Hola Minna, ketemu lagi dengan fic saya.
.
Disclaimer : Tite Kubo
.
RATE : M For Safe
.
Warning : OOC, AU, Misstypo
.
Attention : Fic ini hanyalah fiksi belaka. Apabila terdapat kesamaan atau kemiripan situasi dan karakter atau apapun itu dengan cerita lain dalam bentuk apapun adalah tidak disengaja. Mohon maklum, heheheh
.
.
.
"Nah, ini kamarmu."
Rukia sungguh terkejut saat Ichigo membuka sebuah pintu di rumah apartemen miliknya. Yang Rukia tahu, ruangan ini adalah ruang kerjanya atau ruang bacanya. Semacam perpustakaan begitu.
Tapi kini, ruangan yang tidak begitu besar ini sudah diisi dengan satu lemari pakaian, satu meja rias kecil dan sebuah tempat tidur berukuran queen size. Jelas saja ini sangat berlebihan untuk Rukia. Terutama furnitur kamar ini sedikit lebih feminin walaupun tidak ada unsur warna pink di kamar ini. Warnanya memang hanya warna pastel biasa. Dan sialnya Rukia justru hampir menyukai bagaimana Ichigo menata isi kamar berukuran kecil ini dengan sangat apik.
"Sensei... ini agak berlebihan..." lirih Rukia dengan nada tak enak.
"Apanya yang berlebihan? Ini hanya peralatan wajib yang biasa ada di kamar. Mana mungkin aku hanya meletakkan satu kasur saja di sini kan?"
"Maksudku ini—"
Ichigo kemudian menepuk pundak Rukia dengan kedua tangannya hingga membuat Rukia terkejut sekali.
"Sekarang waktunya tidur. Besok kau harus pergi ke kampus kan?"
"Tapi Sensei..."
"Aku hanya tidak mau tidur di sofa lagi. Aku juga tidak mau membiarkanmu tidur di sofa juga. Jadi, kalau kau benar-benar merasa tidak enak hargai saja usahaku ini, hm? Selamat malam."
Seusai mengatakan itu, Ichigo justru mendorong punggung Rukia ke dalam kamar yang mulai resmi ditempati oleh Rukia. Yakin Rukia sudah sepenuhnya masuk ke dalam bersama dengan barang bawaannya, Ichigo kemudian menutup pintunya.
Sepertinya ini pertama kalinya Rukia menginap di rumah seseorang dan menempati kamar yang ditujukan khusus untuknya.
Jadi... mulai hari ini Rukia akan tinggal di sini?
.
.
*KIN*
.
.
"Kau benar-benar perempuan sialan yang sangat beruntung," gerutu Hinamori pagi ini sebelum kelas dimulai.
"Hah? Apa maksudmu?" kata Rukia tak terima sambil menyelesaikan salinan catatannya.
"Aku tidak tahu Kurosaki Sensei begitu romantis. Ternyata di balik sikap dinginnya, dia sangat hangat dan begitu keren sebagai seorang laki-laki yang bertanggungjawab," ujar Hinamori.
"Hei, jangan memujinya berlebihan begitu."
"Apa? Kau tidak suka aku memuji kekasihmu begitu huh?"
Rukia langsung terkesiap dan mengangkat satu telunjuknya di depan bibirnya dan berdesis dengan tatapan tajam.
"Hei! Bagaimana kalau ada yang dengar?!" geram Rukia dengan suara rendah.
"Biar saja. Memangnya kenapa kalau ada yang dengar? Kau takut dikutuk fans-fansnya Kurosaki Sensei kan?"
"Bukan begitu. Ini bisa jadi masalah tahu... kalau kami tinggal serumah..." lirih Rukia.
"Hei, semua kekasih di dunia ini tentu saja ingin tinggal serumah dan tidak sedikit pasangan kekasih di Jepang ini yang tinggal serumah dengan kekasih mereka tanpa ikatan. Kenapa kau memikirkan hal sepele begitu sih?"
"Aku hanya tidak mau mempermalukan Kurosaki Sensei. Dia sudah terlalu baik padaku."
"Terlalu baik dan terlalu menyukaimu. Ternyata cerita hidupmu tidak melulu ditimpa kemalangan kan? Buktinya kau bisa memiliki hati seorang laki-laki seperti dia. Hei, apa yang kalian lakukan semalam?"
"Cuma tidur."
"Cuma tidur? Hei, kau harap aku percaya itu?"
"Memangnya kau pikir apa yang kami lakukan selain tidur?"
Tatapan Hinamori semakin menyolot pada Rukia dan mendekati sahabatnya itu dengan sangat rapat. Rukia sendiri sampai memundurkan badannya agar tidak terlalu dekat dengan gadis yang cepat penasaran ini.
"Jujur padaku... kalian sudah di tahap apa?" bisik Hinamori.
"Hah?! Kau bicara apa?"
"Jangan bilang kalau kalian hanya berciuman satu dua kali? Katakan padaku, apa yang sudah kalian lakukan?" goda Hinamori.
"Hei! Kau ini—"
Baru saja Rukia akan mengeluarkan kata-kata makian untuk Hinamori, dosen yang mengajar hari ini sudah memasuki ruangan mereka. Tentu saja obrolan mereka terhenti di tengah-tengah.
"Nanti kau harus menceritakannya ya, seperti apa Kurosaki Sensei kalau menyerang~" goda Hinamori lagi.
Anak ini benar-benar tidak bisa diajak bercanda!
.
.
*KIN*
.
.
"Ini... laki-laki yang kau kencani?" tanya Kaien hampir tak percaya.
Pagi itu, Orihime masuk ke ruangan mereka dengan sangat riang gembira. Sayangnya Ichigo masih mengajar kelas paginya hari ini. Jadi di dalam ruangan itu hanya ada Shiba Kaien dan Inoue Orihime saja berdua.
Orihime bercerita kalau dia bertemu seorang laki-laki tampan di sebuah klub malam ketika pergi bersama temannya. Laki-laki itu berkenalan dengan Orihime dan mereka begitu cocok mengobrol satu sama lain. Makanya semalam Orihime memutuskan untuk berkencan dengan laki-laki itu.
Orihime menunjukkan fotonya kepada Kaien pagi ini setelah bercerita begitu bersemangat tentang laki-laki baik yang berkencan dengannya.
"Iya, namanya Grimmjow. Dia tidak kalah tampan dari Kurosaki-kun kan? Kau tahu pekerjaannya? Dia pemilik restoran bintang tiga di Ginza. Aku juga pernah diundang ke restoran miliknya."
Kaien sebenarnya senang-senang saja mendengar bahwa Orihime begitu cepat bergerak setelah Ichigo menolak ajakan kencannya.
Tapi entah kenapa begitu melihat sosok laki-laki yang dikencani oleh Orihime ini, Kaien merasa bahwa ada yang aneh dengannya. Hanya saja sepertinya laki-laki itu bukan seorang penipu. Apalagi Orihime sudah pernah dibawa ke tempat kerjanya. Orihime bukan perempuan bodoh yang tergoda hanya karena latar belakang seseorang. Orihime pasti sudah tahu siapa laki-laki itu sebenarnya sampai dia berani mengambil keputusan untuk mengencaninya. Dan jelas selama ini Orihime tidak pernah sembarangan mengencani laki-laki.
Semua laki-laki yang dikencaninya selalu dikenalkan kepada Kaien dan Ichigo. Untuk seorang laki-laki tentu saja mereka bisa mendapatkan feeling seseorang yang berkenalan dengan mereka. Sama halnya seperti perempuan yang memiliki perasaan pada perempuan lain, laki-laki pun demikian.
Makanya Kaien tidak bisa bicara banyak dan hanya mendengarkan semua cerita Orihime.
"Kurosaki-kun, lihat ini! Dia teman kencanku yang baru," sapa Orihime ketika Ichigo baru saja memasuki ruangan mereka.
Orihime begitu bersemangat menunjukkan betapa tampan dan hebatnya laki-laki yang kali ini dia dapatkan.
Wajah Ichigo melihat foto laki-laki itu sama seperti apa yang diperlihatkan Kaien sebelumnya. Hanya saja Kaien berusaha untuk tidak terlalu menunjukkannya pada Orihime.
"Ada apa? Kenapa... wajahmu seperti itu Kurosaki-kun?" tanya Orihime setelah menyadari wajah terlihat aneh dari Ichigo setelah melihat foto itu.
"Oh tidak. Aku hanya terkejut kau sudah memutuskan untuk berkencan dengan laki-laki lain," kata Ichigo beralasan.
