Disclaimer : Ampe matipun Bleach milik Tite Kubo dan itu tak bisa diganggu gugat ._.

Pairing : IchiRuki

Genre : Romance

Rate : M for Save

Warning : Typo, OOC, Gaje dan entah mungkin penyakit semacamnya yang ga bisa menjauh dari saya -_-

Biasanya author pada ngasih sign DLDR ( DON'T LIKE DON'T READ )

Tapi aku beda DLDR ku untuk YOU DON'T LIKE IT IF YOU DON'T READ IT :D

Master with Orange Hair ©_SheWonGirl_

Gadis itu menendang ban mobilnya keras dan kasar bahkan ujung high heels-nya sedikit terkena goresan, lecet. Ia membanting kunci roda yang dipegangnya begitu saja. Sejurus kemudian ia memandangi sekelilingnya. Ia baru sadar, dari tadi dia berada di jalanan yang begitu sepi. Jalan itu remang, bahkan gelap. Penyinaran hanya berasal dari lampu senternya yang tergeletak kaku di aspal. Sekelilingnya hanyalah pepohonan besar menjulang yang terletak di pinggir jalan. Hujan masih mengguyur deras. Butiran air langit yang terjatuh dari bentangan kain hitam temaram itu begitu besar, mengenai tubuh mungil gadis itu yang semakin kedinginan, sakit sekali rasa tubuhnya terhujam air seperti itu. Gadis itu menunduk lagi, berjongkok, beralaskan kakinya yang mulai kebas. Sekali lagi, ia menggigil hebat, giginya bergemeletuk, bergesekan satu dengan yang lainnya. Tangannya terulur menggerakkan kunci roda yang berbentuk L itu lagi, berusaha melepaskan baut yang ke dua.

"Sial!" umpat gadis manis bersurai raven itu kesal sekaligus tak percaya. Kenapa ban mobilnya harus bocor dijalanan sepi seperti ini bahkan ban mobil depannya terselip di tanah berlumpur.

Gadis raven itu bangkit lagi, ia meninggalkan begitu saja pekerjaan melepas baut yang mungkin sudah setengahnya. Ia berjalan mendekat ke pintu depan mobil dengan lambang empat lingkaran miliknya itu -audi- dan dua detik kemudian ia melihat seberkas cahaya dari kejauhan, memantul di batang pepohonan lalu berbelok kearah selatan. Secepat kilat gadis raven itu membanting pintu mobilnya dan menguncinya, ia berusaha berlari mengikuti arah cahaya itu. Sedikit bodoh memang jika ia berharap bisa mengejar mobil itu apalagi menghentikannya. Tapi ia tak peduli, pikirannya sejenak kosong, lebih mengikuti perasaannya daripada logikanya.

Gadis itu sedikit kaget ketika didapatinya sebuah mansion yang berdiri kokoh didepannya. Sedikit tak percaya tapi gadis itu semakin berjalan mendekat, ia berjinjit ketika mendapati lampu pagar yang menyala begitu terang. Tangannya ia gunakan untuk merasa, belum terlalu hangat. 'Apa mungkin mobil itu tadi pemilik mansion ini?' pikir gadis itu.

Gadis raven itu mengelus lengannya, berseberangan, mencoba menghangatkan badannya yang semakin dingin akibat derasnya air hujan dan angin kencang. Ia melangkah cepat menuju gerbang besi hitam yang berukirkan ular naga, mencoba membukannya dan ia berhasil masuk. Gadis itu berlari-lari kecil melewati taman sebelum menuju teras mansion yang agak jauh dari jalanan utama tempat mobilnya terselip. Ia menaiki 5 buah anak tangga, badannya semakin menggigil kedinginan. Gadis itu mengedarkan pandangannya sambil mengesek-gesekkan telapak tangannya, mencoba mencari kehangatan ia tempelkan tangannya ke wajahnya.

"Tempat yang bagus," gumamnya.

