White Lotus

Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto. Tidak ada keuntungan material apapun yang didapat dari pembuatan karya ini. Ditulis hanya untuk hiburan dan berbagi kesenangan semata.

Pairing: Uzumaki Naruto/Hyuuga Hinata. Genre: Adventure/Romance. Rating: T. Other notes: post-canon. alternative time.

(Di sinilah semuanya yang baru dimulai. Kehidupan baru, asam-manis kehidupan yang baru pun telah siap dikecap. Apa saja yang akan terjadi setelah pernikahan Sang Hokage dan Sang Pewaris Souke?)


#epilog


"Biar aku saja, Hinata."

Hinata berhenti dulu membalut pergelangan kaki kanannya untuk kemudian mengangkat kepala dan memandang seseorang yang datang melalui pintu kamar yang sama sekali tidak tertutup. "Naruto-kun!" dia langsung berdiri, menyambut kedatangan sang Hokage yang baru saja selesai mengadakan pertemuan dengan para petinggi ANBU.

"Stop," Naruto memerintahkan, Hinata yang sudah akan berlari ke arahnya pun berhenti.

Kepala Hinata dimiringkan sedikit, dia bingung. Tapi Naruto buru-buru memusnahkan rasa tak mengerti Hinata, "Jangan banyak berlari dulu. Aku yakin itu pasti masih sakit," tunjuknya pada kedua pergelangan kaki Hinata yang belum sembuh benar lukanya. Goresan itu cukup dalam, bahkan kadang masih mengeluarkan darah hingga sekarang, di hari kedua setelah kepulangan Hinata kembali. "Sini, aku yang melilitkan perbannya."

Hinata cuma bisa menurut ketika Naruto menghampirinya, menyuruhnya untuk duduk dengan isyarat, serta melilitkan perban baru untuk luka itu. "Apa perlu kubawa ke Sakura-chan lagi, biar ini cepat sembuh?"

Hinata pun menggeleng. "Tidak usah. Ini bisa sembuh dengan sendirinya. Lagipula, Sakura-chan pasti sedang kerepotan. Dia akhir-akhir ini makin sibuk, 'kan?"

"Yah, tapi dia pasti bersedia meluangkan waktu untukmu," Naruto mengikatkan kedua ujung perban, menyelesaikan pekerjaannya. Dahinya sedikit berkerut dan bibirnya melengkung cemberut ketika dia membandingkan hasil kerjanya dengan lilitan perban yang ada di kaki kiri serta kedua pergelangan tangan Hinata—ketiga tempat itu lebih rapi balutannya. Tanda bahwa dia memang tidak bisa serapi dan setelaten Hinata dalam melakukan beberapa hal detil begini. Namun, Hinata tidak kelihatan mempermasalahkannya.

"Hinata," panggil Naruto, mulai serius. "Setelah apa yang terjadi padamu ini, aku mau mengulangi pertanyaanku."

"Apa itu, Naruto-kun?" Hinata bertanya dengan mengarahkan pandangan penuh pada Naruto. Naruto sempat kehilangan kata-kata sebentar karena dia menghabiskan waktunya untuk memandangi, mengagumi, serta berdecak dalam hati karena wajah Hinata yang sedang menatapnya. Mata bulat bak rembulan, pipi sehalus porselen, kemisteriusan yang dihidangkan Hinata lewat cara pandangnya yang tenang, semuanya membuat Naruto tersenyum pada akhirnya.

"Apa kau yakin, kau mau pensiun dari dunia ninja setelah menjadi istriku?"

Maka Hinata pun tersenyum. Wajahnya tertunduk, rona malu nampak sedikit di pipinya. "Kurasa ... tidak. Aku berubah pikiran."

Senyum yang lebih cerah terbit di wajah Naruto.

"Aku bilang dulu, aku mau menjadi wanita yang sehebat ibuku, mendidik dari belakang dan berhenti menjadi ninja, tapi kemudian ... setelah kupikirkan kembali ... akan lebih baik jika aku bisa jadi ibu yang mendidik anak-anak dari belakang sekaligus menjadi ninja yang hebat di luar. Karena aku adalah istri Hokage," dia menyebut bagian terakhir dengan lembut dan sambil memajang senyum, "Aku harus menunjukkan pada dunia pula bahwa aku bisa. Aku akan jadi ninja yang hebat pula ... lalu ... mengatakan pada orang-orang bahwa kita adalah keluarga ninja yang menyokong Konoha ... serta melindungi seluruh isinya."