"Tentu saja. Aku harus move on dari orang yang menolak ajakan kencanku. Sekarang kau jangan khawatirkan aku dan fokus mengejar gadis yang kau sukai itu. Kalau kau sudah mendapatkannya kita bisa mengadakan double date, eh... Shiba-kun juga sebaiknya bersungguh-sungguh untuk mendapatkan Kuchiki-san. Jadi kita bisa pergi kencan bertiga."
"E-eh? Bertiga? Wah sepertinya seru juga kalau begitu. Ayo Kurosaki, kau harus secepatnya mengenalkan gadis yang kau sukai itu pada kami," timpal Kaien.
Ichigo hanya tersenyum lalu melihat Orihime sekilas ketika gadis itu kembali membicarakan tentang teman kencannya itu.
.
.
*KIN*
.
.
Walaupun mereka sekarang sudah resmi tinggal serumah, tapi Rukia tetap menolak jika Ichigo mengantar atau menjemputnya. Pagi tadi saja Rukia lebih memilih naik bus dan berjalan kaki menuju halte terdekat dari tempat tinggal Ichigo. Tentu saja Rukia masih sangat takut jika ada orang lain yang tahu tentang mereka berdua. Sejauh ini hanya Hinamori orang yang Rukia percayai tentang hal ini. Ichigo juga sudah mengenal Hinamori sebagai teman paling dekat Rukia.
Rukia juga masih berusaha mencari tempat kerja sambilan lain meskipun Ichigo sudah menyampaikan keberatannya. Tapi Ichigo juga tidak mengatakan apapun bahkan melarang Rukia tetap melakukannya. Ichigo hanya ingin Rukia melakukan apapun yang dia inginkan dengan hati-hati.
Sebenarnya, baru kali ini lagi Rukia merasakan diperhatikan begitu baik oleh seseorang. Jadi rasanya benar-benar sangat menyenangkan.
Meskipun sebenarnya Kaien sering melakukannya, tapi ada perasaan berbeda ketika Ichigo yang melakukannya untuk Rukia. Mungkinkah karena perasaan mereka sudah tersampaikan satu sama lain?
Usai mencari kerja sambilan, Rukia mendapatkan pesan dari Ichigo.
Ichigo hanya memastikan bahwa Rukia akan pulang ke apartemennya bukan kembali ke apartemen Rukia sendiri. Saat Ichigo mengirimkan pesan itu, sebenarnya Rukia sudah berada di depan gedung apartemen Ichigo.
Rukia tidak tahu kenapa akhirnya kakinya melangkah ke tempat ini juga.
Saat Rukia akan masuk ke dalam apartemen itu, Ichigo mengirimkan sebuah foto melalui pesan instan. Itu adalah sebuah foto makanan yang dihidangkan di atas piring yang dihias begitu cantik.
Sejak mengenal Ichigo jauh lebih dekat, Rukia jadi tidak percaya bahwa yang melakukan semua ini adalah dosen yang dia benci setengah mati di kampus. Dosen yang dianggapnya selalu bersikap dingin dan menyebalkan. Bagaimana bisa orang yang mengajar di kampusnya dan orang yang mengiriminya pesan ini adalah orang yang sama?
"Kau sudah pulang?"
Rukia belum mengucapkan sepatah kata pun sejak masuk ke dalam pintu apartemen Ichigo. Karena mereka sudah tinggal serumah, Ichigo tentu saja memberitahu bagaimana caranya membuka pintu apartemennya. Jadi Rukia tidak perlu meminta Ichigo membukanya lagi.
Sekarang Ichigo sudah menyambutnya di depan pintu.
"Aku pulang... Sensei..." kata Rukia sedikit canggung.
Sepertinya sudah cukup lama Rukia tidak pernah lagi mengucapkan kata 'aku pulang' lagi. Apalagi fakta bahwa dirinya memang selama ini sudah tinggal sebatang kara.
"Apa kau suka foto yang kukirim padamu tadi?" tanya Ichigo.
"Eh, foto? Oh... itu. Ya, aku... suka..." kata Rukia sedikit terbata-bata.
"Baguslah kalau kau menyukainya. Ayo makan."
Ichigo membimbing Rukia untuk menuju meja makan mereka dan mulai duduk berdampingan. Ternyata di atas meja itu benar-benar sudah tersedia semua makanan untuk malam ini.
Mereka memulai makan malam itu dengan tenang dan menikmati hidangan itu masing-masing. Sesekali Ichigo tersenyum memperhatikan Rukia yang menghabiskan makanannya dengan perlahan. Selagi menikmati makan malamnya, mereka memutuskan untuk tidak berbicara apapun.
Seusai makan malam, Rukia langsung bergerak untuk membereskan semua sisa makanan mereka. Tapi tentu saja Ichigo melarangnya dan menyuruh Rukia untuk segera beristirahat. Tapi kali ini Rukia bersikeras untuk membantunya. Mereka sempat berdebat tapi akhirnya Ichigo mengalah karena Rukia menatapnya dengan wajah memelas.
Akhirnya perdebatan dihentikan dengan mereka berdua yang membereskannya bersama.
Selesai membereskan meja makan dan semua peralatan makan itu, Rukia akhirnya mencoba untuk memberanikan diri mengatakannya. Sebenarnya Rukia sangat sungkan, tapi dia harus segera menyelesaikan tugasnya. Belum lagi tugas-tugas lain yang harus dikerjakan sebelum ujian minggu depan.
Rukia sempat maju mundur untuk mengatakannya. Rukia bahkan berpikir untuk menyelesaikan di perpustakaan kota saja atau perpustakaan kampus. Atau begitu saja? Sepertinya lebih baik seperti itu daripada harus merepotkan Ichigo kan?
"Ada yang ingin kau katakan padaku?"
Sebenarnya Ichigo diam-diam memperhatikan Rukia yang terus mengekor di belakangnya sejak membereskan makan malam tadi. Seperti ada sesuatu yang ingin dia katakan tapi Rukia terus memilih diam. Wajahnya tampak berpikir keras tadi tak ada satu pun kata keluar dari mulutnya. Karena begitu sering memperhatikan tingkah anak ini sejak dekat dengan Ichigo, makanya Ichigo jadi sedikit paham polanya. Rukia memang bukan tipe orang yang mengungkapkan apa yang ingin dia sampaikan secara langsung. Dia lebih banyak berpikir sebelum bertindak.
"Eh...? Oh... tidak..." lirih Rukia akhirnya.
"Apa yang ingin kau katakan padaku? Hm, apa tentang ujian minggu depan? Aku tidak bisa memberitahumu apapun soal itu loh walaupun kau kekasihku," tebak Ichigo.
"Tentu saja bukan itu!" sergah Rukia langsung.
"Jadi memang ada yang ingin kau katakan padaku kan?" tanya Ichigo lagi.
Kenapa orang ini selalu bisa membaca Rukia dengan begitu mudah?
Sekarang Rukia benar-benar tidak punya jalan keluar. Ichigo akan terus mendesaknya jika Rukia tidak mengatakannya. Mereka memang memiliki kepribadian yang bertolak belakang tapi memahami satu sama lain. Atau sebenarnya Ichigo-lah yang lebih memahami Rukia?
"Ano... Sensei..."
"Hm?"
"Ada tugas yang... harus kukerjakan sebelum ujian minggu depan."
"Lalu?"
Rukia menarik napas yang lumayan panjang. Kenapa dia jadi segugup ini?
Sialan Hinamori! Kalau bukan karena Hinamori yang menolak meminjamkannya laptop hal ini tidak akan terjadi. Padahal biasanya anak itu dengan rela hati meminjamkan laptopnya pada Rukia meskipun tugasnya belum selesai. Itu karena Hinamori bisa menyalin sedikit-sedikit tugas yang sudah diselesaikan oleh Rukia.
Kenapa orang itu sekarang jadi pelit begini?
"Ano... apa... aku boleh...meminjam... laptop Sensei?"
Rukia sempat melihat Ichigo terkejut dengan permintaan Rukia. Makanya Rukia langsung meralatnya cepat sebelum Ichigo sempat memberikan jawaban.
"Eh! Tidak perlu! Tidak apa, Sensei. Jika Sensei keberatan meminjamkannya padaku, aku akan mengerjakannya di tempat lain. Maaf sudah meminta hal yang aneh," ujar Rukia kemudian.
Ichigo tertawa singkat dan bersedekap dada seraya memandangi Rukia yang kini salah tingkah di depannya.
"Aku belum mengatakan apapun," sahut Ichigo.