Sebelum ia mengetuk pintu berbahan kayu oak itu, gadis raven melirik dirinya sendiri. Celana hitamnya penuh dengan lumpur akibat cipratan air hujan, kemeja putihnya sedikit tembus pandang dibagian dada, blazer hitam ¾ lengan nya masih melekat tapi sedikit ketat, dirinya sama sekali tak mirip seorang akuntan dan itu mungkin diperparah dengan wajah dan kepalaya. Dia tampak seperti sesuatu yang bahkan kucing pun tak sudi mendekat.

Tubuh gadis itu bergetar hebat. Lalu dengan segera ia memencet bel rumah yang –juga–berbentuk naga didekat pintu.

Beberapa detik kemudian, pintu dibuka. Seorang pria botak dengan sorot mata yang tak begitu bersahabat menyambut gadis itu di pintu.

"Maaf nona, disini kami tidak menerima tamu," ucap laki-laki itu dingin. "Dan juga bagaimana kau bisa melewati gerbang itu, kau itu stalker, heh?" lanjutnya.

'Aku? Stalker? Apa maksudnya?' pikir gadis raven itu tak mengerti.

"Bukan!" sahut gadis mungil itu cepat, "To .. tolong aku," ucapnya tergagap karena kedinginan. "Mobilku kempes, bocor. Aku basah kuyup dan ke..dinginan, aku but..tuh tempat untuk me..ngering..kan baju," ucapnya. Kemudian yang terdengar adalah giginya bergemeletuk, bertambah mengigil karena dingin. Logikanya masih bisa sedikit bekerja, apa dia memang harus memohon masuk? Tapi jika tidak ia bisa mati kedinginan.

Laki-laki botak itu merengut pada si gadis mungil. Tapi kemudian dari dalam sepertinya ada seseorang yang berjalan kearah pintu. Gadis itu bisa meendengar langkah kaki yang begitu lebar.

"Kenapa kau berdiri lama sekali di depan pintu Ikkaku?" tanya seseorang itu pada si pria plontos. Dia berjalan mendekat, dari tubuhnya menguar wangi citrus yang begitu kentara sampai dapat menusuk indera penciuman si gadis raven.

"Maafkan aku, tapi sepertinya dia ini hanya stalker mu," jawabnya singkat dan berat.

Orang yang berbicara dari dalam itu tepat dibelakang kepala plontos. Si gadis raven lebih mendongakkan kepalanya karena ukuran lelaki yang memanggil orang bernama Ikkaku itu lebih tinggi. Gadis itu masih menggigil saat pandangan mata mereka bertemu. Laki – laki dibelakang kepala pelontos tak kalah menakjubkan. Pria itu bersurai orange.

"Kau pasti kedinginan," ucap lelaki itu tulus, "Biarkan dia masuk Ikkaku," perintahnya.

Laki-laki plontos itu sedikit tak percaya pada pendengarannya, mungkin karena si rambut orange mengijinkan gadis raven itu masuk. Ia menyiutkan matanya yang sudah sipit tanda kesal.

"Masuklah, master mengijinkan tapi jika kau macam-macam aku tak segan membuangmu keluar," ucapnya sadis.

"Ikkaku, aku mendengarmu! Jika kau menghawatirkanku suruh saja dia menandatangani surat perjanjian," ucap lelaki berambut orange itu yang sudah berjalan mendahului mereka.

Lelaki plontos itu melirik si gadis raven lalu tersenyum senang dan gadis itu menatapnya dengan pandangan tak percaya. 'Auranya seperti habis menang lotre jutaan yen saja,' pikirnya lalu ujung bibirnya memberenggut sedikit.

"Ikutilah dia dan saat aku kembali aku akan menghancurkanmu," ucap lelaki plontos itu, hiperbola akan kata-katanya.

'Menakjubkan sekali,' pikir gadis raven itu. Lalu dia melangkah masuk kedalam rumah, "Sumimasen," ucap gadis itu.

