Eren mengamati sekelompok awan berbentuk gumpalan kapas di langit mendung. Rintik air hujan membasahi perlahan-lahan wajah dan seluruh tubuh gigantiknya. Ya. Suasana ia berada saat ini hanya tersusun dari kemurnian likuid bening asin tanpa satwa fauna bersirip yang menetap di dalamnya. Kedalaman lautan Pasifik terasa seperti kolam air tanpa batas. Sesekali ia berusaha menggerakkan kedua tungkainya meski rasa kram mulai menjalar melalui kabel nervusnya.

Ia lelah.

Seperti hanya ingin menutup mata sementara merasakan hembusan udara mimikri—menyerupai tapi tak sama—dunia luar yang tak lagi dikunjunginya selama dua puluh jam terakhir. Pertarungan yang baru saja dilaluinya bersama Kaiju kategori empat berakhir dengan kerunyaman. Kemenangan mutlak mungkin berada dalam genggaman para kru kesatuan tim penjelajah yang khusus mendirikan Shatterdome mereka di North Coast. Shatterdome merupakan wilayah khusus kemiliteran yang dikelilingi oleh tembok-tembok baja setinggi duaribu kaki. Dengan mengandalkan kamuflase lautan Pasifik di sekelilingnya. Dibangun sesuai fungsinya, yakni sebagai lokasi perlindungan diri dari serangan Kaiju. Untuk itulah, Scouting Legion—nama tim tersebut—dibentuk. Segerombol pasukan elit dengan sistem pemburuan Kaiju terstruktur. Boleh dibilang, satu-satunya dengan akses kemudahan semacam membelah, mengiris, dilanjutkan dengan meneliti sisa tubuh Kaiju yang berhasil dibawa pulang. Dengan Jeager-Jeager mereka—sebuah monster bertubuh titanium—keselamatan umat manusia kian terjamin.

Di sisi benua lain, The Wall of Kaiju sedang dalam proses penyelesaian. Gabungan dari asosiasi pemerintahan dunia memiliki rencana unik. Bersembunyi di sebuah kandang kecil dengan balok-balok sekeras titanium yang akan melindungi mereka dari bahaya Kaiju. Nyatanya, meski Jeager mampu membenahi masalah kedatangan alien-alien itu, jumlah pilot dan masyarakat sipil yang mati tetap tidak mengalami pengurangan. Berharap mampu menjadi solusi final, maka ide konstruksi Wall of Kaiju semakin dikembangkan.

Bahkan, dari arah sejauh ini, Eren masih mendapatkan pemandangan dari puncak Wall of Kaiju di seberang perbatasan North Coast. Mata turquoise miliknya kian menyipit saat mentari senja dari arah barat semakin menurun tiap detiknya hingga benar-benar lenyap termakan awan kelabu.

.

.

.


Attack on Titan © Hajime Isayama

Pacific Rim © Guillermo del Toro


Future
by Leon

September, 2013


no material profit is taken from this fanfiction. purely made for self happiness.

all notes for you who loves imaginary scientific things and mecha.


.

.

.

Hujan kembali turun dan euforia yang membising ribut dari balik microphone-nya membentuk bunyi sumbang.

Eren Yeager merasakan kekacauan baik di hati maupun otaknya.

Sialnya, Mikasa Ackerman telah melihat segalanya.

Pemuda ini mengutuk sistem neural handshake yang saling terkoneksi selama keduanya berada di dalam monster baja itu. Memori, emosi, dan cara berpikir mengalami distorsi dan menjadi otak yang bersifat tunggal. Secara harfiah masih berbentuk dwilogi, tetapi dalam memutuskan gerakan hingga taktik, mereka tak perlu melalui sesi perdebatan sengit. Keduanya sudah paham tanpa menengok sekalipun. Meski, terkadang pula gadis yang masih mengatur nafas ini akan melirik ke arah kanannya selama bertarung dengan Kaiju kategori empat beberapa saat yang lalu. Diamatinya wajah partner sekaligus kawan ciliknya itu dengan tatapan khawatir dan sendu. Bagaimana dengan kesungguhan bersama amarah yang membara tampak jelas di raut muka miliknya. Eren yang dikenalnya masihlah Eren yang dahulu. Yang nampak berbeda hanya terletak pada keseringan pemuda itu mendesah penuh sesal di tiap akhir pertarungannya. Bagai kemenangan tak cukup mengisi dahaga atas peperangan demi kemanusiaan.