Kali ini Rukia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Entah kenapa saat ini Rukia tengah melakukan suatu kesalahan besar yang akan mendapatkan hukuman berat.
"Aku bahkan akan memberikanmu apapun yang kau butuhkan untuk kuliahmu. Tapi dengan syarat," sambung Ichigo lagi.
"Eh?"
"Kau harus berusaha keras untuk mendapatkan nilai sempurna. Kau tidak boleh mempermalukan aku sebagai kekasihmu jika kau mendapatkan nilai kecil loh. Kalau itu untuk kuliahmu, kau bisa minta apa saja padaku asal bukan untuk curang," jelas Ichigo lagi.
"S-Sensei..."
"Aku punya satu laptop yang masih bagus tapi tidak kupakai. Kau bisa memakainya untuk mengerjakan tugasmu. Sekarang sebaiknya kau bersihkan dirimu dulu. Aku tunggu di ruang tamu."
Ichigo berlalu setelah mengacak rambut Rukia.
Seperti kata Ichigo, setelah Rukia selesai membersihkan dirinya dan berganti pakaian, Ichigo sudah menunggu di ruang tamu sambil menyalakan laptop yang dia janjikan tadi. Rukia juga sudah membawa semua keperluannya untuk menyelesaikan tugasnya.
Laptop itu benar-benar masih terlihat baru karena seperti kata Ichigo, dia tidak memakainya. Ichigo lebih banyak memakai laptop lain yang sudah menyimpan semua bahan untuknya mengajar. Laptop ini bahkan tidak memiliki berkas apapun yang disimpan.
Karena itulah Ichigo memperbolehkan Rukia untuk menyimpan semua bahan yang dia perlukan untuk ujian, tugas bahkan membuat jurnal-jurnalnya nanti. Sepertinya Hinamori benar. Memang ada untungnya memiliki kekasih seorang dosen seperti ini.
"Kau senang kalau kekasihmu ini seorang dosen?" celetuk Ichigo setelah memberitahu semua yang dia katakan pada Rukia tadi.
Tentu saja mendengar kata-kata Ichigo tadi, Rukia terkejut bukan main. Apa dosennya ini bisa membaca pikirannya?
"Eh...?"
"Kerjakan saja tugasmu. Kau bisa menyelesaikannya tanpa buru-buru lagi. Jam tidurmu harus cukup supaya insomnia-mu tidak kambuh lagi."
"Terima kasih banyak, Sensei. Terima kasih sudah... membantuku."
Ichigo tersenyum dan mengangguk ringan.
Karena tidak ada meja di kamar Rukia saat ini, Rukia mengerjakan tugasnya dan membawa semua bahan tugasnya ke ruang tamu. Di sini Rukia bisa dengan leluasa mengerjakan tugasnya.
Ichigo sempat melihat seperti apa tugas yang Rukia kerjakan. Walaupun Ichigo ada di sana, Rukia tidak pernah bertanya apapun pada Ichigo. Dia lebih suka mencarinya sendiri dengan bahan yang dia miliki. Ichigo bahkan bisa melihat kalau gadis ini benar-benar serius jika soal belajar.
Sesekali Ichigo ikut duduk di sebelah Rukia, lalu menyandar di sofa yang tepat di belakang Rukia. Ichigo juga sempat memainkan ponselnya.
Gadis ini terlalu fokus pada pekerjaannya sampai tidak peduli lagi pada sekelilingnya. Melihat Rukia yang begitu fokus tentu saja Ichigo jadi sungkan untuk mengajaknya bicara atau malah menggodanya.
Hm... apa yang sebaiknya dilakukan oleh Ichigo?
.
.
*KIN*
.
.
Saking fokusnya pada tugasnya, Rukia jadi tidak menyadari jam lagi.
Rukia baru merenggangkan tubuhnya ketika tugasnya hampir selesai. Tapi sialnya Rukia tidak merasa mengantuk sama sekali. Begitu melihat jam, ternyata ini sudah pukul 12 malam lewat. Kalau Rukia tidak tidur sekarang, dia pasti akan mengantuk besok. Tapi bagaimana dia bisa tidur kalau matanya masih sesegar ini?
Selagi sibuk memikirkan bagaimana caranya tidur, Rukia membalikkan badannya dan terkejut melihat Ichigo tertidur di sofa yang berada di belakang punggungnya itu.
Kenapa Ichigo malah tertidur di sini? Sejak kapan dosennya ini...?
Rukia pun mendekatinya hendak membangunkan Ichigo.
Tapi begitu mendekatinya, Rukia berhenti sesaat ketika jarak mereka begitu dekat.
Tanpa sadar Rukia memegangi dadanya.
Ya, dadanya selalu berdebar seperti ini setiap kali melihat sosok Ichigo. Laki-laki yang diam-diam menyelinap ke dalam hatinya tanpa izin sedikit pun. Rukia bahkan tidak pernah membiarkan dirinya jatuh ke dalam pesona laki-laki berwajah tampan ini. Tapi kenapa dirinya tidak pernah bisa menolak apapun yang laki-laki ini tawarkan padanya?
Bolehkah... bolehkah Rukia merasakan perasaan ini jauh lebih dalam lagi?
Rukia hampir tidak mau melepaskan laki-laki ini. Tapi Rukia juga tidak bisa menjamin apakah mereka bisa bersama di masa depan nanti? Rukia masih tidak tahu dan begitu takut untuk mengetahuinya.
Apakah sungguh... laki-laki ini akan terus berada di sisinya selama yang Rukia inginkan? Benarkah... dia akan memberikan semua waktunya hanya untuk Rukia?
Selagi berdebat dalam pikirannya sendiri, mata Rukia membesar begitu melihat mata Ichigo mengerjap perlahan. Rukia tak sempat lagi memalingkan wajahnya ketika kelopak mata Ichigo terbuka lebar tepat di depannya.
"Kau sudah menyelesaikan tugasmu?" tanya Ichigo kemudian.
"O-oh... tugasnya sudah selesai..." kata Rukia kemudian buru-buru membalikkan badannya dan membereskan semua kekacauan yang dia ciptakan karena membuat tugas tadi.
Sedangkan Ichigo bangkit dari tempatnya berbaring dan duduk sejenak di sofa itu sembari memperhatikan Rukia membereskan barang-barangnya. Ichigo kemudian bermaksud ingin membantu Rukia menyusun barang-barangnya, tapi gadis itu buru-buru berdiri. Rukia begitu cepat bergerak sehingga ritmenya bertabrakan dengan Ichigo yang juga ingin ikut berdiri.
Tentu saja Rukia terkejut luar biasa dan menjerit kecil karena tidak sempat lagi menjaga keseimbangan tubuhnya sendiri. Dengan reflek pula, Ichigo segera memeluk Rukia agar tubuhnya tidak terjerembab jatuh ke depan. Dan adegan itu pun berakhir dengan Rukia yang berada dalam pelukan Ichigo yang sama-sama terjatuh ke sofa. Kini Rukia tepat berada di atas Ichigo.
Rasanya? Tolong jangan ditanya.
Rukia malu, gugup, panik dan cemas dalam waktu bersamaan.
"Hei, apa kau tidak bisa untuk tidak terlalu terburu-buru?" ujar Ichigo setelah merasakan tulang ekornya yang terhantam bantalan sofa pada saat yang tidak tepat.
"M-maafkan aku Sensei! Aku tidak tahu kalau Sensei... mau berdiri..." lirih Rukia dengan wajah cemas bukan main.
Ichigo kembali tertawa pelan.
"Baiklah, kau bisa berdiri sekarang," ujar Ichigo pula.
Rukia mengangguk cepat untuk segera menyingkirkan tubuhnya. Tapi entah kenapa mendadak Ichigo justru tidak melepaskan pelukannya pada pinggang Rukia. Jadi, ketika Rukia hendak berdiri tubuhnya langsung ambruk lagi ke pelukan Ichigo. Mata Rukia membelalak heran.
"S-Sensei?" gumam Rukia.
"Apa aku boleh menciummu?"
Apalagi ini?
"Hah?"
"Aku... boleh menciummu?"
Tentu saja Rukia bingung harus menjawab apa?
Wajah Ichigo terlihat begitu serius memandangi Rukia hingga Rukia sendiri tidak sanggup untuk melihat lurus ke wajah Ichigo. Sekarang suasananya jadi bertambah gugup untuk Rukia.
Selagi pikiran Rukia melayang-layang entah kemana, Ichigo kemudian mengeratkan pelukannya pada Rukia. Ada apa dengan situasi saat ini?
