Bleach : Tite Kubo
.
.
Summary : Kurosaki Ichigo, pengusaha muda, sukses dan handal yang tak pernah mengenal cinta Ketika akhirnya seorang gadis mampu mencuri hatinya, dia akan berbuat apa saja untuk mendapatkannya. Rukia boleh saja diirikan oleh jutaan wanita karena menjadi seorang calon istri dari seorang pria tampan, kaya dan setia, namun tahukah mereka? Pertunangan yang dipaksakan tanpa cinta tetaplah menyakitkan.
.
.
Title : Prisoner of Love
.
.
Pair : Kurosaki Ichigo & Kuchiki Rukia
Sinar mentari di pagi hari memang menyilaukan. Sekaligus menyebalkan. Mereka seperti membanggakan diri dengan sinar sok gemerlapnya, bahkan kau seolah bisa mendengar efek suara 'tring tring' darinya.
.
.
"Mnnhh…"
Suara desahan nyaring yang feminis tersebut menyertai pula gangguan-gangguan kecil di setiap waktu saatnya matahari berangkat ke singgasananya. Che… sejak kapan aku jadi romantis begini?
"Pagi, Kurosaki-kun," sapa wanita bertubuh bombastis di sampingku ini. Yeah, seperti dugaan kalian. Kami berada di atas ranjang berdua. Dan tanpa mengenakan pakaian. So? What's your problem?
"Hng," balasku malas sambil bangkit berdiri untuk memulai aktifitasku sehari-hari.
Hei, menjadi seorang pengusaha kelas atas butuh banyak hal. Disiplin dan tepat waktu adalah sebagian kecil di antaranya.
Kubiarkan wanita penghangat tempat tidurku semalam begitu saja. Tapi rupanya tidak semua makhluk berdada besar bodoh semua. Buktinya, Ori-siapalah-itu dengan nakal mengikutiku ke kamar mandi untuk menjadi perangkat mandi yang berguna. Oh, yeah...
Selesai dengan persiapanku menuju kantor, termasuk kegiatan panas yang sempat mengalihkan perhatianku, aku melesat menuju pusat kota dengan si manisku. Ehem, maksudku, mobil Enzo Ferrari merah kesayanganku.
Di depan gedung pencakar langit raksasa, aku melempar sembarang kunci mobilku pada si tukang parkir yang selalu siap sedia. Tentu saja dia sudah tahu kalau dia harus ekstra hati-hati pada si manis. Lecet sedikit saja, gajinya selama satu tahun juga belum cukup untuk menggantinya.
Memasuki lobi, para sekretaris dan asistenku sudah menunggu.
"Kurosaki-sama, ini laporan yang sudah direvisi dari departemen audit."
"Kurosaki-sama, jadwal anda hari ini meeting dengan para investor pukul 11 siang, dilanjutkan dengan pesta diadakan oleh walikota pukul 8 malam. Selain itu ada ulang tahun Direktur Yamamoto, beliau bermaksud mengadakan pesta kecil-kecilan di hotel Royal Grand besok malam. Kami bermaksud membeli hadiahnya hari ini dan kami akan melaporkan perkembangannya sore ini."
"Fuh!" aku mendengus geli, "Pesta kecil-kecilan di Grand Royal. Kakek jengotan itu lucu sekali."
"Kurosaki-sama. Ini semua laporan yang harus diperiksa dan ditandatangani hari ini."
Dan segala panggilan kerja itu terus menyertaiku sepanjang perjalanan lift menuju ruang eklusifku di lantai teratas. Yah, beginilah sehari-harinya hidupku.
"Selamat pagi, Kurosaki-sama," sapa seorang pria paruh baya berambut putih panjang yang berdiri lalu membungkuk untuk menyambutku begitu aku menapaki lantai pribadiku.
"Pagi, Ukitake-san."
