Another fic. Minna~

Declaimer Masashi Kishimoto

Story : Envy

Pair : SasuIno, SasuSaku, SaiSaku

Warnings : Typos, abal, OOC, dll.

Enjoy please

...

~! #$%^&*()~

They are full of funny

Doing everything with the other

Running, playing, and jumping

They do it together

But I'm just alone

Sitting here only me and this disease

~! #$%^&*()~

Kenapa aku harus mengalami semua ini? Kenapa hal ini hanya terjadi padaku seorang? Kenapa semua teman temanku tidak mendapat takdir yang sama denganku? Kenapa hanya aku? Kenapa?

"Ino! Beristirahatlah!" seseorang memerintahku, lebih tepatnya mengingatkanku. Ia adalah Sakura, sahabatku berambut pink sekaligus dokter yang memeriksaku.

Ya, namaku Ino, Yamanaka Ino. Dan kini, aku berada di salah satu kamar rumah sakit Konoha sebagai seorang pasien.

Tak perlu ditanya lagi, keberadaanku di sini yang pasti karena aku sakit. Sebuah penyakit menyerangku yang entah kapan, tanpa kusadari.

Sebagai manusia, memang wajar bila terkena penyakit, tapi yang membuatku sedih dan terkejut sangat adalah penyakit ini belum diketahui nama, sebab, apalagi penawarnya.

Kadang aku berpikir aku tidak terkena suatu penyakit apapun, tapi terjadi kesalahan pada sarafku. Walaupun begitu, kemungkinan kedua juga tak mengurangi kekhawatiranku.

Aku tak tau awal dari semua ini, hanya saja, sekarang aku merasa aneh. Beberapa memoriku terasa hilang. Aku hampir tak merasakan apa apa sama sekali. Serasa hidupku hanya lamunan, sehingga terkesan tak sadar. Bahkan, aku sering lupa dengan apa yang baru saja kukerjakan. Dan hari hariku hanya diisi dengan kegiatan tidur tidur dan tidur. Nafsu makan hilang, termasuk nafsu bermain yang menyenangkan saja juga telah hilang.

Untuk saat ini, aku tak lagi memikirkan pekerjaanku yang dulunya sangat kugemari, pelukis. Penyakit ini menggangguku, mengganggu hidupku.

"Ino, hentikan acara berdiri-melamun-di-jendela-mu. Tidurlah..," Sakura kembali memintaku. Walau nadanya terkesan lembut, tetap terdengar jelas kalau ia sedang jengkel dengan kelakuanku.

Aku menurut. Kulangkahkan kakiku ke pembaringan salah satu kamar rumah sakit ini dengan gontai. Sungguh, aku tak punya semangat sama sekali. Aku hanya ingin sembuh, sama seperti dulu.

"Tidurlah!" perintah Sakura sekali lagi ketika aku sudah menaikkan diriku ke kasur ruang ini.

"Aku tak mengantuk, Sakura," balasku.
Aku memposisikan diriku duduk di atas kasur. Selimut kutarik setengah tubuhku dan kulihati Sakura yang mulai mengupas buah buah bawaannya yang pada akhirnya mungkin takkan kusentuh.

Kuamati wajah putih sahabatku yang tengah serius dengan apa yang dilakukannya. Wajah itu terlihat tanpa beban, hanya kekhawatiran karena keadaanku. Kadang aku merasa bersalah padanya, tapi dibalik itu semua.., aku merasa iri. Iri padanya.

Kami pernah saling mengakui kalau kami adalah rival. Rival tak akan menyerah demi untuk menang. Kami terus bersaing demi yang terbaik dalam semua bidang kehidupan.

Tapi, begitu kusadari, keberuntungan selalu berpihak pada sahabatku ini. Mulai dari pendidikan, kesehatan, keluarga, pekerjaan, pacar, dsb, semua menjadi keunggulan Sakura. Atau malah, tak ada satupun kepunyaanku yang mengunggulinya.
Memikirkannya, membuatku bertambah iri saja terhadapnya.

Aku merasa hidupku beberapa bulan ini sangat berkebalikan dengan kehidupan teman temanku.

Penyakit ini memang belum satu tahun menjangkitku, tapi aku sudah merasakan efek letih dan gerah dari semua ini. Beberapa hari sebelum aku masuk rumah sakit, Sakura diangkat menjadi dokter. Padahal dulu kami sama sama kuliah di dunia kedokteran, tapi, sekali lagi kukatakan keberuntungan berpihak pada Sakura, sehingga aku harus mengakui kekalahanku dengan isyarat sebagai pasien, dan ia menjadi dokternya. Benar benar konyol.

"Ino, buka mulutmu!" Sakura menyodorkan garpu yang terdapat potongan apelnya kepadaku.
Aku hanya diam menurut. Rasa apelnya sedikit manis dan sangat hambar. Ya sangat hambar. Itulah respon motorik yang disampaikan indra perasa di lidahku.