Perlahan-lahan Ichigo mendekatkan wajahnya ke arah Rukia. Jujur saja, saat ini Rukia tidak tahu harus bergerak seperti apa. Perasaannya hanya bertambah gugup dan cemas. Bahkan untuk bernapas saja rasanya sulit bukan main.
Akhirnya, Ichigo hanya mengecup sekilas bibir Rukia. Rukia pun hanya mampu memejamkan matanya saja. Sentuhan Ichigo begitu lembut padanya. Selalu selembut ini setiap kali Ichigo menyentuhnya. Tapi Rukia tetap tidak bisa mengendalikan dirinya dengan baik. Perasaannya masih terasa campur aduk tidak karuan. Apalagi dadanya menjadi semakin berdebar-debar hingga terasa sesak.
Setelah mengecup Rukia sekilas, Ichigo berpindah mencium pipi Rukia sedikit lama. Bibir Ichigo masih menyusuri tiap senti wajah Rukia. Rukia berusaha menikmatinya, tapi perasaannya tidak bisa membohonginya. Tubuhnya masih bergetar dengan sentuhan ini.
Sekarang Ichigo mulai mencium kembali bibir Rukia. Kali ini sentuhannya sedikit berbeda. Ichigo berusaha memagutnya dengan perlahan dan selembut mungkin. Rukia masih tidak berani untuk membalas atau pun. Tapi kini perlahan-lahan posisi mereka berubah. Ichigo membungkukkan punggungnya sembari memeluk Rukia. Hingga posisi mereka berubah, Rukia yang berada di atas sofa dan Ichigo di atasnya.
Sebenarnya Rukia sedikit panik saat Ichigo mengubah posisi mereka. Tapi Rukia berusaha mengendalikan dirinya. Saat ini... hanya ada Ichigo di pelukannya.
Dan ketika Ichigo bergerak menuju leher Rukia, Ichigo mengecupnya sedikit lama bahkan giginya hampir menyentuh kulit leher Rukia.
"S-Sensei..." lirih Rukia dengan nada bergetar.
Ichigo masih fokus mencium sekitar leher dan tulang selangka Rukia. Tangan Ichigo memang tidak bergerak ke tempat lain selain memeluk Rukia. Hanya saja, Rukia merasakan perasaan menakutkan yang membuatnya nyaris gila.
Begitu Ichigo hampir mencium bagian bawah dari tulang selangkanya, Rukia langsung berteriak dan mendorong dada Ichigo menjauh darinya.
Sadar dengan perbuatan Rukia, Ichigo pun langsung bergerak cepat dan menjauh dari posisi mereka barusan. Ichigo baru menyadari bahwa sedari tadi Rukia menahan tangisan di wajahnya. Ichigo tak percaya dia baru saja... baru saja hampir membuat Rukia...
"R-Rukia...?"
Sepertinya Rukia tak bisa berkata apa-apa sehingga dirinya hanya bergegas pergi dari tempat itu dan masuk ke kamarnya. Ichigo tak sempat menyusul Rukia dan hanya mendengar suara pintu yang tertutup sedikit keras dan bunyi kuncinya saja.
Ichigo mengerang frustasi dan mengacak, hampir menjambak rambutnya sendiri.
Tentu saja Ichigo langsung bergerak menyusul Rukia. Tapi begitu sampai di depan pintu kamarnya, Ichigo langsung terhenyak. Dia bisa mendengar suara tangisan Rukia yang merintih di balik pintu itu.
Ichigo sungguh merasa menyesal sekarang.
Apa yang baru saja dia lakukan?
"Rukia? Kau dengar aku?" kata Ichigo seraya mengetuk pintu kamarnya dengan perlahan.
Tak ada jawaban, hanya saja suara tangisan Rukia mereda.
Ichigo menyesal. Dia tidak tahu apa yang baru saja merasukinya tadi. Bagaimana mungkin dia berbuat rendah seperti itu pada gadis seperti Rukia? Tentu saja sekarang Rukia pasti membencinya. Ichigo yakin Rukia tidak akan sudi lagi melihatnya sekarang ini.
"Rukia... maafkan aku. Aku tahu... perbuatanku tadi sangat brengsek. Kau pasti sudah membenciku sekarang. Aku tahu kau tidak akan sudi lagi melihatku. Rukia... kumohon maafkan aku. Aku bersalah padamu..."
Tak peduli berapa lama Ichigo menunggunya, Rukia tetap tidak membukakan pintu itu.
.
.
*KIN*
.
.
"Hei, kenapa tiba-tiba kau datang sepagi ini?"
Hinamori terbangun dengan amat terpaksa setelah mendengarkan dering ponselnya berkali-kali. Hinamori bahkan berpikir itu adalah alarmnya, makanya Hinamori berusaha mematikannya. Tapi pada akhirnya Hinamori terbangun juga karena tidak bisa menghentikan deringan itu. Begitu melihat nama kontak yang menelponnya sejak pukul lima pagi hingga sekitar 10 menit itu adalah Rukia. Tentu saja Hinamori berubah cemas karena sepertinya telepon itu sangat penting.
Begitu mengangkatnya, Hinamori tidak sempat bicara apapun karena Rukia langsung mengatakan kalau dia sekarang ada di depan pintu rumah Hinamori.
"Kuchiki... hei?"
Hinamori semakin terkejut ketika melihat sosok Rukia berdiri di depan rumahnya dengan wajah sembab dan mata yang bengkak.
Rukia sendiri tidak sempat berkata apapun selain memeluk Hinamori dengan erat.
Hinamori sendiri tidak tahu harus mengatakan apa, tapi sepertinya telah terjadi sesuatu pada Rukia.
.
.
*KIN*
.
.
Ichigo terkejut ketika alarm ponselnya berdering pada pukul enam pagi.
Tentu saja karena mata Ichigo sebenarnya baru terpejam pada pukul tiga pagi. Itu karena semalaman Ichigo menunggu di ruang tamu dekat dengan kamar Rukia berada. Ichigo amat merasa bersalah padanya dan ingin segera meminta maaf pada Rukia. Setelah Ichigo berbicara di depan pintu Rukia setelah kejadian itu, Rukia sama sekali tidak membukakan pintu dan bicara apapun pada Ichigo. Makanya Ichigo berusaha memberikannya waktu dan menunggu.
Tapi alangkah terkejutnya pagi ini Ichigo melihat kamar Rukia sudah kosong. Dia memang tidak mengosongkan barang-barangnya. Beberapa pakaiannya masih ada di lemarinya. Sepertinya dia hanya keluar tanpa memberitahu Ichigo saja.
Karena belum begitu bisa berpikir dengan baik setelah bangun tidur, Ichigo berusaha menghubungi ponsel Rukia. Tapi sayangnya nomor Rukia tidak aktif sama sekali walaupun Ichigo sudah menghubunginya beberapa kali.
Jalan terakhir, Ichigo mencoba menghubungi nomor ponsel temannya itu. Temannya yang kadang menghubungi Ichigo di saat darurat.
"Ya, Kurosaki Sensei?"
Syukurlah temannya Rukia itu menjawab panggilan Ichigo.
"Maaf mengganggumu pagi seperti ini," buka Ichigo mengawali percakapan di telepon ini.
"Soal Kuchiki...?" tanya gadis itu dengan nada menggantung.
"Ya?"
Bagaimana gadis ini bisa tahu maksud telepon Ichigo?
"Ya, dia ada di rumahku sekarang. Apa Sensei ingin bicara dengan Kuchiki?"
Ichigo berpikir agak lama.
Jika gadis itu tidak mengangkat teleponnya bahkan mematikannya, bukankah sudah jelas kalau dia tidak ingin dihubungi?
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu ada dimana dia sekarang ini. Jika dia ada di tempatmu sudah tidak apa-apa. Tolong... jaga dia di sana," pesan Ichigo.
"Baiklah, aku akan bicara dengannya," balasnya lagi.
Sekarang Ichigo benar-benar menyesal bukan main.
Dia terlalu gegabah kali ini.
.
.
*KIN*
.
.
"Hei, bicara denganku. Ada apa sebenarnya?" tuntut Hinamori setelah dia mematikan ponselnya.
Saat itu, Hinamori terkejut karena mendapat panggilan dari Ichigo. Hinamori sempat menunjukkan panggilan itu kepada Rukia, tapi responnya di luar dugaan sama sekali. Rukia hanya diam sambil memalingkan wajahnya dari layar ponsel Hinamori.
