catatan: fakta dari chapter ini: mage kesulitan main genre (ewwwww whyyyy)
dan um, komitmen saya, sekali update itu empat chapter, tapi mengingat saya nulis secara impulsif, jadi kadang agak kesulitan nulis seperti itu sehingga mulai sekarang saya update chapter mungkin udah mulai satu-dua chapter dari sekarang. so sorry. jadi ini permintaan maaf: 2k yaay. tapi tetep saya usahakan 4 chapter sekali update.
(oh, makasih yang udah nominasiin fic ini ke ifa 2013. senang melihat fic ini, somehow, masuk 5 besar.)
btw, bayangin jean dengan sheriff badge dan eren rolled his eyes karena plis jean you did nothing to this city
plus semoga anda senang sama chapter ini maafkan daku karena ini nggak relevan sama genre but take the relationship well? SO INCREDIBLY SORRY just punch me in the gut
western — canon divergence: older sasha was an undertaker and older jean joined the military police
Jean tahu bahwa Sasha akan mewarisi usaha pembuatan peti mati dari orang tuanya dari gosip-gosip yang bertebaran di seantero blok perumahan berlantai dua di pinggir Sina. Setiap dua hari sekali, paling tidak ada rumor mengenai beberapa hal di blok tersebut dan akhir-akhir ini mereka membicarakan soal keluarga Braus dan usaha mereka.
Jean sering melewati tokonya saat berpatroli. Seragam lengkap dan alat maneuver 3D-nya terpasang tanpa kesalahan sedikitpun (ia menghabiskan setengah jam untuk itu). Terkadang, ia melihat beberapa peti mati di etalase, dimulai dari peti yang terbuat dari kayu biasa sampai peti dengan motif yang diukir dengan hati-hati; elegan seperti kota tempat tinggalnya sekarang. Terkadang, ia melihat pemilik toko diam di meja, menunggu pelanggan datang. Terkadang, ia melihat seorang perempuan duduk di depan toko, menyantap apel yang dijual di pertikungan.
Ia baru mengetahui namanya ketika seorang atasan memintanya untuk menemaninya membeli peti mati di toko Braus, yang bakal menjadi tempat peristirahatan kakaknya. Ia berdiri di samping atasan, berdiri tegap dan tidak memecah keringat, dan matanya jelilitan melihat kondisi toko. Pasir dan bubuk kayu di lantai, sarang laba-laba di sudut langit-langit, sisa bungkusan makanan di jendela.
Ia punya anak perempuan yang tidak bisa diandalkan, pikir Jean.
"Sasha!" sahut si pemilik toko. "Berhentilah makan sebentar dan bantu aku di sini."
"Baiklah," sahut balik si anak perempuan. Ia muncul di balik tirai keabuan, sisa kuah sup tertinggal di sekitar mulutnya.
"Kenapa kau masih membawa sendokmu? Kembalikan," perintah si pemilik toko. Sasha menggerutu sebentar sebelum menghilang lagi di belakang tirai. Atasank Jean menanyakan keadaan perempuan itu dan si pemilik toko hanya menjawab seadanya.
Nanti, Jean mengetahui bahwa Sasha bisa mengangkat sebagian kecil massa dari peti mati pesanan atasan Jean dan tak melihat keringat di pelipisnya. Jean mengangkat alis, entah mengapa sedikit terkesan, sebelum pergi mengikuti atasannya kembali ke markas.
Jean membutuhkan apel untuk dimakan nanti malam, jadi ia pergi ke pinggir kota, memakai baju biasa, dan terus melangkah sampai mencapai toko buah di pertikungan. Di sana, ia menemukan Sasha membungkukkan badan, mengeksaminasi boks berisi buah pir dengan saksama – bahkan sampai melototinya.
Jean, sebisa mungkin, berdiri sejauh mungkin dari Sasha, tapi boks berisi apel berada di samping boks berisi pir sehingga mengharuskannya berdiri di samping si perempuan yang membawa sendok saat menemui kliennya. Sina tidak berpihak padanya hari ini. Sayang sekali.
Kakinya ia gerakkan secara perlahan ke samping. Beberapa langkah kecil dan ia berada di sampingnya. Sekarang, ia bisa melihat poni yang tidak menghalangi pelototannya dan jerawat yang berada di samping matanya, seperti mata ketiga.
Hidung Jean berkedut melihat gadis di sampingnya, dan ia pun menolehkan kepala, memfokuskan pikirannya pada boks apel di depannya. Ia mengambil beberapa apel, melihat garis-garis merah di kulitnya, dan memilih dua dari lima apel yang ia angkat secara acak. Ketika ia hendak memilih satu lagi apel dari boks tersebut, tubuh Sasha menghantam deretan boks yang dipajang oleh si pemilik toko, membuat buah-buah menggelinding ke jalanan. Ada satu orang terpeleset karena menginjak buah.