Mikasa hendak menyentuh bahu artifisial Eren saat pemuda itu tiba-tiba saja melepaskan diri dari satuan neural bridge yang melekat erat di tiap titik saraf tulang belakangnya. Sontak, bagian kanan tubuh Jeager berjudul Rogue Titan itu menjadi lumpuh. Untung saja, pesawat-pesawat yang mengangkut tubuh gigantik Jeager milik Eren dan Mikasa ini tiba tepat di atas landasan mesin-mesin Jeager milik Scouting Legion. Shatterdome mereka terbuka maksimal seolah ingin menelan bulat-bulat Rogue Titan yang tak lagi hidup.

"Eren." Saat Mikasa memutuskan untuk memanggil si partner meski tak ada tanggapan. "E-ren!"

Gadis itu berlari-lari kecil di antara desakan sekompi pasukan, teknisi hingga pilot trainee yang mengelilingi keduanya. Huru hara penuh suka cita menggaung di sekitar aula raksasa Shatterdome. Panji-panji berbentuk sayap kebebasan dikibarkan penuh kebanggaan. Nyanyian hymne kesatuan Scouting Legion terdengar hingga sudut mati. Beberapa suara sumbang mulai mengikuti harmoni lagu. Mereka menyanyi senandung kemenangan sembari menautkan jemari ke langit-langit. Berharap keadaan ini akan terus terjaga hingga peperangan melawan Kaiju berakhir. Sebaliknya, masih ada satu orang yang tampak tidak memedulikan segalanya. Yang diinginkannya hanya menemui sang pilot Rogue Titan secepat mungkin, lalu berbicara empat mata. Meski berusaha menembus keramaian dengan gesit, tetap saja hanya bayang penuh sesal yang terlihat di kedua mata miliknya. Eren telah menghilang. Secepat phantom.

Asa Mikasa harus pupus saat Komandan Pixis tiba di antara sekumpulan manusia berpakaian coklat. Diam yang begitu hening mengiringi derap langkahnya yang tegas. Kedua tangan diikatnya tepat di belakang tubuh tuanya. Hingga akhirnya ia tepat berjarak tiga langkah dengan gadis penyelamat umat manusia—Mikasa Ackerman. Pilot resmi Jeager termuda di kesatuan Scouting Legion.

"Congratulation, Ms. Ackerman. Keberanianmu telah mengantarkan kita semua pada kemenangan yang sangat membanggakan. Dengan penuh hormat, kami semua memberimu ucapan selamat. Everyone!"

"HA!"

Sesungguhnya bukan ini yang diharapkan Mikasa. Mungkin, dulu sekali. Saat ia masih berada di barak-barak pelatihan Jeager's Program. Atau, kala ia baru saja mengalami kehilangan yang sangat menyakitkan akibat Kaiju-Kaiju yang menyerang kota ia dilahirkan dan dibesarkan sepuluh tahun yang lalu. Sebagai yatim piatu, tiada keinginan yang paling didambakan selain ucapan selamat datang saat ia pulang ke rumah. Tamparan telak menuntut nuraninya tuk bersikap dewasa. Menetap selamanya di panti asuhan adalah takdir yang terultimatum di atas batu. Namun, masih ada secercah harapan saat Eren kecil menyembul di antara anak-anak lainnya. Carla Yeager adalah malaikat yang dikirimkan Tuhan kepada Mikasa cilik.

Bisa dipastikan ikatan kuat yang tumbuh di antara dirinya dan Eren berawal dari hal kecil bernama takdir. Jika takdir tidak mempertemukan keduanya, maka Rogue Titan akan membusuk selamanya di dalam gudang para Jeager tua disimpan. Teori bahwa Jeager memilih pilotnya adalah suatu kenyataan. Buktinya, desas-desus menyebutkan hanya satu pilot di seluruh penjuru negeri yang mampu melawan gangguan memori berbentuk R.A.B.I.T milik Rogue Titan sebelumnya. Hanya satu dan sama saja dengan kegagalan. Sebab, pada dasarnya Jeager dirancang untuk dua pilot.

Siapa sosok pilot itu—tak ada satupun yang tahu.