Naruto meraih tangan Hinata, kemudian mengecup punggung tangan tersebut, berlanjut hingga ke buku-buku jari Hinata. "Terima kasih sudah mau berjuang bersamaku."

"Itu kewajibanku, Naruto-kun." Hinata menjawab, dibalasnya genggaman tangan Naruto dengan lebih erat. "Terima kasih juga ... sudah mempercayaiku ... sebagai ... sebagai ..."

"Sebagai apa, Hinata?" senyum Naruto menggoda. Tatapannya jahil dan bisa saja dia cubit pipi Hinata sekarang, namun dia lebih menanti lanjutan perkataan Hinata ketimbang mengekspresikan rasa gemasnya.

"Sebagai ..." Hinata pun menunduk lagi, kali ini lebih dalam dan wajahnya lebih merah, sepertinya dia butuh keberanian lebih untuk mengatakannya. Ah, Naruto pun mengerti, digenggamnya lebih erat lagi tangan wanita itu untuk menguatkannya.

"Sebagai calon ibu dari anak-anakmu kelak."

Lantas, Naruto pun tertawa, tawa bahagia. "Ya, sama-sama, Manis," dia mengelus kepala Hinata. Lantas dia pun berdiri, dengan tangan mereka yang masih bertautan dia pun mengajak Hinata untuk bangkit pula. "Terima kasih juga sudah bersedia jadi ibu dari anak-anak penerus Hokage keenam ini. Apa sakit waktu berjalan? Biar kugendong kau sampai ke depan, hahaha."

"Y-ya ..." Hinata mengangguk. "Bisa, Naruto-kun. Bukannya dari kemarin memang aku sudah bisa berjalan sendiri?"

"Tapi kalau sakit, bilang saja, ya! Aku akan membantumu berjalan."

"Terima kasih," Hinata mengangguk. "Ada sesuatu di luar, kah, Naruto-kun?"

"Mm, lihat saja nanti," Naruto tersenyum kecil. "Ngomong-ngomong, apa kau tahu siapa sebenarnya laki-laki yang menculikmu itu? Tidak kusangka dia bisa sejahat itu dan berniat balas dendam cuma karena terlalu cinta dengan ibumu."

"Furiyama Sougo. Dia berasal dari desa lain. Dan kurasa ... Naruto-kun masih ingat ceritaku waktu kita mencari bunga lili dulu, tentang ibu yang dilamar oleh seseorang yang kaya namun menolaknya karena lebih memilih ayah. Aku hanya tahu sampai situ."

"Iya, aku ingat itu. Aku juga hanya tahu sampai sana. Dan aku cukup kagum dengan kemampuannya serta teratai putih yang dia punya itu. Lalu ... aku juga belum mengerti hubungannya dengan Ichi—anak yang terobsesi padamu itu."

"Teratai putih itu ... memang benda kebanggaan klannya. Ayah baru menceritakan tentang itu padaku tadi pagi," Hinata menatap lurus-lurus ke depan. "Klan mereka khas dengan teratai. Di desa mereka, mereka tinggal di rumah yang dikelilingi kolam teratai karena bunga itu dianggap magis oleh mereka. Bahkan, dulu, dia pernah menawarkan hadiah berupa teratai dari emas jika ibu mau menikah dengannya."

Naruto mengangguk.

"Dan Ichi ... punya pertalian darah dengannya. Ichi sempat tinggal dengannya, begitu yang sempat kudengar dari Ichi," wajah Hinata agak sendu ketika menyebut nama itu. "Dia mengajarkan banyak hal pada Ichi ... semua adalah bagian dari usahanya untuk balas dendam pada keluargaku. Dia menggunakan Ichi yang polos untuk membawaku ke sana, karena dia tahu hubunganku dengan Ichi—jadi baginya ... pasti lebih mudah untuk memancingku dengan Ichi sebagai umpannya."

"Oh, begitu ..." Naruto melirik Hinata. Dilepaskannya pertalian tangan mereka untuk kemudian menggunakan tangannya mengusap kepala Hinata yang mulai terlihat sedih setelah menceritakan tentang Ichi.

"Ichi sebenarnya bisa dididik di Konoha ... dia punya kemampuan langka dan elemen cahaya yang sangat berguna. Tapi ..."

"Sudah, jangan terlalu bersedih. Kau perempuan yang kuat," Naruto merangkul bahu Hinata. "Tersenyumlah, karena—" Naruto sengaja memutus kalimatnya.

"Halo, Hinata!"

