Prolog...

[Oktober 2004]

-:-Aku hanya bingung. Kenapa dia selalu di sana dengan kikuk? Dasar aneh!-:-

.

.

.

.

Sasuke membuka pintu mobilnya. Raut tidak senang terpancar ketika melangkah menjauh dari parkiran menuju gedung sekolah. Dia sangat kesal, hampir saja ingin menabrak orang tadi di depan gerbang sekolah.

Saat mencapai kelas ia menjatuhkan tas di atas meja. Sasuke menggeser kursinya gusar sebelum di duduki- menyita perhatian penghuni kelasnya. Kebanyakan memilih tidak ingin mencari tahu, walau sebagian lagi ingin tahu apa yang terjadi padanya.

Biarpun ia good looking dan pintar, pribadinya itu tidak menyenangkan. Terlalu pendiam, bermulut pedas sekalinya berbicara, dan pelit membagi jawaban soal atau PR. Tapi tetap saja ada orang yang betah mengobrol dengannya.

"Pagi, Mas bro! Mukamu seperti tisu toilet saj- Hat!" Naruto mengelak refleks dari bola kertas yang dilempar Sasuke.

"Jangan ganggu!" Sasuke membenarkan duduknya dan meraih buku Fisika dari tasnya.

"Pagi-pagi sudah darah tinggi. Ada apa?"

Naruto seakan tidak peduli dengan tatapan gusar Sasuke yang seolah ingin mengusirnya, lalu ia menarik kursi terdekat dan duduk menghadap Sasuke dengan bersandar di kepala kursi.

"Tidak ada tempat yang ingin kau kunjungi?"

"Ha! Ada!"

Sasuke tidak mengerti seberapa rata-ratanya IQ Naruto bisa sampai masuk sekolah terpandang ini. Sudah jelas sekali nadanya penuh dengan sindiran, tapi masih berpura-pura, atau memang bodoh?

Ketika itu Sasuke juga bosan, jadi cukup sekali protes dan mengikuti kemana Naruto membawanya. Masih ada 15 menit sebelum bel berbunyi.

.

.

.

.

-:-Dan aku melihatnya kembali. Cukup untuk menjadi yang paling tidak diperhatikan-:-

.

.

.

Ternyata tempat yang ingin di kunjungi Naruto adalah klub judo. Dia yang paling heboh ketika seorang wanita Naruto itu berhasil membanting pria yang bertubuh lebih besar darinya di matras.

"Keren, Sakura-chan!"

"Berisik!" walaupun Sakura berteriak, ia blushing keluar dari arena latihan, membuat senyum Naruto makin lebar. Mereka sudah pacaran dua minggu dan sahabatnya terlihat bahagia.

Sasuke sama sekali tidak tertarik melihat orang-orang saling membanting, memukul, menjatuhkan, dan membanting. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengecek notif di e-mail-nya, kemudian bosan.

Ketika menyapu pandangan dengan bosan di ruangan itu, ia hanya masih tidak menyangka akan melihat orang itu lagi. Orang yang hampir di tabraknya tadi.

"Ada apa? Ini hampir bel, lho," Naruto menyadarkannya dari tatapan yang ia curi pada seseorang di pojok ruangan sana, yang sedang memegang botol mineral dengan gelisah. "Kenapa dengan Hinata, Sas?" kini Naruto mengikuti tatapannya.

Ia mengerut kening, "Kau mengenalnya?"

"Kau tidak kenal?" Naruto yang balik bertanya dengan wajah super aneh membuatnya jengkel, "O-oke. Iya. Dan kau tidak kenal Hinata? Bukannya dulu kau kelas 10-A?"

Sasuke melengos, "Terus?" ini bukan urusannya pula.

"Dia adik kelas kita, sih-

"Tunggu! Bukannya kau bilang di kelas 10-A? Sekelas denganku?" kini giliran Sasuke yang peduli. Sadar apa yang ia katakan, ia mengatur emosi yang muncul di wajahnya.

"Pantas kau lupa. Dia pernah sakit, makanya dia tinggal kelas. Hanya itu yang kutahu," Naruto memperhatikan Sasuke yang sangat hati-hati sedari tadi, "Dan dia sepupu Neji."