Dan, alasan mengapa Rogue Titan memilih Eren dan Mikasa sebagai tuannya jua masih misteri. Meski berbentuk benda mati tak bernyawa, Jeager seolah memiliki raga supernatural di balik teknologi tinggi.

Bunyi tapak kaki mengakhiri khayalan semu Mikasa secara paksa.

Bersama dengan itu, pose penghormatan penuh teracung untuk sang pahlawan.

"Mari kita mulai jamnya, ladies and gentleman."

Jam yang dimaksud Komandan Pixis berupa penunjuk waktu mekanik dengan deretan angka menyala berwarna merah. Terletak tinggi-tinggi agar siapapun mampu melihatnya. Ukurannya pun cukup besar dan dapat dibaca meski dari titik terjauh aula Shatterdome. Pasak waktu unik milik Scouting Legion ini akan bergerak bila kedatangan Kaiju tampak bagai teror tak berkesudahan. Mereka menghentikannya tepat di angka 15 hari 13 jam 54 menit 20 detik. Hanya dihentikan bila daftar kaiju yang berhasil melewati garis batas Pasifik—wilayah kekuasaan satuan pengintai—habis tak bersisa. Suara dengung memekikkan telinga menandai perubahan angka kembali menjadi zero.

"Jam telah kembali seperti semula. Walau demikian, kuharapkan agar kalian tetap terjaga. Jangan pernah lengah!" seru Komandan Pixis. Suara baritonnya menggelegar bagai petir. Tiap pasang mata yang mendengar memusatkan titk fokusnya secara penuh pada sang kakek. "Ingat! Peradaban manusia bergantung pada kita! Untuk itu, bertindaklah seperti pemburu!"

"HA!"

Masa bodoh dengan peradaban. Jika ingin punah, maka segeralah punah. Pikiran tidak realistis Mikasa mengaburkan sisi rasionalitasnya. Entah mengapa akhir-akhir ini ia cenderung menggunakan perasaan dibanding logika. Proses menyalahkan diri sedang dilakukan gadis itu. Sederet memori mulai berputar di benaknya. Jika saja saat itu Eren tidak memasuki mode R.A.B.I.T, kemungkinan ia menyaksikan potongan film yang terekam dalam otak pemuda itu tidak akan terjadi. Mikasa menyesali segalanya, tetapi ia tak mampu berbuat apapun. Tak sedikitpun.

Meski kenyataan pahit yang berjalan perlahan di atas layar tiga dimensi neural bridge connection membuatnya menitikkan airmata di antara tepukan dan pelukan dari kawan seperjuangan lainnya.

'Eren, maafkan aku. Maafkan aku karena telah lancang melihat semuanya. Semuanya—'

'—hingga bagian terburuk dari yang terburuk.'


Bukan bilik istirahat yang disanggahi pemuda ini, melainkan sebuah ruangan tak berpintu yang langsung berhadapan dengan laut. Suara deburan ombak samudera Pasifik mengisi kekosongan yang timbul setelah ia menghentikan langkah. Seragam hitam berbahan besi palidium di tubuhnya telah berganti dengan jas dan kemeja kesatuan Scouting Legion khusus wilayah North Coast. Sepi dan terlalu senyap. Sesekali ia mendengar bunyi pekikan burung Albatros di antara mendungnya langit. Sebentar lagi, hujan akan kembali turun dan mungkin akan menderas. Akan tetapi, sosok empunya ruangan tanpa batas ini tak sekalipun mengkhawatirkan hal itu. Seolah siap untuk menyatu dengan timbunan air.

Eren memilih bersikap statis seperti sosok Rogue Titan miliknya. Ujung sepatunya tampak lebih menarik sekarang.

Derit pintu memperlihatkan sesosok manusia berpostur sedang tengah memasukkan anak-anak kancing kemeja putihnya sembari berjalan. Ia tak benar-benar memerhatikan sekitar hingga Eren meneguk ludah penuh kekhawatiran. Kerongkongannya terasa kering saat itu juga. Ada dua pasang mata yang akhirnya saling berhubungan.

"Kudengar kau berhasil membunuh Kaiju kategori empat. Congratulation, soldier." tutur Levi, korporal muda di kesatuan yang mempertemukan Eren dengan mesin gigantik berjudul Rogue Titan. Seorang pemimpin bak jenderal yang lebih menyukai misi-misi di luar garis perbatasan North Coast—tipikal mereka yang mencintai tantangan dan tentu—kematian.