Bukankah sudah jelas itu ada yang aneh?
Sejak kedatangan Rukia pagi buta itu, Hinamori hanya membiarkannya duduk di kamarnya tanpa melakukan apapun. Rukia juga hanya duduk memeluk lututnya sambil merenung yang tidak bisa ditebak oleh Hinamori.
Tapi setelah mendapatkan panggilan dari Ichigo, jelas sekarang Hinamori tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi dengan orang ini.
"Kau bertengkar dengan Kurosaki Sensei?" kejar Hinamori lagi.
Rukia kembali diam. Dia seperti seseorang tak bernyawa yang tidak lagi bisa merespon apapun yang ditanyakan orang padanya. Baiklah, jika Hinamori tidak bisa mengendalikan emosinya dia pasti sudah lama frustasi berat menghadapi gadis keras kepala dan tertutup ini.
"Baiklah kalau kau tidak mau bicara apapun padaku. Tapi jika kau tidak mau bicara harusnya kau tidak datang padaku kan?" ancam Hinamori.
Rukia sedikit terkejut dengan kata-kata Hinamori padanya barusan.
"Baiklah, aku akan pergi," respon Rukia akhirnya yang bersiap mengangkat kembali tas yang dibawanya itu.
Tentu saja Hinamori jadi serba salah dan langsung menghalangi niat Rukia untuk pergi dari kamarnya.
"T-tunggu dulu! Ya ampun, apa sekarang kau tidak bisa menerima candaanku lagi? Baiklah, sepertinya kau sungguh frustasi sekarang ini. Tapi jangan pergi kemana pun ya? Aku tidak akan tanya apapun lagi," kata Hinamori yang akhirnya mengalah.
Dia bisa benar-benar terkena masalah kalau sampai Rukia kabur ke tempat lain. Padahal Ichigo sudah berpesan padanya.
Ini benar-benar aneh.
.
.
*KIN*
.
.
Sudah dua hari, terhitung sejak kemarin Rukia menginap di rumah Hinamori.
Dia juga tidak datang ke kampus dan hanya menitipkan tugas yang telah dia selesaikan untuk diserahkan kepada Matsumoto Sensei. Memang minggu ini tidak masalah jika tidak datang ke kampus karena minggu depan sudah masuk ujian akhir semester.
Hinamori juga tidak mau bertanya apapun lagi karena sepertinya masalah kali ini cukup berat. Rukia bahkan tidak begitu banyak makan. Hinamori sempat meminta ibunya untuk ikut memarahi Rukia jika gadis itu tidak makan. Tapi Rukia hanya menuruti jika ibunya Hinamori melihatnya saja.
Ichigo juga hanya berkirim pesan untuk menanyakan keadaan Rukia.
Entah apa yang sebenarnya terjadi dengan dua orang ini.
"Hari ini Shiba Sensei mencarimu loh," celetuk Hinamori ketika mereka akan bersiap-siap tidur malam ini.
Rukia hanya menoleh kepada Hinamori tanpa mengatakan apapun.
"Dia bertanya kenapa kau tidak datang ke kampus. Dia juga mencoba menghubungimu tapi ponselmu mati. Lalu dia datang ke rumahmu kemarin, tapi kau tidak ada. Dia pikir kau sudah pindah entah kemana," jelas Hinamori seadanya.
Rukia hanya diam mendengar celotehan Hinamori.
Sudah beberapa hari ini Hinamori berusaha menahan diri, tapi ternyata dia tidak tahan juga. Hinamori bangkit dari tempat tidurnya. Padahal tadinya dia sudah berbaring dan menarik selimut. Rukia yang berbaring di sebelahnya ikut terkejut dengan gerakan tiba-tiba Hinamori.
"Baiklah, aku sudah tidak tahan. Hei! Ada apa sebenarnya denganmu? Kenapa kau tiba-tiba jadi bisu seperti ini?! Kau tidak bicara apapun denganku! Aku benar-benar serius sekarang, kenapa kau mendatangiku kalau kau lebih memilih diam begini? Apa kau mau melihatku mati penasaran sekarang hah?"
Rukia benar-benar terkejut melihat bagaimana Hinamori begitu ngotot padanya.
"Semua orang punya masalah, tentu saja! Tapi diam seperti orang tidak punya kehidupan sepertimu ini bukan solusinya! Kalau kau tidak mau membicarakannya, paling tidak jangan terlihat seperti narapidana yang mau dihukum mati begitu! Kalau kau tidak ingin orang tahu masalahmu, setidaknya kau harus hidup seperti orang normal. Kau kan bisa berteriak, marah atau menangis padaku, tapi jangan diam begini. Kau membuatku jauh lebih khawatir tahu..."
Hinamori kemudian menarik napas panjang karena dia sudah mengoceh panjang lebar seperti itu. Dia sudah tidak peduli lagi apa temannya ini akan marah padanya atau benci padanya. Jika memang karena kata-kata seperti itu Rukia justru tersinggung padanya, berarti anak ini sudah tidak bisa ditolong lagi.
Tapi Hinamori justru terkejut melihat Rukia perlahan-lahan menangis dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Rukia menangis tapi berusaha untuk meredam suara tangisannya.
Baiklah, sekarang Hinamori yang serba salah.
"H-hei... maaf... aku tahu aku memang keterlaluan tadi itu... tapi itu karena kau... aku hanya khawatir..." kata Hinamori bingung sembari mengelus punggung Rukia.
Apa kata-katanya tadi keterlaluan? Kelewatan? Ya ampun...
"Aku harus bagaimana..." lirih Rukia kemudian.
Sekitar 30 menit, akhirnya Rukia mampu menenangkan diri.
Perlahan-lahan Rukia akhirnya menceritakan apa yang membuatnya merasa bersalah hingga hari ini dan takut untuk menghadapi siapapun. Rukia merasa dirinya benar-benar tidak normal dan aneh. Perasaannya untuk Ichigo benar-benar nyata tapi entah kenapa ada rasa takut di saat bersamaan.
Rukia tidak bisa mengatakannya langsung kepada Ichigo. Rukia sudah berusaha untuk mengubah dirinya dan menerima perhatian dari orang yang dia sukai. Tapi kemudian perlahan-lahan perasaan itu membuatnya jadi semakin takut. Apalagi setelah yang mereka lakukan terakhir kalinya.
Rukia sadar bahwa yang melakukan semua itu adalah orang yang dia sukai dan dia percayai. Rukia tahu, bagaimana sayangnya Ichigo padanya dan Rukia bisa merasakan setiap perhatian yang diterimanya dari Ichigo. Bahwa laki-laki itu sangat menghargai dan menjaga Rukia dengan baik. Rukia tahu itu.
Tapi tiba-tiba saja... setelah malam itu... pikiran Rukia kembali dipenuhi oleh ketakutan tanpa arti. Rukia masih merasa begitu takut saat seseorang menyentuhnya berlebihan seperti itu. Rukia kembali mengingat mimpi buruk yang harusnya dia lupakan. Mimpi buruk yang mengacaukan semua kenangan di seumur hidupnya. Rukia tidak menyangka jika sentuhan dari orang yang dia sukai bisa membawanya kembali mengingat mimpi buruk itu.
Hal itulah yang membuatnya merasa bersalah bukan main pada Ichigo dan membuatnya tak berani bertemu dengan Ichigo lagi. Rukia belum bisa memaafkan dirinya sendiri yang berpikiran seperti itu. Karena itulah Rukia tidak tahu harus mengatakan apa untuk menyelesaikan masalah seperti ini.
Rukia juga merasa bersalah karena bersikap seperti ini tanpa memberitahu Ichigo apa yang dia rasakan.
"Aku juga tidak bisa menyalahkanmu jika itu yang kau rasakan. Wajar kalau kau... masih begitu trauma," kata Hinamori setelah Rukia mengakhiri ceritanya.
Akhirnya Rukia mau membicarakan masalahnya dengan Hinamori walaupun Hinamori harus mendengarkannya dengan perlahan-lahan.
Rukia memang baru saja mengalami mimpi buruk dengan Shawlong Sensei. Apalagi setelah peristiwa mengerikan itu jelas saja Rukia jadi punya trauma tersendiri jika ada sesuatu yang membuatnya mengingat itu.
"Tapi kau tahu kan... kalau Kurosaki Sensei itu laki-laki?" lanjut Hinamori.
Rukia menganggukkan kepalanya.
Tentu dia tahu.
