.

Uchiha Sasuke baru saja menyelesaikan pendidikan S-3-nya dengan cepat di jurusan kedokteran ortopedi* Universitas Harvard, Cambridge, Amerika Serikat. Seminggu yang lalu ia melaksanakan wisuda dan segera mendapat permintaan pekerjaan dari hampir seluruh rumah sakit terkenal.

Namun, saat sedang melihat-lihat lembaran permintaan pekerjaan yang menumpuk tinggi di meja dalam ruang tamu apartemen elit pribadinya, entah kenapa iris onyx miliknya terpaku pada selembar surat.

Ia menyesap kopinya sejenak sebelum mengambilnya. Sasuke membuka surat yang berasal dari sebuah rumah sakit terkenal di Tokyo, Endou Hospital City. Firasatnya mengatakan sesuatu yang bagus tentang rumah sakit ini meskipun di tempat lain ia dijanjikan gaji yang lebih besar. Termasuk rumah sakit rintisan ayahnya.

Ujung bibir Uchiha bungsu ini terangkat perlahan. "Sepertinya menarik," gumamnya lirih.

Sasuke menghabiskan kopinya dalam beberapa tegukan dan meletakkan cangkir di meja mungil di samping sofa. Kemudian, ia meraih ponsel yang tergeletak di meja dan jemarinya bergerak cepat menyentuh keypad android dari gadget canggih itu.

Begitu sambungan tersambung, Sasuke segera berucap, "Halo, bisa siapkan satu tiket pesawat VIP yang menuju Tokyo?"

"Baiklah. Kapan Anda ingin berangkat?"

"Aku mengambil waktu yang tercepat."

"Pesawat tercepat yang menuju Tokyo akan take-off dua jam lagi. Apakah Anda akan mengambilnya?"

Sebuah seringai muncul di wajah Uchiha Sasuke yang masih berusia 24 tahun itu. "Ya, aku ambil itu."

.

.

.

Bandara terlihat begitu ramai dalam pergantian musim dingin ke musim semi di kota Tokyo. Orang-orang berbicara dan berjalan membawa koper menanti jemputan setelah menempuh perjalanan jauh dari luar negeri. Terkecuali Uchiha Sasuke. Firasatnya juga yang mengatakan untuk menyewa mobil daripada dijemput oleh seorang sahabat baiknya yang tinggal di Tokyo, Namikaze Naruto.

Uchiha Sasuke memindahkan ponsel ke telinga kiri agar tangan kanannya bisa membawa troli yang mengangkut barang-barangnya menuju sebuah rental mobil yang tidak jauh darinya.

"Kau serius tidak mau kujemput, Teme?" ucap ujung sambungan dari ponsel Sasuke.

Sasuke mendengus pelan. "Aku ingin berkendara sendiri, Dobe," ucapnya tegas pada Naruto. Sasuke ingin membuatnya yakin sehingga ia bisa menutup ponselnya lebih cepat dan bisa menelepon Endou Hospital City untuk mengabarkan bahwa ia menerima tawaran pekerjaan dari sana.

Sasuke dapat mendengar Naruto menghela napas pasrah.

"Baiklah jika itu kemauanmu. Hati-hati. Jangan paksakan diri bila kau terkena jet lag," ucap Naruto menasehati.

"Hn. Aku tahu," balas Sasuke sebelum menutup ponselnya.

Ia tersenyum tipis dan memandang langit biru yang cerah tanpa awan. I'm coming, Japan.

.

.

.

Hinata tersenyum lebar melihat lembaran formulir di tangannya. Formulir untuk mengikuti lomba renang internasional. Menjadi seorang perenang adalah impiannya. Pada umurnya yang ke-15, Hinata diminta untuk pindah dari SMA-nya di Kyoto untuk bersekolah di SMU yang terkenal dengan prestasi dalam bidang renang di Tokyo. Kini di umur 17, ia telah diminta untuk mengikuti lomba renang internasional. Karena sejak dua tahun yang lalu, ia menang berturut-turut sebagai juara kedua atau ketiga nasional. Hingga tahun ini, ia menang sebagai juara satu.

Demi mencapai impian itu, Hyuuga Hinata harus meninggalkan keluarganya di Kyoto dan mulai menjalani hidup mandiri di Tokyo berbekal sebuah rumah berlantai dua dan uang yang agak berlebih yang dikirimkan oleh orang tuanya sebulan sekali untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Keluarganya di Kyoto sebenarnya memang tidak rela. Namun, melihat tekad sang putri sulung Hyuuga yang besar, dengan berat hati mereka melepaskan anak mereka yang sebenarnya sudah direncanakan agar melanjutkan usaha peternakan keluarga untuk meraih mimpinya.

