"Jangan menangis, Tuan Muda. Saya yakin semuanya akan kembali…" tangan kecilnya menghapus airmata yang sukses membanjiri kedua pipi gembil Jean.
"Sungguh?"
Si pemilik iris kehijauan membalas pertanyaan Jean dengan ekspresi yang rumit.
"Kau mencoba menghiburku, huh?"
"Saya—"
"Jangan bohong, Eren."
"Apapun yang terjadi—" dia eratkan genggamannya pada kedua tangan Jean. "Saya akan berada di sisi tuan muda. Jadi, jangan lepaskan tangan saya."
Memang hanya beberapa utas kalimat, tapi dapat membuat perasaan Jean kecil menjadi hangat.
Di bawah pohon oak yang rindang dan langit kebiruan, dua orang anak Adam saling berpegangan tangan—menanti ketidakpastian kabar dari Shiganshina.
Kokoro
By Kajika Louisa
.
.
.
Chapter 1 : Eren Adalah Rival?
.
.
.
Shingeki no Kyoujin © Hajime Isayama
Warning : Rate-T. OOC. AU. Romance. Humor. BL. Jean-Eren.
Bahasa 'ajaib' di cerita ini dan sifat para chara, kurang lebih berpatokan pada chara yang bersangkutan. Dan soal nama keluarga Eren, saya ngikutin officialnya, jadilah Eren Yeager. Maaf buat yang yang udah sreg sama nama Eren Jaeger ketimbang Eren Yeager.
Selamat membaca~ /Aya ngumpet (/ \)
.
.
.
.
.
Alis Eren berkedut-kedut. Semestinya dia bisa menikmati pagi dengan tenang.
Se-mes-ti-nya.
Masih pukul delapan pagi, saat siswa kelas 2-2 sedang sesi bebas pelajaran olahraga. Jadi wajar, beberapa terlihat keluyuran di kantin.
Sinar hangat mentari yang menyeruak—melewati celah-celah jendela kantin SMA Scouting—pun, tidak membuat hatinya hangat, hati Eren malah makin panas!
Dapat diingatnya dengan jelas soal— kejadian subuh tadi…
.
.
.
"Kau memang sengaja cari masalah, Eren. Tapi yah—" si jangkung berambut cokelat keabuan menatap makhluk dihadapannya dengan nista.
Mata emerald Eren membulat, mendelik padanya. Gertakan itu malah membuat senyuman si rambut cokelat keabuan makin merekah lebar. Bakat sado-nya kumat, sepertinya dia ketagihan—untuk membully Eren.
Singkatnya.
Pagi-pagi buta, demi apa Eren membuat buku tugas Antropologinya—yang musti dikumpul hari ini—basah? Dan untuk membayar kesalahannya, si mata emerald wajib mendapat hukuman, sementara Jean ngebut menyalin tugas milik Eren.
Miris memang.
Masalahnya, hukuman itu…
Berdiri dengan lutut, kedua tangan terangkat, punggung bersandar di dinding, dan posisi mulut mengigit pisang.
Silakan dibayangkan sendiri seperti apa situasinya.
"Sekali lagi kau melakukan kecerobohan, hukumannya bakal lebih dari ini— hmm— akan kulaporkan pada Sir Rivaille."
"Hmp— J- jangan, Krischtein!" Sekuat tenaga dengan mulut masih terjejal pisang Eren memohon.
Nah, sudah jelaslah siapa yang melakukan hal 'itu' pada Eren. Seorang Jean Krischtein.
"Sudah cukup, dan thanks buat contekannya," Jean ikut berlutut di depan Eren sambil menyodorkan buku tugas milik si rambut brunette. "Tapi, apa kau tau…? Posemu kali ini sungguh…"
Bulu kuduk Eren meremang ketika desahan napas Jean menggelitik telinganya.
"…mengingatkanku pada nyemot—"
Sialan kau, Krischtein!
.
.
.
Dan…
Demi apa dia bertemu dengan Jean Krischtein, dua kali, di pagi ini?!
Dalam sikon yang—lagi-lagi—kurang menguntungkan buat Eren.
"KAU SENGAJA MENUBRUKKU, HUH?!"
Eren yang tadinya mau meminta maaf, langsung membatalkan niatnya begitu mendapati sosok jangkung dihadapannya memasang wajah super senga.
"SALAHKAN PUNGGUNGMU YANG NUTUPIN JALAN!" balas Eren tak kalah senga.
"LIHAT APA YANG KAU PERBUAT, DODOL!" Jean memperlihatkan kaos olahraganya yang terkena noda nista dari Eren.
Lagi-lagi bahasanya ambigu sekali.
Sebenarnya, karena terlalu fokus pada nampan dan bubur hangat yang dibawanya, Eren 'tak sengaja' menubruk punggung Jean dan membuat gelas berisi teh hangat dalam gengaman Jean sukses tumpah membasahi kaos olahraganya. Beruntung nampan dan bubur Eren tidak ikut tumpah, Bertholdt sang wakil ketua kelas—yang juga ada di TKP—dengan sigap menarik Eren yang hampir jatuh.
