semua karakter dalam cerita ini adalah milik mangaka tercinta kita, Masashi Kishimoto

gambar untuk cover ff ini adalah karya author kece, teman penulis seperjuangan saya, Daniyal Sheva :'D

dan ide cerita ini adalah milik saya :P


untuk SasuSaku fans

dari dandelion yang membuatku jatuh cinta

.

.

.

Seorang gadis kecil berlarian di hamparan padang rumput kaki bukit. Rambut pendek merah muda yang dibingkai pita merah besar melompat-lompat seiring lonjakan tubuh mungilnya. Langkah sepasang kakinya membelah rerumputan yang tumbuh sedikit lebih tinggi di atas mata kakinya. Sembari tertawa riang, tangannya menggapai sepasang kupu-kupu yang tengah memadu kasih di udara. Tak peduli dua kupu-kupu cantik itu terbang semakin tinggi, gadis kecil itu melompat berusaha menangkapnya dengan kedua tangannya yang pendek. Gelak tawanya memenuhi keheningan padang rumput di kaki bukit itu.

Tubuh mungilnya jatuh tersungkur ketika melompat lagi. Rerumputan lembut yang tumbuh lebat di atas tanah melindunginya dari rasa sakit. Dia tidak menangis, namun tawa riangnya terhenti. Sepasang matanya yang bening sewarna zamrud menatap setangkai bunga kapas putih di depan wajahnya. Bunga yang belum pernah dilihatnya seumur hidup. Setangkai bunga yang tumbuh di antara hamparan padang rumput luas di sekelilingnya. Tampak kesepian.

Gadis kecil tak dapat menahan diri untuk memetiknya. Diperhatikannya bunga kapas itu. Rapuh. Putik-putiknya yang berbulu rontok di tangannya. Gadis kecil mencabutinya helai demi helai.

"Bukan begitu caranya," kata seorang anak laki-laki yang entah sejak kapan berdiri di belakangnya. Anak laki-laki kurus, kulit putihnya yang nyaris pucat seolah-olah transparan ditembus cahaya jingga mentari yang sebentar lagi tenggelam. Rambutnya yang hitam kebiruan tumbuh lebat di kepalanya yang berbentuk sempurna. Anak laki-laki yang tampan.

"Bukan begitu caranya memperlakukan dandelion," katanya lagi.

Gadis kecil menautkan alis. "Dandelion?"

"Ya, nama bunga ini dandelion. Kau tidak tahu?"

Gadis kecil menggeleng dengan wajah polos.

Anak laki-laki itu merebut bunga kapas dari tangan gadis kecil. Mendekatkannya ke wajah, meniup putik-putik bulu di kelopak hingga lepas satu per satu bersamaan dengan udara yang berembus dari mulutnya. Terbang bebas ke udara. Bersatu dengan arus angin yang bertiup ke angkasa.

"Indah sekali..." Gadis kecil menatap terpukau tanpa kedip. Membayangkannya seperti balon-balon sabun yang ditiupkan dari ujung sedotan. Keindahan itu membuat gadis kecil ketagihan. Dia menginginkannya lagi. Setangkai bunga kapas dipetiknya lagi, kemudian menyerahkannya pada si anak laki-laki. "Lakukan lagi."

"Kenapa tidak tiup sendiri?"

Gadis kecil menggeleng. Menyusul sebuah senyum lebar merekah di antara kedua pipinya yang tembam kemerahan.

"Aku ingin jadi dandelion. Kau jadi angin-nya."

Anak laki-laki itu tampak tidak mengerti apa yang dikatakannya. Namun permintaan si gadis kecil dituruti. Putik-putik bulu ditiupkannya lagi, membawa mereka melayang tinggi ke udara. Bersamaan dengan itu senyuman ceria di wajah gadis kecil tak pernah pudar. Pelan-pelan sebuah senyum turut melengkung di wajah anak laki-laki.