Setelah merapikan stelan jas coklat di atas kemeja yang dikenakannya, korporal muda itu menuju meja kecil dekat jendela dan menuangkan segelas air. Diteguknya sekali hingga habis seperti benar-benar mengalami dehidrasi panjang. Eren kembali menelan ludah. Gelagat pemuda bermata turquoise itu dengan mudah terbaca oleh mata jeli Levi. Ia pun menuangkan substansi likuid bening ke gelas lain dan menawarkan tepat di harapan bocah Yeager itu.

"Te-terima kasih, Corporal."

"Levi. Itu cukup." potong pria itu seraya berbalik. Diraihnya beberapa lembar kertas dari tumpukannya. Titik fokusnya terletak pada tulisan-tulisan yang tertera di atas kertas tersebut. Entah apa, Eren tak ambil pusing. Ia cukup merasa damai dengan suara deburan ombak, kertas yang saling bergesekan, dan deheman Levi. Sembari meneguk hingga habis air di dalam gelas kaca, pilot Jeager termuda kedua setelah Mikasa ini memerhatikan langit dan laut dari kejauhan. Terlihat banyak polikromatis warna di kedua mata miliknya. Ia lalu tersenyum.

Tanpa melirik, Levi mendengus, "apa yang kau tertawakan, bocah? Ada yang menarik di sana?"

"Um—" Eren menimbang-nimbang, meletakkan gelas kaca di atas meja, dan menggeleng lemah, "—tidak ada. Aku hanya teringat akan sesuatu. Pertarungan tadi… terasa seperti mimpi."

"Oh. Seperti mimpi-mimpi aneh yang sering kau ceritakan itu?" Masih menautkan pandangan secara horizontal pada deretan kata di balik berkas entah-apa-itu namun konsentrasi percakapannya terfokus ke arah pemilik Rogue Titan itu. Respon Eren hanya berupa kepala yang dimiringkan ke satu sisi. Lagi, ia menggeleng. Levi mencoba melirik dari sudut mata, "hn. Just like dreams, huh?"

"Yeah. Seperti mimpi."

Bunyi kertas bergesek dengan kertas lainnya terdengar beberapa kali. Tampaknya, Levi terlalu sibuk memecah dua fokusnya sekaligus. Ia memilih duduk di sebuah sofa kecil, memberi jarak delapan langkah dengan Eren.

"Tell me more." titah sang korporal muda. Eren melanjutkan cerita.

"Umm, dia bukan Kaiju kategori empat pertamaku. Mungkin yang ketiga. Tetapi, yang pertama tidak berakhir dengan kemenangan—"

"Kau tidak perlu menang, bocah. Yang kau butuhkan hanyalah kepuasan." Sepertinya, hobi lain Levi saat ini adalah memotong pembicaraan. Bagian yang tidak penting seolah harus diloncati.

Pemuda Yeager ini mengerucutkan bibir, "ok. Ya, memang tidak harus berakhir dengan kemenangan, tetapi salah satu indikator keberhasilan menjadi pilot trainee adalah mampu menebas kepala seekor Kaiju kaegori empat. Bukan begitu?" Kali ini, Eren memberi penekanan. Sang korporal hanya mendengus dan mencibir. "Whatever. Lalu—aku tidak tahu apa ini semacam adiksi atau bukan. Hanya saja, beberapa bulan terakhir ini, Rogue Titan selalu berulah. Frekuensi lepas kendali dan memasuki mode R.A.B.I.T semakin sering. Aku tidak paham."

Di saat itulah, Eren menyadari suara deburan terdengar lebih keras dibanding gesekan kertas dari arah Levi. Pria itu tertahan sebentar dan lebih membulatkan pandangan obsidiannya. Ada hal lain yang seolah mengganggu pikiran sang Korporal. Seperti—seperti saat ia berhasil menindih bocah berusia enam belas tahun di depan sana saat latihan one to one combat beberapa bulan yang lalu. Ada jeda cukup panjang yang mengisi keduanya. Hingga, suara tapak kaki tegas dengan langkah-langkah cepat mengganti efek deburan ombak.

Mata Eren mengikuti setiap langkah yang dibuat oleh Levi. Pria itu hanya memberikan punggungnya untuk ditatap.