Armin mengamati kejadian itu—sejak babak pertama—dengan cemas. Kontras dengan Connie yang cuek menghabiskan sandwichnya, tanpa memperdulikan adu mulut Jean dan Eren.
"MINTA MAAF NAPA?!"
Setelah menaruh buburnya di atas meja Armin dan Connie, si rambut cokelat balik menghadap Jean. Bertholdt bersiaga di antara mereka—kalau-kalau ada hal yang sudah diduga, bakal terjadi.
Yeah, perang dunia ketiga kembali dimulai. Apalagi selain perdebatan nggak jelas juntrungannya di antara Jean dan Eren, lalu berlanjut dengan aksi gelut tak tahu malu di antara keduanya. Dan seperti biasa, berujung dengan…
"Maaf—"
Jean melongo.
"Maaf." Eren berdecih. "Aku harus mengulang permintaan maaf sampai berapa kali?"
Bertholdt melongo. Armin melongo. Connie hampir keselek kalau nggak buru-buru nyamber air kendi di meja. Dita Ness—guru ekskul berkuda, ikut melongo bareng kudanya. Eh bukan ding, Shallot si kuda lagi nganga dikasih maem, bukan karena melongo.
Oh, sepertinya ada yang salah.
Kata maafnya tidak salah. Hanya saja, kata maaf itu berasal dari Eren buat Jean, dan itu berasa asing di telinga mereka.
Sebenarnya, ini bukan hal yang aneh—kalau saja mereka tahu. Eren kapok mendapat hukuman gigit pisang dari Jean—untuk kesekian kalinya. Tapi sepertinya, sejenak Jean juga lupa akan hal itu.
"Ada apa ini?"
Kelimanya menatap pria setinggi 160 senti yang baru saja hadir menghiasi kemesraan—perdebatan—Jean dan Eren.
"Sir Rivaille." Lagi-lagi kelimanya kompak menyebutkan nama sang wali kelas tersayang.
Tahu sendiri lah. Rivaille kurang suka ikut campur dengan hal remeh-temeh, tapi berhubung—lagi-lagi juga—hal ini disuguhkan dengan nyata di depan matanya, oleh kedua siswa ampuannya pula. Mau tak mau, pria tampan berekspresi minimalis itu ikut turun tangan.
Siapa yang tak kenal dengan Jean dan Eren?
Catat : Bukan karena prestasi, tapi keduanya terkenal sebagai pasangan mesra SMA Scouting. Di situ ada Jean, pastinya ada Eren, dan tentunya mesra dalam artian partner berantem bareng. Sebenarnya, perkelahian itu tak pernah diketahui guru maupun staff manapun—hanya siswa sekelas dan sobat mereka. Namun sepertinya, kali ini berbeda, Rivaille sang guru kelas yang terkenal killer dan kerap memberikan hukuman 'istimewa' untuk muridnya, menjadi guru pertama yang mendapati adegan romantis mereka.
Apakah hal ini akan membuat keduanya jera?
"Jelaskan padaku, Fubar." Seperti biasa, Rivaille dengan sifatnya yang langsung tepat sasaran.
"Ehm- Jadi—" Bertholdt menceritakan seluruh kronologis. Dari Eren memesan sarapan, hingga pemuda itu menubruk punggung Jean, membuat kaos olahraga Jean ketumpahan air teh, sampai pada scene Eren meminta maaf. "Begitu, Sir—"
Mata Rivaille tertuju pada Jean.
Sungguh Jean amat mengganggunya. Ehm, ralat— gangguan bukan sepenuhnya berasal dari Jean, tapi dari noda teh yang masih terlukis dengan indahnya di kaos olahraga Jean. Dan itu..
DAN ITU MEMBUAT RIVAILLE GREGETAN PENGIN NYUCIIN BAJU JEAN AMPE KINCLONG!
Sekinclong pakaian di iklan sabun cuci gitu.
"Jadi, persoalan kaos basah saja?"
"Tapi, Sir. Tidak mungkin saya ikut olahraga dengan kaos seperti ini," sambung Jean defensif.
"Kalau begitu, lepaskan kaosmu."
Eren, Bertholdt, Armin, Connie, termasuk Jean, meneguk ludah. Nyahok. Sir Rivaille dengan hukuman 'istimewa'nya. Kaos olahraga Jean memang basah, tapi dilepasin di sini? Plis deh— Walau nyatanya, mereka semua pernah lari-lari pake koloran doang, pas di kolam renang maksudnya.
"Tapi—"
"Tidak ada tapi-tapian, Krischtein!" Rivaille mengalihkan tatapannya pada Eren. "Dan kau, Yeager…"
"I- Iya Sir!"
"Kau juga, lepaskan kaosmu dan pijamkan pada Krischtein."
Nahlo, Eren juga kena.
