Disclaimer : Masashi Kishimoto

Warning : newbie, dark romance, OOCness, Typos, dan banyak kesalahan lainnya.

Story created by : Intro Lawliet Vert

Pairing : MadaHinaIta

.

.

.

Kau bilang kau tidak akan menyentuhku selama kita dalam perjanjian, kau bilang kau tidak akan menuntut ini itu padaku, tapi kau melakukannya. Aku tidak menolak, bukan aku tidak mampu, aku hanya bingung dengan posisiku.

Kau bilang jangan melakukan ini itu, sekarang kau menghianati janji yang kau buat sendiri. Kau membelikanku semua, semua yang kau pikir bisa menyenangkanku. Sebagai rasa bersalahmu kau bilang.

Kupenuhi hari kita bersama semua urusanmu, aku merasa diriku kotor, berdosa, dan kau bilang akan menunggu sampai aku siap. Rasa senang saat bersamamu bisa hilang berganti rasa penyesalan kuat atas apa yang terjadi saat kau tak ada disini. Menghabiskan waktu hanya sendiri memberiku ruang untuk berpikir tentangmu, hanya ada rasa sedih dan sesal. Rasa yang tak mungkin timbul jika kau ada disini, selalu mencekokiku dengan kebahagiaan buatan.

Jika kau merasakan wangi bunga segar di taman maka kau haruslah ada disana, begitupun kebahagiaanku dengannya, seperti memasuki kotak kebahagiaan yang hanya terasa saat itu, jika kau keluar dari kotak kau akan sadar ternyata itu hanya ilusi, kau tidak bisa berada terus di dalam dan tidak melakukan apa-apa. Lamat-lamat saat tersadar kau telah menjadi ketagihan atas sesuatu yang semu dan sulit bangun dari mimpi panjang kebahagiaan.

Aku tidak bahagia dengan diriku, aku tidak bisa berdamai dengan rasa bersalah mengorbankan satu-satunya harga yang kupunya.

Aku selalu bingung ketika kau mengatakan dua hal yang bertolak belakang. Kau bilang 'Jaga dirimu' dari siapa? Darimu juga?

Kau bilang 'Aku tidak akan menyentuhmu' tapi kau melakukannya juga dan kau bilang

'Kita toh akan menikah nantinya'

lalu kau bilang 'Selesaikan pendidikanmu' tapi kesabaran memang bukan teman baikmu lalu kau berkata

'Sudah, berhenti saja, aku tidak bisa menunggu lebih lama. Siapa peduli kau lulusan apa jika kau jadi istriku'

Mungkin jika aku adalah abdi tuhan maka aku akan mengecap tingkah lakumu sebagai Hipokrit.

Kemana perginya diriku yang penggugup, gagap, pemalu itu? Kehadiranmu mengubah semuanya, kau membuatku bergantung padamu seolah aku sangat rapuh tanpamu, haruskah aku bertepuk tangan karena kau berhasil dengan segala upayamu?

Mereka mengatakan kau terobsesi padaku, benarkah? Mungkin iya. Aku ragu diriku punya cukup keberanian untuk lepas darimu, alasan apa yang kupunya? Aku bukanlah apa-apa dan siapa-siapa. Sampai sekarang akupun masih meraba, rasa apa yang ada dalam dadaku, rasa membutuhkanmu, mencintaimu, membencimu, atau hanya rasa terbawa suasana yang sedemikian kau ciptakan? Jika yang terakhir benar, aku tak heran. Mereka menyebutmu ahli genjutsu, ahli ilusi.

Gelas-gelas kaca dipoles sedemikian rupa menyerupai Kristal, sendok perak mengilat memantulkan sinar. Meja dilapisi taplak putih tebal berenda, berbagai sajian yang hanya kutahu dari gambar saja tersaji di meja. Sajian France memang hebat, penuh warna, saus dan krim, namun rasanya kadang belum tentu cocok dengan lidahku, menggelikannya lagi makanan kebanggaan mereka adalah siput dengan harga yang sangat mahal, Escargot.

Aku tak berselera, kubiarkan burung puyuh itu tetap dipiring, bentuknya absurd. Aku tak terbiasa dengan semua ini, semuanya bukan berasal dari duniaku. Dimana kesederhanaan yang kuimpikan? Disini hanya kepalsuan yang tersaji.

Acaranya berakhir cepat, kuharap aku bisa segera pulang. Sosok jangkung dan kurus mendekatiku, orang yang diperkenalkan Madara sebagai keponakannya. Kuteguk gelas ramping berisi cairan manis sewarna darah.

"Sepertinya tempat ini tidak cocok untukmu." Sangat terlihatkah? Aku memang tidak kaya tapi berada di sini juga bukan mauku.