Hyuuga Hinata terus bersenandung sembari melangkahkan kakinya menuju kawasan perumahan di pinggir distrik kota Bunkyo, Tokyo. Setiba di seberang jalan menuju blok rumahnya, Hinata berlari-lari kecil menyebrangi jalan yang sepi itu.

Diin!

Mendengar klakson mobil ini, Hinata menoleh dan matanya melebar seiring laju sebuah mobil sport berwarna biru navy ke arahnya.

Sang pengemudi berusaha mengerem dan membanting setirnya. Mobil pun membelok tajam, tetapi badan mobil menghantam kaki Hinata.

Hinata merasa tubuhnya seolah terbang. Ia mengangkat tangannya untuk menggapai mobil yang entah bagaimana terasa dekat dalam pandangannya. Belum sempat ia berpikir apa-apa, tubuhnya terjatuh di aspal yang keras.

Bruk!

Lembaran kertas formulir yang digenggamnya terbang berhamburan. Hinata merasa pandangannya menggelap. Hal terakhir yang Hinata ingat hanya sosok berambut raven yang keluar dari dalam mobil dan menghampirinya dengan panik.

Gelap…

.

.

.

This Feeling

by Vermthy

SasuHina & NaruSaku

Characters always owned by Masashi Kishimoto

Ide fict ini murni karangan Ve sendiri, terutama bagian OOC-nya XDb

.

Enjoy Reading, minna!

.

Hyuuga sulung itu membuka matanya perlahan. Ia melihat langit-langit putih dan dinding yang berwarna putih pula. Hinata kembali memejamkan matanya.

Apakah aku… berada di rumah sakit?

Dengan tetap memejamkan matanya, Hinata mencoba menggerakkan tangan dan kakinya. "Auw!" erang Hinata saat merasa sakit pada kaki kanannya.

"Kau sudah bangun?"

Sontak iris lavender itu nampak dan bertemu dengan onyx yang menatapnya khawatir. "Si-siapa?" tanya Hinata pelan.

Pria beriris onyx itu duduk di samping Hinata dan menjawab, "Namaku Uchiha Sasuke. Kau Hyuuga Hinata, bukan?"

"Da-dari mana—"

"Dari sini," sela Sasuke sambil mengangkat tangannya yang menggenggam beberapa lembar formulir yang sudah Hinata isi sedikit-sedikit. Rupanya tadi Sasuke sempat membereskan lembaran kertas yang bertebaran sebelum mengantar Hinata ke rumah sakit.

"Uchi—"

"Hyuu—"

Ucapan keduanya terhenti. Kini, mereka tengah bertatapan mata yang entah kenapa membuat pipi Hinata memanas. Hinata mengalihkan pandangannya dengan sedikit malu dan berkata gugup, "Si-silahkan bicara, U-Uchiha-san."

Hinata semakin bergerak menyamping seiring debar jantungnya yang mengeras. Ia memegang kedua pipinya sendiri dan membatin bingung, Kami-sama, apa yang terjadi denganku?

"Jadi—ehm, Hyuuga-san, saya hendak meminta maaf," ucap Uchiha bungsu itu sedikit ragu-ragu. Mau tidak mau membuat Hinata penasaran.

"A-ada apa?"

"Menurut formulir ini, Anda akan mengikuti perlombaan renang internasional yang diadakan tiga bulan lagi, bukan?"

Hinata merasa bahwa percakapan ini akan menjadi serius. Ia pun memutar tubuhnya dan menatap Sasuke bingung. Namun, saat ia bertemu pandang dengan iris gelap itu, debar jantungnya yang sudah tenang kembali berdebar keras. Hinata tahu tidak sopan untuk mengalihkan pandangan dari seseorang saat bercakap-cakap. Namun Hinata juga tahu, entah kenapa rasanya sangat berbahaya untuk memandangnya lama-lama. Ya, sangat berbahaya bagi jantungnya.

Otak Hinata berputar cepat. Akhirnya ia mengambil jalan tengah. Ia menatap pertengahan mata Sasuke dan sedikit di atas hidung seraya mengangguk untuk menjawab pertanyaan Sasuke yang tadi. Dengan sedikit berdebar, Hinata berharap Sasuke tidak tahu bahwa sebenarnya ia tidak benar-benar memandang Sasuke.

Sasuke berdehem sejenak sebelum berkata, "Maafkan saya yang sudah menabrak Anda, maafkan saya pula yang sudah membuat kaki Anda tidak berfungsi secara normal untuk sementara."

Hinata terbelalak kaget. "Apa?" pekiknya terkejut. Apa katanya tadi?!

Sasuke menghela napas. Ia memang sudah memperkirakan bagaimana reaksi Hinata saat mendengar ucapannya. "Tulang kering pada kaki kanan Anda patah. Melihat hasil rontgennya, mungkin butuh sekitar empat bulan untuk sembuh," jelasnya hati-hati.

Pundak Hinata melemas dan pandangannya jatuh.