Saat laki-laki itu menutup pintu, gadis raven segera mengikuti laki-laki berambut cepak menaiki tangga, sedangkan saat gadis itu melirik kemana si kepala plontos, orang itu masuk ke dalam ruangan yang tak jauh dari pintu.

"Jangan kau ambil kata-katanya nona, dia memang sedikit sarkastik," ucap laki-laki berambut orange itu. Gadis itu yakin kalau laki-laki orange mengembangkan senyuman agar si gadis tak terlalu tersinggung.

Gadis raven itu tersenyum kecut, "Maaf, malam-malam seperti ini merepotkan anda," ucap gadis itu merasa bersalah, beberapa detik berlalu dan yang terdengar hanya suara sepatu dan high heels. Lelaki orange itu berhenti sejenak di anak tangga lalu ia tersenyum menatap si gadis raven. Gadis raven itu sedikit salah tingkah ketika lelaki orange itu menatapnya dengan sorotan mata yang hangat.

Gadis itu juga berhenti, jarak mereka hanya dua buah anak tangga, lalu gadis itu mengalihkan pandangannya, "Juga, aku tidak berniat macam-macam," ucap gadis raven itu, ada getaran dalam suaranya karena pengaruh air hujan. Ia merekatkan rahangnya, tak enak jika giginya bergemeletuk lagi.

"Sepertinya kata-kata asistenku berdampak buruk terhadapmu nona, percayalah, dia hanya overprotective padaku," jelasnya. "Namamu siapa?" tanyanya.

"Kuchi..ki Ruk ... hatttsssshhhhiiii,"

"Tak seharusnya aku mengajakmu mengobrol, kau harus segera ganti baju," ucapnya, ia tersenyum penuh pengertian. Lalu ia berjalan lagi dan gadis Kuchiki itu mengikutinya lagi.

Master with Orange Hair ©_SheWonGirl_

Laki-laki itu membuka almari pakaiannya, mencoba memilih kemeja yang paling kecil dari koleksinya. Gadis Kuchiki itu mengamati si pria berambut orange, penyelamatnya. Laki-laki itu mempunyai wajah tampan, garis wajahnya begitu seksi, badannya tegap dan berbahu lebar. Ia terlonjak kaget saat lelaki itu memegang bahunya.

"Apa aku mengagetkanmu nona Kuchiki?" tanyanya.

"Emhh.. Maaf," jawab Kuchiki. Amethys-nya beradu pandang dengan amber lelaki itu. Amber lelaki itu tampak menghanyutkan.

"Kenapa kau yang minta maaf? Disitu kamar mandinya," ucapnya lalu menunjukkan pintu kamar mandi.

Gadis Kuchiki segera mengambil baju yang disodorkan padanya, "Kau bisa menggunakan handuk yang ada didalam," lanjut laki-laki orange itu.

"Arigatou," ucapnya cepat lalu dia berjalan ke kamar mandi melupakan kakinya yang kebas lagi.

Laki-laki berambut orange tersenyum ketika mendapati blazer berpita gadis Kuchiki itu tidak bisa menyembunyikan resleting celana yang terbuka.

"Apa aku memang seharusnya menuruti perkataan si plontos?" ucapnya lalu tersenyum kecil.

Gadis itu menutup pintu kamar mandi, hal pertama yang ia lakukan ialah membuka high heels nya secara kasar. Air hujan yang menggenang menyebabkan kakinya berubah, sedikit aneh. Pandangan matanya kabur. Otaknya terasa seperti es ketika ujung kakinya menyentuh lantai kamar mandi, terlalu dingin. Setelah menjatuhkan blazernya di meja marmer dekat bath up tiba-tiba tangannya mati rasa, gemetar tak terkendali dan dari waktu ke waktu bahkan ujung jarinya tergelincir, tak bisa membuka kancing baju yang berukuran kecil. Dia gemetar begitu keras hingga tulang terasa sakit .

"Sialan," cercanya, air hujan dan angin kencang membuat tubuhnya lemah. Ia mencoba lagi.

Pintu terbuka. "Kuchiki-san, apa kau baik-baik saja?" tanya si rambut orange yang tiba-tiba sudah berada di kamar mandi.