"Hinata!"

"Hai!"

"Ka-kalian?" Hinata kaget mendapati ruang tamunya penuh dengan kawan-kawannya. "Se-selamat datang!" dia pun tersenyum lagi, duduk pada bantal berwarna ungu muda kesayangannya. "Ah, seandainya aku tahu kalian semua akan datang, aku akan memasak untuk kalian."

"Tidak usah repot-repot, Hinata," Ino, yang berada terdekat dengannya setelah Sakura, pun memberikan seikat bunga. "Sudah baikan, bukan? Ini, bunga untukmu, spesial kurangkai sendiri untukmu!"

Seikat bunga lili dan mawar yang digabung dan ditata dengan rapi itu pun diterima oleh Hinata. "Terima kasih," ucapnya dengan suara rendah. "Aku jadi tidak enak, kalian mau kumasakkan sesuatu, kah?"

"Heiii, tidak usah," Sakura menepuk bahu Hinata. "Kau punya banyak pelayan, 'kan, Hinata?"

"Aku sudah meminta mereka untuk memasak sesuatu untuk kita," Naruto nyengir lebar.

"Haaah, Naruto," tegur Kiba sambil menguap, "Kau itu laki-laki, masih mau numpang hidup di sini? Ini 'kan rumah keluarga istrimu, buat sendiri, dong."

DUAK—jawaban pertama yang diterima Kiba adalah pukulan pada kepalanya, dan Naruto menjawab sewot (namun yang lain malah tertawa, cukup terhibur sekaligus senang karena Naruto masih Naruto yang dulu, berikut dengan hubungannya dengan Kiba yang seperti kucing dan anjing), "Kau tidak lihat di ujung komplek sana? Mereka sedang membangun rumahku, bodoh. Dan apa kau tidak tahu, seorang Hokage memang diberikan satu rumah di dekat gedung sana. Bisamu cuma komentar saja."

"Ugh, iya, iyaaa, aku tahu," Kiba mendengus. "Hinata, apa dia memperlakukanmu dengan baik sejauh ini? Awas kalau tidak, aku dan Shino sudah siap menghajarnya."

Hinata hanya tersenyum simpul, malu-malu. Naruto lantas langsung menyambar, "Awas kau setelah ini, Kiba."

Kemudian, ruang itu pun diisi dengan tawa. Cerita-cerita berlanjut dari yang sederhana hingga yang spesifik mengenai keseharian mereka, sebagai pengisi suasana berkumpul yang memang sengaja diadakan Naruto untuk merayakan kembalinya Hinata.

Namun mereka tidak menyadari, secara tersembunyi di bawah meja ada dua tangan yang tidak mau melepaskan genggaman satu sama lain sepanjang acara. Lima jari tangan kanan Naruto tidak bosan membagi hangatnya dengan kelimat jari kiri Hinata, menjadikan mereka tersenyum terus bahkan sampai acara selesai.


Beberapa tangkai bunga lili ditaruh di atas makam yang sederhana itu. Hinata belum juga selesai mengucapkan doanya meski Naruto telah rampung mebacakan permohonan-permohonan singkat yang sampai berulang tiga kali—saking lamanya Hinata menutup mata.

"Lama sekali berdoanya," celetuk Naruto, setelah—akhirnya—Hinata membuka mata dan menggamit kembali tangan Naruto.

"Aku bercerita banyak pada Ibu," Hinata mengelus batu putih tinggi yang menjadi penanda bahwa di situlah tempat ibunya bersemayam. "Tentang kau, tentang Ichi dan tentang Furiyama-san."

"Andai beliau masih di sini," Naruto memandang objek yang sama dengan Hinata, "Mungkin beliau akan marah besar dengan Furiyama."

"Kalau Ibu masih di sini ..." Hinata menggantung kalimatnya. "Dia pasti bangga punya menantu seperti Naruto-kun. Yang kuat, yang hebat, dan yang punya tekad baja dan bersedia menjaga apapun yang Naruto-kun punya ... walau harus bertaruh nyawa."

"Heheheh, kau terlalu memuji," Naruto pun mengacak-acak rambut Hinata. "Hei, ayo. Ibuku sudah menunggu di sana. Sambung lagi doamu untuk ibumu besok. Ayo, naiklah ke punggungku, naik bukit itu susah untuk kau yang masih belum sembuh benar. Kita akan lewat jalan pintas dan melompat segera ke puncaknya!"