Ukitake Jushirou mungkin satu dari sedikit orang yang bisa membuatku rileks selama di kantor. Aku bersyukur telah menganti Senna yang cerewet dan sulit berkonsentrasi itu. Apalagi setelah kami melewati waktu berduaan semalam ketika perjalanan bisnis ke Jerman. Sejak itu sikapnya berubah posesif dan cemburuan. Padahal aku pria bebas tanpa komitmen. Tapi mantan asisten pribadiku itu malah salah paham dan mengacaukan semuanya.
"Semua laporan keuangan dan profit telah saya periksa, Anda hanya perlu memeriksanya sekali lagi dan menandatanganinya."
Yeah, dan kerjanya yang cepat dan teliti sangat membantuku dalam memeriksa serta mengedit laporan keuangan yang sangat merepotkan itu.
"Ukitake-san. Ini laporan dari audit. Tolong periksakan untukku dan berikan ke mejaku sore sesudah rapat."
"Baik, Kurosaki-sama."
Begitu memasuki ruangan, aku segera menandatangani laporan yang telah diperiksa Ukitake. Come on! Aku percaya pada sikapnya yang loyal dan jujur. Awalnya dia juga bekerja sebagai asisten manajer departemen keuangan dan kini aku mengangkatnya menjadi asisten direktur. Pekerjaannya selalu sempurna.
TOK TOK!
"Masuk!" panggilku pada siapapun yang mengetuk pintu di seberang sana. Meski aku punya dugaan kuat siapa pelakunya.
"Permisi, Kurosaki-sama. Ini laporan yang telah saya periksa. Ada sedikit salah perhitungan pada rasio laba, jadi saya perlu mengedit dan meminta mereka merivisinya lagi. Maaf, membuat Anda menunggu."
"Tidak apa, Ukitake-san. Pekerjaanmu sangat bagus."
Aku segera membubuhkan tanda tanganku ke setiap laporan yang diberikan Ukitake. Seperti yang kubilang. Tenang saja~
"Ah... ngomong-ngomong. Hari ini Anda akan pergi ke pesta walikota, ya?"
Pertanyaan itu sedikit membuat alisku terangkat. Tumben-tumbenan Ukitake bertanya seperti itu.
"Ya. Aku harus mengaet investor lokal jadi menghadiri jamuan yang diadakan oleh walikota sangat penting. Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Ah... tidak, hanya saja..." hening sesaat. Nampaknya Ukitake agak ragu meneruskan kalimatnya."Hanya saja saya sempat mendengar kabar bahwa ada seorang dokter hebat yang bekerja di luar negeri dan merupakan kenalan walikota. Saya berpikir... kalau boleh saya meminta izin dari Anda untuk menghadiri jamuan tersebut dan..."
Oh... betul juga. Kalau tidak salah pria paruh baya berawajah ramah tersebut memiliki seorang putri yang bertubuh lemah dan sakit-sakitan. Sepertinya penyakit keturunan, karena istrinya juga meninggal di usia muda karena penyakit.
Aku tersenyum hangat pada ayah luar biasa ini. Jujur saja, aku sering mendengar cerita tentang putri semata wayangnya tersebut. Bagaimana meski sesibuk apapun pekerjaan Ukitake, tetap saja dia akan menyempatkan waktunya untuk ke rumah sakit. Bahkan bisa dibilang rumahnya adalah di rumah sakit karena terlalu seringnya beliau menginap untuk menemani buah hatinya tersebut.
"Tentu saja bisa, Ukitake-san. Lagipula kalau ada asisten pribadiku di situ, aku pasti akan lebih mudah mengingat nama dan wajah mereka," candaku sambil lalu.
"Anda terlalu memuji, Kurosaki-sama."
"Omong-omong... bagaimana keadaan putrimu? Kudengar tahun ini dia berumur... 15?" tanyaku ragu di akhir kalimat. Yah, mengingat aku tidak pernah bertemu dengannya. Memangnya ada urusan apa pengusaha berumur 30an dengan remaja belia sepertinya?