Di ujung padang ilalang, seorang wanita melambaikan tangan ke arah kedua anak itu. Gadis kecil membalas lambaian tangannya, mengatakan bahwa dia akan segera ke sana. Tapi sebelum itu, dengan wajah menyesal dan berat hati gadis kecil mengucapkan salam perpisahan pada anak laki-laki.

"Aku harus pulang. Nanti kita main lagi, ya?"

Anak laki-laki itu tidak mengatakan apa-apa, selain menyerahkan buku sketsa padanya. "Ini untukmu."

"Apa ini?"

Gadis kecil menatap gambar setangkai bunga dandelion di tengah padang ilalang dengan beberapa helai putik bulunya terbang terbawa angin. Gambar pensil yang indah. Membuat mata zamrudnya membulat besar, tak berkedip selama beberapa saat.

"Ini benar untukku?" Gadis kecil menatap tak percaya.

Anak laki-laki mengangguk. "Simpan saja kalau mau."

Sebuah senyum bahagia yang sama seperti saat gadis itu menatap putik-putik dandelion terbang ke udara kembali melengkung di wajahnya.

"Sampai jumpa lagi, Angin."

Anak laki-laki tidak mengatakan apapun lagi. Diam saja, menatap sosok gadis kecil yang berjalan semakin jauh seiring tenggelamnya matahari.

.

.

.

"Terbanglah dengan sayap-sayap impianmu mengembara di udara, berdansa dengan angin menjelajah angkasa, dan tumbuh di tanah manapun tempat kau ingin tumbuh, menjadi jiwa baru, seperti dandelion."


The Wind And Dandelion


Bagian 1

Aku terjaga dari lelap ketika kudengar ketukan di pintu kamarku.

"Nona Sakura," panggil Konan dari luar.

Aku melirik jam digital di atas meja lampu, pukul delapan. Baru dua jam berlalu sejak aku merebahkan tubuh di atas ranjangku yang nyaman dan hangat. Kini kenyataan bahwa dua jam lagi aku harus tampil cantik di depan kamera sebuah acara televisi, mengusik hidup-damaiku yang sangat langka kudapatkan.

"Sandwich isi tuna, seperti pesanan Nona," kata Konan saat meletakkan nampan berisi sarapan pagiku di atas meja dekat tempat tidur. Setelah memastikan apakah Konan mengerjakan keinginanku dengan persis, barulah aku mau menyantapnya.

"Sudah membuat jawaban untuk pertanyaan wawancara nanti, Nona?" tanya Konan setelah sandwich selesai kuhabiskan.

Aku baru ingat soal itu. Aku bahkan belum membaca satu pertanyaan pun dalam naskah yang diberikan Konan tadi malam. Rasa lelah setelah semalaman syuting untuk iklan mobil sport tak memberiku kesempatan untuk sekedar menengok naskah itu.

"Belum. Kujawab spontan saja nanti," jawabku enteng. Tapi jelas bagi Konan itu bukan hal sepele.

Dengan lincah seperti biasa dia menyerbu kamarku, mencari-cari naskah pertanyaan yang aku sendiri tidak ingat menyimpannya di mana. Dia perlu menemukan naskah itu sebelum jadwal keberangkatan kami ke studio Channel 9. Meski tertekan oleh keadaan, Konan selalu bersikap tenang dalam tindakannya; bergerak mencari ke setiap sudut kamarku tanpa sedikit pun membuatnya berantakan. Tapi kemudian usaha Konan terganggu oleh panggilan masuk di ponselnya.

Akhirnya kukatakan biar aku saja yang mencari naskah itu sendiri. Konan tampak ragu, tapi aku berhasil meyakinkannya. Kemudian dia pergi sebelum mengingatkanku bahwa kami sudah harus berangkat satu jam lagi.