"Tidak, Naruto-kun," tolak Hinata. "Aku bisa berjalan, jangan aku tidak keberatan naik ke bukit meski kakiku seperti ini, untuk mengunjungi ibumu."

"Jangan memaksakan dirimu."

"Aku ingin berjalan melewati desa dan melihat keadaannya ... serta menyapa mereka," Hinata bersikeras, namun dengan cara yang halus dan lembut, "Suamiku adalah seorang Hokage. Istrinya juga harus tahu banyak tentang desa, harus peduli dan bersosialisasi dengan penduduk juga ..."

Lagi-lagi, Naruto tersenyum, namun dia sama sekali tidak bosan, "Harus berapa kali kubilang, Hinata, aku benar-benar beruntung bisa mendapatkan wanita sepertimu."

Maka mereka pun berjalan keluar dari komplek pemakaman khusus keluarga Hyuuga itu, melewati desa dan menyapa orang-orang yang berlalu melewati mereka. Apa lagi yang lebih menyenangkan untuk ditonton para penduduk selain dua anak manusia yang berjalan bergandengan tangan di sepanjang desa, dengan ramahnya tersenyum pada sekeliling, dan dua orang itu masing-masing adalah pemimpin mereka, sekaligus pendamping hidupnya—yang punya kekuatan serta tekad yang tak perlu dipertanyakan lagi?

Mereka pun tiba di bukit yang biasa, kali ini Naruto-lah yang lebih khusuk berdoa, dan kemudian bercerita dengan suara lantang di depan makam ibunya, tentang hal-hal luar biasa yang terjadi padanya dan keluarga barunya belakangan ini. Sesekali Hinata menyahutnya singkat, dan tersenyum di samping suaminya.

"Ibu jangan khawatir lagi sekarang! Aku punya istri yang baik dan dia juga hebat memasak! Ibu tidak perlu khawatir aku makan ramen terus tiap hari, dia bisa memasakkan macam-macam makanan untukku, hehehehe," Naruto tertawa lantang. "Pokoknya, aku tidak menyesal sama sekali memilih dia. Dia kuat tapi lembut di saat bersamaan. Aku yakin, kalau kalian bertemu, Ibu pasti akan memeluknya bangga dan setuju dengan kata-kataku."

Hinata cuma mengeratkan genggamannya pada tangan Naruto.

"Sudah dulu, ya, Bu, kami akan berkunjung lagi lain kali. Hari sudah hampir malam dan kurasa Hinata maish harus banyak-banyak istirahat. Selamat sore!"

"Selamat sore, Bu," Hinata mengelus batu putih itu sebelum mengucapkan doa singkat lain dalam hatinya sebagai penutup kunjungan sore ini.

Mereka berdua pun kembali menuruni bukit, lalu Hinata pun memulai pembicaraan lain. "Naruto-kun ..."

"Hn, apa? Capek? Naiklah ke punggungku."

"Bukan, bukan itu," geleng Hinata, "Aku mau minta maaf ... karena waktu itu ... aku memukulmu sampai terjatuh untuk menyerang Furiyama-san."

"Hah? Yang mana?" entah Naruto memang lupa atau hanya berlagak bodoh, Hinata tak sempat menilainya karena dia langsung meneruskan ucapannya.

"Yang waktu Furiyama-san sudah terikat ... dan dia memanggil kuncup terakhir teratai putihnya."

"Oh, yang itu, hahaha," Naruto tertawa lepas. "Aku sama sekali tidak mempermasalahkannya. Itu malah keren. Aku suka! Kau terlihat kuat dan sangat tangguh waktu itu. Buktinya, suamimu sendiri saja sampai kau singkirkan tanpa bisa berkutik," dia tersenyum lebar. "Lagipula itu serangan pamungkas yang benar-benar melumpuhkan dia dan jurusnya, ya 'kan? Kau hebat. Kau pahlawan waktu itu."

Hinata menggelayut malu-malu di lengan Naruto. "Ah, Naruto-kun ... kau berlebihan."

"Lupakanlah semua itu, yang jelas, semuanya sudah berakhir," Naruto melirik pada sisa satu tangkai bunga yang masih digenggam Hinata. "Masih mau ke makam Ichi, 'kan? Atau mau pulang saja, lalu bunga itu kau titip padaku untuk diletakkan di makamnya?"

"Tidak, aku juga mau ke sana," Hinata memandangi bunga teratai putih yang masih segar, dan bahkan masih basah di tangannya itu. Naruto yang memetikkannya dari kolam sebelum pergi ke sini. Bulir-bulir air masih memenuhi ruang di antara kelopaknya yang banyak dan mekar dengan indahnya. "Ayo."