"E- Eh—"
"Sekarang!"
Walau sekilas Eren mendelik pada Jean sambil membatin ketus, tak disangka-sangka dengan pasrahnya dia turuti request spesial dari Rivaille. Kaos olahraga yang terlepas bebas dari tubuhnya, langsung disodorkannya pada Jean—yang malah khusyuk melongo. Berdoa saja semoga itu mulut nggak sampai dihinggapi laler.
Empat orang remaja tanggung, plus satu orang pria yang kesemuanya masih jomblo, disuguhkan pemandangan badan polos Eren yang mengeluarkan aura samting—yang membuat perasaan salah satu (atau mungkin salah dua, atau salah tiga?) dari mereka jadi nggak jelas. Ah tenang saja, Eren memang melepas kaosnya, tapi celana olahraganya masih dia pakai kok. Yaeyalah.
"Nih!"
DUG—
Oh, suara debaran jantung seorang anak Adam.
"Hey, Krischtein!" Eren merengut. Kaos olahraganya masih tergenggam di tangan, tepat di depan dada Jean. Namun, si rambut cokelat keabuan tidak meresponnya, malah terus melihat wajah Eren dengan muka agak blushing. Eren tak perduli karena mungkin saja Jean lagi nahan mules.
DAG— DIG— DUG—
DUG DIG DAG DIG DUG DIG DAG— Suara sepatu kuda.
Lho? Jean sendiri heran. Entah kenapa debaran jantungnya bisa membuat Jean refleks bernyanyi—dalam hati.
Kesal dicuekin, Eren mengeluarkan jurus andalannya untuk menarik perhatian, dan..
AAAHHHHH—!
Cara kotor Eren berhasil. Semustinya, dia pantas mendapat applause karena berhasil membuat Jean Krischtein mengeluarkan teriakan ala seme puber.
"Kenapa kau malah menginjak kakiku?!"
Eren melemparkan kaosnya, alhasil kaos naas itu jatuh tepat mengenai muka Jean.
"Eren, kauu—"
"Krischtein."
Oh celaka, Jean hampir melupakan suara itu. Mana dia pakai teriak ala chara homoge dihadapan sang wali kelas segala. Nyahok.
"Lepas kaosmu dan berikan pada Yeager. Lalu, Yeager—" Rivaille menghela napas sekilas. "Cucikan kaos olahraga Krischtein sampai bersih, sekarang!"
Sambil manyun Eren menerima kaos olahraga Jean. Setelah minta ijin pada Rivaille, sosok Eren yang bertelanjang dada keluar dari kantin untuk segera melaksanakan titah Rivaille, mencucikan kaos olahraga Jean sampai bersih!
Si rambut cokelat keabuan mengawasi sosok Eren sampai sosok pemuda itu menghilang dibalik pintu kantin.
Rivaille menghela napas. Sepertinya ritual minum kopi pahit tiap pagi, kali ini harus dicancel. Hasratnya buyar seketika. "Walau sekarang jam bebas, kembalilah kalian ke kelas olahraga Hanji."
"Baik, Sir!" Keempatnya siap-siap beranjak dari kantin.
"Dan kau, Krischtein."
"I- iya, Sir?"
"Pulang sekolah, datanglah ke ruanganku. Kau dan Yeager—kalian berdua akan mendapat hukuman 'istimewa'."
Istimewa alias ambigu. Hukuman yang tak terdeteksi karena yang memberikannya adalah Rivaille.
Glek—
"B- baik!"
Sang guru dan ketiga temannya sudah meninggalkan kantin. Hanya tersisa Jean seorang. Ditatapnya kaos milik Eren. Setelah berdecak sekilas, bergegas dipakainya kaos itu. Postur Eren memang tak setinggi dirinya, walau begitu dia tahu betul kalau kaos olahraga Eren pasti muat di tubuhnya. Sewaktu kecil Eren sering bermain bersamanya, menginap di rumah Jean, tak jarang pula dia meminjamkan pakaiannya buat Eren, dan kali ini dia memakai kaos olahraga Eren.
Rasanya sungguh nostalgia.
Tapi pagi ini juga—dalam dua kali, dia membuat Eren naik pitam.
Ck—!
Jean mendecih kesal dan meninggalkan kantin dengan raut wajah kusut.
.
.
.
.
.
Trost. Enam tahun lalu.
"Di sebelah sini juga tidak ada, Eren."
"Di sebelah sini juga."
"Apa sebaiknya kita berpencar supaya lebih cepat? Tapi—" Erd—butler keluarga Krischtein—melihat sekeliling. Taman kota, tapi tampak buruk untuk menerima kehadiran bocah sepantaran Eren. Masalahnya, walau di luar terlihat asri, taman kota Trost terkenal sebagai tempat memadu kasih—di sudut-sudutnya, dan jika beruntung kau akan menemukan apa yang dimasudkan dengan 'itu'. "Apa… kau tidak apa-apa?"