Empat… bulan?

"Maafkan saya. Saya yang akan menanggung semua biaya pengobatan Anda, Hyuuga-san," ucap Sasuke meminta maaf. Ia tahu ini adalah berita yang sangat buruk bagi seorang atlet yang hendak menapakkan kakinya di dunia internasional.

Hinata hanya menggumam tidak jelas dan menatap jauh keluar jendela. Ia melihat langit yang gelap dengan hujan yang lebat di luar sana. "Kapan… aku bisa keluar dari rumah sakit?" tanyanya datar. Semua warna yang selalu menghiasi pandangannya memudar. Sekarang dunia Hinata bagaikan dunia yang hanya dipenuhi dua warna, hitam dan putih.

"Karena patah tulang Hyuuga-san sudah ditangani dan tidak ada luka lain, Anda bisa pulang sekarang."

Ucapan Sasuke sedikit banyak menghibur hati Hinata. Ia sudah membayangkan akan menghabiskan hari-harinya di rumah sakit yang suram dan tidak bisa bersekolah untuk beberapa lama.

Setidaknya ada sedikit hiburan, pikir Hinata sekilas saat berusaha duduk di ranjang rumah sakit yang berwarna putih itu.

Sasuke memandangnya cemas. "Anda tidak apa-apa, Hyuuga-san?"

Mana mungkin aku tidak apa-apa, Baka Uchiha! "Hn. Aku tidak apa-apa," ucap Hinata berdusta. Pada detik selanjutnya ia baru menyadari bahwa tidak ada kursi roda maupun alat bantu lainnya untuk membantunya berjalan. Hinata pun mencoba berdiri dengan bertumpu pada ranjang.

"Mau saya antar?"

Hinata menggeleng keras. "Tidak. Tidak per—kyaaa!" jerit Hinata saat pegangannya terlepas dan membuat ia oleng ke belakang. Hinata memejamkan matanya. Membayangkan kepalanya akan membetur penopang ranjang yang terbuat dari besi.

1 detik… Hinata masih memejamkan matanya.

2 detik… Ia mulai heran.

3 detik… Hinata membuka matanya.

4 detik… lavender miliknya kembali bertemu dengan onyx.

5 detik… Blush! Pipi Hinata memerah seperti tomat saat menyadari bahwa Sasuke telah menggendongnya ala bridal style.

6 detik… Yak, sepertinya seorang Hyuuga Hinata telah jatuh cinta.

Jatuh cinta? kalimat itu terulang dalam benak Hinata. Otaknya mulai memasuki masa loading untuk mencari makna kalimat tersebut. Begitu completed, rona Hinata menyebar hingga ke telinga dan ia pun menggeleng keras-keras. Tidak! Aku tidak mungkin jatuh cinta!

"Ada apa, Hyuuga-san?"

Pertanyaan ini menyadarkan Hinata. Ia mengalihkan pandangannya dan menjawab cepat, "Tidak apa-apa."

"Syukurlah kalau begitu. Jadi, saya antar pulang saja, Hyuuga-san?" tawar Sasuke lagi.

"A-apa tidak ada kursi roda atau semacamnya?" tanya Hinata sedikit panik dan gugup karena tidak ada jarak yang membatasi sentuhan tubuh mereka. Entah kenapa Hinata merasa tubuhnya seolah tersengat oleh setiap guncangan halus yang timbul setiap Sasuke berjalan. Ia mulai menjauhkan dirinya dari Sasuke.

Sasuke menggeleng pelan. "Maaf, stok rumah sakit sedang habis dan baru diisi besok," jawabnya sembari membuka pintu dengan dua jari dan berjalan keluar menuju tempat di mana mobil sewaannya berada.

"Oh." Hinata menggigit bibirnya. Berapa lama posisiku harus seperti ini, Kami-sama? batinnya malu. Ia amat sangat malu. Setiap orang yang dilewati mereka selalu memandang mereka seolah memandang sepasang pasangan yang sedang bermesraan.

"Hyuuga-san."

"Eh? Oh? Ada apa?" tanya Hinata sedikit terkejut.

Tanpa memandang Hinata, Sasuke berkata, "Kau bisa jatuh bila seperti itu. Mendekatlah," ucapnya pelan sehingga hanya Hinata yang bisa mendengarnya.

Blush! Dengan amat sangat malu, Hinata mendekatkan dirinya pada dada Sasuke yang bidang dan membenamkan mukanya di sana. Tangannya mencengkram erat kemeja Sasuke tanpa peduli hal itu akan membuatnya nampak kusut.

Apalagi saat mereka berada di dalam lift, para pengguna lift yang lain diam-diam memandangi Sasuke dan Hinata. Hinata pun semakin membenamkan mukanya pada dada Sasuke. Meski mencoba untuk menyembunyikan diri, ia masih bisa mendengar bisik-bisik antara perawat yang berada di sana.