Naruto diam ketika dirinya tanpa sadar melihat dari sudut matanya Hinata yang gemetar menyodorkan botol tadi pada Neji.

.

.

.

.

-:-Dia selalu di sana dan aku melihatnya-:-

.

.

.

Sasuke diantar kakaknya ke sekolah dengan mobil karena mobilnya sedang di servis bulanan. Ia terbiasa diam dan melakukan sesuatu sementara kakaknya sibuk menyetir.

Tanpa banyak kata, hanya ucapan salam yang umum, Sasuke keluar dari mobil tepat di depan gerbang sekolah. Ia melangkah dan matanya sempat melihat Hinata turun dari bus di halte dekat sekolah. Cewek yang selalu bingung dan gelisah itu—

Ya ampun, Sasuke, ini bukan urusannya. Bukan urusanku.

Segera saja ia masuk area sekolah.

.

.

.

-:-Aku tidak pernah ingat punya teman sekelas bernama Hinata. Bahkan dua hari yang lalu adalah pertama kali aku melihatnya-:-

.

.

.

Beri dia dua alasan—Oke, satu pun tidak apa-apa.

Napasnya tersenggal kala berhasil menaiki sebuah bus. Sasuke tidak menghiraukan wajah jengkel supir bus tadi setelah ia paksa berhenti dan berjalan kearah kursi deret sebelah kanan baris ke 5. Ia segera duduk dengan berbagai pertanyaan yang terus berputar di kepalanya.

Ia menolehkan kepala dan menemukan segala sumber dari pertanyaannya—yang duduk di sampingnya dengan raut wajah ketakutan seperti dirinya adalah hantu. Ya, ia akui ia memang sedang mendelik pada cewek itu sekarang.

"Apa kau membolos?" dan sejak kapan Sasuke peduli dengan urusan orang?

Cewek Hyuuga masih betah menundukan kepala seakan bila ia melanggarnya dengan menatap Sasuke maka kepala itu akan pindah dari tempatnya.

Dan sebenarnya, ini bermula dari apa sih?

Oke, ia akan jelaskan. Sasuke melihat Hinata terlihat bingung tanpa kakaknya yang di klub Judo itu di halte bus seperti biasanya dan lalu ia pikir bukan urusannya, pula. Sasuke selalu seperti itu biasanya. Tapi...

Kenapa Hyuuga Hinata malah naik bus yang lainnya bukannya masuk ke sekolah?

Kenapa pada saat itu hanya Sasuke yang lihat keganjilannya?

Dan, kenapa ... ia berniat menyusulnya?

.

.

.

-:-Aku ... tidak tahu-:-

.

.

.

[September 2009]

"Pernah dengar kristal bulan?"

"K-kristal—apa?"

"Air yang membeku abadi di bulan. Aku ingin mengambilnya satu setelah proyek kami berhasil dan memberikannya pada dia. Dia suka bulan, katanya itu mengingatkan pada ibunya. Tapi ia lebih suka sepasang kaus kaki dimusim dingin."

"Se-seleranya aneh..."

"Dia suka hal-hal yang aku benci."

"..."

"Dia ... membenciku hingga melupakanku."

.

.

.

I'm Sorry by Mei Anna AiHina

Naruto © Masashi Kishimoto

AU | Alur Maju-mundur | SasuHina

.

.

.

[Oktober 2004]

Sasuke cemberut dengan pemikirannya sendiri. Lebih baik ia turun di halte selanjutnya daripada berdiam diri dengan cewek yang ketakutan.

Ketika ia berniat akan pergi, tiba-tiba ia dikagetkan dengan gelagat Hyuuga Hinata yang menarik ujung bawah kemeja sekolahnya. Mungkin ia akan marah karena cewek itu bisa saja merepotkannya, tapi ia sabar untuk mendengar apa yang diinginkan Hinata.

"A-aku ... tidak ingat."

...

A/N: Ini sebenarnya udah lama pengen aku publish dan udah di publish setengahnya di fb. Dan, ini adalah prequel dari "Karena Terbangun".

Untuk permintaan dilanjutkannya fic ini, di review ya? :)

Thanks.