Eren menggeleng tegas dan segera berlalu dari sisi Erd.
Pagi itu, hari kedua pasca kejadian di Shiganshina. Walaupun Eren sudah berulang kali menenangkannya, sang tuan muda tetap saja kembali pada pendiriannya. Jean juga masih bocah, seperti Eren, dan kabar mengenai Shiganshina masih belum dapat diterima dengan akal sehatnya. Posisi Eren sebenarnya sama, tapi tidak mungkin dia ikut bersedih bersama Jean karena bukankah hal itu malah makin memperburuk keadaan? Meski hati kecilnya tak dapat menampik kalau dia rindu pada—
Tapi dia juga tidak ingin membiarkan Jean terus bersedih, marah, sampai kabur dari rumah seperti sekarang ini.
"Tuan muda!" si rambut cokelat menelanjangi sekeliling. Sungguh dia tidak ingin berlama-lama di sini. "Tuan muda Krisch—"
Kresek—
Batin Eren mencelos hebat. Jangan bilang kalau baru saja dia mendengar suara yang benar-benar tidak ingin didengarnya. Taman ini kan—
Seharusnya dia menolak saran Erd—untuk berpencar mencari Jean, tapi ini juga tanggung jawabnya. Baru saja hendak bersiap meninggalkan tempat 'menakutkan' itu, tangan kecilnya tertarik kearah semak-semak.
Hampir saja dia berteriak, apabila tidak cepat menyadari sosok yang membungkam mulutnya—Jean.
"Tuan muda, apa yang— Kenapa Anda bersembunyi di sini? Saya dan Paman Erd—"
"Berisik, Eren!" Baru saja dia melepaskan bekapan tangannya, malah disambut protes. "Aku sudah tahu!" Jean membenamkan kepala di kedua lututnya.
"Kami semua mencemaskan Anda. Kita pulang sekarang ya?" Eren berlutut dihadapan sosok mungil Jean.
"Pulanglah sendiri. Dan tolong bujuk Erd agar tidak menyebar footman atau bodyguard untuk mencariku."
"Baiklah kalau itu yang Anda minta. Saya akan pulang sekarang juga!"
Batin Jean bagai tersayat-sayat. Dia bukan siapa-siapa yang bisa menahan kemauan Eren, walau sebenarnya dia tidak ingin Eren pergi dari tempat itu. Sosok ibunya, sosok tante Carla, sosok Marco, dan kabar dari Shiganshina terus saja menjejali pikirannya. Satu demi satu mencoba masuk hingga Jean merasa sesak. Biasanya, Marco ada di sini, sosok yang menghiburnya dikala sedih. Sayangnya, harapan tak seperti kenyataan, dia sendiri di sini. Sepi.
"Saya akan pulang sekarang juga!" Eren kembali menekankan.
Jean tidak bergeming dari tempat duduknya.
"Saya akan kembali ke kediaman keluarga Krischtein bersama Anda!"
Eh, apa yang barusan didengarnya?
Sontak tubuh Jean terasa terangkat. Sekuat tenaga Eren menarik kedua tangannya.
Jean salah. Dia tidak sendiri.
Ada Eren di sini.
Bersamanya.
Hening sejenak ketika sepasang muda-mudi melintas di depan semak-semak tempat mereka berdua sembunyi. Tidak ada yang aneh, mereka hanya bergandengan tangan. Namun terlihat si gadis menangis—entah karena apa—dan tiba-tiba tangisan itu terhenti ketika si pemuda mengecup keningnya.
Sebuah kecupan dapat membuat tangisan sirna, tergantikan dengan senyuman manis si gadis.
Lalu, keduanya beranjak pergi dari tempat Eren dan Jean berada—di balik semak-semak.
"Sebelumnya, saya mohon maaf—"
Eren memecah kesunyian dengan kalimat yang sukar ditangkap oleh Jean.
Minta maaf untuk apa? Bukannya dia yang semustinya meminta maaf?
Pertanyaannya langsung terjawab ketika puncak kepalanya di sentuh oleh—
Bibir mungil Eren.
Sekilas.
Apa yang…?
Dan lagi-lagi Eren menjawab pertanyaannya.
"Soal— apa yang pemuda tadi lakukan untuk menenangkan si gadis, sungguh menggelitik perasaan saya, untuk—" Sedikit perasaan bersalah menyempil di hati Eren. "...menenangkan tuan muda. Jadi maaf kalau saya—"
"Tidak."
"Eh?"
"Terimakasih. Perasaanku jadi lebih tenang sekarang."
Perkataan tulus dari Jean membuat senyuman Eren mengembang.
"Kita pulang sekarang, Tuan Muda."
Untuk kesekian kalinya Eren membuat sosok keras Jean jadi melunak. Tapi ada hal lain, sebuah perasaan ganjil menyempil dalam hati Jean yang belum terjawab saat itu juga.
.
.
.
.
.
