Chapter 01.

Di SnK High School, ada sekelompok anak kelas satu SMA yang terdiri dari :

Eren Jaeger si anak berambut coklat tua itu adalah yang paling aktif dibandingkan dengan teman-temannya, dan sering terlihat bersama Mikasa dan Armin.

Mikasa Ackerman si perempuan paling cantik dikelas yang memiliki rambut pendek hitam, wajah keturunan orang Asia, dan anak pintar namun pendiam, Mikasa sepertinya juga mempunyai perasaan terhadap Eren, saudara tirinya.

Armin Arlert, anak lelaki yang sekilas terlihat seperti perempuan, pintar, dan memiliki fisik yang agak lemah kalau dibandingkan dengan teman-temannya, dia juga merupakan teman masa kecil Mikasa dan Eren.

Jean kirschtein, anak lelaki bertubuh tinggi dan berambut coklat muda ini jelas sekali memiliki perasaan kepada Mikasa namun hanya Mikasa dan Eren yang tidak menyadarinya, Jean juga sering terlihat sedang bertengkar dengan Eren dengan alasan Jean itu 'iri' padanya.

Marco Bodt, lelaki berambut hitam pendek dan memiliki jerawat diwajahnya ini adalah teman baik sekaligus teman masa kecil dari Jean, bahkan disaat Jean sedang bertengkar dengan Eren, Marco selalu berusaha memisahkan mereka supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

Connie Springer, anak lelaki berkepala botak mirip biksu klinik Tong Fang ini adalah orang yang sangat ceria dan lumayan pintar, namun tidak sepintar Mikasa yang rangking 1 disekolah, disekolah, sodara-sodara . Connie juga lumayan dekat dengan Eren dan suka terlihat sedang berbincang-bincang dengan anak berkepala coklat itu.

.

.

.

Pada waktu itu, Eren dan kawan-kawan sedang berbincang-bincang diruang kelas mereka yang sudah kosong karena semua murid telah pulang kecuali mereka.

"Hei, apa kalian ingat kalau..hari ini tepat 2 tahun setelah kematian kakak kelas kita..?" Ujar Marco ditengah-tengah obrolan mereka.

"Kakak kelas, maksudmu..Petra-senpai?" Armin menanggapi dengan suara agak pelan.

"Iya, kalian tahu, kan?"

"Petra-senpai yang katanya meninggal karena kecelakaan itu?" Ujar Eren penasaran.

"Aku pernah dengar dari seseorang..katanya Petra-senpai meninggal bukan karena kecelakaan." Marco sepertinya berniat memberitahu teman-temannya tentang alasan sebenarnya mengapa Petra meninggal.

"Maksudmu?" Connie bertanya dengan nada bicara kepo.

"Ka-katanya, Petra-senpai bukan kecelakaan tapi ada kemungkinan kalau dia..dibunuh oleh seseorang."

Hening.

"Dibunuh..?" Mikasa yang sedari tadi diam akhirnya berkomentar.

"Iya, bukankah aneh kalau dia kecelakaan tapi mayatnya tidak ditemukan?" Marco menjelaskan seperti seseorang detektif pro.

"I-iya sih benar juga.."Jawab Jean sambil mengusap-usap dagunya.

"Tapi siapa yang membunuh Petra-senpai?" Eren makin bingung.

"Entahlah, katanya sih pelakunya seorang lelaki—"

"Oi, kenapa kalian masih di sekolah? Gerbangnya sudah mau ditutup." Tiba-tiba terdengar suara guru wali kelas sekaligus guru matematika mereka yang ce—tingginya dibawah rata-rata orang dewasa, yaitu Rivaille-sensei yang tiba-tiba memotong kalimat Marco.

"Ri-Rivaille-sensei? Anda juga kenapa masih disini?" Eren Jaeger dan ke-kepo-annya.

"Aku tadi masih ada pekerjaan, kalian semua cepatlah pulang kalau tidak mau terkunci di sekolah ini." Jawab Rivaille dengan wajah datarnya yang melebihi tembok yang baru disemen.

"Baaaikkk." Jawab mereka semua bersamaan.

.

.

.

Saat mereka semua termasuk Rivaille tiba digerbang sekolah, mereka hanya bisa keheranan karena gerbang sekolah telah dikunci dan penjaganya sudah hilang-entah-kemana.

"KOK GERBANGNYA UDAH KEKUNCI!?" Connie, Eren, dan Jean panik pangkat dua belas sambil menggoyang-goyangkan gerbangnya, berharap gerbangnya secara ajaib akan rubuh dan mereka bisa pulang.

Tapi itu tidak akan pernah terjadi.

"Penjaga gerbang yang biasanya disini juga sudah tidak ada…apa yang harus kita lakukan?" Ujar Armin dengan nada bicara panik setengah hidup.

"Kalaupun kita berusaha memanjat gerbang ini, pasti akan sia-sia karena gerbang ini tinggi sekali.." Ujar Mikasa sambil memandangi gerbang setinggi 5 meter yang berdiri kokoh di depannya.

"Mungkin kita terpaksa harus menginap disekolah ini sampai besok pagi." Ujar Rivaille sambil melihat jam tangannya yang berwarna perak.