"Ini bukan yang terbaik dari keluargaku, tapi izinkalah aku menyentuh jemari anda…" masa bodoh dengan Madara yang mengacuhkanku, kuulurkan tangan ke arah lelaki yang usianya tak sejauh Madara denganku.

"Aku amatir."

"Aku juga, tak ada salahnya mencoba."

Dia melingkari pinggangku dengan tangannya yang panjang, menarik tanganku ke pundaknya dan menyatukan tangan kami. Bukan hanya kami yang berdansa, ini memang acaranya.

"Kau tingkat berapa?" aku menatap wajahnya yang menjadi sangat dekat, napas ini berbau mint. Menyegarkan.

"Hm... tujuh, tingkat tujuh," dia bergumam.

"Kau... akan menikah dengan Madara-jiisan?"

"I-iya." Menikah… menikah.

"Apa hobimu?" dia mengalihkan suasana yang mulai berjalan canggung.

"Aku... aku suka membaca dan mendengarkan musik." Dia meresapi berlebihan apa yang kukatakan.

"Bagaimana kau bertemu Madara-jiisan?" ini interogasi?

"Hm... mm... dia, dia kenalan pamanku..." sosok yang sudah kuhafal datang menghampiri kami.

"Itachi, boleh kembalikan dia? Kurasa calon bibimu tidak nyaman bersamamu," ujarnya melihat tangan kami risih. Itachi melepas pelukan lengannya dan memberikan tanganku pada Madara.

"Lama menunggu- honey?" aku menggeleng.

Dashboard mobilnya menunjukkan kecepatan 120km/jam. Aku meremas jok berlapis suede, matanya berkilat-kilat.

"Ke-kenapa buru-buru sekali?"

"Kau takut?" nadanya mengejek, jelas aku takut.

"Ti-dak biasanya kau begini..."

"Dan tidak biasanya juga kau mau berdansa dengan orang lain selain aku." Dia marah? Bukankah dia bilang aku harus dekat dengan keluarganya? Bukankah Itachi keluarga juga? Apa mungkin deduksiku atas perintahnya salah?

"Ka-kau bilang... aku harus men –"

"Tidak, kau tidak perlu melakukan itu. Tidak dengan Itachi."

'mm' hanya itu yang dapat keluar dari bibir yang terasa dikunci penyesalan. Dia menghentikan mobilnya di tengah jalan sangat tiba-tiba. Kepalaku terhantam dashboard, jika saja tidak menggunakan seat belt aku mungkin saja berdarah.

"Turun..." dia memerintahku turun dengan wajah suram, disini sepi. Hutan disisi kanan kiri jalan mulus ini, gelap. Apa yang aka dia lakukan?

"Turun!" aku membuka pintu perlahan, mencari pijakan kuat untuk stiletto perak berujung lancip yang membelit kakiku bagai ular. Setelah kutemukan bahwa aspal masih menimpa tanah, aku berdiri. Dia menyeretku, kedalam hutan, terseok mengikuti langkah-langkah lebar lelaki di depanku.

"Madara… mau kemana?" kakiku sakit dipaksa berjalan di tanah tidak rata, akar pohon tumbuh seenaknya menutupi tanah, hari begitu gelap hingga jika bukan karena ponselnya memberikan secercah cahaya aku buta total dalam kegelapan.

"Memberimu sedikit pengajaran." Nyamuk menggigit tepat di atas kulit terpapar udara. Bajuku tidak terbuka, hanya dress putih satin dibalut brukat selutut.

"Ma-dara… apa salahku?" hebat, sekarang aku menyesal berdansa dengan Itachi.

Dia berhenti, menempelkan punggungku pada batang pohon yang tidak besar, melilitkan tali disekitarku, seolah aku bisa kabur saja dari permainan mencekam yang dia buat.

Dia berdiri tepat didepanku merengkuh keduan pipiku dengan satu tangan yang terasa kasar.

"Dengar, aku tidak suka kau berada dekat lawan jenis. Tidak peduli dia keluargaku atau bukan."

"Aku tidak ingin melihat hal seperti itu lagi, mengerti?" aku mengangguk pasrah.

"Nah jika kau tidak keberatan, bagaimana dengan satu permainan agar kau jera?"

"A-aku sudah mengerti, maafkan aku… tolong lepaskan aku… Madara," dia bertambah gusar dan menyepak apa saja di dekatnya

"Kun! Ingat itu!" sebuah tamparan manis mendarat di pipiku, menyisakan perih di ujung bibir.

Dia diam, tak bergerak selama beberapa jam, dia membiarkanku terikat. Bimbang antara meninggalkanku dan membawaku pulang. Dia berhasil bermain-main dengan gaunku yang disobek paksa. Berkali-kali bibirnya menelusuri lekukan tubuh dan titik sensitif.

Sampai aku tersadar aku sudah berada di kamar apartemenku. Tepatnya di atas tempat tidurku tanpa busana sehelaipun kecuali selimut yang menutup apapun dibaliknya.