"Pulang sekolah, datanglah ke ruanganku. Kau dan Yeager. Kalian berdua akan mendapat hukuman 'istimewa'."
Kalau saja itu bukan titah dari Sir Rivaille, Jean bakal langsung cabut balik ke asrama buat tidur.
Berasa nggak ada kerjaan banget?
Embeer—
Sedikit informasi, SMA Scouting merupakan sekolah sekaligus asrama—walau memiliki aturan yang cukup ketat, tidak mengharuskan murid di angkatan kedua dan ketiga untuk mengikuti kegiatan di luar sekolah semacam ekskul. Prioritas utama di SMA ini adalah mencetak prestasi di bidang akademis dan kedua barulah prestasi non-akademis, walau begitu SMA ini tetap mensupport kemajuan para siswanya dari segala aspek.
Yeah, lagipula Jean bukan tipikal ba-bi-bu yang demen kegiatan sepulang sekolah semacam ekskul, karena menurutnya hal semacam itu merepotkan. Toh, dia juga bukanlah Eren yang prefer berpanas-panasan dan rela bercucuran keringat demi kecintaannya pada eksul Basket.
Dan ngomong-ngomong soal Eren…
Entah kenapa, walau sendari tadi Jean mencarinya, sosok itu belum dia temukan juga.
Bukan mau berbaik hati mencari Eren, tapi kalau Eren sampai lupa akan hukuman Rivaille, Jean juga bakal kena batunya. Sial. Semustinya dia bilang soal hukuman itu pada Eren sendari tadi, jadi tidak usah susah-susah mencari cecunguk satu itu dengan susah payah seperti sekarang.
Sayangnya Jean gengsi.
"Oi, pangeran kalut!"
Sesosok tinggi semampai memanggil Jean yang sibuk bolak-balik menjelajahi koridor kelas 2—demi mencari seorang Eren.
"Jangan panggil aku seperti itu—" Jean menghampirinya. "Ymir."
Sebenarnya, ada alasan jelas sampai Ymir memanggilnya seperti itu.
Namun, secara refleks Jean menjaga jarak begitu dilihatnya sosok Mikasa berada tak jauh dari Ymir—sepertinya sedang berdiskusi dengan beberapa teman—di meja guru.
Mikasa, sosok yang sampai sekarang—walau sedikit—masih menyempil di hatinya. Jean menyukai Mikasa dan pernah menembaknya dua kali, namun terus berujung dengan penolakan. Menurut kabar angin, Mikasa menyukai Eren. Meski kenyataannya si pemuda bermata emerald menyukai Mikasa hanya dalam porsi seorang teman, tidak lebih. Itu jugalah yang membuat Jean kesal dan tanpa kompromi—kerap—memancing kekisruhan dengan Eren, hal kecilpun bisa menjadi besar. Naas memang, hari ini mereka apes. Aksi gelut itu berujung dengan bonus 'hukuman' dari Sir Rivaille sebagai penutup acara.
Meski dia sadar betul, kesesalannya pada Eren tidak hanya berawal dari situ, tapi…
"Haha—" Ymir nyengir kuda. "Kau mencari Eren?"
Dahi Jean bekernyit.
"Ehm, yah— perlu kau tahu kalau aku punya sixthsense."
Sayangnya, Jean tidak menggubis lawakan ala Ymir.
"Bercanda, wajahmu jangan dibuat kusut gitu dong." Si gadis berambut hitam memperkecil volume suaranya. "Aku dikasih tahu sama Bertholdt!"
Sialan.
Bertholdt dan mulut embernya.
Tapi berhubung Ymir—sepupu Bertholdt—demen sama gosip, Jean memaafkan Bertholdt karena dia yakin betul kalau Bertholdt-lah yang dipaksa membocorkan soal kejadian di kantin tadi pagi.
Yasudahlah.
"Kudengar, kalian bakal dapat hukuman 'istimewa' dari Sir Rivaille."
Jean menghela napas. Dia tak sanggup memikirkan hukuman yang akan diberikan oleh Rivaille.
"Kalau kau mencari Eren, eh- tadi aku sempat berpapasan dengan Armin, sepertinya dia menuju ke tempat Eren di halaman belakang. Dia bilang, Eren sedang menunggu jemuran kering, huh? Maksudnya apa?"
Untuk apa Armin menemui Eren?
"Bukan apa-apa." Jean hendak berlalu, menoleh ke arah Ymir sekilas. "Oh ya, thanks— dan kalau kau mencari Christa, dia sudah lebih dulu pergi ke ruang klub drama bersama Sasha."
Sama sepertinya, Jean juga bisa membaca pikiran Ymir—yang membuat gadis itu nyengir kikuk.
"TATAKAE JEAN!"
Ymir berteriak lantang disela-sela kepergian Jean, namun si rambut cokelat keabuan tak menggubrisnya. Ymir apabanget—
.
.
.
.
.
Benar saja.