"Tidak, kau jelas tidak baik-baik saja," dia melangkah ke dalam, sosok itu sedikit gelap, goyah dalam pandangannya yang kabur.

"Tolong, pergilah," ucap gadis itu.

"Dan menemukan kau mati di lantai dalam satu jam? Aku kira tidak," tanpa menunggu jawaban, ia membuka lengan kemejanya sendiri lalu menggulungnya. Memperlihatkan otot tangannya yang kekar. Lelaki itu melucuti pakaian gadis raven, memperlakukan dia seperti anak yang baru berusia tiga tahun. Ia bahkan melepas bra dan celana dalam yang basah kuyup. Tangannya yang panas menyentuh kulit gadis itu yang semakin dingin.

Ia telanjang. Lalu otaknya yang kebas memaksa logikanya berjalan, dengan cepat ia menyambar handuk yang berada di belakang. Menutupi bagian depannya yang polos. Laki-laki itu berjalan kearah samping si gadis. Ia sedikit tersentak tapi dilihatnya laki-laki itu memutar kran, mengatur suhu air yang dialirkan.

"Masuklah, semoga ini bisa membuat suhu tubuhmu menghangat," ucapnya kemudian. Tapi detik selanjutnya ia mengusap kepala si gadis mungil. "Daun, dirambutmu."

Tak berhenti disitu saja, lelaki orange itu mengambil handuk yang digunakan oleh gadis Kuchiki, "Masuklah," ucapnya, ia minta dituruti.

Gadis itu menutupi tubuhnya dengan tangan kosong walau hal itu tak berguna. Airnya terasa pedas, panas terhadap kulit dinginnya, dia tersentak lalu menggigil, berulang-ulang, sampai tulang-tulangnya sakit. Akhirnya hangat mulai menembus kulitnya, menjalar ke otaknya dan kelegaan menyelimuti dirinya, ia hampir menangis.

Beberapa saat setelah gemetar itu hilang, ia menyadari pintu kamar mandinya terbuka. Pria itu bersandar di kusen pintu, mengawasinya dengan sedikit senyum di wajahnya yang ramping.

"Aku baik-baik saja," gumamnya, ia berbalik sehingga menampakkan punggung kepadanya. "Aku bisa sendiri."

"Tidak, jelas tidak bisa," katanya datar. "Cucilah rambutmu, dispenser shamponya ada di bagian kirimu," ucapnya.

Dispenser shampo itu berwarna putih tulang tapi ada bagian transparannya, menampakkan warna dari beberapa shampo yang ada didalamnya. Kuchiki menekan dispenser warna orange, citrus mungkin akan menenangkan pikirannya.

Tiba-tiba pintu kamar diketuk, pria berambut orange itu melangkah meninggalkan pintu kamar mandi. Sepertinya yang mengetuk si kepala plontos, Ikkaku. Si rambut orange membuka pintu.

"Master, aku sudah membuatkan surat perjanjian, wanita itu tak akan bisa memanfaatkanmu maupun mengancammu," ucapnya keras hingga gadis Kuchiki itu bisa mendengarnya.

"Mulutnya berbisa sekali, apa salahnya aku meminta bantuan?" dengus gadis itu.

"Tenanglah Ikkaku, aku ingin melihat sampai mana dia akan bisa merayuku, aku hanya mengikuti alur," bisik Ichigo.

Pria berambut orange itu kembali lagi ke kamar mandi, dan saat itu juga si gadis raven berdiri dari bath up dan melilitkan handuk ke tubuhnya lalu membersihkan sisa mandinya. Lelaki itu mendekat dengan membawa handuk.

"Sangat baik," pujinya. Ia memegang lengan si gadis Kuchiki.

"Tolong jangan lakukan ini, apa kau juga menganggapku memanfaatkan kebaikanmu dan menjeratmu karena kau kaya? Itu cerita klasik," sungut Kuchiki.