Mungkin yang dia butuhkan bukan cinta dariku, tapi tubuhku. Dia hanya butuh aku tetap bernapas untuk meladeninya. Bibirku perih, sebenarnya semua bagian tubuhku perih. Nyeri. Pelipisku kurasa memar, begitu sakit saat ditekan. Kakiku tergores akar semalam, tampaknya dia membersihkan semua lukaku, tapi bukan luka di hatiku. Aku tidak bisa keluar berminggu-minggu hingga lukaku pulih. Kakiku tergores memperlihatkan garis merah muda di sekitar pergelangan kaki, lalu pipiku sakit.

Ini hari yang paling buruk selain saat dia marah aku mengobrol dengan teman kerjanya yang hanya bertanya pekerjaanku.

Telepon di samping tempat tidurku berbunyi.

"Ha-halo?" terdengar hembusan napas panjang di sana

"Kau sudah bangun?" suaranya yang sangat kukenal

"Aku minta maaf, aku harus bekerja dan tidak bisa menemanimu. –pakaianku yang ada di lemari kuambil."

"Y-ya.."

"Hinata?"

"Y-ya?"

"Aku akan mampir, kita makan malam bersama. –tak perlu memasak. Aku akan memesan makanan."

.

.

Lingkaran hitam berputar memenuhi kepalaku dengan kemungkinan mengapa aku masih bertahan dengan orang semacam ini. Pertama, aku menikmati disiksa. Kedua, aku terlalu bergantung padanya. Ketiga, dia tak akan melepaskanku apapun alasannya.

Dia sudah berdiri di ambang pintu menyesap tanganku seolah itu benda dengan wangi terenak didunia.

"Kau harum."

"Ja-jangan dipintu…" melangkah masuk mengikutiku.

"Kau ingin makan dimana? Dikamarmu? Atau ruang makan?" dia sedang normal.

"Hm… bukankah ini acara makan malam?" aku berharap acara ini tidak berubah menjadi acara santap Hinata.

"Ya.. tentu saja. Makan di kamarmu mungkin akan menambah selera..." dia menggelitik pinggangku.

"Ma-Madara-kun…"

"Ucapkan lagi…" dia menempelkan kepalanya di leherku.

"Ma-Madara...kun"

"Kau membuatku terasa muda..."

"Ka-kapan makan malamnya? Aku lapar..." ujarku tidak sungguh-sungguh. Hanya mengalihkan topik.

Makan malam di tempat tidur alaFrance dengan sebuket bunga mawar yang dia bawa. Steaknya enak, dan dia sangat menyenangkan saat-saat seperti ini, aku memainkan rambutnya yang makin hari makin panjang, sekarang saja dia sudah terlihat seperti rock star dengan rambutnya yang tak beraturan.

"Tidak minat menggunting rambut?" tanyaku asal sambil menerima suap daging empuk. Dia sudah menandaskan makanannya.

"Kau tidak suka?"

"Bukan... apa tidak ada yang protes?" tanganku tanpa sadar menguncir rambut itu dengan ikat rambut hitam yang kujadikan gelang.

"Oh... lupakan... aku lupa semua Uchiha punya penampilan eksentrik." Dia ber'hm' ria mendengarku, ketenangannya menghadapiku kadang bertolak belakang dengan kemarahannya yang bagai api ditetesi minyak tanah.

"Jika kau tidak suka aku bisa mengganti model rambutku."

"Tidak, itu tidak perlu Madara-kun, kau terlihat Hot!"

"Benarkah? Bagaimana dengan ini?" tangannya menelusuri lenganku, mendorong kepala ke bantal lalu menyesap tiap helai suraiku.

"Ma-madara-kun…" dia bangkit lalu merapihkan tampilan dan membuka ikatannya.

"Hinata, aku lupa semua orang sedang menungguku, mungkin tidak malam ini" setelah mengecupku dia bergegas pulang membiarkan kemeja putihnya tak berdasi dan berjas.

"Ya... hati-hati."

.

.

"Kau ada waktu?" back sound suara musik klasik mengalun santai. Dengan keadaan begini aku tidak bisa keluar, kakiku penuh gurat merah muda yang belum hilang, sedangkan pelipisku memar.

"Ada apa Sakura-san?"

"Na-Naruto-kun… dia... dia..." patah hati lagi huh?

"Kau di tempat biasa?"

Punya sahabat memang menyenangkan, kadang juga tidak jika harus merelakan bajumu basah dilumuri airmata bercampur mascara tebal, sebaiknya aku pakai hitam.

Aku mengibar-ngibas long boots, bukan tanpa alasan. Tadinya hitam bagus, tapi ternyata aku tidak punya, melihat Madara selalu memakai hitam membuat seolah aku memiliki hitam juga, lucu.