Persis seperti yang dikatakan Ymir, ada Armin di situ. Si pemuda berambut blonde tertawa garing mendapati kedatangan Jean—takut kalau aksi yang barusan dia lakukan tertangkap basah.
"Ada apa, Jean?"
Mata cokelat keemasan Jean menatap Eren yang tidur terduduk sambil bersandar pada dinding—seragam Eren nampak basah karena keringat, tatapan mata itu beralih pada kaos olahraga miliknya ada dalam genggaman Eren, dan pandangan mata itupun terhenti pada sosok Armin.
"Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kau lakukan di sini?"
Armin menggaruk-garuk pipinya dengan gelagat aneh.
"Apa yang kau sembunyikan di balik punggungmu?"
"Oh, hanya kamera." Armin memperlihatkan benda yang dibawanya.
Yeah, dia tahu betul kalau Armin ketua klub koran sekolah. Tapi yang jadi masalah, Jean masih penasaran dengan tujuan Armin ada di situ.
"Kau merencanakan sesuatu…" Jean mengambil jeda sejenak. "Pada Eren?"
"Kh— Pertanyaan macam apa itu?" yang ditanya malah tertawa kecil. "Kau bisa lihat…"
Pandangan Jean mengikuti sosok Armin yang membungkuk di hadapan Eren—dalam posisi masih tertidur.
"Wajahnya polos sekali. Apa kau akan melakukan sesuatu kalau dia kenapa-napa—walau kalian malah lebih sering bertengkar?"
Hanya tinggal sejengkal tangan, bibir Armin hampir menyentuh kening Eren. Armin tertawa. Dia nampak puas menjahili Jean, dan membuat wajah si rambut cokelat keabuan menjadi kusut.
"Jagalah Putri Tidur untukku. Kalau kau nggak bisa menjaganya dengan baik, akan kuculik dia dari sisimu."
"Apa maksudmu?"
"Aku pergi dulu, berjuanglah untuk menjalani hukuman 'istimewa' dari Sir Rivaille. Semoga, kalian nggak jadi 'belok' setelahnya."
Jean masih dalam posisi sukar mencerna kata-kata Armin. Dan, baru saja Armin berlalu, Eren terbangun—setengah sadar sambil mengucek-ucek matanya.
Miris memang, dia tak menyadari kalau keningnya 'hampir' saja dilumat Armin. Tapi seandainya, Armin melakukan aksi 'lebih dari itu' pada Eren—tanpa disuruhpun—Jean tak akan tinggal diam.
Tunggu!
Buat apa dia melindungi Eren?
Memang Eren—bisa dianggap—sobat masa kecilnya, tapi mereka kan bermusuhan. Tapi tak bisa dipungkiri, kecupan 'nyaris banget' dari Armin di kening Eren tadi membuat perasaan Jean menjadi campur aduk. Yeah, Armin hampir mengecup kening Eren, dan itu—
Menyebalkan!
Entah kenapa dia jadi teringat kejadian enam tahun lalu. Eren mengecup keningnya karena saat itu Jean kalut luar biasa. Ajaibnya, kecupan itu membuat perasaan Jean menjadi lebih tenang.
"Uhn— Kirschtein?" Eren mencoba bangkit dan melihat ke sekeliling. "Ah, kaosnya—"
"Ada padaku." Jean memperlihatkan kaos olahraga miliknya, lalu mengaitkan kaos itu di pinggangnya. "Tapi aku nggak akan berterimakasih padamu."
Aku juga tak akan melakukannya, batin Eren mencelos.
"Sebaiknya kita pergi sekarang untuk menerima 'hadiah'—"
Alis Eren naik sebelah.
"Kau pikir hukumanmu hanya mencuci baju? Sepulang sekolah kita masih harus menerima hukuman 'istimewa' dari Sir Rivaille."
"Kenapa nggak bilang dari tadi?!"
"Kau sendiri tidur pulas! Pasrah banget, macam orang yang minta diraep!"
"Hah? Apa katamu—?" Eren menatap Jean dengan wajah tegang, matanya membelalak. "Kau… Apa yang kau lakukan sewaktu aku tidur?"
Gantian Jean melotot. Semisal iyapun, Armin-lah yang 'hampir' melakukannya, dan bukan Jean!
"Demi Titan Lekong! Aku nggak ngapa-ngapain kamu, Eren! Arggh—! Buat apa aku malah berdebat denganmu kalau hukuman Sir Rivaille masih menunggu di sana?!" tanpa kompromi, Jean berlari meninggalkan Eren.
"Ah! Tunggu aku, Krischtein!"
.
.
.
.
.
Dan…
Sampailah mereka di depan pintu kayu yang nampak berat—ruangan Rivaille.
"K- kau siap, Krischtein?"
Pertanyaan Eren lebih mirip mempelai gugup yang akan memasuki altar perkawinan.
"Kau meledekku, huh?" Keringat sebiji jagung jatuh di pelipis Jean.