"Hei! Lihat pasangan itu."

"Aih, mesranya!"

"Benar, seperti pengantin baru!"

Para perawat itu cekikikan di tengah bisikan mereka yang tergolong keras itu. Karena merasa mendapat dukungan, para pengguna lift lain pun menjadi terang-terangan memandangi Sasuke dan Hinata.

Hinata menutup matanya rapat-rapat dan kembali menggigit bibirnya menahan malu.

"Apa lihat-lihat?" ucap Sasuke ketus.

Seketika para pengguna lift dan perawat itu memandang ke arah lain. Sesekali mereka melirik pada sepasang insan yang mereka kira sebagai pasangan dan mendapat hadiah death glare dahsyat dari Sasuke.

Dalam keheningan itu, Hinata merasa amat sangat bersyukur karena tidak perlu menjadi pusat perhatian yang tidak-tidak lagi. Waktu terasa sangat lambat saat menunggu lift mencapai tempat tujuan mereka. Hinata menjadi terlena dalam gendongan Sasuke dan secara tidak sengaja ia mendengar debar jantung Sasuke. Hinata mengerjapkan matanya saat menyadari bahwa Sasuke sedang berdebar-debar.

Uchiha Sasuke-san… juga berdebar-debar sepertiku?

Debar jantung Hinata menjadi lebih keras saat menyadari hal itu. Seolah hanya debaran jantung Sasuke dan dirinyalah yang hanya ada di dalam lift yang bergerak turun menuju underground F1 di mana mobil Sasuke diparkirkan.

Ting!

Sasuke melangkah cepat menuju mobil sewaannya yang terparkir agak jauh.

"Uchiha-san…"

Langkah Sasuke terhenti. "Ada apa?"

Hinata memandang Sasuke takut-takut. "Kenapa… kenapa jantungmu berdebar keras?"

"Karena aku takut kau akan jatuh," jawab Sasuke datar. Ia melanjutkan langkahnya.

"Oh." Mendadak sebersit perasaan kecewa muncul dalam hati Hinata. Ia menggelengkan kepala untuk yang kesekian kalinya. Kenapa aku harus kecewa?

"Hyuuga-san, mohon jangan banyak bergerak, nanti Anda akan benar-benar jatuh," ucap Sasuke mengingatkan. "Lagipula Anda berat," tambahnya.

Hinata memukul dada Sasuke pelan. "Jahat! Aku tidak berat, tahu!" protesnya tidak terima.

"Kau semakin berat bila bergerak-gerak seperti itu," balas Sasuke iseng.

Hinata semakin menggerakkan tubuhnya. "Biarkan! Biar kau tahu rasa!"

"Hei, ja—awas!"

Brak! Gendongan Sasuke yang terlepas membuat Hinata segera mencengkram erat kemeja Sasuke sehingga kepalanya hanya terbanting pelan pada mobil entah siapa. Oke, yang menjadi masalah bagi Hinata, adalah posisi mereka saat ini.

Rambut indigo miliknya yang terurai panjang tergeletak di atas kap mobil, kepalanya tidak tergeletak seperti rambutnya. Namun, sedikit terangkat dan jarak di antara mereka hanya terpaut kurang dari satu senti.

Hinata menelan ludah melihat wajah tampan di hadapannya dan tanpa sadar ia menahan napas. Sedikit iri pada kulit putih porselen yang membungkus tubuh pria itu sekaligus… terpesona. Perlahan, tangannya terangkat untuk menyentuh pipi Sasuke yang mulus, bergerak meraba dan mengelus.

Sasuke menggenggam tangan Hinata yang mulai menjalar ke dagunya, menahannya untuk bergerak lebih jauh. Ia menyeringai dan berkata menggoda, "Kenapa? Terpesona denganku?"

Blush!

Secepat kilat Hinata mendorong tubuh Sasuke menjauh dan membantah, "Tidak, kok! Hanya saja, hanya saja…"

Seringai di wajah Sasuke melebar. Ia memiringkan kepalanya. "Hm?"

Otak Hinata segera mencari-cari alasan yang tepat. "Pi-pipimu bagus."

"Uph…" Sasuke berusaha menahan tawanya, tetapi tak urung juga ia pun gagal. Dan kini, seorang Uchiha Sasuke tertawa terbahak-bahak.

Hinata menggembungkan pipinya kesal. "Be-berhenti tertawa!"

Setelah tawa Sasuke mereda, ia membalas, "Kenapa aku harus mendengarkanmu?"

Kali ini Hinata mengentakkan kakinya. "Kau membuatku malu, baka!"

Mau tidak mau Sasuke merasa kasihan pada gadis yang berada di hadapannya. Sudah patah tulang, tidak bisa mengikuti perlombaan, ditertawakan orang lagi. Akhirnya, Sasuke hanya tersenyum miring dan mengulurkan tangannya.