"APAA!?" Eren dkk langsung shock.

"Kalau dilihat dari keadaannya, penjaga gerbang sekolah sudah pulang dan tidak akan kembali sampai besok pagi, yang bisa kita lakukan hanyalah menunggu." Usul Rivaille hanya disambut dengan raut wajah 'mampus-kita-kekunci-gimana-dong-gue-pingin-bunuh- diri' dari Eren dkk.

Tapi tampaknya mereka tidak punya pilihan lain.

.

.

.

"Aahh..di sini gelap sekali, aku tidak bisa melihat apa-apa.." Keluh Jean sambil menyipitkan matanya, berharap bisa menemukan cahaya tapi itu mustahil. Apa boleh buat, sekolah sudah kosong, semua lampu sudah dimatikan, dan hari sudah mulai malam.

"Apa diantara kalian tidak ada yang membawa senter, lilin, lighter atau semacamnya?" Ujar Rivaille sambil berhenti berjalan dan menatap wajah murid-muridnya.

"Eh…aku sebenarnya satu senter.." Ujar Armin sambil mengeluarkan senter dari dalam tas punggungnya.

"Kenapa kau tidak bilang dari tadi kalau kau bawa senter!?" Jean langsung sewot.

"Ma-maaf, aku lupa tadi!" Armin langsung saja minta maaf kepada Jean yang udah stress.

Mungkin Jean lagi datang bulan—maksudnya, lagi emosi—makanya dia gampang marah-marah.

"Berikan senternya padaku, Arlert." Ujar Rivaille sambil mengadahkan satu tangannya di depan Armin.

"A-ah.."

"Untuk sementara mungkin kita bisa duduk di aula sebentar, karena semua kelas pasti sudah dikunci." Ujar Rivaille sambil berjalan menuju aula seklah yang terletak dilantai paling atas.

"Bukannya aula juga dikunci?" Ujar Connie dengan nada agak tidak yakin.

"Kebetulan tadi aku memakai aula sebelum pulang sekolah, jadi aku masih memegang kuncinya. Sudahlah, ayo cepat." Kemudian Rivaille langsung berjalan menuju aula di depan para muridnya.

.

.

.

"Aahhh….aku lapar…" Keluh Connie sambil memegangi perutnya yang yang sudah tidak mau diam, minta diberi makan.

"Diamlah Connie, yang lain juga pasti lapar!" Jean kembali sewot.

"Memangnya kalian tidak ada yang membawa makanan!?" Connie shock pangkat presiden.

"Kalau ada yang membawa makanan, dia pasti sudah mengeluarkannya dari tadi, bukan?" Ujar Mikasa dengan wajah datarnya yang-tidak-sedatar-Rivaille.

"Be-benar juga sih.." Connie langsung lemas seketika.

"Uuhhh….." Marco yang diam sejak mereka tiba di aula tampak gelisah sambil memegangi perutnya.

"Marco, kau kenapa sih?" Jean yang kebingungan melihat sahabatnya itu gelisah, akhirnya bertanya.

"A-aku..eh..enggak apa-apa kok, hehehe.." Ujar Marco sambil melemparkan fake smile dan tertawa garing.

"Kau ingin buang air kecil, kan?" Rivaille menebak dengan sangat frontal.

Déjà vu.

"Bu-bukan begitu! I-ini umm.." Marco berusaha mengelak namun tidak bisa karena dia benar-benar tidak tahan lagi.

"Kalau kau sudah tidak tahan, kau pergi saja ke kamar mandi." Usul Armin dengan muka kasihan.

"A-aku baik-baik saja kok, ahahaha…" Lagi-lagi Marco melempar fake smile.

"Marco Bodt, jangan bilang kalau kau tidak berani ke kamar mandi karena gelap."

Hening.

"GYAHAHAHHAHAAAAA!" Tawa nista terdengar sangat menggelegar dari mulut Eren, Jean, dan Connie yang sedang guling-guling dilantai.

Sedangkan yang ditertawakan hanya bisa facepalm.

Untungnya Armin dan Mikasa berbaik hati mau menghibur Marco yang sedang dalam keadaan kritis.

"Kalau kau tidak tahan lagi aku akan menemanimu, bisa gawat kalau kau buang air disini." Ujar Rivaille sambil berdiri dan diikuti oleh Marco yang merasa seperti mendapat cahaya surga.

Setelah Marco dan Rivaille pergi kekamar mandi yang letaknya agak jauh dari tempat mereka duduk sekarang, Eren, Mikasa, Armin, dan Jean mulai berbincang-bincang lagi.

"Hei..entah kenapa aku kepikiran tentang apa yang Marco bilang.." Jean berkata dengan agak pelan.

"Perkataan Marco yang mana?" Sekali lagi Eren Jaeger dan kepolosannya.

Jean double facepalm ditempat.

"Perkataan Marco yang tentang Petra-senpai?" Mikasa menanggapi dengan santai.

"Iya itu." Jean langsung pasang wajah 'dia-jawab-kata-kata-gue-oh-my-God'.