Ichigo adalah laki-laki dewasa. Bukan hal aneh jika setiap laki-laki ingin melakukan sentuhan yang jauh lebih mendalam. Apalagi dengan orang yang dia sukai. Rukia mengerti itu, Rukia pun ingin melakukannya dengan orang yang benar-benar dia sukai.
Hanya saja... Rukia harus bagaimana dengan semua ini?
"Aku mengerti apa yang kau rasakan. Terlebih lagi... ini memang benar-benar pengalaman pertama yang kau rasakan. Wajar kalau kau masih ragu dan takut untuk melakukannya. Tapi... dalam sebuah hubungan kau harus lebih mengutamakan kejujuran dan komunikasi. Kau tidak bisa pergi seperti ini saja tanpa menjelaskan apapun pada Kurosaki Sensei. Walaupun kau berpikir ini bukan salahnya, tapi jika kau seperti ini Kurosaki Sensei akan jauh lebih merasa bersalah daripada dirimu," jelas Hinamori lagi.
Rukia kembali menangis, tapi tidak sekeras ketika pertama tadi dia mulai menangis.
"Dengar, semua mimpi burukmu itu sudah menjadi masa lalu. Kau harus berteman dengan masa lalumu agar kau bisa menemui masa depanmu. Masa kau mau terus-terusan hidup dengan trauma seperti itu?"
Rukia menggeleng menjawab pertanyaan Hinamori.
"Tentu saja, kenapa kau harus hidup dengan masa lalu seperti itu. Bukankah kau sudah memiliki Kurosaki Sensei? Kau pasti tahu bagaimana Kurosaki Sensei padamu kan? Dia benar-benar laki-laki yang baik. Dia pasti akan mengerti. Kau juga sebaiknya lebih membuka diri pada Kurosaki Sensei. Dalam berhubungan itu, kau tidak bisa hanya meminta Kurosaki Sensei yang menerimamu apa adanya, kau juga harus melakukan hal yang sama. Kalau kau seperti ini, kau sama saja menganggap semua laki-laki itu sama. Padahal tidak seperti itu kan? Kau tahu itu?"
"Benar..."
"Tentu saja benar. Kalau begitu kau sudah lebih baik kan?"
"Ya... terima kasih Hinamori... sudah mau mendengarkanku."
"Hh... aku sudah benar-benar takut masalah apa yang kau punya sampai melarikan diri seperti ini dari Kurosaki Sensei."
"Eh? Memang kenapa?"
"Hei, kau pulang saja malam ini."
"Hah?"
"Kau kan sudah lebih baik, pulang saja sana. Minta Kurosaki Sensei menjemputmu. Aku hampir muak mengabarinya setiap saat tentang apa saja yang kau lakukan selama ini."
"Eh?"
"Jangan 'eh' begitu! Dia benar-benar khawatir tahu! Makanya pulang saja sana. Bukankah lebih enak tidur dengan laki-laki tampan macam Kurosaki Sensei dibanding tidur di tempat sempit seperti ini denganku?"
"Hei, kenapa kau bicara begitu?" rajuk Rukia.
"Memang kenapa? Aku jadi tidak bisa menelpon dengan leluasa jika kau tidur di sini."
"Menelpon? Hei, kau menelpon siapa memangnya?"
Hinamori kemudian mengambil ponselnya dan menekan beberapa nomor. Sekarang Rukia sangat bingung dengan apa yang dilakukan oleh Hinamori.
"Kau berutang banyak denganku kali ini. Aku akan menagih traktirannya kelak," ujar Hinamori dengan ponsel yang masih tertempel di telinganya.
"Apa maksudmu?"
"Halo, Kurosaki Sensei. Kau bisa menjemput bocah ini di rumahku sekarang. Ya, dia sudah normal kembali."
"HINAMORI!"
.
.
*KIN*
.
.
Ichigo benar-benar datang tak lama setelah Hinamori menelponnya. Mungkin sekitar 10 menitan.
Rukia tak percaya Hinamori benar-benar mengusirnya pergi setelah kedatangan Ichigo untuk menjemputnya.
Di dalam perjalanan pulang, mereka berdua hanya diam saja tanpa mengatakan apapun. Ichigo juga sepertinya mengerti jika Rukia masih sangat canggung padanya. Makanya Ichigo tidak mengatakan apapun setelah tidak bertemu dengan Rukia selama dua hari ini. Betapa Ichigo merindukannya dan khawatir di saat bersamaan.
Begitu tiba di apartemen Ichigo, Rukia masih begitu ragu untuk masuk. Ichigo juga tampak serba salah untuk mengatakan sesuatu kepada Rukia.
Rukia merasa juga ini sangat aneh. Kenapa dia tidak bisa menolak apapun yang Hinamori katakan padanya? Rukia justru terperangkap dalam kecanggungan seperti ini. Dia bahkan tidak berani menatap Ichigo langsung.
Tapi kenapa orang ini langsung menjemputnya hanya karena telepon dari Hinamori?
"Rukia..."
Jantung Rukia serasa mau meledak saat Ichigo memanggil namanya. Dia masih berada dalam level kegugupan yang luar biasa menakutkan.
"Kau bisa beristirahat. Bukankah besok ujian sudah dimulai?"
Rukia hanya menundukkan kepalanya begitu dalam dan menganggukkannya satu kali.
"Rukia... aku mau... minta maaf..." kata Ichigo lagi sebelum Rukia berpindah dari tempatnya.
Jarak mereka berdiri memang cukup jauh karena Rukia berdiri di dekat pintu kamarnya dan Ichigo berada di dekat dapurnya. Rukia sempat mencuri pandang dan melihat Ichigo memang masih ada di dekatnya.
"Aku minta maaf jika perbuatanku waktu itu... benar-benar kelewat batas. Maaf karena aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri. Aku sangat khawatir jika kau membenciku karena hal itu. Walaupun mungkin kau masih membencinya..."
"Aku tidak membencinya," bantah Rukia langsung.
Ichigo terdiam mendengar jawaban Rukia.
"A-apa?"
"Aku... aku hanya... sebenarnya... aku..."
Rukia benar-benar ingin mengatakannya, tapi lidahnya tidak sanggup mengatakannya. Rukia tidak ingin menganggap Ichigo seperti masa lalunya yang mengerikan itu. Hinamori benar, jika Rukia seperti ini dia sama saja menganggap semua laki-laki itu sama. Padahal... tidak semua seperti itu dan Rukia tidak bisa memukul rata laki-laki akan seperti itu.
"Jika kau belum siap, kau tidak perlu mengatakannya. Aku sudah cukup merasa senang kau mau kembali kemari," potong Ichigo akhirnya.
Rukia kini mengangkat wajahnya dan dirinya bisa melihat Ichigo tersenyum hangat kepadanya.
"Istirahatlah, kau bisa terlambat besok."
Setelah tersenyum seperti itu, Ichigo kemudian berbalik. Sepertinya Ichigo juga hendak menuju kamarnya.
Sebenarnya Rukia ingin mengatakan hal lain lagi. Tapi sepertinya ini bukan waktu yang tepat. Tentu... mereka baru saja bertemu setelah Rukia menghilang beberapa hari. Jadi mungkin saja—
"Rukia..."
Saat Rukia hampir membuka pintu kamarnya, Rukia benar-benar terkejut karena Ichigo ternyata kembali lagi berdiri di dekatnya. Entah sejak kapan Ichigo berbalik lagi. Padahal Rukia yakin dia sudah melihat Ichigo berjalan menuju kamarnya.
Akhirnya Rukia memberanikan diri untuk menatap Ichigo langsung.
"Apa... aku boleh memelukmu?"
Rukia terdiam.
Kemudian dirinya teringat segala hal yang Ichigo lakukan padanya.
Setiap kali Ichigo ingin melakukan kontak fisik dengannya, Ichigo tidak akan ragu-ragu untuk meminta izin darinya. Ichigo tidak pernah benar-benar menyerangnya begitu saja. Ichigo selalu bertanya seperti ini pada Rukia.
Apakah... laki-laki yang seperti ini bisa disamakan dengan pria brengsek yang mengacaukan masa lalu Rukia itu?
Tiba-tiba saja Rukia meneteskan air matanya namun dengan cepat Rukia menghapusnya, berharap Ichigo tidak sempat melihatnya.
Tapi sayangnya, Ichigo melihat itu dan menganggap Rukia mungkin tidak ingin melakukan apapun dengannya.
"Maaf, seharusnya aku membiarkanmu untuk beristirahat. Kalau begitu—"
"Boleh..." lirih Rukia kemudian.