Alih-alih menemukan naskah pertanyaan, mataku menangkap sebuah buku sketsa usang di dalam laci paling bawah meja tulis. Buku sketsa yang hanya ada satu-satunya gambar di halaman paling akhir. Setangkai bunga dandelion dengan beberapa helai putik bulunya diterbangkan angin ke udara. Digambar indah dengan pensil. Ini gambar anak laki-laki di padang rumput waktu itu. Anak laki-laki yang meniupkan helai-helai dandelion untukku. Seperti mimpiku tadi malam.

Tanpa sadar jemariku bergerak mengusap dandelion di atas kertas. Sudah lama sekali aku tidak melihatnya. Aku bahkan lupa pernah memiliki gambar ini. Sepertinya muncul semacam perasaan rindu di dadaku. Entah rindu pada bunga-bunga kapas di kaki bukit sepuluh tahun yang lalu, atau rindu pada anak laki-laki itu. Entahlah.

Selama ini aku tak pernah memikirkannya. Hari itu adalah yang pertama, juga yang terakhir kalinya aku bertemu dengannya. Anak laki-laki berkulit pucat. Aku memanggilnya Angin. Aku menahan tawa mengingat itu, entah apa yang kupikirkan dahulu. Sudah seperti apa dia sekarang, ya? Apakah masih suka menggambar?―Setelah melihatnya lagi kali ini, aku baru sadar gambarnya terbilang bagus untuk ukuran anak delapan tahun. Mungkin dia sudah jadi salah satu dari jajaran pelukis terkenal yang setiap hari memajang karya lukisannya di galeri pusat kota. Tiba-tiba saja aku penasaran dengan artis-artis dua dimensi itu.

Suara berdeham Konan di bawah bingkai pintu kamar mengalihkan perhatianku. Wanita pemilik rambut biru itu menunjukkan naskah pertanyaan di tangannya yang (tidak) kucari dari tadi. "Tertinggal di mobil," katanya singkat. Aku pura-pura tersenyum lega, sekedar menunjukkan sikap penghargaan atas usahanya menemukan benda yang kuharap hilang betulan itu.

"Sebaiknya Nona cepat-cepat bersiap. Kita berangkat tiga puluh menit lagi," kata Konan sebelum meninggalkanku.

.

.

.

Orang yang mengantre di depanku pergi membawa senampan makan siangnya. Giliranku maju dan memesan pada pelayan di balik konter. Aku menyebut burger dan kentang goreng, ditambah minuman soda dalam gelas styrofoam—menu makan siangku hari ini. Bukan menu macam-macam yang biasa kuminta pada Konan. Ini cuma restoran cepat saji. Setelah itu aku duduk di meja terpojok yang kebetulan baru saja ditinggalkan sepasang anak berseram sekolah—mereka pasti sedang membolos mengingat ini masih tengah hari. Munafik. Kalau memang tidak mau sekolah, katakan pada orang tua kalian. Oke, cukup dengan anak-anak itu. Aku duduk di meja ini sembari mengedarkan pandangan ke seisi restoran dari balik kacamata hitam. Tak ada yang memperhatikanku. Baguslah.

Aku melepas kacamata—tapi tetap memakai topi untuk menyembunyikan rambut merah mudaku—lalu menghabiskan makan siang.

Tapi pria yang duduk di meja dekat konter itu aneh. Sejak kuperhatikan, dia terus melihatku dari atas bingkai kacamata gelapnya. Kumis hitam dan lebat menambah kesan seram wajahnya. Tapi bukan wajahnya yang menarik perhatianku. Di lehernya terkalung tali besar yang menjuntai ke bawah dada, menggantung sesuatu di bawah meja. Kamera. Dia paparazzi!

Aku tahu harus segera pergi dari sini. Kutinggalkan burger yang baru separuh kugigit di atas meja. Langkahku besar-besar menuju pintu keluar. Aku menoleh paparazzi itu—tepat saat dia membidik kamera ke arahku. Sial!