Pria berambut orange itu hanya menyungging senyuman, "Sekarang ini aku hanya ingin membantumu," jawab lelaki itu datar.

Kuchiki bertambah yakin, si orange terlalu baik sehingga asistenya terlalu menghawatirkan wanita-wanita yang mendekati tuannya ini.

Master with Orange Hair ©_SheWonGirl_

Dua manusia berbeda jenis itu sudah duduk di kursi yang ada didalam kamar. Gadis itu sudah memakai kemeja putih milik pria berambut orange dan ia membalutnya dengan selimut, agar menutupi kemeja transparan itu dan juga kulit kakinya, karena kebesaran ia tak jadi menggunakan celana milik lelaki berambut orange. Bajunya mungkin akan kering besok pagi, aneh memang mansion sebesar itu tak punya mesin cuci. Mereka berdua menyeruput secangkir cokelat panas.

"Nona,-"

"Rukia, namaku Kuchiki Rukia," jawab gadis itu tersenyum, "Tadi aku belum menyebutkannya secara lengkap," lanjutnya.

"Kau tidak ingin tahu namaku?" tanya lelaki berambut orange itu.

"Tidak, aku ingin menjaga privacy mu, sekalipun itu namamu. Aku tak akan mencarimu walau aku berhutang budi padamu," jawabnya. "Aku kira melihat tubuh telanjangku sudah cukup untuk mengungkapkan terima kasihku," lanjutnya.

"Baik Kuchiki-san, sepertinya kau benar-benar tidak suka ada orang berbicara yang tidak-tidak tentangmu. Kenapa kau bisa sampai disini?" tanyanya.

"Aku melakukan penyelidikan," jawabnya datar.

"Tentang? Bukankah kau itu seorang akuntan?" tanyan pria orange itu sedikit tak percaya.

"Jika kau seorang tuan muda, pasti kau kenal dengan keluarga Kurosaki."

'Ini menarik,' pikir pria berambut orange.

"Ya tentu saja, bukankah putra tertuanya yang pulang dari Amerika sudah dinobatkan menjadi direktur beberapa hari yang lalu?"

"Benarkah? Aku mengambil cuti, jadi aku tak tahu," ucapnya tak percaya.

"Aku menyelidiki penggelapan uang sumbangan panti asuhan yang berasal dari Kurosaki Corp. Tiap 2 bulan Presdir Kurosaki menyumbangkan uangnya tapi jumlahnya berbeda dari laporan keuangan dan itu sudah berlangsung selama dua tahun."

"Dan kau mempunyai bukti kuatnya?"

"Cukup untuk membunuhku," jawab gadis itu dengan cengiran, "Jika mereka tahu aku mencarinya."

"Kau melakukannya secara rahasia?"

"Tentu saja, apa kau berfikir manajer keuangan perusahaan tak terlibat?"

"Lalu, setelahnya?" tanya si kepala orange.

"Tentu saja aku akan menyerahkannya pada direktur yang baru, bukankah kau bilang dia anak presdir?" tanya gadis raven itu minta pandapat.

"Maksudku, kau akan minta imbalan?" tanya si pria orange. Ia menghirup aroma cokelatnya, dalam, lalu meminumnya lagi.

Gadis raven itu terlihat menghela napasnya berat, menampakkan raut wajah yang kecewa. Si pria orange menyadari perubahan itu, ambernya menatap lekat wajah porselen si gadis Kuchiki. Merasa ditunggu jawabannya, gadis itu menggeleng.

"Aku akan mengundurkan diri dan meminta direktur menikahiku," jawabnya mantap.

Si pria orange tersenyum tipis, ia hampir meledakkan tawanya jika tidak memperhatikan image-nya. Sedang gadis Kuchiki itu mengangkat cangkir cokelatnya lalu meminumnya.

"Maaf nona, tapi Ichigo lebih suka wanita penurut, kau itu terlalu aktif," jawabnya sambil menyungging senyum yang begitu ramah.

