak.

"Aku yakin. Aku ingin dia. Lalu, untuk ia, kau hanya harus mengawasinya untukku."

Kali ini DongHae yang menggeleng-gelengkan kepalanya atas kekeraskepalaan sosok tampan di depannya.

"Aku akan mengawasinya semampuku." DongHae menyerah.

.

.

.

.

.

.

"Apa yang kau lakukan?" YeSung terlonjak. Ia menoleh cepat dan menemukan sosok pemuda berkulit pucat dengan jas dokter berwarna putih yang membalut tubuhnya. Pemuda itu tersenyum ke arahnya. Sosok yang menarik.

"Kau siapa?" YeSung memicingkan matanya dan mengikuti gerak pemuda itu yang kini berjongkok di sisinya. Tangannya bergerak dan masuk ke air, menggoda ikan-ikan koi di dalamnya dengan menciptakan riak-riak kecil. Ikan-ikan berwarna cerah itu kalang kabut ketika air bergerak.

"Cho KyuHyun," jawab pemuda singkat. "Aku temanmu, YeSung-hyung." Pemuda itu mendongak dan menampilkan senyum kecilnya pada YeSung yang tengah mengerutkan alisnya seraya membalas tatapannya.

"Teman?"

"Benar." Pemuda itu—KyuHyun berdiri di samping YeSung. Menolak membalas tatapan YeSung dan memilih untuk memandang kembali taman di seberang kolam.

"Berarti kau tahu kalau—"

"—kau kehilangan ingatanmu?" sambung KyuHyun tepat sasaran.

YeSung mengangguk lemah.

"Tentu saja aku tahu."

YeSung diam. Lama. Dan KyuHyun tak ingin memecah keheningan yang YeSung ciptakan.

"Bagaimana dengan pernikahanku..." YeSung memberi jeda pada kalimatnya dan ia melanjutkannya dengan hati-hati, "kau tahu soal itu juga?"

"Tentu saja."

Hening. YeSung semakin penasaran. Siapa Cho KyuHyun? Siapa pemuda di sampingnya ini? Kenapa ia bisa mengaku sebagai temannya? Apakah ia juga bekerja di tempat ini? Mungkin memang begitu mengingat jas putih yang KyuHyun kenakan. Dan mungkin juga YeSung harus menguji pemuda yang katanya temannya ini lebih jauh.

"Aku gay..." ucap YeSung samar. Dadanya berdetak terlalu kencang ketika menunggu jawaban dari KyuHyun. Tapi, yang terdengar sesaat kemudian hanya tawa dari pemuda berkulit pucat itu.

"Kenapa kau tertawa?" YeSung tidak tahan untuk tidak melempar tatapan kesal pada pemuda di sisinya itu.

"Tidak," jawab KyuHyun di sela tawanya. "Lalu, kenapa kalau kau gay?"

KyuHyun menoleh. Ia menemukan YeSung yang kini tengah menatapnya dengan raut bodoh. Tawa masih ingin meledak dari dalam diri KyuHyun, tapi ia berusaha menahannya mati-matian.

"Kau tidak jijik?" Netra cafe noir YeSung menyipit.

KyuHyun mengusap air mata di sudut matanya. Sepertinya pengakuan YeSung barusan terlalu lucu sehingga ia tertawa sampai menangis. "Aku sudah bilang, kita adalah teman. Dan teman yang baik akan menerima apapun kondisi temannya. Termasuk orientasi seksnya."

"Aku tidak berpikir sejauh itu." YeSung melepas atensinya akan KyuHyun dan kembali memandang lurus ke depan. "Lalu, kau sendiri bagaimana? Kau sudah punya kekasih?"

"Belum."KyuHyun mengikuti jejak YeSung untuk menatap kesunyian di depan mereka. "Tapi, aku punya orang yang kucintai."

"Siapa wanita yang kurang beruntung itu?"

KyuHyun sekali lagi tertawa sebelum menjawab. "Dia temanku."

"Kau jatuh cinta pada temanmu sendiri?" komentar YeSung sarkastis.

"Begitulah..." KyuHyun berjongkok untuk meraih kerikil hias kecil di bawah kakinya dan kembali meluruskan tubuhnya. Ia melemparkan kerikil kecil itu ke arah kolam di depan mereka. Menciptakan gelombang longitudinal besar di tengah kolam. "Dan dia juga laki-laki."

.

.

.

.

.

.

Malam mengelam ketika akhirnya dokter Lee DongHae keluar dari laboratorium di lantai dua dan bergegas menuju cafetaria di lantai dasar. Cacing di perutnya merengek minta diberi makan dan itu juga yang membuatnya teringat bahwa ia belum makan sejak tadi siang. Seharusnya para pekerja di tempat ini bisa menemukan hal yang berguna seperti pil penunda lapar tanpa efek samping, yang pasti akan lebih berguna daripada apa yang tengah mereka teliti kali ini.

"Oi, Kim JongDae!" panggil DongHae ketika ia menemukan sosok lain berpakaian sama dengannya yang berjalan beberapa langkah di depannya. Itu Kim JongDae, peneliti yang berada satu tingkat di bawahnya. DongHae sedikit bergegas untuk menjajari langkah JongDae yang akhirnya berhenti.

"Sunbae, ada apa?"

"Apa kau sudah mengantarkan makan malam ke ruang dokter YeSung?"

JongDae tersenyum. "Oh, hal itu. Tadi, YeSung-sunbae memaksa pulang saat aku mengantarkan makan malam."