"Apa?" tanya Hinata ketus, masih kesal karena ditertawakan.

"Tidak mau kubantu berjalan?"

Dengan mengerucutkan bibirnya Hinata menjawab sebal, "Tidak!"

Sasuke mengangkat alisnya dan berbalik. "Baiklah kalau begitu." Kemudian ia melangkah pergi.

Hinata memandang punggung Sasuke yang menjauh untuk beberapa saat. Lalu, ia mencoba melangkah perlahan. Hasilnya? Ia terjatuh.

Bruk!

"Aduh!"

Sasuke menoleh ke belakang dan menghela napas. Lalu, ia menghampiri Hinata yang meringis kesakitan dan kembali mengulurkan tangan.

Hinata menatapnya ragu-ragu.

"Tidak mau?"

"Oh? Ma-mau," jawab Hinata gugup. Ia meraih tangan itu dan mencoba berdiri.

Sasuke membantu memapahnya menuju mobil dan mendudukkannya pada jok depan. Kemudian Sasuke sendiri mengempaskan pantatnya pada jok di belakang setir dan menstarter mobil berwarna gelap itu.

Sepanjang perjalanan, Hinata merasa tidak berkonsentrasi dan memandang keluar kaca jendela mobil. Bahkan Sasuke pun harus mengulang pertanyaan di mana rumah Hinata karena yang ditanya tidak merespon.

Tidak berkonsentrasi karena kejadian-kejadian kecil antara dirinya dengan Sasuke, dan tidak berkonsentrasi karena membayangkan bagaimana caranya ia memberitahu keluarganya bahwa ia sudah tidak bisa mengikuti lomba renang internasional pertamanya. Hinata pun menghela napas berat tanpa tahu sepasang iris onyx yang menatapnya khawatir.

Mobil melaju melawan badai dan derunya melamban ketika mencapai rumah Hinata. Sasuke membuka payung yang sudah disiapkannya dan membantu Hinata berjalan menuju rumah ditemani bunyi putir yang menggelegar.

.

.

.

Di sebelah rumah Hinata, di dalam kamar yang terletak di lantai dua, nampak seorang pria berambut pirang dengan temannya yang berambut pink sedang berdebat tanpa memedulikan hujan yang lebat.

"Tunggu, Sakura-chan! Jangan pulang dulu!" pinta Naruto pada sahabatnya yang terkenal pintar seantero Todai.

"Aku lelah, Naruto-kun," jawab Sakura pada pria yang disukainya itu. Ya, Haruno Sakura menyukai Namikaze Naruto sejak dulu. Sakura paling suka dengan sifat Naruto yang ceria dan dapat membuat semua orang terbawa keceriaannya. Sakura sangat suka itu.

Karena dirinya yang dulu hanya seorang gadis sederhana dan pendiam, berubah menjadi seorang gadis cantik yang terkenal pandai dan keren. Keren dipandangan para mahasiswi karena kewibawaannya dan keren dipandangan para mahasiswa karena belum pernah ada menaklukkan hati pemilik iris emerald itu kecuali Namikaze Naruto.

Meskipun Naruto tidak begitu pintar dalam bidang pelajaran, tetapi jaringan pertemanannnya begitu luas karena kepandaiannya dalam memecahkan masalah dan bersosialisasi. Bagi Haruno Sakura, Naruto adalah sosok yang memiliki hal yang tidak dimilikinya.

Pada pertemuan awal mereka, Sakura mengira Naruto hanyalah seseorang yang bodoh dan hanya kebetulan berhasil masuk ke Universitas Tokyo. Namun, semakin lama ia mengenal Naruto, pendapatnya tentang pemuda itu semakin naik. Naruto amat sangat ceria dan mudah bergaul. Berbanding jauh dengan dirinya saat itu.

Setelah menganalisis semua hal yang Sakura dengar, Sakura berhasil membuat satu kesimpulan. Bahwa Naruto bukanlah seseorang yang kebetulan masuk ke universitas elit itu. Ia telah berjuang keras dengan belajar bersama teman-temannya dan saling menyemangati satu sama lain dan berhasil lulus bersama teman seperjuangannya. Sungguh berbanding terbalik dengan Sakura yang ikut lebih dari 3 bimbel sekaligus dan menghabiskan waktunya dengan tumpukan buku-buku dalam keheningan.

Lambat laun, kekaguman Haruno Sakura berubah menjadi suka. Apalagi Naruto sempat satu grup dengannya dalam kerja kelompok ketika masih menjadi maba(mahasiswa baru). Kesempatan itu membuat mereka menjadi semakin dekat.

Sakura juga menjadi tidak sungkan lagi untuk lebih dekat dengan Naruto. Meski terkadang ada gosip bahwa Sakura hanya memanfaatkan Naruto untuk mendongkrak popularitasnya, Sakura tidak peduli. Yang Sakura inginkan hanya Naruto selalu ada di sisinya. Bagi Sakura itu sudah cukup.