"Bagaimana? Manis bukan? Aku sudah mencicipinya juga tadi pagi," Sakura berkata sambil tersenyum. Mungkin ia berusaha menghiburku. Tapi, maaf Sakura, andaikan aku tak memikirkan perasaanmu, mungkin sekarang sudah kuungkap setiap bagian kekesalan hatiku padamu. Mulai dari rasa apel ini yang sangat hambar hingga rasa iri yang selama bertahun tahun kupendam, akan kuungkapkan padamu.

Dan setelah itu, aku akan sangat menyesal telah mengatakannya ketika kau membuat keputusan untuk mengakhiri persahabatan kita. Tapi, apa daya? Aku memang sudah tak kuat lagi.

CKLEK

Suara pintu kamar yang dibuka mengalihkan perhatian kami. Di sana, berdiri seorang pemuda tampan berpakaian hijau dari keluarga Nara dengan ekspresi malasnya selalu, Shikamaru. Tangan kanannya memegang buket bunga kesukaanku.

Shikamaru mulai mendekat ke arah kami. Pandangan kami tak lepas dari setiap langkah yang dibuatnya.

Ia Shikamaru, sahabat serta cinta pertamaku, kini tengah dalam pertunangannya dengan Temari, kakak kelas kami dulu. Heh, yang benar saja, bahkan berita hubungan mereka pun kudapat tak lama setelah aku didiagnosa untuk tinggal di rumah sakit. Untuk kedua kalinya, konyol sekali.

Aku kesal, aku kesal pada teman temanku yang tak bersalah apa, mereka tak tau apa apa. Aku juga kesal pada orang orang yang tersenyum bahagia, membuatku semakin iri saja dengan kehidupan mereka. Intinya, aku kesal karena aku tak dapat lagi merasakan bagaimana bahagia itu.

Tapi, aku tak bisa menyalahkan siapapun, aku memang tak seharusnya menyalahkan mereka. Lalu siapa? Takdir?

Tidak. Aku tak menyalahkan takdir. Aku tak boleh menyalahkan takdir. Itu sudah menjadi prinsipku. Entah alasannya apa, aku telah lupa.
Tapi, aku juga sedikit lega. Benakku selalu dipenuhi dengan penyakit ini, sehingga aku tak merasa terlalu cemburu pada pria yang masih kusukai ini, lebih tepatnya, sedikit kusukai.

CKLEK

Lagi lagi pintu kamar yang sempat tertutup dibuka oleh seorang yang tak asing lagi di mataku, Sasuke. Kukatakan ia tak asing lagi di sini karena ia memang sering menjengukku bersama Shikamaru.

Waktu kutanya alasan kedatangannya, sesering mungkin ia menjawab telah bertemu Shikamaru dalam perjalanan ke rumah sakit dan akhirnya berakhir di kamar ini. Ia juga pernah menjawab, kedatangannya berhubungan dengan Sakura. Entah itu untuk menengok Sakura atau apalah aku tak tau dan tak mau tau.

Ya, ini juga yang menjadi alasan aku iri pada Sakura. Tepat setelah sehari semalam aku berada di kamar ini, Sasuke menembak Sakura. Aku tau karena Sakura bercerita langsung padaku. Dan ia begitu bahagia ketika menceritakannya.., yang membuatku sedikit jengkel.
Tidak, aku tidak cemburu padanya. Aku sama sekali tidak punya rasa pada pemuda bermarga Uchiha itu. Aku hanya iri.

Cinta yang pernah dipendam Sakura akhirnya terbalas. Berbeda dengan cerita cintaku yang harus kupendam di bagian akhirnya. Aku telah kalah dari Sakura.

"Kau masih pusing?" tanya Shikamaru merusak pikiranku. Kualihkan pandanganku kepadanya. Aku menggeleng. Ia mendekat ke arahku dan mengecup keningku sekilas. Ya, hal ini sudah biasa ia lakukan. Tapi, kali ini aku tak dapat berharap kecupan itu mempunyai maksud lebih dari hanya sekedar kecupan singkat antar sahabat. Bahkan ia tak lagi menganggapku sahabat, ia telah menyebutku sebagai saudara perempuan barunya. Heh, aku lebih suka sebagai sahabatnya daripada saudaranya.

Tapi, sayang sekali, aku tak dapat menganggapnya sebagai saudara laki lakiku. Aku belum bisa.

"Tidak, aku tidak pusing lagi," jawabku tersenyum kecut. Sebisa mungkin aku harus berakting kalau tidak ingin membuat penghuni lain di ruangan ini ikut khawatir akan keadaanku.

"Jangan terlalu memikirkannya.., kau hanya akan menyiksa dirimu sendiri," ucap Shikamaru memberi pengertian. Aku sedikit lega mendengar kalimatnya.
Shikamaru menaruh buket itu di pangkuanku. Kemudian, ia mengambil kursi untuk duduk di dekat kasurku juga.

Waktu pun berlalu dalam percakapan yang dibuat Shikamaru dan Sakura. Mereka membicarakan keadaan dan perkembanganku.