"Tahun ini umurnya 17 tahun, Kurosaki-sama. Dan... akhir-akhir ini kesehatannya memburuk. Menurut dokter yang merawatnya sekarang, tubuhnya sudah membangun antibodi untuk melawan obat yang selama ini diminumnya. Karena itu, aku harus mencari cara pengobatan alternatif lain," jelasnya sendu. Tentu saja. Kalau anakmu menderita penyakit yang dapat mencabut nyawanya kapan saja, kau juga pasti akan berusaha sekuat tenaga menyembuhkannya.
"Oh... pasti sulit sekali untukmu, Ukitake-san. Aku sungguh berharap bisa membantu," ucapku basa-basi namun tulus juga mengucapkannya. Mengetahui sifat asisten andalanku ini, pasti dia akan menolaknya.
"Ah, sama sekali tidak perlu, Kurosaki-sama. Anda sudah cukup membantu," tolaknya halus masih mengumbar senyum lembutnya.
Jeda sesaat. Kami hanya saling melempar senyum. Berempati padanya yang bekerja keras demi membiayai pengobatan putrinya.
"Ah, nama putrimu kalau tidak salah... Rika? Atau Ruka? Ah, aku tidak bisa mengingatnya dengan baik," kataku sambil ter
"Namanya Rukia."
"Oh... apa dia mirip denganmu?" tanyaku seraya membayangkan Ukitake versi wanita. Hm... mungkin tidak buruk.
"Sama sekali tidak. Dia persis ibunya," sembari berkata begitu, pria berambut putih itu mengeluarkan dompetnya dan memperlihatkan sebuah foto di dalamnya.
Seorang gadis mungil berparas manis namun pucat bersender pada bahu Ukitake. Rambutnya hitam legam seperti langit malam tanpa bintang, namun cemerlang seperti disinari rembulan. Dia mengenakan gaun rumah sakit dan ada selang yang terhubung ke lengan dan tersemat di hidungnya. Matanya... layaknya bola kristal ungu yang berpendar hangat. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum tipis seolah dia telah mengerahkan seluruh tenaganya hanya untuk terlihat bahagia di detik itu juga.
Dia terlihat rapuh. Sekaligus kuat. Iris violet itu seolah menceritakan perjuangannya melawan kematian selama ini. Dan itu...
Mempesonaku.
Menarik sesuatu yang bergejolak di dadaku detik saat aku melihat fotonya.
Hanya sebentar... dan belum aku puas memandangnya, Ukitake membalik dompetnya. Melepaskan hipnotis yang sempat memenjarakan kesadaranku tadi.
"Dia sudah berjuang hidup selama ini. Beban hidupnya begitu berat…" gumaman lirih asisten kepercayaanku itu tidak lantas meredam rasa amarah karena rasa kesal yang tiba-tiba saja muncul karena aku masih ingin menatap foto gadis itu lebih lama.
Ya, ampun! Apa yang kau pikirkan, Kurosaki Ichigo!
"U-Ukitake-san... Pu-putrimu..." bataku karena tak tahu harus berkata apa.
"Ah, ya? Ada apa dengan Rukia?"
Rukia... Rukia...
Nama yang begitu indah.
Secantik orangnya...
Aku menarik nafas dalam-dalam. Berusaha menenangkan gemuruh yang membabi buta dalam aliran darahku.
Gila! Perasaan apa ini?
"Tentang Ru-Rukia... apa aku-"
'Bisa menemuinya? Saat ini juga?' batinku memelas. Tapi aku berhasil mengerem ucapan yang hampir terlontar dari bibirku itu.
Keinginan untuk bertatap muka dengan Rukia secara langsung sangat mengebu-gebu dalam sanubariku. Tapi aku tidak bisa membuat Ukitake lebih mencurigai sikapku yang sudah terlampau aneh.
