A/N : Euh...ini pengalaman pertama author bikin angst. Jadi maap kalo kurang greget ya heuheuehue~ Ide ini udah lama kebayang-bayang sebenernya, tapi baru pertama ini ditulis dalam rangka membuat fic tentang *uhuk*seme galau*uhuk*. Dan akhirnya ketulis juga, saudara-saudaraaa... *terjatuh dan tak bisa bangkit lagi*
Disclaimer : ... SnK bakal jadi manga yaoi kalau saya yang tulis. Dijamin. Alhamdulillah yang nulis Hajime Isayama /disclaimermacamapaini
Enjoy!
Suara deritan pintu kayu yang sudah agak usang terdengar memecah keheningan di tempat tersebut. Gelap, sunyi, dingin. Ruang bawah tanah di gedung pengadilan Wall Sina memang bukanlah tempat untuk didiami manusia.
Namun, seorang prajurit tanpa seragam berjalan masuk ke sana. Keraguan nampak absen di wajahnya yang miskin ekspresi. Kedua mata kecil nan tajamnya hanya tertuju ke depan, ke suatu objek yang tersimpan aman di salah satu ruangan di sana.
Dalamnya kegelapan hanya disinari oleh lampu minyak yang dibawanya. Jas hitamnya ia biarkan bertengger di kedua bahunya dan tampak berkibar seiring kakinya melangkah. Ekspresinya tetap sama, datar, tanpa emosi.
Entah sudah keberapa kalinya ia berada di tempat yang sama sekali tidak nyaman itu. Sesak, kotor, laki-laki tersebut bergidik jijik kala melihat suatu sarang laba-laba bertengger di salah satu sudut di atap ruangan.
Tapi di situlah ia, duduk bersila di lantai berdebu, menghadap suatu benda dengan tatapan mendung.
Dan di dalam keheningan itulah, sebuah ingatan masa lalu kembali dimainkan untuk kesekian kalinya…
Seorang pria yang sama, berdiri terpaku di tempat yang sama saat ia pertama bertemu dengan sosok remaja bermata hijau. Penjara bawah tanah.
"Eren…"
Sahutnya memanggil nama remaja itu, namun karena panggilannya tidak juga kunjung dijawab, ia langsung maju dan mengeratkan keuda tangannya di tralis besi.
"APA MAKSUDNYA INI, EREN!?"
Pemuda berambut cokelat dengan mata emerald yang tidak lagi secermerlang biasa mengangkat kepala. Kedua pasang mata pun tertaut.
Suara pemuda yang berada di dalam penjara tersebut hanya bergumam lirih, "Semua maksud dari ini telah jelas, Kopral Rivaille…"
Ia mengangkat kedua tangannya yang digenggam erat oleh borgol berantai. Memperjelas kata-katanya.
Rivaille tercekat. Dan kembali membanting tralis besi yang dingin. "Aku tidak bisa menerima ini…tidak, tidak bisa!"
Eren hanya menatap atasannya tanpa bergeming, "Ini keputusan pengadilan, Kopral. Saya, ataupun Anda tidak bisa berbuat apa-apa."
Gigi-gigi Rivaille bergemeretakan kuat menahan rasa yang mendesak meletus. "Kau…bahkan tidak berhak mendapatkan ini."
Eren tetap diam.
"Kau tidak berhak atas ini."
Eren menutup kedua matanya, seperti sudah tahu apa yang akan Rivaille lakukan.
"Apa yang orang-orang idiot itu pikirkan setelah kau menyelamatkan bokong mereka, hah!?" Rivaille meledak.
"Jangan lakukan tindakan…ceroboh, Kopral."
"Kau menyuruhku sekarang, hah, bocah?" Rivaille menatap tajam, "Aku ini masih atasanmu!"
Ia lalu melangkah mundur dari pembatas besi itu.
"Dan sebagai atasanmu, aku menolak perlakuan tidak tahu berterima kasih mereka padamu!" dan setelah itu, Rivaille langsung berlari keluar. Meninggalkan Eren yang berteriak-teriak memanggilnya.
"Tolong hentikan…Kopral…"
Yang hadir selanjutnya hanyalah tetesan air mata hangat di pipi Eren Jaeger.
.
.