Karena terburu-buru, aku menabrak gadis kecil yang melintas di depanku. Aku tak sempat melihatnya, tak sempat mengerem langkah agar tidak menubruknya. Nampan makanan yang dibawanya tumpah berserakan di lantai.

"Maafkan aku, oke?" kataku sambil lalu. Mana sempat membantunya membereskan makanan yang tumpah, apalagi menggantinya.

Tapi lenganku ditahan oleh seorang pemuda. Mata obsidiannya menatapku tajam. "Mana tanggung jawabmu, Nona?"

Aku berusaha melepaskan cengkraman tangannya. Kuat sekali. "Tanggung jawab apa?" tanyaku ketus. Laki-laki itu tersenyum simpul sembari menggeleng-geleng. Melihatnya membuatku bertambah sebal. Dia juga belum mau melepaskan lenganku.

"Setelah menumpahkan makanan milik seorang gadis kecil yang tak berdosa, kau mau pergi begitu saja?"

Aku berdecak kesal. Kurogoh kantung belakang celana jeans-ku dan mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu yen. Menyodorkan padanya. "Ini. Beli saja lagi. Aku sedang buru-buru—"

Pemuda berambut sehitam gagak ini merampas uang di tanganku, menyodorkannya kembali padaku—tepat ke depan wajahku. Tatapannya masih sama. Tajam dan dingin. "Uangmu tidak berarti apa-apa, Nona. Kau tidak tahu bagaimana caranya bersikap baik, ya?" Intonasinya bicara bahkan lebih menyakitkan dari tusukan-tusukan es yang dilancarkan lewat sepasang matanya.

"Sakura!"

Gadis kecil yang sejak tadi diam saja setelah kutumpahkan makanannya, tiba-tiba berseru dengan suara mencicit nyaring—dia berhasil menarik perhatian orang seisi restoran, lebih-lebih dari insiden akibat ulahku sebelum ini. "Kakak Sakura yang di iklan coklat itu, kan? Iya, kan?" Wajahnya sumringah.

Ya. Kau pandai sekali mengenali orang yang sedang menyamar, Gadis Kecil. Tapi ini bukan saatnya beramah-tamah pada penggemar. Orang-orang sudah terlanjur mengetahui identitasku. Mereka bangkit dari meja, hendak mengerubungiku. Aku harus cepat-cepat kabur.

"Bukan! Kau pasti salah orang," kataku, sembari menghentak keras lenganku agar cengkraman lelaki itu terlepas. Setelah itu aku melesat keluar.

"Hei!" panggil lelaki itu.

"Tunggu, Kak Sakura! Aku cuma mau minta tanda tangan!" suara gadis kecil itu terdengar sampai aku keluar dari restoran.

Jauh di belakang, dari balik dinding kaca restoran itu kulihat orang-orang membubarkan diri. Kembali ke meja makan masing-masing karena gagal ber-meet–and–greet dadakan denganku. Gadis kecil itu juga sudah berbalik. Aku hanya bisa melihat punggungnya. Pemuda menyebalkan yang mencengkram lenganku tadi menuntunnya. Tapi pria paparazzi tadi keluar dari restoran, hendak mengejarku. Oh! Benar-benar deh!

Aku kabur lagi seperti yang sudah-sudah. Tiap kali bertemu dengan paparazzi di jalan, atau di restoran seperti tadi, atau di tempat umum mana saja. Ini membuatku semakin andal dari waktu ke waktu dalam urusan melarikan diri. Masuk ke toko pakaian. Berganti penampilan dengan pakaian baru. Lalu keluar menjadi orang lain. Ini memberiku cukup waktu untuk melepaskan diri selama paparazzi terkecoh sehingga tidak mengenaliku lagi—untuk sementara waktu saja. Entah bagaimana menjelaskannya, mereka itu selalu bisa mengenali targetnya.

Aku menghentikan taksi yang lewat di depan toko pakaian tadi. Cepat-cepat masuk. "Konoha Garden Blok 2, Apartemen Shirotama," kataku pada supirnya.