Ichigo tak percaya dengan apa yang didengarnya. Makanya Ichigo bertanya sekali lagi. Hanya untuk memastikan kalau dia tidak salah dengar atau berhalusinasi.
"Sensei... boleh memelukku..." ulang Rukia kemudian.
Ichigo tersenyum lega lalu mengambil langkah secepatnya untuk mendekati Rukia.
Ichigo sempat ragu untuk membuka lengannya begitu sudah tepat berada di depan Rukia. Rukia yang menyadari hal itu kemudian mendekatkan diri hingga menabrak dada Ichigo. Seperti mendapatkan persetujuan yang jelas, akhirnya Ichigo benar-benar merangkul punggung Rukia dengan erat. Memeluk Rukia yang kini berada di dekapannya. Ichigo tidak tahu bahwa ternyata sebesar inilah rindu yang ditahannya dalam beberapa hari ini.
"Aku benar-benar merindukanmu. Tolong... jangan buat aku merindukanmu seperti ini lagi..." lirih Ichigo.
Rukia pun menganggukkan kepalanya berkali-kali.
.
.
*KIN*
.
.
Setelah memastikan Rukia tertidur di kamarnya, Ichigo kembali ke kamarnya dan menemukan sebuah pesan dari teman Rukia itu. Kalau Ichigo tidak salah ingat, Rukia memanggil anak itu dengan Hinamori kan?
Hinamori mengirimkan sebuah pesan kepada Ichigo.
Pesan itu tertulis cukup panjang dan memang sudah satu setengah jam yang lalu terkirim.
Di sana Hinamori menceritakan tentang apa yang membuat Rukia menjauhi Ichigo beberapa hari lalu.
Termasuk soal traumanya dan ketakutannya.
Ichigo memang sempat melupakan apa yang pernah terjadi dengan Rukia waktu itu. Karena Ichigo berharap, gadis itu tidak akan lagi merasakan perasaan terkutuk seperti itu lagi. Ichigo berharap, dirinya dapat melindungi gadis itu dari masa lalu yang terpuruk itu. Ichigo memang berharap bisa melakukannya, karena itulah Ichigo ingin terus bersama dengan Rukia. Memastikannya tetap aman dan baik-baik saja.
Karena itulah yang diinginkan oleh Ichigo saat ini. Dan mungkin untuk seterusnya.
.
.
*KIN*
.
.
Pagi ini sebenarnya Rukia masih merasa gugup untuk menyapa Ichigo. Makanya setelah berdandan rapi karena mulai hari ini hingga dua minggu ke depan ada ujian akhir semester yang harus dilalui oleh Rukia.
Dadanya masih berdebar tak karuan. Perasaannya masih campur aduk tak karuan pula. Bagaimana sebaiknya Rukia bersikap? Seperti biasa atau...?
Bagaimana kalau maju saja? Tidak perlu ada yang ditakutkan bukan? Tapi kenapa sepertinya Rukia tidak merasa seperti itu?
Tanpa sadar, Rukia membuka pintu kamarnya begitu saja. Dan hal yang lebih mengejutkan lagi ternyata Ichigo sudah berdiri di depan pintu kamar Rukia. Tentu saja Rukia terbelalak kaget melihat Ichigo berdiri di sana. Ichigo sempat salah tingkah ketika menyadari pintu kamar Rukia akhirnya terbuka.
"O-oh, kupikir kau belum bangun. Aku... baru saja ingin membangunkanmu," ujar Ichigo dengan nada yang malah terdengar gugup.
"A-aku... sudah lama bangun..." lirih Rukia sembari menundukkan kepalanya.
"Sudah lama? Apa kau... tidur semalam?" tanya Ichigo sedikit gelisah.
"O-oh, aku tidur kok. Hanya sedikit larut karena... aku harus mempersiapkan ujian hari ini," ujar Rukia pula.
"Ah ya, hari ini ujian dimulai ya. Apa kau mau... sarapan dulu?" tawar Ichigo.
Rukia menganggukkan kepalanya perlahan. Ichigo pun memberikan isyarat untuk mengikutinya ke dapur. Tapi belum sampai di dapur, Ichigo menghentikan langkahnya kemudian berbalik menatap Rukia. Rukia sendiri sempat terkejut karena Ichigo berhenti di depannya secara mendadak.
"Rukia..."
Suara Ichigo memanggil nama Rukia terdengar begitu lembut. Wajar saja kalau jantung Rukia berdesir seperti ini. Seseorang yang dia sukai dan begitu disayangi oleh Rukia untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Karena Ichigo adalah orang lain yang menaruh perhatian pada Rukia pertama kali selain Hinamori sahabatnya.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Ichigo kemudian.
"Eh? Aku... aku baik-baik saja..." tanya Rukia tak mengerti.
"Kau tahu? Kau bisa mengatakan semuanya padaku. Apa yang kau rasakan... apa yang kau takutkan. Aku akan mendengarkannya untukmu. Bukankah itu salah satu alasan mengapa aku ingin tinggal bersamamu? Agar kau lebih mudah menyampaikan semua yang kau pikirkan bukan?"
Rukia terdiam untuk beberapa saat.
Ini hanya... karena selama ini Rukia berpikir bahwa dia hanya sendirian. Rukia belum siap untuk memikirkan kalau saat ini, Rukia sudah memiliki seseorang yang... mungkin bersedia ada untuknya.
"Kau tidak sendirian, kan? Kau benar-benar bisa mengandalkanku," lanjut Ichigo lagi ketika menyadari ekspresi Rukia yang begitu mudah ditebak.
Ichigo bisa tahu kalau anak itu tengah terharu padanya.
"Terima kasih, Sensei..."
Mungkin... sejak bertemu dengan Ichigo, Rukia baru menyadari bahwa hidupnya kini tak lagi kesepian.
Rukia... mungkin tidak akan sendirian lagi.
.
.
*KIN*
.
.
Rukia kini lebih banyak belajar di perpustakaan seusai ujian bersama Hinamori. Rukia ingin meluangkan waktu lebih banyak lagi sejak ujian berlangsung. Dia harus bisa mendapatkan nilai yang lebih baik lagi. Tentu saja karena Rukia tidak ingin terlihat memalukan di depan Ichigo. Bahkan Ichigo pun ikut menemani Rukia belajar di rumahnya.
Ichigo sudah berusaha untuk menahan dirinya. Dia tidak ingin lagi melakukan hal-hal yang tidak diinginkan oleh Rukia. Walaupun mungkin bukan seperti itu, tapi Ichigo bisa merasakan kalau Rukia belum siap untuk melakukan hal yang lebih jauh di dalam hubungan mereka.
Ichigo... harus sedikit lebih bersabar.
Apalagi ujian Rukia akan segera berakhir setelah hari ini. Ichigo ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan Rukia berdua saja di luar. Makanya Ichigo dengan sabar menunggu hari dimana ujian ini berakhir.
"Kau mau kencan kan? Pasti senang sekali rasanya selesai ujian kali ini," sindir Hinamori setelah ujian terakhir mereka berakhir.
"Tentu saja senang. Setidaknya aku bisa mengistirahatkan otakku dari semua hafalan menyebalkan ini," lanjut Rukia.
"Jadi kau mengakui kalau kau senang bisa kencan setelah ini kan?"
"Kuchiki mau kencan dengan siapa?"
Kontan saja mereka berdua terkejut karena ada yang menginterupsi pembicaraan mereka. Memang saat itu posisinya Rukia dan Hinamori tengah berjalan di koridor kampus untuk segera pulang. Tidak disangka ketika mereka berjalan seperti ini ternyata Shiba Kaien mengikuti mereka dari belakang secara diam-diam.
"Shiba Sensei," ujar Hinamori yang masih terkejut.
Apalagi Rukia yang malah tidak bisa berkata-kata apapun lagi. Kenapa pula mereka harus membicarakan kencan di saat seperti ini?
"Shiba Sensei... sedang apa di sini?" tanya Rukia berusaha mengalihkan suasana.
"Aku mengikutimu. Sejak sebelum ujian sampai hari ini aku sulit sekali menemuimu. Aku bahkan sempat ke rumahmu tapi kau tidak pernah ada di rumah. Kau dimana?" tanya Kaien kemudian.
Rahang Rukia rasanya nyaris saja jatuh ke bawah.
Hinamori juga mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Jujur saja, untuk situasi seperti ini Hinamori sama sekali tidak berniat untuk ikut campur. Daripada nanti dia salah bicara kan? Terlalu banyak tahu juga sebenarnya bukan hal yang baik. Ketika terlalu banyak tahu dan harus menjaga rahasia itu agar jangan diketahui oleh orang banyak. Benar-benar melelahkan bukan?