Mereka tahu betul hukuman yang diberikan Rivaille pada murid-murid didiknya—yang melakukan kesalahan fatal—terlalu ajaib! Namanya juga, hukuman 'istimewa'. Para siswa kenal betul dengan istilah menakutkan tersebut.
Contohnya saja Reiner. Sewaktu dia telat masuk kelas dan berusaha memanjat tembok sekolah. Christa mengetahui aksinya, tapi tidak melapor pada guru. Sayangnya, rahasia itu tak bertahan lama, murid lain memberitahukan rahasia Reiner dan Chirsta. Alhasil keduanya mendapat hukuman 'istimewa' dari Rivaille. Reiner diharuskan berteriak-teriak di tengah lapangan sambil berkata, 'AKU CINTA KAMU CHRISTA!', sedangkan Christa yang menjadi partner berjemur di lapangan menahan malu karena hal itu. Tapi untunglah, mereka batal jadi bahan gosip karena Ymir dengan tenaga kulinya siap sedia menghajar siapapun yang berani mengaku cinta pada Christa—termasuk Reiner, walau itu adalah hukuman dari Rivaille.
Ymir masih beruntung, aksi tonjok-menonjoknya tidak sampai mendapat hukuman 'istimewa' ala Rivaille karena wali kelasnya adalah Hanji yang memberikan hukuman 'khas' lain, seperti minum jamu—yang menurut kabar, rasanya amburadul karena itu racikan Hanji sendiri—selama seminggu dengan tambahan bertumpuk-tumpuk paper, selama Ymir diskors. Entah lebih sadis mana?
Lalu ada Armin dan Connie yang mendapat hukuman tidur bareng selama seminggu. Sebenarnya tidur bersamanya tidak apa-apa, tapi yang jadi masalah, tidur 'harus' dalam posisi kelonan bareng dengan menempatkan mereka dalam kamar khusus yang dipasang CCTV. Jadi, kalau mereka menolaknya atau berbuat aneh-aneh, semua akan terekam dalam CCTV. Seminggu setelah hukuman, malah berakibat aneh pada mereka. Keduanya jadi lebih akrab—bisa juga dibilang mesra.
Jean dan Eren meneguk ludah.
"P- permisi, Sir." Eren mengetuk pintu kayu beberapa kali.
Tak ada jawaban.
"I- ini kami, Krischtein dan Yeager."
Terdengar langkah kaki, pintu berderit, lalu terbuka. Muncullah sosok minimalis—baik eskpresi maupun tinggi badan—Rivaille dari balik pintu.
"Masuklah."
Segera mereka mengikuti perintah sang guru terhormat. Pintu kembali ditutup.
Ruangan itu rapi—nampak sekali jika Rivaille rajin membersihkannya, tapi hal tersebut tidak membuat Jean dan Eren merasa nyaman. Jantung mereka berdegup tak beraturan, menanti hukuman perdana dari Rivaille—yang katanya istimewa.
"Minta maafpun tidak akan kuterima," Rivaille bersandar di meja dengan kedua tangan terlipat di depan dada sambil menghadap ke arah dua murid didikannya. "Tapi, aku akan membuat penawaran—"
Wajah keduanya memucat.
"Kau ingin hukuman apa, Krischtein?"
"I- itu—"
Eren menatap pemuda di sampingnya dengan ekspresi tegang.
"Hukuman berat atau ringan?"
"R- ringan, Sir!"
Mau berat atau ringan, semuanya 'jelas-jelas' jebakan Rivaille. Tapi, tak menjawab sama saja makin mempersuram keadaan. Yah memang, tak ada jawaban yang tepat untuk pertanyaan Rivaille. Setidaknya, 'ringan' lebih baik dari 'berat', bukankah begitu?
Dan kedua anak Adam dihadapannya sadar betul, baru saja sang guru terhormat menaikkan bibirnya—Rivaille tersenyum—walau hanya 0,00000001 senti!
Oh—
Jean membuat Rivaille puas.
Maksudnya,' jawaban' dari Jean membuatnya puas.
"Dan kau Yeager—"
"I- iya, Sir!"
Gantian Jean menatap Eren. Wajah Jean tak kalah tegang.
"Setuju dengan pendapat, Krischtein?"
Eren mengangguk.
"Kuminta, kau dan Krischtein berpelukan."
Inikah yang dinamakan hukuman ringan?
Melihat Jean yang malah terbengong-bengong—dengan inisiatifnya—Eren merangkul bahu Jean dengan sebelah tangan hingga membuat badan jangkung Jean hampir terjengkang.
"Yeager, kau sudah SMA— Ck! Apa harus kuajari agar kau bisa membedakan antara pelukan dan rangkulan?" Rivaille menyulut protes. "Hei, Krischtein. Kau dengar ucapanku?"
Sepertinya, teguran Rivaille sukses membuyarkan pikiran Jean yang tadinya blank sepersekian detik.
"Anda serius?"
Tak ada jawaban dari Rivaille. Hanya ada wajah datar dengan aura menusuk, siap melumat siapapun yang membangkangnya—termasuk Jean.