"Ya Tuhan, dia tidur lagi!" jerit si pemilik toko buah tersebut.
Jean memandang lama perempuan yang berbaring di atas buah-buahan dan mendengkur. Satu kata yang berkelebat dalam pikirannya adalah: idiot.
Jean terpaksa menjadi orang yang membawa Sasha kembali ke rumahnya, karena si pemilik toko buah sibuk mengumpulkan buah-buahan yang membawa malapetaka bagi para pejalan kaki dan satu mobil, dan ia satu-satunya yang tidak terluka dari kejadian tersebut.
Jean tergoda untuk menyeret Sasha dengan kaki kanannya yang digenggam, supaya bisa melihat wajah Sasha terantuk-antuk di batu jalanan dan tangannya menggapai-gapai buah-buahan yang semakin mengecil seiring langkah Jean ke arah rumahnya. Tapi, pada akhirnya, itu akan merusak imejnya sebagai anggota Polisi MIliter, dan ia mungkin berakhir sebagai pengangguran. Jean, tentu saja, tidak mau menjadi pengangguran. Apalagi setelah melewati pelatihan yang sangat menyiksa itu. Jadi ia menempatkan lengan Sasha di depan tubuhnya, menaruh tangannya di bawah paha Sasha (mundur sedikit lagi dan aku tahu seperti apa celana dalamnya), dan menerima bebannya di atas punggung.
Saat ia sampai di toko peti mati Braus, ia disambut dengan wajah yang melongo selama lima detik sebelum tuduhan pemerkosaan dilontarkan. Jean, setelah menerima beberapa pukulan kayu tipis dan hampir mendapat hantaman palu di pipinya, dapat menjelaskan situasi yang terjadi.
"Maaf, ya, dia anak yang bodoh. Tak bisa menahan nafsu makannya sendiri," kata si pemilik toko, sebelum memohon maaf sekali lagi. "BIsakah kau menaruhnya di kamarnya? Aku belum bisa menutup toko pada jam segini."
Jean melakukan apa yang diminta si pemilik toko dengan setengah hati. Ia masuk ke kamar Sasha, menaruhnya dengan kasar di tempat tidurnya. Matanya menangkap suasana yang begitu… rapi. Selimutnya terlipat rapi sebelum berkerut di bawah betis Sasha; bingkai-bingkai foto yang berjejer di atas meja belajar yang tidak dihiasi dengan buku; tak ada sarang laba-laba di sudut plafon; tak ada sendok berlumuran kerak telur menyempil dari bawah tempat tidur.
Sangat mengejutkan.
"Aku ingin kentang rebus."
Jean memutar badannya, melihat Sasha telah membuka kelopak mata, tapi masih mengantuk.
"Kau meminta kentang rebus pada orang asing," kata Jean. "Kau bisa terbunuh karena itu."
"Terbunuh setelah makan kentang rebus terdengar tidak terlalu mengerikan."
"Kalau kau terbunuh, kau tak bisa makan kentang rebus lagi."
Sasha tertegun. "Aku sama sekali tidak memikirkannya."
"Bodoh."
"Memangnya kau boleh membunuhku? Kau kan polisi militer."
Jean mengangkat alis. "Kau tahu?"
Sasha menguap lebar. "Aku sering melihatmu."
"Heh. Aku punya pengagum rahasia," kata Jean, mengusap-usap dagu.
"Narsis," timpal Sashax
"Rakus," balas Jean.
Sasha malah mengerang pelan sebelum mendengkur. Matanya tertutup dan badannya memutar sehingga ia sekarang menghadap ke arah dinding. Jean, tanpa membuang waktu, langsung berjalan keluar dari kamar dan berpamitan pada si pemilik toko.
Ketiga kalinya ia masuk ke dalam toko peti mati itu, ia kembali menemani atasan lain yang memerlukan peti mati untuk kerabat. Atasannya menyuruhnya untuk menunggu di luar, jadi Jean melakukan itu, karena otoritas dan profesionalisme.
Ia berdiri di depan toko selama beberapa menit, mendengar suara-suara dari dalam rumah itu samar-samar, sebelum akhirnya memutuskan untuk mendengar langkah-langkah manusia yang berlalu lalang. Diam-diam ia melirik ke arah Dinding, berharap pada Sina takkan ada titan yang melewati kemegahan itu.
"Apa yang kaupikirkan?"