"Tidak. Bukan apa-apa, Ukitake-san. Kembalilah ke pekerjaanmu. Malam ini ada pesta yang harus kita hadiri."
"Tentu, Kurosaki-sama."
Mataku tak lepas dari gerakannya melipat dompet dan memasukkannya kembali ke saku celana. Jika bukan karena harga diriku, sudah pasti aku akan mengemis foto itu untuk terus kupandang.
Rukia...
"Huft... huft..."
Saat ini aku sedang latihan angkat beban di gym pribadiku. Oh, tentu saja tubuhku yang atletis layaknya patung dewa Yunani hanya diperoleh dengan duduk seharian di kantor. Kau bercanda? Pria tampan sepertiku punya banyak hal yang harus dilakukan demi mempertahankan otot-otot seksinya.
"Kurosaki-sama," panggil seseorang mengganggu aktifitasku. Jadi aku memberi sinyal bahwa aku sedang tidak bisa diganggu dan dia harus menunggu hingga aku selesai.
Hingga hitungan ke-50, aku meletakkan kembali barbell yang tadi kugunakan. Lalu berbalik menghadap detektif swasta yang kusewa untuk menelusuri segala hal tentang Rukia.
Yah, memang sudah seminggu sejak aku mengenal sosok Rukia. Rasa penasaranku menjadi suatu kegilaan yang tak mampu kukontrol lagi.
"Bagaimana hasilnya?" tembakku langsung.
"Hasil penyelidikan kami adalah sebagai berikut, Kurosaki-sama. Agak mengejutkan, tapi ternyata Ukitake Rukia bukan putri kandung Ukitake Jushirou."
"Apa?" tanyaku tak percaya.
"Ukitake Jushirou pernah menikahi janda beranak satu yang merupakan ibu kandung Ukitake Rukia. Namun karena penyakit yang telah lama diderita Ukitake Hisana akhirnya wanita itu meninggal. Lalu diketahui bahwa Ukitake Rukia juga mengidap penyakit yang sama. Akibatnya, Ukitake Rukia harus tinggal di rumah sakit dalam jangka waktu yang lama dan terpaksa berhenti sekolah karena terlalu sering absen," jelas si detektif.
Rupanya nasib gadis mungil itu begitu menyedihkan. Yah, selain laporan-laporan tersebut tentu saja ada oleh-oleh sekedarnya. Tepatnya aku yang memerintahkan detektif itu untuk mengambil beberapa foto Rukia agar aku bisa menatapnya terus.
Tapi semua ini betul-betul membuatku heran. Semakin lama kupandang, Rukia makin terlihat cantik di mataku. Tak pernah bosan aku melihat fotonya—yang diambil secara candid—apalagi ketika dia mengulas seukir senyum dengan bibirnya yang mungil serta menggoda.
Ah... aku ingin cepat-cepat bertemu dengannya...
Mungkin sedikit tidak enak didengar jika seorang pria berusia 32 tahun jatuh cinta pada gadis muda berumur 17 tahun. Tapi, hei! Itulah yang benar-benar terjadi padaku saat ini.
Jatuh cinta.
Konyol memang. Bahkan aku pernah menganggapnya sebagai bualan. Tak sampai seminggu yang lalu aku masih dengan entengnya mengajak wanita seksi nan aduhai untuk memuaskan hasratku. Menertawakan segala omong kosong tentang cinta.
Namun lihatlah diriku sekarang. Terbuai asmara. Melanglang buana kala memikirkan dirinya.
Aku betul-betul sudah gila!
"Ukitake-san!"
Dengan sigap pria berambut gondrong putih tersebut segera menghampiriku. "Ya, Kurosaki-sama?"
"Dari kabar yang kudengar, belakangan kesehatan Rukia sudah membaik. Apa benar?"
Awalnya Ukitake terlihat bingung karena dia pasti berpikir dari mana aku mendengarnya. Tentu saja, kabar yang baru kubicarakan tadi berasal dari detektif sewaanku.