"Memaksa pulang?" Donghae terbelalak. "Lalu, di mana dia sekarang?"

"Kurasa dokter KyuHyun tengah mengantarkannya pulang. Pasti mereka masih dalam perjalanan."

"Sial!" dengus DongHae keras. Ia mengabaikan JongDae yang memandangnya tak mengerti dan sibuk meraih ponsel yang ada di sakunya.

Ia men-dial satu nomor dan berharap si pemilik nomor segera mengangkat panggilannya.

"Angkat teleponku, Bodoh! Atau kau akan menyesal."

Nihil. Dan DongHae berpikir untuk membanting ponselnya saat itu juga.

.

.

.

.

.

.

"Terima kasih telah mengantarku." YeSung membungkuk rendah pada sosok KyuHyun yang masih bertahan di belakang kemudi. "Ini sebenarnya memalukan. Aku jadi terlihat seperti seorang wanita."

KyuHyun tertawa samar. "Tidak. Sama sekali tidak. Diantarkan seorang pria tidak akan membuatmu jadi terlihat seperti wanita."

"Aku pegang kata-katamu." YeSung tersenyum kecil. "Kau tidak ingin ke dalam? Kurasa Siwon akan senang melihatmu. Selain itu aku masih punya simpanan wine," tawar YeSung kemudian.

KyuHyun menggeleng. "Tidak. Sampaikan saja salamku untuknya. Sampai jumpa."

"Oh, oke."

KyuHyun mengaktifkan power window dan mobil berwarna putih itu berjalan pelan menembus malam.

.

.

.

.

.

.

Rumah besar itu terlihat sunyi seperti biasanya. Jam di tangan YeSung sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dan ia masih tak mengerti kenapa Siwon meninggalkannya di tempat itu tadi. Pria itu bahkan tidak mengatakan alasannya pulang lebih dulu dan justru berdalih bahwa menginap semalam di tempat itu akan membantu ingatan YeSung agar cepat kembali. Alasan yang sama dengan yang biasa pria itu katakan sebelumnya. Siwon begitu misterius.

YeSung merasakan kesunyian yang semakin nyata ketika ia akhirnya sampai di beranda. Ia sudah terbiasa dengan kesunyian dari rumah ini walau baru beberapa hari menempatinya, tapi entah kenapa malam ini kesunyian terlihat berbeda. YeSung membuka pintu—dan ia sangat bersyukur pintunya tidak terkunci. YeSung kembali menutup pintu tanpa suara dan menemukan ruang tamu luas yang terlihat kosong. Lampu utama sudah dimatikan. Penerangan hanya berasal dari lampu hias berwarna kemerahan redup di beberapa sudut dinding.

Ke mana Siwon?

Ia ingin memanggil suaminya itu, tetapi sesaat kemudian ia urungkan niatnya dan memilih menapak tangga menuju lantai dua tanpa suara. Mungkin Siwon sudah istirahat dan hal terakhir yang tidak ingin YeSung lakukan adalah membangunkan pria itu.

Kamar YeSung terbangun di ujung, di sebelah kamar Siwon. YeSung menduga kamar itu ia tempati setelah ingatannya hilang. Karena perasaannya mengatakan bahwa ia dulu tidur dengan Siwon. Sekamar dan seranjang dengan pria itu. Bukankah karena itu jugalah dia bisa hamil, eh?

Lorong setelah tangga yang menuju kamarnya terlihat remang.

YeSung berusaha berjinjit saat melewati kamar Siwon, berusaha tidak membuat suara. Tapi, mendadak sesuatu—suara dari dalam kamar menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kamar Siwon yang terbuka sedikit.

YeSung mencondongkan tubuhnya dan berusaha menajamkan pendengarannya. Ia yakin sekali bahwa telinganya tidak salah dengar ketika ia menangkap suara-suara yang seperti desahan tertahan dari dalam kamar suaminya itu. Tapi, yang membuat netranya membulat adalah ia mendengar desahan lain, yang ia yakin bukan desahan Siwon, tapi desahan seorang wanita. Munginkah Siwon tengah menonton film panas? Tapi, kenapa hal itu terdengar begitu nyata?

Tubuh YeSung gemetar. Ia tak tahu apa yang membuatnya senekat itu ketika dengan kasar dan tanpa perintah otak tangannya bergerak mendorong pintu agar terbuka lebih lebar.

"Siwon..."

"YeSung?"

Netra bulan sabit YeSung membulat sempurna ketika pintu di depannya terbuka lebar dan satu pemandangan menyambutnya. Siwon, suaminya memang tengah berada di kamar. Tapi, pria yang tengah duduk di tepi ranjang dengan tubuh yang nyaris tidak tertutup benang itu tidak sendirian. Di depan Siwon ada seorang wanita telanjang yang tengah berjongkok seraya memanjakan bagian selatan miliknya.

.

.

.

.

.

.

BERSAMBUNG...

A/N: Aku ga tahan untuk ga masukin KyuSung sebagai slight dan KyuHyun-nya sendiri sebagai cockblocker. :lol Maafkan jiwa KyuSung shipper-ku ini. *lambailambai bendera putih(?)* So, sudah terlihatkah titik terang di chappie ini atau malah semakin rumit? :lol

Rate udah positif naik, jadi kalau ada lime, lemon, jeruk, nanas(?) scene udah siap ya(?). Last, mind to review, Reader-nim? *v*