"Uhm, Kuchiki... aku duluan ya. Hari ini aku sudah ada janji, sampai nanti. Oh ya, sampai nanti Shiba Sensei," celetuk Hinamori tiba-tiba.
Tanpa menunggu jawaban Rukia, gadis bercepol itu langsung kabur begitu saja meninggalkan Hinamori. Padahal mereka sudah berjanji bersama-sama akan pergi mengembalikan buku yang tenggat waktu peminjamannya sampai besok.
Tentu saja Rukia langsung berwajah kesal karena Hinamori pergi begitu saja. Padahal Hinamori tahu situasi yang dihadapi Rukia saat ini. Dia benar-benar tidak bisa membantu di saat siaran langsung seperti ini!
"Kuchiki?" panggil Kaien lagi.
Rukia hanya melihat kepergian Hinamori begitu saja tanpa mempedulikan Kaien yang masih berdiri di depannya.
"Eh? Ya, Sensei?" sahut Rukia lagi yang mulai mengalihkan fokus pada Shiba Kaien.
"Sepertinya hari ini kau tidak punya acara kan? Bagaimana kalau kita pergi sebentar? Kita sudah lama tidak pergi bersama-sama lagi. Ujian juga sudah berakhir. Jadi, kurasa kau tidak punya alasan untuk menolak ajakanku kali ini kan?"
Sialan.
Kenapa harus setengah memaksa seperti itu sih?
Rukia jadi bingung harus menjawab apa karena alasan yang diberikan oleh Kaien sangat tepat. Dia juga tidak mau jadi gadis sok sibuk jika mengabaikan permintaan orang yang juga dosennya ini. Tapi tidak menolaknya juga sepertinya bukan pilihan baik karena... ini benar-benar menyebalkan dan rumit.
Akhirnya, Rukia tidak punya pilihan selain mengikuti Kaien yang setengah memaksanya untuk pergi bersamanya.
Padahal Rukia sudah janji untuk segera pulang hari ini karena Ichigo... sudah menunggunya.
Tapi Rukia juga tidak mungkin mengatakan hal itu pada Kaien kan?
Kaien mengajak Rukia untuk menikmati kopi terlebih dahulu di kafe dekat kampus. Awalnya Kaien ingin mengajaknya menonton, tapi Rukia langsung menolaknya. Tentu saja, karena menonton durasinya akan sangat lama dan dia belum memberitahu Ichigo kalau Rukia terjebak bersama Shiba Kaien.
Karena Rukia tidak mau memberitahu hubungannya dengan Ichigo kecuali kepada Hinamori. Ichigo juga sebenarnya lebih memilih untuk mengatakannya kepada Kaien dan Orihime. Tapi tentu saja Rukia belum siap jika dua orang itu tahu. Terlebih lagi Kaien terang-terangan yang menyatakan perasaan pada Rukia dan Orihime yang juga terang-terangan mengajak Ichigo berkencan. Entah kenapa Rukia merasa mengkhianati dua orang itu jika Ichigo memberitahu mereka tentang hubungan ini.
Semua ini jadi lebih rumit setelah dijalani.
"Jadi... apa kau masih tinggal di apartemenmu, Kuchiki?" tanya Kaien kemudian.
"Eh? Tentu saja aku masih disana..." ujar Rukia setengah gugup.
"Benarkah? Tapi kau tidak pernah ada di rumahmu loh. Kau dimana sebenarnya selama ini?"
Di rumah Kurosaki Ichigo.
Tapi mana mungkin Rukia mengatakannya kan?
"Ano... aku lebih banyak menginap di rumah Hinamori selama ujian. Rasanya lebih baik belajar bersama teman," jelas Rukia kikuk.
Rasanya jawaban itu terdengar seperti alasan yang bodoh.
"Oh ya? Sebenarnya aku ingin sekali membantu ujianmu, tapi aku tidak bisa menghubungimu. Jadi sekarang kau menginap di rumah temanmu."
Dan bodohnya orang ini percaya begitu saja. Rukia jadi semakin bertambah bersalah.
Selagi Kaien sibuk mencoba mencari bahan obrolan dengannya, tiba-tiba ponsel Rukia berbunyi nyaring. Rukia sampai melompat kaget melihat ponselnya tiba-tiba berdering. Untungnya Kaien belum sempat melihat ponsel Rukia. Karena nama kontak yang menghubungi Rukia saat ini adalah Ichigo.
Tentu saja... Ichigo pasti cemas karena Rukia belum pulang juga.
Rukia buru-buru mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam tasnya.
"Kenapa dimatikan? Apa telepon iseng?" tanya Kaien yang menyadari perbuatan Rukia barusan.
"Ah, ya. Spam... akhir-akhir ini banyak telepon spam.
Rasanya Rukia semakin tidak enak dan semakin merasa bersalah karena terus memberikan alasan konyol seperti ini.
"Spam? Blokir saja panggilannya. Sini biar aku blokir kan untukmu."
"T-tidak usah Sensei. Ah ya! Sebenarnya aku ada janji untuk pulang cepat hari ini. Aku... aku mau mengambil barang-barangku untuk pulang ke apartemenku."
"Benarkah? Kalau begitu biar kuantar sekalian."
"T-tidak usah Sensei, aku bisa lama di sana karena sekalian mengobrol dengan Hinamori. Nanti kita bisa pergi ke luar lagi. Aku... aku janji akan menghubungi Sensei."
"Tidak apa-apa. Barangmu kan bisa banyak. Aku akan mengantarmu kemudian kita bisa makan malam bersama. Ayo pergi, kita bisa kemalaman nanti."
"Sungguh Sensei, tidak apa-apa. Aku bisa sendiri."
"Kau kan tidak boleh menolak semua kebaikanku. Aku bisa sakit hati loh kalau kau terus merasa sungkan seperti ini. Ayolah, biarkan aku melihatmu lebih banyak hari ini."
Kepala Rukia semakin berdenyut.
Orang ini keras kepala, jadi tidak bisa diatasi dengan cara biasa.
Bagaimana sebaiknya Rukia bertindak?
Rukia terus memikirkan bagaimana caranya dia menolak Kaien mengikutinya pulang. Sampai tak terasa mereka sudah keluar dari kafe itu. Kaien meminta Rukia untuk menunggu sebentar karena dia akan mengambil mobilnya yang diparkir agak jauh dari kafe ini.
Sebenarnya Rukia ingin kabur begitu saja ketika Kaien pergi mengambil mobilnya. Tapi perasaannya selalu menjadi tidak enak kalau sudah berhubungan dengan Shiba Kaien. Entah kenapa orang yang terlalu baik baginya itu selalu membuatnya merasa bersalah jika Rukia bersikap tidak sopan.
Selagi memikirkan sekian banyak alasan untuk menghindari Kaien, yang sebenarnya tidak mungkin bisa dilakukan Rukia, tiba-tiba Rukia melihat seorang anak kecil tak jauh darinya memeluk bola.
Anak itu tampak sendirian tanpa orang dewasa yang mengawasinya. Rukia memperhatikannya sebentar karena anak kecil yang kemungkinan berusia lima tahun itu sangat lucu. Anak laki-laki yang begitu menggemaskan.
Tiba-tiba bola yang dipeluk anak itu tidak sengaja terlepas darinya hingga membuat bola itu terguling ke tengah jalan. Anak kecil itu segera menjemput bolanya begitu saja tanpa memikirkan apapun.
Saat itulah Rukia melihat ada sebuah motor yang melaju ke arah anak kecil itu.
Waktu... begitu cepat bergerak rupanya...'
.
.
*KIN*
.
.
TBC
.
.
Hola semuanya...
Sebenarnya chap ini bisa lebih panjang lagi. Sayangnya saya menyiapkan adegan itu untuk chap depan saja. Karena berhubung fic ini kemungkinan tamat kurang lebih lima chap mendatang.
Oh ya... saya sengaja sih kasih yang sweet dulu gimana gitu, jadi pas puncak klimaksnya nanti biar lebih berasa gimana gitu ya hehehe
Maaf chap ini saya gak bisa bales review karena udah beberapa hari ini gigi saya luar biasa sakit banget. Karena sebenarnya chap ini udah jadi sekitar bulan lalu dan gak bisa diupdate karena banyak halangan. jadi... sambilan nunggu gigi saya reda sakitnya saya iseng uplod ini dulu ya hehehe
Makasih yang udah berpartisipasi untuk fic saya.
Jaa Nee!