"Dia—sudah terlalu tua." Meletakkan tumpukan kertas di atas meja, menuang segelas brandy, dan meneguknya pelan hingga habis tak bersisa. Eren tak paham mengapa orang tua sangat suka menelan bulat-bulat racun berwujud likuid berwarna coklat semacam itu. Buru-buru ia mengalihkan pengamatannya saat nada konfesi sang korporal yang baru saja didengarnya memiliki makna lain. Seolah—hanya ingin membentuk pengalihan atas jawaban yang sebenarnya. Eren merengut sedangkan Levi nampak kalut.

"Ya. Mungkin. Mengingat sebelum aku dan Mikasa, masih ada pilot tunggal lain yang berhasil mengendalikannya. Apakah Anda mengenal sosok pilot itu, Sir?"

Ingin membuka suara, namun kerongkongannya terasa membakar. Entah, ia tak paham. Ia hanya terdiam sementara dua obsidiannya membulat maksimal dan tak memerhatikan apa-apa selain titik hitam pada tembok di hadapannya. Lalu, lukisan metalik berbentuk abstrak mengingatkannya pada satu hari di mana ia kehilangan sebelah anggota tubuh miliknya. Ya. Di hari pertama saat segalanya bermula. Ketika Kaiju kategori lima sekaligus pemegang rekor monster terkejam seluruh universal berhasil membuat umat manusia berada di ambang kepunahan. Bersama pula hari kematian seorang komandan perang Scouting Legion—Irvin Smith.

"Che, orang itu bukanlah siapa-siapa. Hanya pengecut gagal yang memilih untuk lari." Glup. Tegukan sekali seolah ia berusaha meredakan dahaga yang kian memanas di tubuhnya. Anehnya, arah pandangan itu seolah gelap dan redup. Bagai tak ada jiwa di dalamnya.

Meski berkata dengan nada arogansi, Eren tak ingin mengulang kesalahan yang sama. Percakapan ini pernah terjadi sebelumnya dan ia mafhum reaksi korporal muda di kesatuan Scouting Legion itu. Tatapannya jauh lebih menyakitkan dibanding kata-kata yang terlontar. Beberapa detik keduanya menikmati keheningan yang ada walaupun si pemuda terlihat lebih menyukai jika perbincangan semacam ini bisa berlanjut jauh lebih lama. Akan tetapi, waktu selalu memberi realita yang berbeda. Jika mereka tak lagi dipertemukan dalam kesempatan yang sama, apakah momen seperti yang telah terjadi saat ini akan terulang? Eren menguatkan diri. Menjadi pejuang adalah secuil resiko dari segala keputusan yang berani diambilnya. Sebagai satu-satunya penerus sang perancang Jeager Program, hidup dan matinya hanya untuk Rogue Titan.

"Kurasa, perbincangan ini telah usai. Sebaiknya kau beristirahat, soldier."—kita tidak pernah tahu apa setelah ini kau diperbolehkan untuk memejamkan mata.

"Ah, ta—"

"Enough! Kita tidak akan lagi mengulang perbincangan yang sama untuk kedua kalinya, Eren."

"Tsk. Yes, Sir."

Eren berlalu dan membiarkan Levi berada dalam kondisi mengenaskan. Kedua lengan miliknya bersandar pada meja selagi menahan rasa sakit yang mulai menjalar dari sepanjang tulang belakangnya. Tanpa bunyi deburan keras ombak, pemuda Yeager itu yakin ia benar-benar mendengar suara tetesan lain yang tak wajar. Beberapa langkah sebelum mencapai rangka lubang tak berdaun, ia cepat-cepat berhenti dan menoleh. Sang korporal muda kian berada di penghujung usianya.

Kenyataan sama dalam memori yang harus dibaginya bersama sang kopilot beberapa waktu lalu. Kerugian sekaligus keuntungan Jeager.

"Cor-corporal!"

Tetesan itu berupa darah. Merah dan merah. Selain menetes, ia pun turut mengucur deras kemudian. Eren berlari, mencari sehelai kain agar kucuran drah bak kran air tak membanjir dari arah dua lubang hidung Levi. Wajah pria itu semakin lama semakin memucat pasi. Ia tertunduk pias hingga Eren membantu tubuh mungilnya tetap bertahan. Entah sudah berapa lama sang korporal menyembunyikan kondisi buruk ini dalam tubuhnya. Efek radiasi mesin baja miliknya sudah terlalu lama mengendap dan mengubah susunan genetik molekuler selnya. Pada akhirnya, catatan hitam tertulis jelas di atas berkas-berkas yang kerapkali dibacanya tanpa bosan, seolah berharap akan memudar.