Rivaille sebenarnya tahu jika akhirnya akan jadi begini.
"Kopral Rivaille, jika kau tetap menentang ini, dengan terpaksa aku akan memasukkanmu ke penjara sampai eksekusi Eren Jaeger dilaksanakan. Dan jika kau terus melakukan hal yang tidak perlu—"
Apa? pencopotan jabatan? Hah, seperti aku peduli saja.
"—Eren Jaeger akan langsung dieksekusi hari ini juga."
Suara Dallis sang hakim yang berwibawa menutup kasus. Rivaille tertinggal membatu di ruangan sidang besar itu. Irvin dan Hanji hanya menatapnya simpati di balik punggung kecilnya, tahu bahwa mereka pun tidak bisa melakukan apa-apa.
Tentu saja, Komandan dan Mayor pasukan ke-13 Scouting Legion itu juga tidak setuju jika Eren harus berakhir dieksekusi. Sebagai Titan terakhir yang tersisa.
Manusia sudah melakukan perayaan dan ekspedisi besar-besaran ke seluruh dunia di luar dinding setelah Titan musnah. Namun banyak anggota dari Scouting Legion yang sedang dilanda kegalauan karena salah satu anggota paling berjasa mereka justru harus menghadapi akhir yang menyedihkan.
Dari mereka semua, yang paling tidak setuju atas ini tentu saja Mikasa dan Armin, yang adalah sahabat masa kecilnya,
dan Rivaille, yang mencintainya. Meski anak itu tidak tahu sampai sekarang.
~ Rivaille's POV ~
Setelah itu aku tidak mengunjunginya lagi sampai hari eksekusi tiba. Tidak ada hal lagi yang bisa kulakukan. Aku bahkan sudah dilarang bertemu dengannya sampai hari final itu.
Aku tidak pernah mengatakan perasaanku padanya karena aku takut jika sesuatu yang buruk akan menimpanya karena memiliki suatu hubungan khusus denganku. Namun sekarang aku menyesal karena tidak pernah memberitahunya.
Toh, akhirnya sama saja buruk. Tidak apa-apa jika aku yang dihukum, tapi ini Eren. Aku tidak bisa membiarkannya terjadi. Aku laki-laki keras, tapi dialah yang melunakkanku. Karena itu, aku merasa tidak akan bisa bertahan jika Eren meninggalkanku.
Waktu pun berlalu sekilas dengan sangat cepat. Aku sudah berdiri di barisan depan kerumunan yang menyaksikan saat-saat terakhir sang manusia setengah Titan. Seratus tahun hidup dalam teror, membuat manusia merasa takut untuk membiarkannya tetap hidup. Padahal ia jugalah yang membebaskan mereka.
Egois. Manusia memang egois. Mereka semua egois.
Karena itu, jika mereka boleh egois, mengapa aku tidak boleh? Aku juga manusia, aku juga egois seperti mereka.
Aku menggenggam erat sepucuk pistol di balik jas hitamku. Kedua mataku melihat tajam sasaranku, orang yang akan memotong kepala orang yang paling aku cintai.
Eren, meski kau tidak akan pernah mengetahuinya, tapi aku disini, selalu mencintaimu. Meski perasaanku tidak kau balas, tidak apa-apa. Aku akan tetap disini, mencintai segala kenangan tentangmu.
Karena itu, aku akan mempertaruhkan semuanya pada satu peluru ini. Aku mulai membidik ke arah salah satu eksekutor.
Waktu pun langsung membeku. Eren melihat apa yang akan kulakukan. Dalam waktu sepersekian detik ia menatapku kaget, yang lalu berubah dengan tambahan determinasi, dan lalu semuanya terjadi begitu saja.
Tepat sebelum eksekutor itu membunuhmu, dan sebelum aku membunuh eksekutor itu, kau menggigit bibir bawahmu hingga berdarah dan kilatan cahaya menyilaukan yang familiar muncul bersama dengan raungan angin. Begitu tercekatnya, aku hanya berdiri menatap badai, tanpa bergerak sama sekali sedangkan orang-orang sudah berlari menjauh. Hah, bahkan ada yang terlempar. Tapi pandanganku masih terpaku di tempatmu.