"Oh, jadi namanya strawberry? Tapi seharusnya dia tahu, wanita penurut itu membosankan, mau atau tidak pun dia akan tetap menjadi salah satu kandidat omiai ku," jawab gadis itu cerah.

"Untuk wanita menarik sepertimu, mungkin dia akan mengesampingkan prioritasnya," jawab si rambut orange, ia tidak hanya tersenyum manis tetapi senyum lebar yang memperlihatkan deretan giginya yang putih.

"Tapi, bolehkah aku merepotkanmu sekali lagi?" ucapnya kalem, "Boleh aku meminjam ponselmu? Aku harus menghubungi nee-chan ku." Gadis itu tersenyum lembut.

Pria berambut orange itu merogoh saku celananya, mengambil benjolan dari dalamnya. Sebuah hp flip hitam yang ramping dan keren. Lalu menyerahkan hp itu pada Rukia. Gadis itu menerimanya dengan senang lalu memencet tuts-tuts angka yang menghubungkan dirinya pada ponsel kakak perempuannya, ia melupakan fakta bahwa dirinya tadi begitu kedinginan bahkan hampir mati. Gadis itu berdiri dari duduknya lalu berjalan kedekat kaca, memperlihatkan kaki putihnya yang mungil. Mata amber pria berambut orange mengikuti siluet gadis raven itu, memperhatikannya dari ujung hingga ujung, tetapi kadang berhenti dibagian tertentu, mengamatinya lebih lama.

"Aku dibantu seorang tuan muda, dia sangat baik nee-chan ... percayalah padaku, soal ban mobil, besok aku bisa menggantinya sendiri ... aku tutup nee-chan, selamat malam," ucap Rukia.

Si pria berambut orange berjalan mendekat kearah Rukia, saat Rukia berbalik dan berjalan mendekat padanya, pria berambut orange itu menariknya lalu mendorong gadis Kuchiki itu kearah ranjang. Pria itu menindih tubuh mungilnya, menarik lengannya keatas kepalanya dan memegangngnya dengan kuat.

"Berhati-hatilah nona, tidak semua pria itu anjing jinak, sebagian dari mereka bisa menjadi srigala," pria berambut orange itu berbisik pelan ditelinga gadis raven. Lalu pria itu mengubah letak kepalanya, ia menatap si gadis, gadis itu sedikit tersipu.

"Jika wajahmu berubah menjadi seksi seperti ini, mereka bisa semakin liar," ucapnya pada Rukia.

Gadis itu hanya memandang pria orange dengan tatapan mata yang sayu. Sedang pria antik itu hanya menyungging senyuman kemudian mendekatkan wajahnya pada wajah Rukia, barulah bibirnya mengecup bibir tipis si gadis mungil. Ciuman itu memanas ketika si gadis tak menunjukkan tanda-tanda menolak, ia seakan tersihir dan ciuman itu berakhir ketika si pria orange memberi kiss mark di bawah telinga Rukia.

"Hen..tikan," ucap gadis itu pelan.

Pria bersurai orange itu menghentikan aksinya kemudian berbisik, "Selamat malam nona,..." pria itu menjeda suaranya, "Rukia," bisikan yang terakhir mampu membuat tubuh gadis manis itu bergetar pelan. Pria itu menyadarinya dan menyunggingkan senyuman lagi. Barulah ia bangkit dan meninggalkan gadis itu yang sedikit terbengong. Ketika gadis itu sadar, ia memegang bibirnya.

"Hangat dan manis," gumamnya, "Ini gila."

Master with Orange Hair ©_SheWonGirl_

Ketika gadis itu membuka mata, hari sudah pagi. Gadis itu menggerakkan tubuhnya, menggeliat agar tak kaku. Dipinggir tempat tidurnya, pakaian yang ia kenakan kemarin sudah terlipat rapi. Diatas pakaian itu ada sebuh note kecil.