"Cor-corporal! Corporal!"

"Ck—"

"Corporal?"

"—aku baik-baik saja, bocah. Pergilah."

Ada yang salah. Ereh tahu itu. Sejak awal, bahkan saat keduanya tergabung dalam unit kesatuan ini. Sejauh mana kesalahan yang ada, pemuda itu selalu menampiknya. Menelaah dengan logika bila sang korporal adalah pejuang kemanusiaan terkuat sepanjang era. Tak ada satupun Kaiju yang berani menggeram di hadapannya. Sejarah demi sejarah masa lalu di buku waktu Levi menunjukkan angka nihil kecacatan. Kesempurnaan tergambar jelas di sana. Di balik raut rupanya yang mendekati kemurungan, ada kekuatan tak terduga yang tersembunyi apik. Walaupun ia mafhum, Eren masihlah bocah tengil yang duduk di antara deretan bangku siswa-siswi Jeager's Academy. Meski pula, kesombongan dan kebanggaan dalam dirinya menjadi citra yang melekat erat di nama dan juga Jaeger bertitel Wing of Freedom. Tapi, tetap saja, ia memilih bocah tengil itu. Dengan cara apapun.

Kompaktibilitas Eren dengannya nyaris mendekati angka absolut.

Lalu, Mikasa hadir sebagai kandidat kopilot Jaeger legendaris—Rogue Titan.

Levi memutuskan tuk menutup buku masa lalu dan masa depannya.

Menganggap tiada satupun yang mampu menyaingi sang komandan yang telah lebih dulu meninggalkannya—

—dari dunia ini. Seorang diri.

The one and the only.

"Tsk! Kali ini—untuk kali ini saja, kumohon, aku memohon padamu, Corporal. Ber-berhentilah bersikap egois. Jika tidak—"

"Memangnya kenapa, huh? Kalau kau sudah mengetahuinya dari awal, lebih baik kau simpan di dalam sudut mati otakmu itu. Satu-satunya yang mampu memastikan akhir dari semua ini adalah para Kaiju yang mungkin saja sebentar lagi akan tiba dalam waktu kurang dari satu jam, bocah."

Kali ini, Eren benar-benar menegakkan kuping dan wajah hanya untuk mendengar apa saja yang akan Levi utarakan. Teori postulatnya banyak dikutip dari salah satu peneliti terbaik yang dimiliki kesatuan. Hanji, wanita aneh dengan adiksi berlebih terhadap Kaiju. Membunuh satu Kaiju akan mendatangkan dua Kaiju. Dua Kaiju tewas, maka akan datang empat. Akan bertambah dua kali lipat setiap kaum mereka ditebas dengan seenaknya oleh bangsa kerdil berteknologi mutakhir bernama manusia. Teori Hanji dibuktikannya dari percobaan demi percobaan melalui sisa tubuh Kaiju yang berhasil dibawa pulang beserta pola perilaku mereka yang sangat mudah untuk dibaca. Begitu terstruktur layaknya dikomando oleh makhluk lain dengan kecerdasan setingkat insani.

Pemuda itu memejamkan mata erat-erat, mengingat kembali ilmu-ilmu yang dahulu terlupakannya selama duduk di bangku Jaeger's Academy. Sudah seharusnya ia lebih memerhatikan jam pelajaran satu itu dibanding membuka-buka PDA sembari mengulik biografi Jeager-Jeager yang diciptakan khusus oleh kakek dan almarhum ayahnya. Pencariannya membuahkan hasil hingga ia akhirnya membuka situs rahasia milik Scouting Legion. Menemukan dua jenis Jeager berbeda, namun dengan karakteristik yang nyaris menyerupai. Pemburu sempurna dengan kemampuan superior. Yang tertua dan yang pertama adalah Jeager yang berhasil dikontrolnya hingga saat ini. Diikuti buatan tangan jenius sang Ayah—

—monster setinggi delapan puluh ribu kaki dengan dua buah sayap raksasa.

Wings of Freedom.