Jean menoleh, mendapati Sasha mengedipkan mata. Di lehernya, melingkar pita ukuran.
Orang aneh, pikir Jean. Tapi, wajar saja kalau di bahunya tergantung pita ukuran. Ia anak pemilik usaha pembuatan peti mati, for Sina's sake. Tentu saja ia yang bakal mengukur ukuran badan mayat perempuan itu. Memikirkan Herr Braus mengukur 3P perempuan yang sudah mati membuatnya ingin berlari ke toilet dan muntah di jamban, lalu meninggalkan toilet itu supaya orang lain yang mau membersihkannya.
"Kau sering mengukur mayat?" tanya Jean, penasaran.
"Kurang lebih begitu," kata Sasha, menaruh jari telunjuk di ujung dagu. "Biasanya aku mengukur badan perempuan, tapi kadang-kadang aku mengukur badan anak laki-laki." Kemudian bahu Sasha merosot. Ekspresi tak menyenangkan terlukis di wajahnya. "Menurutmu, mayat-mayat di Shiganshina dikubur dengan peti mati atau langsung dikubur begitu saja?"
"Aku bahkan ragu kalau mereka menguburnya," jawab Jean. "Gerombolan raksasa sialan itu sudah mengerubungi distrik itu, benar? Mereka tak punya kesempatan untuk mengubur mereka."
Sasha memandang ke arah Dinding dengan tatapan menerawang, seakan ada kepala titan yang menurut rumor memiliki ketinggian sekitar enam puluh meter, lalu menatapnya kembali. Keringat membuncah dari keningnya. Terlihat gugup akan sesuatu.
"Aku bisa membuatkanmu peti mati, kalau kau mau," usul Sasha, blak-blakan.
"Untuk apa?"
"Aku tak tahu. Kalau kau mati dan aku masih hidup, aku mungkin bisa menguburmu dengan cara terhormat," ujar Sasha.
Jean menggeretakkan gigi. "Kau bodoh. Apa maksudmu dengan itu? Kaupikir titan bakal masuk ke sini? Kaupikir aku bakal mati dibandingkan kau yang sama sekali tidak berlatih untuk hal seperti itu? Kaupikir kau itu siapa? Kerjamu cuma membuat peti mati! Aku di sini untuk melindungi orang-orang yang tak kukenal – untuk melindungi diriku. Jadi diamlah soal itu."
"Hiiii!" pekik Sasha, ketakutan setelah mendengar peningkatan volume suara Jean. "K-kalau aku yang mati sementara kau yang hidup, kau bisa menguburku!"
"Demi Sina, kenapa Dewi menciptakan kau yang bodoh dan rakus ini," bentak Jean, menarik lagi pekikan keluar dari mulut Sasha. "Aku tak peduli kalau kau mati. Aku bisa menyerahkan mayatmu pada tim pembersih."
"Aku juga tak peduli kalau kau mati, kau polisi tak berperasaan!" teriak Sasha. "Ugh, mana ada polisi di sini yang bertingkah seperti sheriff di novel-novel itu? Mana polisi milter yang punya hati seperti kentang rebus yang dibuat dengan penuh kasih? Manaaaaaa?" keluh Sasha.
"Apa kau baru saja membandingkan hati seorang polisi dengan kentang rebus?" kata Jean, penuh horor.
Sasha menganggukkan kepala. "Benar sekali, kau polisi jahat."
"Dan kau baca novel?"
"Aku baca novel supaya aku punya alasan untuk makan cemilan…." Sasha mengakui.
Jean menepuk jidat. "Kau itu benar-benar rakus."
"Rakus berarti aku mensyukuri makanan yang ada di hadapanku. Bukan seperti polisi yang tidak memakan makanannya gara-gara patrol padahal makanan itu diambil dari pajak rakyat."
"Aku belum menerima gajiku bulan ini, jadi aku menghemat makanan."
"Oh, muka terbelit-belitmu muncul lagi," timpal Sasha. "Pasti lagi sembelit."
"Aku membencimu," desis Jean.
Sasha hanya mendengus, menghentakkan kaki seakan hal itu adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan, lalu berjalan masuk ke dalam, tepat saat atasannya keluar dari toko itu. Jean mengekori atasannya setelah melirik peti mati di etalase, dan membayangkan seluruh badannya berada di dalam peti mati, tanpa kekurangan apapun – atau kehilangan segalanya – dan itu semua terjadi karena ia mati tua di dalam rumahnya, bukan karena dimakan titan.
Setelah itu, Sina berada di sisinya lagi.