Kemeja biru telur asin dengan scraft yang kulilit di leher terlihat baik, Madara, dia meninggalkan ruam merah di kulitku, beruntung tidak ada yang mempertanyakan kenapa aku selalu berbaju tertutup, dan rok lebar menutup lutut warna kelabu.

"Sudah lama?" mata jade itu sembab, dia mengangguk.

"Kami putus," dia menyeka hidungnya dengan tissue di meja "Dia bilang dia ingin menjadi politikus handal lalu meninggalkanku."

"Ayolah Sakura, kau tidak cengeng dan lemah... lupakan dia, jika dia tidak menghargaimu, berarti dia memang bukan untukmu." Nasihat macam apa itu Hinata? Kau saja tidak bisa lepas dari orang itu.

"Kau... masih bersama laki-laki itu?" matanya penuh selidik, ini jadi acara tanya Hinata?

"Hm… ya"

"Kau kelihatan tidak sehat, apa aku mengganggu?"

"Aku memang sedang tidak enak badan" dia meminta maaf lalu bergegas pergi setelah dapat telepon dari Naruto dan meninggalkanku sendiri. Jalanan tampak lengang, hanya ada muda-mudi berjalan kaki sepanjang trotoar, hempasan sofa membuatku menoleh, lelaki surai panjang yang lebih rapih dari Madara itu menatap lurus ke arahku. Itachi.

"Sedang apa di sini Itachi-san?" tangannya terjulur menggapai pelipisku, dia melihat memar yang masih ungu, sudah susah payah kututupi.

"Kenapa?"

"Apa?"

"Jangan bertanya balik, kau tahu apa yang kutanyakan." Aku memutar otak

"Uhm.. dashboard mobil?"

"Madara?" siapa lagi, memangnya ada yang diijinkan berjalan bersamaku?

"Sudah makan Itachi-san?" dia menggeleng tak berselera. Aku tidak nyaman, Madara bisa gila melihatku bersama keponakannya, lagi.

"Maaf, aku harus pergi." Aku berusaha keluar dari kakinya yang menghalangi jalan masuk, dia diam seolah tuli.

"Madara sedang sibuk, dia menyuruhku mengantarmu ke rumah sakit." Aku memang pernah mengeluh tentang maagku yang beberapa kali kambuh, tapi…

"Ti-tidak mungkin dia menyuruhmu." Tangannya menarikku duduk.

"Kenapa tidak? Dia percaya padaku."

"Di-dia... dia akan melakukannya sendiri."

"Sepertinya kau sangat mengenal Madara. Overprotektif, huh?"

"Dia, hanya sangat mencintaiku." Benarkah? Kurasa tadi itu tidak meyakinkan siapapun.

.

.

Aku bergegas keluar dan pulang. Dia sudah duduk manis di sofa putih, membaca majalah yang kutahu tidak mengalihkan minatnya sedikitpun.

"Madara-kun..."

"Kemarilah…" tangannya terjulur menyambut, Itachi berbohong untuk alasan tidak jelas. Untung saja aku percaya naluriku. Memenjarakan tubuhku dalam pelukan protektifnya.

"Bisnisku buruk, saat aku kemari kau tidak ada, hariku bertambah suram. Kemana kau?"

"Hm... menemui Sakura..."

"Benarkah? Bisakah jawabanmu dipertanggung jawabkan?" aku mengangguk, dia melepaskan sentuhan-sentuhan dingin membaringkanku di sofa, menarik scraft yang membelitku di leher dan tertawa.

"Apakah ini aku?" menunjuk ruam merah yang tadi tertutup scraft, aku mendorongnya pelan dari menimpa tubuhku.

"Kakimu sudah sembuh?"

"Be-belum..." gelengan lemah, sebentar lagi juga sembuh.

"Sudah makan?" apa ice cream termasuk makanan?

"Belum..."

"Masaklah, aku lapar." Aku berdiri tapi tangannya menahanku "Jangan pergi, sebaiknya kau tetap di sini saja." Aku memutar bola mata malas.

"Di sampingku saja Hinata, selamanya."

Sebuah bel mengintrupsi invasi bibirnya, dia terganggu, satu sisi dia adalah sosok yang rapuh, sisi lain dia liar, matanya menyelidik, mencari sorot ketakutan dari mataku, aku balas menatapnya, memohon dia melepas lingkaran tangannya dari pinggangku.

"Aku yang akan membukanya." Dia melepasku dan bangkit, merapihkan kemeja putih yang kusut berantakan, tapi tetap terlihat sangat keren, ugh… aku menyukainya!

"Itachi?" ucapnya, Madara menatapku sembari memegangi gagang pintu, untuk alasan yang tidak ku mengerti aku merasa nyawaku dalam bahaya.

.

.

.

To be continue…..

Adakah pecinta crack di sini? Review please?