Teratai putih itu diletakkan dengan sangat hati-hati di atas makam yang berada di ujung itu. Doa Hinata bahkan hampir sama panjangnya dengan yang dia ucapkan di depan makam ibunya sendiri.

Naruto menyadari apa yang terjadi pada Hinata setelah wanita itu bangkit berdiri, seusai berdoa. Diulurkannya tangan untuk menyeka wajah Hinata, terutama bagian pipinya yang basah, "Jangan menangis, kubilang. Ichi tidak akan senang melihatmu begini."

"Y-ya ..."

"Lagipula ..." Naruto menahan napasnya, "Aku yakin kau akan segera dapat pengganti Ichi. Entah perempuan atau laki-laki, aku tidak tahu. Yang pastinya, dia akan lebih kuat, lebih hebat, dan lembut sepertimu," Naruto memandangnya, tulus sekali sorot mata itu. "Yang memang darah dagingmu sendiri. Darah dagingmu dan aku."

Hinata akhirnya bisa tersenyum. Dia mengangguk, dan berjinjit sebentar. "Terima kasih, Naruto-kun," dia mencium pipi Naruto sebentar. Ketika dia menarik diri, dia masih memasang senyum di bibirnya. "Kau memang yang terbaik untukku."

Naruto menarik dagu Hinata, dibalasnya yang tadi dengan ciuman di bibir, yang lebih lama, yang menyuguhkan lebih banyak kehangatan. "Aku juga tidak bosan mengucapkan terima kasih padamu. Aku senang bersamamu dan memilikimu, karena kau memang takdirku. Mari kita pulang, istriku."

Mereka pun berbalik, Hinata sempat menoleh sebentar untuk mengucapkan salam perpisahan pada Ichi.

"Jadi ... anak pertama kita akan kita namai siapa, Hinata?"

"Hihi, Naruto-kun sudah memikirkan sampai sana. Kita baru beberapa hari menikah, Naruto-kun. Yang harus kau pikirkan lebih banyak sekarang adalah ... tentang desa. Tentang bagaimana peranmu dan peranku untuk melindungi Konoha dan menyalakan tekad api yang diwariskan pada kita," Hinata mengangkat kepalanya untuk memandang Naruto yang ternyata juga sedang memandangnya. "Dan memimpin semuanya dengan baik."

"Kau benar," Naruto memandang ke depan, tangannya tidak lepas dari menjerat Hinata dengan genggaman antarjari mereka yang erat, "Karena kita adalah keluarga ninja. Ninja dari Konoha."

Angin sore meniupkan lagu yang manis, yang membuai kulit dengan sentuhan halus. Aroma musim gugur sudah tercium. Dia pun memainkan rambut biru Hinata yang tergerai indah serta ujung jubah Naruto, mengiringi langkah pulang mereka.

Tiga kelopak putih—yang misterius, entah datang dari arah mata angin yang mana—menari di udara. Sehelai kelopak mawar, selembar kelopak lili, serta satu helai kecil kelopak teratai berdansa di belakang langkah Hokage dan Ketua Souke Hyuuga, dengan lagu permulaan musim gugur sebagai pengiring dan sisa-sisa sinar matahari sebagai lampu sorotnya.

Konoha menantikan kisah baru dari pemimpin mereka dan sang penggenggam tangannya.


white lotus: e n d


sengaja di-update di hari ini, hadiah buat para pembaca yang baru selesai UN, semoga hasilnya bagus-bagus semua, ya! n.n


terima kasih buat semua pembaca, yang menambahkan kedalam daftar fic favorit, daftar fic yang difollow, dan semua visitor. tanpa kalian, bacaan ini bukanlah sebuah bacaan. hanya paragraf tak berarti semata. terima kasih atas sarannya, kritiknya, rasa sukanya, dan semua feedback berharga yang sudah membuatku bersemangat untuk tetap menulis.

tidak bisa kusebutkan satu-satu, karena para pendukung ada yang datang tanpa nama, ada yang tak meninggalkan jejak, tetapi tenanglah, penulis tetap menyukainya dan amat berterimakasih. untuk pembaca yang meninggalkan jejak, terima kasih yang amat banyak!

semoga kalian mendapat reward yang setimpal dari-Nya karena sudah mendukungku m(_ _)m


makasih banget, ya, semua! sampai jumpa di fic lain, dan semoga NH terus berjaya! n_n)/