Si rambut cokelat keabuan menafsirakannya sebagai jawaban 'iya'.
Entah, memang otak Jean lagi konslet atau apa, sekelebat pikiran melintas dibenaknya.
Rasanya kalau pelukan itu dilakukan bersama Eren, tidak jadi masalah.
Di sisi lain, batin Eren bergumul hebat.
Haruskah drama kelonan Armin dan Connie terulang?
Sebenarnya dia sudah berusaha menjauhkan tangannya yang masih mengelayuti bahu Jean, tapi si rambut cokelat keabuan malah menarik tangan Eren untuk kembali ke posisi semula—di atas bahu Jean, dan tak membiarkan rangkulan tangan Eren lepas dari situ barang sekejap saja.
"E- eh, Krischtein. Soal ini kau nggak serius kan…?"
Raut wajah Jean saat itu menakutkan, lebih mirip orang kerasukan—penuh nafsu.
Sekuat tenaga Eren mencoba mundur, namun Jean dengan kasarnya mengunci gerakan tangan Eren yang satu lagi. Dalam sekejap, tangan kanan Jean berpindah ke rambut brunnete Eren, perlahan diselusurinya helaian rambut itu dengan jari-jarinya, ada sensasi yang menggelitik dalam diri Eren ketika jemari besar Jean terhenti di sekitar tengkuknya, dan—
BRAK—!
Pintu masuk ruang kerja Rivaille terbuka lebar.
"Rivaille! Aku sudah membawakan—" omongan Hanji terhenti begitu mendapati pemandangan ganjil dihadapannya. Posisi Jean dan Eren saat itu sungguh nanggung dan awkward, membuat siapapun—minus Rivaille—yang melihatnya, pasti berpikiran yang 'iya-iya'.
Wajah Jean dan Eren pucat pasi. Semisal Hanji menyebarkan soal ini, nama baik mereka bisa langsung coreng moreng dalam hitungan jam—di antara teman-teman sekelas, bahkan satu sekolah.
"Apa yang sedang terjadi? Jelaskan padaku, Rivaille!"
.
.
.
.
.
TEBECE
.
.
.
.
.
OMAKE
Eren kembali ke kantin masih dengan bertelanjang dada. Entah itu cuek, lupa, atau dia sudah lelah karena mencucikan kaos olahraga milik Jean yang noda nistanya tak mau hilang.
Sama saja seperti 15 menit yang lalu, kantin masih sepi—lagipula ini masih pagi, hanya ada Reiner dan Bertholdt—ketua dan wakil ketua kelas 2-2—di pojokan. Biasanya sih ya, kalau mojok-mojok begitu, mereka lagi main UNO bareng tanpa sepengetahuan guru.
Dan seperti yang sudah diduga, Bertholdt berhasil membuat Reiner kalah telak dengan wild card-nya.
Tapi Eren kan tidak bermaksud menonton aksi mojok berdua mereka.
"Kau lihat buburku nggak?"
Eren membuat kokoro terharu karena bubur yang dibawanya, bukan semata-mata cameo buat fic belaka. Eren menghargai makanan apapun—terlebih masakan ibunya.
"Tadi aku taruh di atas meja Armin, sebelum Sir Rivaille memintaku mencucikan kaos olahraga milik Krischtein. Tapi sekarang, buburnya nggak ada—"
Bertholdt mencoba mengingat-ingat. Masalahnya, dia diminta kembali ke pelajaran olahraga bersama Armin dan Connie—suram karena Reiner yang beralasan minta ijin ke UKS malah mengajaknya main UNO bareng di kantin. Sama sekali dia tak bisa mengingat soal bubur.
"Jean yang menghabiskannya," timpal Reiner masih berkutat dengan tumpukan UNO.
"Oh, Krischtein yang—" Eren menggebrak meja hingga kartu yang disusun Reiner berserakan. "Krischtein menghabiskan buburku?!"
"Ketimbang nggak ada yang makan, bisa mubazir katanya."
"…"
Yah, mau gimana lagi, Eren terima nasib saja.
Lho, Eren pasrah?
A/N Haluuu 'v')/ Saya author baru—walau akun sudah cukup lama—di sini.
Memang agak sesuatu coz Eren manggil nama Jean : 'Tuan Muda Krischtein' /ahem/
Sebenarnya dari awal, saya gregetan sekali pengin nulis soal chara SnK dan entah kenapa WB melulu sampai kokoro nyesek _(:3 Dan alhasil, Jean-Eren yang jadi OTP di fic pertama saya ww
Tapi ternyata, masih banyak yang belum terjawab... dan soal reaksi Hanji selanjutnya... apakah...
Alhasil ceritanya jadi TEBECE—padahal baru dimulai /plak/ Dilanjutkah atau...? /guling-guling/
Maaf kalau ceritanya gaje gini dan ada salah-salah kata, sekian dulu dari saya u,u RnR?