"Sepertinya ini hari keberuntunganmu, Nona Selebriti."

Suara supir ini terdengar tak asing. Belum sempat aku mengingat-ingat di mana pernah mendengar pria bersuara yang sama, si supir menoleh ke belakang. Ke bangku penumpang tempatku duduk. Astaga! Mataku melotot. Laki-laki yang menjadi supir taksi ini adalah orang yang sama dengan laki-laki yang tadi mencengkram lenganku di restoran cepat saji.

"Aku turun saja!" Mati-matian aku menarik kunci slot pintu. Dia menguncinya dari depan. "Hei!"

Sepasang mata obsidiannya menatapku lewat kaca spion tengah. "Bukankah kau mau ke Apartemen Shirotama? Aku akan mengantarmu. Tenang saja, ini bukan penculikan."

Aku terjebak sudah. Taksi ini melaju kencang memasuki jalan bebas hambatan. Aku tak bisa teriak—tak ada yang akan memperhatikanku dalam kecepatan seperti ini. Dan aku takkan pernah mau ambil resiko lompat keluar dari jendela. Jatungku berdebar-debar. Takut. Entah mengapa aku merasa takut. Laki-laki ini aneh. Aku menangkapnya beberapa kali mencuri pandang lewat kaca spion. Matanya yang hitam sekelam malam itu seolah menyimpan sesuatu yang membuatku takut. Jangan-jangan dia benar mau menculikku….

.

Aku mengeluarkan ponsel. Lalu mengancamnya, "Hentikan mobil sekarang. Atau aku hubungi polisi dan melaporkanmu sebagai pelaku penculikan, Tuan―" aku melirik kartu–indentitas–supir-nya yang diletakkan di atas dasbor, "―Uchiha Sasuke?"

Mobil tiba-tiba mengarah ke tepi jalan dengan mulus. Kecepatan turun perlahan hingga akhirnya kami berhenti tepat di depan sebuah salon khusus anjing. Aku tersentak mendengar bunyi 'klok' di samping kiriku—kunci slot pintu baru saja dilepasnya. Aku mengembus napas lega. Kupikir dia benar-benar akan nekat menculikku.

"Ini," kusodorkan dua lembar uang sepuluh ribu yen padanya setelah melihat angka-angka di display argo.

"Simpan uangmu. Tidak usah bayar," ucapnya tanpa intonasi apapun.

Aku berdecak tak sabaran. "Aku tidak mengerti maksudmu. Tapi aku tidak menerima penolakan. Aku tidak biasa naik taksi gratis—"

"Tidak semua bisa kaubayar dengan uang, Nona," katanya lagi tanpa menoleh sedikitpun padaku, melihatku lewat kaca spion tengah saja tidak. "Uang tidak berarti segalanya."

"Terserah!"

Aku melempar uang ke sisi lain tempatku duduk. Membuka pintu, turun dari taksi. Pintu kututup lagi dengan bantingan cukup keras. Lalu pergi meninggalkan laki-laki sok itu tanpa mau menoleh lagi. Kesal sekali rasanya. Orang yang tidak mengenalku, dengan sok tahunya menceramahiku.

== end of session ==

Catatan penulis:

Saya harus menghapus ff ini dikarenakan sudah diterbitkan menjadi novel orific. Bagi teman-teman pembaca yang berminat membeli, untuk saat ini bukunya belum tersedia di toko-toko buku, hanya terbatas pembelian online. Untuk pemesanan silakan lihat caranya di profil saya. Terima kasih.

Mohon maaf atas kekecewaan kalian yang sudah bersedia mampir.

Di sini juga saya ingin menyampaikan banyak terima kasih untuk semuanya yang telah mendukung The Wind And Dandelion sejak awal publish sampai tamat, sehingga ff ini meraih penghargaan Best Romance Straight Multichapter kategori Fanfiksi dalam ajang tahunan IFA Award 2013.

Salam,

han