'Nona, kau tidur nyenyak sekali, aku tak sampai hati membangunkanmu, terima kasih atas ciuman kemarin, itu cukup untuk mengganti pajak handphone ku yang kau gunakan. Jika patner omiai Ichigo seperti dirimu aku yakin dia akan langsung melamarmu'

Rukia hanya sedikit tak percaya ciumannya disamakan dengan tagihan telepon, segera ia mengganti kemeja milik si pria orange dengan kemeja dan celana panjang miliknya sendiri. Ia melakukannya dengan cepat. Ia sempat ingat, mansion milik si pria orange ini hanyalah untuk tempat singgah. What? Menyayangkan sekali bukan?

Rukia segera berlari menuruni tangga, sepertinya dia memang ditinggal oleh si tuan muda berambut orange dan asisten plontosnya. Ketika ia keluar, ia melihat mobilnya sudah ada di depan mansion dalam keadaan sehat. Ban mobilnya sudah terganti, bagus dan rapi. Gadis itu tersenyum sumringah, tapi itu hanya sebentar. Dia bisa telat datang ke kantor jika tak segera kembali ke Karakura.

Butuh waktu dua setengah jam gadis itu mengendarai mobil Audi A-1 nya dari mansion ke kantornya plus sepuluh menit yang ia habiskan di hotel milik kakak iparnya untuk membersihkan diri.

Belum juga ia mendudukkan pantat mungilnya, ia sudah dihampiri salah satu rekan kerjanya.

"Rukia, segeralah pergi ke ruang direktur, dia memanggilmu," ucapnya.

"Karyawan biasa seperti aku kenapa bisa dipanggil dia? Menertibkanku karena aku cuti?" tanya gadis itu ragu. Tapi temannya hanya menggeleng pelan, tanda tak tahu, "Terima kasih, Ran," ucapnya lagi.

Gadis itu segera pergi. Sedikit tertatih karena dirinya tadi terjatuh karena high heels yang dipakainya. Sebelum sampai di ruangan direktur, sepertinya Rukia melihat orang yang mirip dengan si kepala plontos. Tapi ia mengabaikannya begitu saja. Apa hari kemarin begitu berkesan sampai ia berhalusinasi seperti itu? Tak butuh waktu lama gadis itu sampai didepan ruangan direkturnya. Ia mengetuk pintu sedikit keras.

"Masuk," ucap seseorang dari dalam.

Rukia menurut, ia membuka pintu dan berjalan mendekat kearah direkturnya. Kursi empuknya menghadap kearah jendela, jadi Rukia belum awas dengan sosoknya. Ia berhenti tepat didepan meja, dan kau pasti tahu betapa terkejutnya ia ketika mengetahui rupa direkturnya. Ia hanya bisa sedikit melongo. Lelaki itu bangkit, tak lain dan tak bukan si pria bersurai orange, ia berjalan mendekat kearah Rukia.

"Aku Ichigo, salam kenal Rukia-chan," ucapnya.

"God, you must be kidding me," celetuknya tak percaya.

Dengan cepat pria orange itu memegang dagu Rukia, wajahnya ia dekatkan pada wajah Rukia lalu mengecup bibir mungiknya, begitu lama.

"Kapan kita menikah?" tanyanya. Napasnya berhembus pelan di wajah gadis itu.

Gadis itu hanya sedikit terhuyung, kehilangan sedikit keseimbangannya dan pria orange itu mendekapnya di dada bidangnya.

T B C

19 September 2013

Gimana mina, saya minta reviewnya ya. Maaf kalo endingnya gaje :^)

Hiatus ku kaya seekor ayam yang ngangremin telur tapi ga pecah-pecah ya? #Pletaggg ampe ada reader yg ngatain kkk~ tapi terima kasih atas perhatiannya tp jangan kesinggung ama tulisan saya ini, saya malah seneng :3

Maaf neng, saya hiatus karena ga sempet ngetik, blum punya lepi sendiri soalnya, hehehe

Tiap kali mau ngetik malah ada ide buat fic2 baru,ya beginilah hasilnya.

Saya menunggu Review nya untuk fic ini, boleh saran dan kritik tapi saya ga terima kalo itu flame :D