Aku tak terlalu peduli dengan apa yang mereka bicarakan, karena mungkin yang mereka bicarakan, hanya akan sama dari waktu ke waktu-acara-menjenguk-pada-ku. Aku hampir kehilangan harapanku.

Sementara Sasuke, pemuda itu hanya diam mematung. Kadang menyahuti pembicaraan dua orang lainnya, tapi hanya kadang dan jarang sekali.

Entah bagaimana dia bisa betah terdiam seperti itu sepanjang waktu ini, aku juga tak peduli. Hanya saja, sesuatu tentangnya membuatku tertarik.

Ia begitu diam. Diamnya membuahkan berbagai tanya di benakku. Pasalnya, selama ia mengunjungiku kemari bersama Shikamaru, pemuda itu tetap diam seribu kata. Hanya suara Shikamaru yang mendominasi.
Aku penasaran dengan apa yang ada di pikiran pemuda itu. Ingin aku bertanya kepadanya, tapi statusnya sebagai pacar Sakura membuatku berpikir dua kali untuk melakukannya.

Aku tak ingin membuat Sakura berpikir macam macam tentang kami setelah penantian sekian lamanya untuk mendapat perhatian pemuda itu.
Aku tak sejahat itu.

"Ino, aku akan mencoba konsultasi dengan dokter Sai. Mungkin ia tahu apa yang menjadi keluhanmu selama ini. Kalau tak keberatan, aku akan mengajukan operasi kepadanya. Bagaimana?"

Atensiku kembali pada Sakura, lebih tepatnya pada apa yang Sakura katakan. Mataku melebar demi meminta penjelasan lebih lanjut.

"Dokter Sai ahli dalam bidang saraf, mungkin ia dapat membantu,"
tanpa berpikir lebih banyak, aku menyetujuinya. Inilah yang selama ini kutunggu tunggu. Saat saat yang berharga seperti ini, aku harus mencoba. Aku ingin segera sembuh.

"Katakan padaku kalau ia menyetujuinya, aku mau dioperasi," itulah kalimat harapanku. Semoga setelah ini, aku bisa keluar dari rumah sakit dan hidup layaknya kehidupanku dulu.

~! #$%^&*()~

Having this severe disease

Make me can't do anything with them

Doesn't let me the same as them

~! #$%^&*()~

Hari pun berlalu. Hari ini adalah hari Sabtu. Sudah hampir seminggu, aku belum mendapatkan kepastian dari dokter Sai. Ia terlalu banyak jadwal yang harus ditangani. Begitupun Sakura, ia harus membantu menangani pasien pasien dokter Sai agar tanggungan dokter Sai berkurang dan akhirnya operasiku dilaksanakan.

Aku menyisir rambut pirang yang kugerai. Hari masih pagi dan kini aku sendiri. Hari Sabtu kebanyakan dokter sedang libur. Sementara Sakura, ia ditugaskan di rumah sakit lain setiap hari Sabtu dan Minggu, membuatku sendirian untuk saat ini.

Aku kembali mendudukkan diriku di kasur rumah sakitku. Makanan yang dibawa Otou-san tadi pagi pagi sekali sudah tinggal wadah kosong. Aku sudah makan.
Mataku menerawang keluar jendela untuk mengamati manusia manusia di kegiatan pagi mereka di luar sana. Mereka sibuk, tapi tampak senang. Ekspresi itu, oh jangan lagi, mereka membuatku iri.

CKLEK

Suara itu mengalihkanku dari acara-mengamati-manusia. Siapa gerangan yang datang di hari Sabtu begini? Sakura tak ada, Tou-san bekerja, sementara Shikamaru? Ia mungkin lebih memilih untuk tidur tiduran di hari libur kerja seperti ini.

Sosok itu akhirnya tertangkap oleh indera penglihatanku.
"Sasuke? Ada angin apa nih, sehingga kau kemari tanpa Shikamaru?" tanyaku dengan tersenyum.

Yang kutanyai semakin berjalan mendekat ke arahku.

"Aku tidak butuh Shikamaru hanya untuk mengetahui letak kamarmu,"
oh, pengandaian yang masih ambigu. Tapi aku cukup paham apa maksudnya. Kutampilkan sedikit seringaianku,

"Benarkah? Aku masih merasa aneh," kataku.

"Kau yakin datang kemari karenaku? Bukan karena Sakura? Aku yakin kau pasti tau jadwal Sakura hari ini, ya kan?" aku minta penjelasan lebih.
Tapi, bukannya menjawab, Sasuke justru menarik sebuah kursi roda di sudut ruangan dan mendorongnya ke arahku.

"Aku tau," ucapnya sebelum menarik pelan lenganku untuk mengikuti maunya, mendudukkanku di kursi roda itu.

"Apa kau keberatan bila hari ini hanya aku saja yang menemanimu, Ino?"

TBC

Bagaimana Minna? Sudah punya gambaran depannya?

Mind to R n R?