Salah satu kapten menyuruhnya untuk berpatroli lima blok lebih jauh dari blok perumahan yang menjadikan toko peti mati Braus berada di antara jejeran blok tersebut. Ia melihat pemandangan yang baru, menatap rumah-rumah yang bentuknya lebih rupawan ketimbang rumah-rumah di rute patrol lamanya. Tak terlihat toko buah di sana. Yang ada hanyalah toko-toko perhiasan dan toko-toko pakaian, yang kerap dikunjungi oleh ibu-ibu.
Terkadang, pada hari libur, ia akan melewati rute patrol yang lama, hanya karena ia telah menerima gaji dan dapat membeli buah-buahan untuk disantap di kamar asrama, diterangi lilin dan ditemani koran lokal. Toh ia menahan diri untuk tidak menatap peti mati di etalase, ia tak bisa melakukannya karena Trost telah ditelusur oleh titan dan fakta bahwa seluruh makhluk menjijikkan itu makin dekat dengan tempat perlindungannya, sehingga ia tak bisa melepaskan imaji dirinya dimakan titan.
Jean sering melihat peti mati di etalase, tapi Jean tak pernah lagi melihat siluet perempuan itu. Kemungkinan besar ia sibuk mendengkur di toko buah atau mengelap keringat setelah memotong kayu-kayu untuk disambung, bagian demi bagian dipersatukan membentuk peti mati. Jean toh tak peduli. Ia tetap melangkah seperti biasa karena perempuan itu bukanlah bagian penting dari hidupnya.
Faktanya: Jean hanya memikirkan keselamatan diri sendiri dan itu sangatlah wajar.
Beberapa saat setelah Sina berpihak padanya – beberapa hari, mungkin; minggu; bulan; tahun; entahlah – dua titan abnormal muncul di dalam kota Sina secara tidak terduga.
Kepalan tangan saling beradu, diiringi oleh erangan dan suara tali besi pengait dari alat maneuver 3D bergesekan dengan angin. Sayap-sayap (bukan) Kebebasan menghantui langit Sina, berdiri tegap di atas atap dan mengawasi segalanya sementara para polisi militer terkaget-kaget dengan perkembangan yang sangat konyol itu.
Jean mengikuti apa yang diperintahkan dengan kepatuhan luar biasa dan tangan yang tak pernah bisa berhenti gemetar.
Setelah situasi menegangkan itu mereda, Jean serta opsir militer lainnya membantu tim pembersih untuk menyeret mayat ke taman terbesar di Sina, mengidentifikasi mereka, dan menggali kuburan untuk penguburan massal.
Di tengah seluruh proses tersebut, Jean menemukan dirinya berada di depan toko peti mati Braus dan berpikir bahwa mungkin ini adalah saatnya ia mempertimbangkan untuk membeli peti mati menggunakan tabungan yang tersimpan di dalam lemari dapur, tepat di belakang deretan makanan kaleng. Masalahnya, ia belum melihat secara saksama kondisi sekitar toko tersebut.
Toko itu sudah hancur lebur. Kayu-kayu peti mati remuk di bawah bongkahan batu bata yang direkat oleh semen. Kaca etalase pecah; berkeping-keping kaca berserakan di atas rerumputan. Ada darah yang berdiam di sana, di atas jalan bergerinjal, dan Jean mengikuti jejak darah tersebut, mendapati bagian bawah tubuh Sasha ditimpa seonggok kayu besar yang dulunya merupakan penopang rumah dan perutnya tertusuk ujung kayu.
Sialan.
Jean seperti ingin mencari jamban untuk dimuntahi, tapi kondisi perumahan di situ telah hancur dan mana mungkin ada jamban yang bertahan sehingga Jean akhirnya muntah di tempat. Seharusnya ia menerima masker yang diberi oleh tim pembersih itu.
"Kau mengenalnya?"
Panjang umur, ya, tim pembersih. Seperti malaikat maut.
Jean menoleh ke arah perempuan yang memakai seragam putih – malaikat maut yang kudus? – lalu menganggukkan kepala. "Namanya Sasha Braus. Perempuan, bukan waria. Suka makan sama bikin peti mati. Anak pemilik toko peti mati Braus," kata Jean, setengah hati. "Hanya itu yang kutahu."
"Cukup mendetail, kalau boleh kukatakan begitu," balas si anggota tim pembersih.
Jean menatap lama mayat Sasha, entah bagaimana dapat menggumam permintaan maaf, sebelum akhirnya bertanya pada si anggota tim pembersih. "Boleh tidak dia dimakamkan dengan peti mati? Sheriff ini mau bertanggung jawab atas kematian si pembuat peti mati."