Setelah beberapa menit mereka berbincang-bincang, tiba-tiba terdengar suara yang menggelegar—

"A-APA YANG KA—AAAAHHHHHHHHHH!"

—Yaitu suara Marco yang tadi pergi ke kamar mandi bersama wali kelas mereka yang wajahnya sedater tembok Wall Maria itu.

"Su-suara itu..suara Marco!?" Jean, si teman baik pemilik suara tersebut langsung saja panik dan mengajak teman-temannya untuk segera melihat apa yang sebenarnya terjadi.

Begitu mereka sampai di dekat toilet yang dimasuki oleh Marco dan Rivaille, Armin melihat sesuatu dilantai yang bersinar karena pantulan cahaya dari senter yang-kebetulan-dibawa-oleh-Armin.

"Itu…bukannya jam tangan milik Rivaille-sensei!?" Teriak Armin sambil berlari dan mengambil jam tangan silver yang memang milik Rivaille.

"Kenapa jam tangan ini ada di sini? Dan mana Rivaille-sensei!?" Connie kemudian panik sendiri sambil melihat jam tangan silver milik Rivaille.

"Ng? ini…" Batin Armin sambil mengamati lebih dekat jam tangan milik wali kelasnya itu.

"A-ahh…." Eren tiba-tiba jatuh lemas saat melihat sesuatu di dalam salah satu stall kamar mandi.

"E-Eren!? Kau kenapa!?" Mikasa yang melihat saudara tiri kesayangannya jatuh lemas, langsung menghampiri Eren dan secara tidak sengaja melihat apa yang berada di dalam stall tersebut ",I-ini…Ma-Marco…"

"A-ada apa!? Apa kau melihat Marc—" Kalimat Jean langsung saja terpotong ketika dia melihat sosok sahabat baiknya sudah tidak bernyawa di dalam stall.

"M-Marco!" Jean kemudian langsung menghampiri tubuh sahabatnya yang sudah tidak bernyawa yang sedang duduk diatas toilet di dalam stall dengan lehernya yang bersimbah darah, bertanda ada sesuatu atau bahkan seseorang yang merobek lehernya.

"Tidak mungkin..Marco…" Ujar Connie sambil berdiri diam di depan pintu toilet, sedangkan Armin juga membeku sambil terus memegang jam tangan milik Rivaille.

"Mungkin…lebih baik sekarang kita kembali ke aula, untuk cari aman…" Ujar Mikasa sambil menutupi wajahnya dengan syal merah yang selalu dia pakai dimanapun.

"Lalu bagaimana dengan Marco!? Apa kita akan meninggalkannya disini begitu saja!?" Teriak Jean sambil terus memegang tubuh sahabatnya itu sambil menangis.

"Ki-kita tidak ada pilihan lain, kita tidurkan saja tubuhnya dilantai.." Ujar Armin setengah tidak rela.

"Ghh…sialan…kenapa Marco harus mengalami hal ini.." Jean kemudian pasrah dan meletakkan tubuh Marco di lantai dengan perlahan kemudian mereka semua kembali ke aula.

.

.

.

"Tapi..tadi bukannya Rivaille-sensei pergi bersama Marco? Kenapa Rivaille-sensei tidak terlihat dimanapun?" Ujar Eren sambil menyenderkan punggungnya ke tembok.

"Entahlah, aku hanya bisa menemukan jam tangannya…" Ujar Armin sambil memperlihatkan jam tangan silver milik Rivaille yang tadi dia temukan di depan toilet.

"Apa mungkin…ada orang lain di dalam sekolah ini selain kita?" Perkataan Mikasa membuat teman-temannya hening seketika.

"Ta-tapi bukannya selama kita ke toilet, dan saat kita berjalan menuju aula kita kita melihat siapapun!?" Eren yang tadinya lesu langsung mengutarakan pendapat dengan sedikit berteriak.

"Tapi selain itu kita belum melihat ulang seluruh sekolah, bukan? Jadi ada kemungkinan ada orang lain selain kita di sekolah ini."

"Kalaupun memang ada orang lain selain kita disekolah ini…dimana dia sembunyi..dan apa tujuannya!?" Batin mereka semua secara bersamaan.

Apa benar ada orang lain selain mereka di dalam sekolah? Kalaupun ada, apa tujuan orang itu sebenarnya? Dan kemanakah Rivaille yang menghilang secara misterius?

-TO BE CONTINUED-

Yo minna~ Alice'ssu~

Ini dia fic bergenre mistery yang pertama kali Alice buat *jengjengjeng*.

Ini pertama kalinya Alice bikin fic tentang mistery, pembunuhan, de el el karena selama ini Alice kebanyakan bikin fic yaoi—ehem—jadi Alice enggak tahu ini pantes disebut fic mistery apa enggak.

Alice bikin fic ini intinya agak ambil dari naskah drama Alice disekolah loh XDDD /dordordor.

Waktu itu pelajaran Bahasa Indonesia disuruh bikin cerita untuk ambil nilai drama dan Alice jadi tokoh antagonis *jengjengjeng*.

Jadi ditunggu ya chapter selanjutnya.

Kurosawa Alice.