"Kau tidak perlu takut, bocah. Wings of Freedom mungkin saja membuatku mati perlahan-lahan, tetapikematianku tidak akan sia-sia. Darah ini—mewakili banyaknya Kaiju yang berhasil kubawa pulang. Remember that, soldier."

Tatapan Eren menurun hingga kedua alisnya berkerut kasar. Kesepuluh jemarinya berada pada mode kepalan kuat. Ia lalu berdiri dan menatap lekat-lekat Levi yang bersusah payah mengatur nafas di antara tetesan darah dari hidungnya. Tanpa aba-aba, pemuda itu merangkul tubuh sang korporal seperti menghangatkannya dalam pelukan dan membawanya tuk terduduk dengan benar di kursi. Levi tak melawan. Siasat yang cukup bagus.

"Kemarikan kain itu, Eren." titah Levi. Eren segera menyodorkan tepat di depan wajahnya. Diraihnya pelan untuk menghapus sisa-sisa darah di wajah hingga dagunya.

"Corporal—kenapa Anda tidak—"

"Hush, lebih baik jika tak ada yang tahu." potongnya cepat.

Sekali lagi, Eren tak bisa mengontrol bagian dari ego miliknya yang membuncah di saat yang tidak tepat. Mungkin itu juga yang memicu perubahan sikap Rogue Titan selama ia berada dalam mode hidup. Dan turut menyumbang alasan terhadap kelakuan Jeager tertua itu selama berada pada kondisi R.A.B.I.T. Mengancam siapapun, tak peduli manusia di sekitarnya. Sebab, di dalam R.A.B.I.T, sisi emosional dan primitif Rogue Titan akan mengendalikan otak si pilot hingga bahkan kopilotnya. Dan, Eren harus menerima tamparan telak dari Levi di depan kawan-kawan sekelasnya karena nyaris menghancurkan dinding Shatterdome saat dikuasai oleh mode R.A.B.I.T Jeager-nya.

Amarah. Kunci dari segala murka yang menyala dan membangkitkan api dalam tubuh gigantiknya. Mungkin, ia tak paham, kemarahan itu sendiri merusak bagian sensoris yang dimiliki Rogue Titan. Apa yang berada di hati sang pilot akan mewakili apapun yang tampak pada wajah serta gerakan Jeager-Jeager itu. Mereka tak punya raga, namun rohani manusia di dalamnya menjadi ruh yang menggerakkan segalanya. Semestinya Eren menguasai hal kecil semacam itu. Seharusnya ia lah tuan untuk monster yang khusus didesain demi menyelamatkan umat manusia di masa depan. Ia menolak tuk menengok ke belakang. Karenanya, karena itu, ia jauh lebih lemah dibanding pilot-pilot muda yang kini telah memasuki neural handshake mereka di antara deburan ombak.

Di saat itu pula, bulat turquoise miliknya membulat super maksimal.

Bunyi bising dari sirine meraung-raung tiada henti. Eren menoleh, tak bisa mengatupkan bibir, hanya mengamati tiga—ah tidak—ada empat Jeager milik pasangan pilot-kopilot sahabat-sahabatnya sendiri. Jean bersama Marco dengan Jeager berwarna putih gading—Eureka Strike. Mesin dualism dengan kekuatan turbo jet. Annie bersama sang Ayah di dalam sosok Jeager bertubuh feminim nan jelita. Seolah memiliki surai keemasan, terutama saat mentari membias di antara langit kelabu selepas hujan. Dijuluki The Lady Curse. Bertholdt dan Reiner yang sibuk memasang lima ribu plat baja titanium di sekujur tubuh Jeager-nya—Armored Titan. Dan, yang terakhir sedang menunggu untuk dilepaskan.

'Kepada Eren Yeager. Diharapkan tuk segera memasuki Rogue Titan. Diulang. Kepada Eren Yeager, untuk segera memasuki Rogue Titan. Kaiju kategori empat dan kategori dua berada pada jarak radius kurang dari lima ratus meter.'

Lagi.

Terulang. Sekali lagi.

Dua mati akan datang empat.

Maka dari itu, mereka mengerahkan empat Jeager sekaligus.

Ya.