Sekarang, ia dan Naruto sedang menjalani S-2 di jurusan yang berbeda. Sakura mengambil jurusan kedokteran psikologi anak, sedangkan Naruto mengambil jurusan kesenian. Ya, Naruto memang mempunyai bakat sebagai seorang komposer. Ia sering membuatkan latar belakang lagu untuk para penyanyi-penyanyi yang menggunakan jasanya.

Sementara Sakura, ia diminta oleh Naruto untuk membantunya dalam mengurusi berbagai macam permintaan para klien dan hal lainnya. Singkatnya, Naruto meminta Sakura untuk menjadi manajernya. Tanpa pikir panjang, tentu saja Sakura setuju. Karena dengan menjadi manajer Naruto, ia tetap bisa dekat dengannya tanpa harus ada gosip tidak jelas tentang hubungan mereka lagi.

"Ayolah, Sakura-chan. Hari ini kau menginap di sini saja, di luar hujan deras," tawar Naruto. "Ah, lalu… tolong mainkan bagian ini, ya?" pinta Naruto dengan puppy eyes andalannya. Sakura memang bisa memainkan piano, gitar, dan biola. Ini menjadi salah satu faktor mengapa Sakuralah yang diminta oleh Naruto.

Sakura menghela napas pasrah. Kemudian, ia kembali membantu Naruto membuat backsound. Kali ini yang menyewa Naruto adalah seorang sutradara terkenal yang akan menggunakan backsound buatan Naruto untuk filmnya. Bagi Naruto, ini adalah salah satu langkahnya menuju ke dunia internasional. Oleh karena itu tidak heran Naruto rela bekerja sangat keras.

Naruto berjalan memutari ruangan sambil mendengarkan dentingan piano yang dimainkan oleh Sakura di pojok kamarnya. Ia terhenti pada jendela dan konsentrasinya seketika buyar melihat dua sosok yang dikenalinya berada di halaman di samping rumahnya, rumah Hyuuga Hinata.

Hinata-chan dan… Teme? Sejak kapan mereka saling mengenal? pikir Naruto tidak suka.

"Naruto-kun?"

Naruto tidak bergeming dan ia terus memandang lekat keluar jendela, memandangi apa yang dilakukan mereka. Apa Hinata sedang terluka? Kenapa harus dipapah seperti itu? Kenapa mereka sangat dekat?

Mendadak hati Naruto terasa panas.

"Naruto-kun!"

Naruto tersentak. Ia teringat bahwa yang berada di kamarnya bukan hanya dirinya seorang.

Jdarr!

Naruto segera menutup gorden bersamaan bunyi petir yang menggelegar. Ia berbalik dan memasang ekspresi nyengir. "Hiya! Petirnya kencang sekali ya, Sakura-chan?"

Ekspresi itu lagi… Sakura yang sudah berada di samping Naruto mencubitnya pelan dan membalas, "Makanya, kalau hujan jangan dekat-dekat dengan jendela. Tahu sendiri rasanya, 'kan?"

Naruto terkekeh. "Baik, Haruno-sensei!" sahutnya ceria sembari melangkah menjauh dari jendela.

"Dasar," ucap Sakura. Diam-diam ia mengintip ke balik gorden dan iris emerald-nya langsung menemukan sosok Sasuke dan Hinata. "Rupanya yang kau perhatikan dari tadi itu Hinata, ya?" gumam Sakura murung.

"Kau bilang apa, Sakura-chan?" tanya Naruto yang masih dengan topengnya. Topeng keceriaannya.

Sakura sudah hapal dengan gerak-gerik Naruto. Ia sudah tahu mana Naruto tanpa topeng dan Naruto yang sebenarnya. "Bukan apa-apa, kok!" sahut Sakura riang seraya duduk di samping Naruto. Ya, topeng dibalas topeng.

Kapan kau akan memandangku, Naruto-kun?

.

.

.

Sasuke membantu gadis yang ditabraknya tadi siang untuk duduk di kamar tidurnya. Gadis itu masih diam. Entah diam karena tidak tahu apa yang akan dibicarakan, atau diam karena pikirannya sedang melayang ke tempat lain.

Sasuke merasa bersalah. Amat sangat bersalah. Ia menyibakkan poni yang menutupi mata kanan Hinata dengan separuh berharap perhatian Hyuuga sulung itu akan teralihkan. "Ada lagi yang kau perlukan?"

Hinata menggeleng. "Aku ingin tidur."

Sasuke menghela napas. Ia tahu ini adalah hari yang berat bagi Hinata. "Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu."

"Hn," gumam Hinata tidak jelas. Setelah kepergian Sasuke, ia tetap diam. Otaknya terus mengulang apa yang terjadi hari ini. Pikirannya sekarang buntu. Hinata tidak dapat menemukan jalan untuk menyelesaikan masalahnya.