Aku mengira akan melihat sosok raksasa Titan dengan rambut seleher yang menggeram keras—seperti biasanya—namun yang aku lihat justru bayangan sesuatu yang menyerupai benda lain. Hawa dingin langsung menyeruak.
Setelah semuanya mereda dan syaraf-syaraf otakku kembali bekerja aku pun kembali mengenali dirimu; menutup mata dengan damai di dalam bongkahan es. Sama seperti yang dilakukan gadis Leonhardt waktu itu. Es yang tidak dapat dihancurkan dan dicairkan dengan cara apapun. Es abadi dari esensi tubuh Titan.
Hanya dengan menggigit bibir bawahmu dan tidak dengan caramu yang biasa dengan menggigit tanganmu, kamu bisa melakukan transformasi itu. Intinya memang hanya perlu untuk melukai diri sebagai pemicunya, kurasa.
Semua mata tertuju pada dirimu yang kini telah tertidur layaknya Snow White di dalam peti kaca. Aku segera melompat naik ke panggung eksekusi dan mulai mengekseminasi. Es itu besar dan dingin, juga jernih. Kedua tanganmu dilipat anggun di atas perutmu, dan kedua kakimu terjulur lurus. Gaya tidur yang elegan. Wajahmu pun tenang.
Pemandangan yang sungguh cantik.
Air mata turun membuat jalur basah di pipiku. Aku terharu melihat pemandangan dirimu yang sangat mempesona dalam ketenangan, namun juga mungkin tidak akan bisa kembali lagi. Kau tidak akan terbangun lagi. Kutorehkan tanganku di es yang dingin, dan menyenderkan keningku di sana.
Kamu melakukan ini demi aku, bukan begitu, Eren?
Kamu melihat aku akan membunuh eksekutor itu, dan jika itu terjadi maka aku pun juga akan dihukum sangat berat jika tertangkap. Dan di tengah kerumunan itu aku sudah pasti akan langsung dibekuk. Karena itu kau melakukan ini.
Kamu meloloskanku dari hukuman berat.
Air mataku mengucur deras.
Aku berteriak dengan sangat keras, penuh keputusasaan.
"Kopral, dunia luar itu tempat yang sangat indah!"
Aku tidak butuh dunia tanpamu.
"Suatu saat, ayo kita jelajahi bersama!"
Aku tidak akan pergi, tanpamu.
.
.
Setelah itu aku berniat meledakkan kepalaku sendiri dengan satu peluru di pistol yang tidak jadi kukeluarkan. Namun Irvin segera datang dan menyingkirkan benda itu. Aku dibawa mundur oleh beberapa orang dari Military Police dan bongkahan es dirimu dipindahkan.
Hanji berusaha menyemangatiku yang sudah seperti orang gila tanpa hasrat untuk hidup. Aku sangat kacau. Aku tidak peduli lagi pada kebersihan, aku tidak mau melakukan apa-apa selain duduk menemanimu tertidur di ruangan dingin itu. Mikasa dan Armin juga beberapa kali ikut datang. Hanji harus terus menarikku, terkadang juga bersama Irvin, untuk melakukan kegiatan manusia pada umumnya seperti mandi dan makan. Tapi aku akan selalu kembali ke sini.
Sampai suatu hari setelah aku sudah lebih waras—dan kecintaanku pada kebersihan mulai kembali—aku mengatakan pada Hanji dan Irvin bahwa mereka bisa pergi ke luar jika ingin, ke dunia yang luas. Aku tidak apa-apa tetap di sini. Lagipula, Eren juga disini. Namun mereka menolak.
Mikasa dan Armin juga menolak untuk pergi tanpa Eren. Namun mereka segera ditumpuki berbagai pekerjaan dari atasan mereka. Sekarang, Mikasa dan Irvin tengah disibukkan dengan berbagai urusan di Scouting Legion, sementara Armin terus melakukan eksperimen bersama Hanji, mencari cara untuk mengeluarkanmu dari es ini.
Dan aku, masih di sini, menemanimu.
Entah sampai kapan, aku tidak tahu. Apakah nanti kau akan keluar dari es atau tidak pun, aku tidak tahu. Selama-lamanya pun, aku tidak keberatan.
Aku akan terus menunggumu, Eren.
I love you. Always.
- Hope You Enjoy The Story -