Rasanya seperti baru saja ditebas oleh sirip-sirip bersisik Kaiju tipe akuatik yang sangat hobi meluncurkan cairan berbau busuk dari lubang hidungnya. Eren seolah sulit menggerakkan anggota tubuhnya. Yang didapatkannya saat mencoba untuk melirik ke arah Levi hanyalah tatapan mata lelah miliknya. Jika mata dapat berbicara, sudah saatnya ia melangkahkan kaki menjauh dan mengambil posisi di basement. Mengganti suit dan kembali—lagi—lagi—dan lagi berbagi pikiran, perasaan, dan memori dengan Mikasa. Hal yang akhir-akhir ini kian dibencinya.

"She calls you. Now, go."

Siapa dia?

Bukan debar jantungnya yang terdengar bagai derap kuda. Bukan pula deburan ombak dari sisi kejauhan sana, melainkan bayang setinggi nyaris delapan ribu kaki. Pertarungan akan segera dimulai. Raungan Eureka Strike dan Armored Titan bertalu-talu bergantian. Sang wanita cantik yang masih terdiam di antara kedua raksasa tersebut hanya tertunduk. Namun, tak pernah ada yang bisa memerkirakan isi pikiran sang Lady. Melihat sosok yang kini telah berada di dalamnya, adalah kewajaran yang muncul sebagai konklusi. Sepasang Leonhardt berwujud ayah dan gadis kecilnya memiliki kekompleksitasan karakter yang sulit direka-reka. Isu pernah menyebutkan sosok The Lady adalah penggambaran mini akan ibu sang gadis cilik yang telah lama bersemayam di dalam Surga. Memori Eren semakin mengabur. Terdistorsi satu dengan yang lainnya hingga suara serak Levi membangunkannya dari alam lain.

"Jika ia bersedia dikendalikan lagi olehku, maka disitulah aku akan berada. Kecamkan itu baik-baik, bocah."

Lalu, ia membuka mata selebar mungkin. Kembali pada realita yang menyakitkan.

"HA, SIR!"

Masa lalu akan terulang lagi. Terputar dari kamera tua. Menghubungkan banyak kisah yang tiada satupun tahu selain dua sosok itu sendiri.

Bahwa—

—Levi dan Irvin Smith adalah dua pilot yang disatukan dalam Rogue Titan.

Hingga, Kaiju berwujud Colossal menebas sang komandan.

Meninggalkan sang kopilot dalam kesendirian.

Menempuh perjalanan sejauh perut bumi, tepat di tumpukan bekuan es Kutub dengan hanya sebelah tubuhnya.

Diselamatkan oleh sekelompok penghuni ujung universal yang membangun tembok-tembok mereka sendiri.

Kisah baru terbuka kembali.

Dengan dasar ideologi yang tersamarkan.

Kebohongan bila Levi adalah satu-satunya dari sekian banyak pilot jenius yang mampu mengendalikan Jeager terbaik dan tertua milik dunia.

Dan, mari kita tutup buku sejarah.

.

.

.


To Be Continued


Author's Note :

Random Access Brain Impulse Triggers (R.A.B.I.T.) merupakan gangguan sistem memori saat salah satu pilot Jeager 'melompat' dan terfokus pada memori yang paling melekat di dalam otaknya. Semisal, Eren punya masa lalu yang buruk terhadap Kaiju di masa ciliknya dan memori itu cukup membekas dan membuat luka. Memori-memori tidak menyenangkan itulah yang akan membuat Jeager merasa mampu untuk bergerak tanpa impuls tahanan dari manusia di dalamnya. Dia jadi bergerak mengikuti insting dan bersikap begitu primitif layaknya binatang yang sedang dikuasai oleh adrenalinnya. Ada bahaya sedikit, bukannya lari tapi malah melawan.

Jadi, kekacauan-kekacauan si Eren selagi berada di dalam Jeager-nya sesuai yang telah disebutin dalam fanfic ini berasal dari penjelasan di atas ya. :D

Duh, saya suka banget sama Gipsy Ranger. Aw, aw, aw. Tapi, ngebayangin para Titan malah dijadiin Jeager sebenarnya jauh lebih cool! (yay)

Banyak yang ngebingungin terutama bagi yang belum nonton Pacific Rim. Jadi, memang agak sulit bagi saya buat ngejelasinnya. Wkwk.

Kenapa judulnya Future alias Masa Depan? Karena, inilah masa depan kita. *jyaaah*

Any random questions? Feel free to PM me. :D

Review? Thanks.