Hinata pun mengacak rambutnya frustasi dan kembali menghela napas berat. Ia membaringkan tubuhnya pada kasur yang entah kenapa terasa keras dan memandang keluar jendela. Yang terlihat hanya langit yang gelap dan sedang menumpahkan amarahnya. Cocok sekali dengan keadaanku, pikir Hinata miris. Perlahan, Hinata mulai menutup matanya dan berdoa.

Semoga hari ini hanya mimpi…

.

.

.

Sinar matahari menyusup lembut ke dalam kamar Hinata dan menerangi kamar yang berisikan gadis yang sedang terlelap itu. Hyuuga Hinata mengerang perlahan dan menyembunyikan wajahnya di balik bantal.

Merasa nyaman dengan posisinya yang baru, Hinata mencoba untuk tertidur. Baru saja ia akan terlelap, kali ini muncul suara-suara yang mengganggu telinganya. Hinata mendesis kesal dan dengan terpaksa ia bangun. Hinata terduduk di ranjang dengan kaki yang terayun bebas ke lantai. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan duduk diam untuk meyakinkan diri bahwa ia memang mendengar suara.

Tiba-tiba ia berdebar keras dan matanya terbelalak saat mengingat bahwa seharusnya yang berada di rumah itu hanya ia seorang. Hinata pun terkesiap dan bangkit. Namun, dengan segera ia terjatuh karena kaki kanannya yang tidak mampu menopang berat tubuhnya.

"Aduh!" erang Hinata kesakitan. Nyeri pada kakinya yang sampai tadi belum terasa, kini terasa amat sangat. Bahkan rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuhnya. Akhirnya, Hinata hanya terbaring di lantai sambil menahan sakit yang menyerang.

Kepalanya kini terasa pusing, pandangannya juga mengabur. Tangan Hinata terangkat ke atas untuk meraih kenop pintu kamar yang menjadi ganda dalam pandangannya. "Akh… to—"

Kali ini kenop pintu bertambah menjadi empat dan menggelap.

"—long." Tangan Hinata terjatuh dan ia pun pingsan.

.

.

.

Hinata membuka matanya perlahan dan menutupnya kembali. Denyutan di kepalanya membuat ia tidak bisa membuka mata lebih lama.

"Sudah bangun?"

Hinata hanya mengangguk pelan. Kemudian ia merasakan sebuah tangan dingin menyentuh keningnya.

"Kau demam. Tunggu sebentar."

Hinata masih memejamkan matanya. Namun otaknya sudah mulai bisa diajak berkompromi. Siapa tadi?

Ia kembali terlelap.

.

.

.

Haruno Sakura masih sibuk memakai sepatu kets saat Namikaze Kushina mengajaknya untuk sarapan bersama.

Dengan halus, Sakura menolak, "Maaf, Kushina-basan. Aku ada jadwal kuliah pagi ini."

"Astaga, kau ini rajin sekali, Sakura. Lainkali mampir ke sini lagi, ya?" ucap Kushina ramah. Pandangan Kushina beralih pada putranya. "Kau antarkan Sakura ya, Naru?"

Naruto mengangguk. "Hai, Kaasan!"

Seusai berpamitan, Naruto dan Sakura pergi dari kediaman Namikaze berada dan melangkah menuju halte bus yang tidak jauh dari sana. Sakura berlari kecil mendahului Naruto untuk mencapai bus hanya berhenti sebentar saja. "Jaa, Naruto-kun!"

"Jaa, Sakura!"

Setelah itu bus mulai melaju, tetapi terhenti lagi karena terdapat seorang penumpang dari arah lain yang belum naik. Sakura menyempatkan diri untuk menengok pada Naruto.

Dilihatnya Naruto melangkah memasuki sebuah halaman di samping kediaman Namikaze, rumah Hyuuga Hinata.

Sebuah cairan bening mengalir melewati pipi Sakura. Sontak Sakura segera menghapusnya dan beberapa saat kemudian tangannya mengepal. Ia bergumam lirih, "Kenapa selalu Hinata, Naruto-kun?"

.

.

.

Rasa dingin pada keningnya itu membangunkan Hinata. Kepalanya sudah tidak sepusing tadi. Seseorang yang berada di sampingnya juga membantunya untuk duduk bersandar pada bantal yang sudah ditumpuk. Sepertinya seseorang itulah yang sudah menggendong Hinata ke tempat tidurnya lagi.

"Mau makan?"

Hinata mengangguk lemah. Lalu ia merasakan sebuah benda yang menempel pada bibirnya. Ia membuka mulut dan membiarkan apa yang ditampung benda itu masuk ke dalam mulutnya.