"Benar… pengobatan dari Unohana-sensei bekerja dengan sangat baik. Kemungkinan dia bisa pulang ke rumah dalam waktu dekat. Sudah lama sekali dia tidak pulang."
Pandangan mata asistenku itu menerawang. Kelihatannya dia sangat senang mengenai pemulihan anak perempuannya tersebut.
Tapi saat ini, aku juga tengah menjalankan misi.
"Oh, ya? Itu bagus sekali, Ukitake-san. Mungkin kau bisa mengajaknya ke pesta ulang tahun perusahaan kita dua minggu lagi," tawarku berusaha bersikap senormal mungkin.
"Eh? Ah... tapi saya tidak ingin memaksakan kondisi tubuhnya. Memang kesehatannya sudah jauh lebih baik, tapi saya tidak ingin mengambil resiko yang tidak perlu."
Sial! Apa kau tidak bisa mengerti keinginanku untuk bertemu putrimu sesegera mungkin? Batinku kesal bukan main. Memang cara yang paling cepat dan ringkas adalah mencoba menjenguk Rukia di rumah sakit. Tapi dari hasil investigasi detektif swasta yang kusewa, gadis bertubuh lemah itu sangat pendiam dan tertutup. Dia sama sekali tidak bisa berhubungan dengan orang yang baru dikenal. Jadi mustahil untukku tiba-tiba mengajaknya berkenalan.
Satu-satunya cara yang paling masuk akal adalah melalui Ukitake sebagai perantara. Setidaknya dengan begitu, Rukia akan tahu bahwa aku seorang bos besar. Kan sekaligus bisa menambah nilai jualku, hehehe….
"Hm, tapi kalau kondisinya sudah membaik, kupikir tidak ada salahnya memberi Rukia kesempatan untuk… kau tahu? Sedikit… menikmati hidup," bujukku secara halus dan berharap asistenku ini tidak menolaknya.
"Ah… maaf, Kurosaki-sama. Tetapi... Rukia sama sekali bukan anak yang seperti itu. Dia lebih suka membaca buku seharian daripada berkumpul di tempat ramai. Malah... anak itu sepertinya takut pada keramaian."
Damn! Masih belum berhasil juga. Apa boleh buat, terpaksa memakai maneuver terakhir.
"Oh... sayang sekali. Padahal aku sangat berharap dapat bertemu putrimu. Kau tahu? Aku merasa kita sangat dekat, Ukitake-san. Makanya, aku sangat ingin mengenal putrimu karena dia satu-satunya kelargamu."
Yup, aku menggunakan rasa bersalah dan kata-kata manis soal kekeluargaan agar Ukitake merubah keputusannya.
"Er... saya sangat tersanjung Anda berkata begitu, Kurosaki-sama. Tapi..."
"Tidak apa-apa, Ukitake-san," potongku. Berpura-pura bersikap kecewa tetapi menutupinya dengan payah. Seharusnya mereka menobatkanku sebagai pemegang Oskar. "Aku bisa mengerti kalau kau tidak ingin sesuatu terjadi pada Rukia. Aku juga pasti akan melakukan hal yang sama untuk melindunginya. Sama sekali tak masalah, Ukitake-san," dan jangan lupa senyum manis.
"Er... mungkin saya bisa mengusahakan sesuatu, Kurosaki-sama. Jika Rukia bersedia, mungkin saya bisa mengajaknya ke pesta Anda," ucap Ukitake mengalah pada akhirnya.
Yes! Dengan begini, aku akan segera bertemu dengan Rukia.
.
.
TBC
.
.
Holaa minnaa... ini fic titipan dari Voidy nee juga, sekali lagi nee yang ngetik bukan saya ehehehe, oh ya, walaupun ini berchapter tapi udah dikirim ke saya banyak kok, jadi mungkin ini bisa rutin di update hehehe...
Gimana minna? boleh review?
Jaa Nee!