Bubur, tebak Hinata dalam hati. Ia menghisap rasa asin yang samar pada bubur dan menelannya. Kemudian ia mencoba membuka mata. Iris Lavender Hinata semakin melebar saat mengetahui siapa yang menyuapinya.

"Ke-kenapa kau masih di sini, U-uchiha-san?" tanya Hinata terkejut.

Sasuke menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Yah, aku baru tiba di Tokyo kemarin dan sama sekali belum membeli sebuah apartemen untuk ditinggali. Jadi… aku menginap di sini," terangnya.

Hinata menatapnya datar.

Sasuke memberinya suapan kedua dan melanjutkan, "Dan mulai hari ini aku akan menjadi dokter pribadimu."

Bruuuts! Hinata terbatuk-batuk, terlalu kaget mendengar berita yang tiba-tiba itu. Sasuke segera memberinya segelas air putih. Hinata meneguk air itu dengan cepat.

"Do-dokter pribadi?" tanya Hinata dengan suara melengking.

"Maksudnya, aku yang akan menangani patah tulangmu itu—"

"Ditolak."

"Hah?"

"Di-to-lak," ulang Hinata ketus.

Sasuke menyipitkan matanya. "Kau yakin?"

Hinata mengangguk keras-keras. "Ya!"

"Coba kau lihat kertas i—"

Hinata segera menyambarnya dan menatap lembaran kertas fotokopi yang disodorkan Sasuke dengan cermat. Uchiha Sasuke dinyatakan telah lulus Strata-3 jurusan Ortopedi. Bertempat pada Universitas Harvard, Cambridge, Amerika Serikat. Dengan ini, Uchiha Sasuke akan dinobatkan menjadi Doktor Spesialis Bedah Tulang—

Bret!

Hinata menyobek kertas itu dan melemparnya ke tempat sampah. "Pasti itu cuma ijazah palsu!"

Twich! Sebuah perempatan siku-siku muncul di dahi Sasuke. Awas kau, gadis kecil...

"Baiklah, kalau ini?" tantang Sasuke.

Bret!

"Pasti sertifikat palsu!"

"Ini?"

Bret!

"Itu formulir lombamu," celetuk Sasuke enteng.

Seketika gerakan Hinata terhenti.

"Tapi bohong," lanjut Sasuke iseng.

1 kilo byte per second…

648 kilo byte per second…

3802865 kilo byte per second…

Unlimited.

"Uchiha Sasuke BAKAAA!" teriak Hinata sekeras-kerasnya.

Sasuke tertawa terbahak-bahak.

Hinata mendesis sebal, "Dasar dokter pembohong!"

"Siapa juga yang gampang dibohongi?" balas Sasuke santai.

Hinata menatap Sasuke kesal. "Lagipula, apa bagusnya kalau kau yang merawatku? Bukankah aku juga bisa menggunakan jasa dokter lain?" tanyanya sinis.

Sasuke menyeringai kecil dan mendekatkan wajahnya.

"Me-menja—"

"Aku bisa membuatmu sembuh dalam waktu kurang dari tiga bulan," bisik Sasuke di telinga Hinata.

Seketika mata Hinata yang awalnya memancarkan amarah dan kekesalan berubah menjadi penuh kegembiraan. Mulutnya yang terbuka membentuk seulas senyum lebar. Tangannya menggenggam kerah kemeja Sasuke dan mengguncangnya. "Benarkah? Sungguh?" tanyanya penuh antusias.

"Akan kujawab bila kau melepaskan tanganmu," ucap Sasuke. Mendadak hatinya turut merasa senang.

Hinata kembali mengguncang tubuh Sasuke. "Tidak mau! Katakan bahwa kau tidak berbohong baru aku akan melepaskannya!" pintanya dengan mata berbinar-binar.

"Hei! Nanti aku bisa ja—"

Sasuke pun jatuh ke kasur empuk itu dan terbaring di samping Hinata.

"Tidak apa! Yang penting kau serius dengan ucapanmu!" ucap Hinata senang.

Sasuke menghela napas dan beranjak bangkit.

"Tunggu!" ucap Hinata yang kembali menarik kemeja Sasuke. "Berjanji dulu kau akan menyembuhkan kakiku kurang dari tiga bulan!" tuntut Hinata sembari mengulurkan jari kelingkingnya.

Sasuke yang kini berposisi di atas Hinata membalas uluran itu dengan kelingkingnya sejenak. "Kau seperti anak kecil saja," komentarnya.

"Biar—"

Brak!

Pintu kamar Hinata terbuka.

"Ohayou, Hinata… chan?"

To be continue...


*ortopedi: spesialisasi medis yang berkaitan dengan koreksi cacat yang disebabkan oleh penyakit atau kerusakan tulang dan sendi dari sistem kerangka.

A/N: Yosh! Ini SasuHina yang Ve janjikan. Dan silahkan reader putuskan,

Keep or Delete?