GENOCIDE

by Shigure Haruki & Keikoku Yuki (a collaboration fic)

Shingeki no Kyojin © Hajime Isayama

| Alternate Universe | Rated M for hard plot and gore| Multi-chapters|

Maybe OC, OOC, typos, and other faults

Don't Like? Don't Read, Don't Flame


.

Chapter I : Night of The Massacre

"Tak peduli seperti apa pun wujudnya, mereka adalah monster dalam wujud manusia."

.

09.00 a.m. – Shigasina, The Capital

.

Seorang pemuda tengah duduk bersandar pada tepian sebuah jendela tak berpintu. Memang jendela yang ditempatinya hanya berupa celah besar dari antara sekian banyak tumpukan bebatuan kuno yang keras dan sedikit lembap—tempat untuk mengintai. Tak perlu berharap. Ini menara pengawas, bukan bagian utama istana yang dapat membuat orang berdecak kagum.

Dengan sorot tajamnya, pemuda itu menyisir setiap sudut kota seperti elang yang siap menerkam mangsanya. Ia tampak begitu bersahaja dalam balutan seragam cokelat dan celana putih ditambah aksen syal seperti yang dikenakan para bangsawan. Kedua mata itu hanya terpejam sejenak saat angin yang cukup besar berhembus masuk ke jendela—menerbangkan helaian rambut hitamnya yang terpotong sangat pendek dari pangkal hingga setengah kepala. Namun pengawasan itu lagi-lagi tertunda ketika ia terpaksa menoleh pada sebuah sumber suara yang menginterupsi.

"Seperti biasa, Anda tidak pernah menurunkan kewaspadaan ya, Komandan Rivaille."

Reiner Brauhn muncul dari tangga di ujung ruangan bundar itu. Rambutnya pirang dan tubuhnya tegap dengan dada bidang yang membusung ke depan ketika ia melangkah. Sorot mata yang tak kalah tajam dan garis wajah yang tegas membuatnya sanggup mengintimidasi dengan mudah siapa saja yang melihatnya. Meskipun demikian, pria itu tetap memberikan penghormatan penuh kepada pemuda yang bertubuh lebih kecil darinya tersebut.

"Seperti yang diharapkan dari tentara terkuat kerajaan Sina di usianya yang masih terhitung belia," lanjut Reiner setengah memuji.

Rivaille tak menghiraukannya. Ia lebih memilih melanjutkan kegiatan kecilnya yang monoton—membuat Reiner melangkah mendekat ke arah Rivaille untuk melihat pemandangan apa yang diamati atasannya itu.

"Negara ini selalu damai ya," gumamnya ketika hamparan atap membentang di depannya disertai orang-orang yang berlalu lalang dengan suara yang riuh.

"Ya, terlalu damai sampai tentara hanya sebatas gelar kosong," tukas Rivaille dingin. Reiner tertawa kecil melalui hembusan nafasnya.

"Kecuali kita," balas pria berambut pirang itu, "Divisi istimewa di bawah perintah langsung Sang Perdana Menteri."

Rivaille akhirnya menoleh hanya untuk memberikan tatapan tak bersahabat. Alisnya sedikit naik bersama dengan serangkaian pertanyaan retorik yang keluar dari mulutnya, "Aku tak mengerti. Apa yang begitu kau banggakan dari sekelompok kecil orang yang tugasnya membunuh di kegelapan malam? Apa merenggut nyawa manusia lain bagimu terdengar sederhana?"

Kali ini Reiner benar-benar tergelak. Ia tak peduli lagi jika terkesan tidak sopan terhadap orang yang memiliki pangkat lebih tinggi darinya di usia yang masih 22 tahun itu.

"Saya tak menyangka Anda akan mengatakan hal klise seperti itu, Komandan. Di antara semua anggota divisi ini, Anda-lah yang paling banyak menumpahkan darah manusia dan kini Anda pula yang berkata demikian?" ucap Reiner setengah menyindir. Rivaille hanya mendengus mendengarnya.

Divisi Deus Mortem bukanlah divisi yang akan kau senangi jika mengetahui 'pekerjaan' yang mereka lakukan selaku anjing kerajaan. Monarki adalah sebuah sistem absolut raksasa dengan akar mencengkeram jantung bumi. Tak heran jika mereka memiliki tangan kanan untuk melenyapkan siapa saja yang merintangi jalan. Itulah yang dilakukan Dot Pixis selama memerintah negara kerajaan Sina. Tak mungkin 30 tahun kepemimpinannya berlangsung tanpa pemberontakkan dari dalam jika ia tidak mempunyai sekelompok elit yang terus beregenerasi.

"Kalau kau punya waktu untuk mengomentari hal itu, lebih baik kau poles kemampuan membidikmu yang di bawah rata-rata itu," ujar Rivaille sinis.

"Tentu tidak, saya ke sini untuk memberitahu Anda mengenai panggilan langsung dari Tuan Irvin," balas Reiner santai—mengabaikan hinaan yang baru saja Rivaile tujukan padanya. Ia sudah terbiasa—harus terbiasa—pada tabiat atasannya yang suka mencela itu. Jika tidak, ia mungkin sudah meledak seperti Jean Kirschtein yang dikatai Rivaille seperti anak tikus.

"Apalagi yang mereka mau?" Rivaille mendesah lelah tanpa kehilangan ketenangan di wajahnya.

Ekspresinya memang selalu stabil dengan mimik yang itu-itu juga. Komandan Deus Mortem itu beranjak dari tempatnya semula lalu berjalan keluar menara mendahului Reiner.

"Entahlah. Saya harap mereka punya sesuatu untuk menghilangkan rasa bosan," Reiner menyeringai seraya mengekor di belakang pimpinannya itu.

.

09.15 a.m. – The Royal Palace

.

Kedua tentara khusus itu berjalan menuju ruangan Perdana Menteri dalam diam. Suara langkah dari sepatu berat yang mereka kenakan terdengar bergema di koridor istana—berketak-ketuk dengan irama yang sama.

Berbeda dengan menara pengawas yang terletak agak jauh di luar istana, bagian utama istana terlihat megah dengan pilar-pilar besar dan langit-langit yang melengkung tinggi. Tirai-tirai merah dari sutra yang terikat rapi terlihat senada dengan dinding bercat putih—bukan dinding batu yang nampak tua dan usang. Terlebih lagi segala perabotan, lukisan, dan ukiran di dalamnya membuat nilai estetika tempat itu melambung tinggi.

Beberapa tentara jaga dan pelayan yang berlalu lalang selalu membungkuk ketika berpapasan dengan kedua orang itu sebagai tanda penghormatan. Pasalnya Deus Mortem adalah divisi yang ditakuti. Keberadaannya di bawah perintah langsung Irvin Smith sang Perdana Menteri menjadikan mereka—terutama Rivaille—sebagai 'orang ketiga' di kerajaan. Mereka adalah orang-orang yang dapat menebas kepalamu kapan saja saat kau membelot tanpa harus memusingkan hukuman penjara. Divisi yang memiliki otoritas untuk mencabut nyawa manusia terdengar sangat mengerikan, bukan?

Raja tak pernah salah.

Entah sejauh mana frasa itu dapat bertahan jika kenyataan kelam ini terungkap ke permukaan. Mungkin saja frasa itu hanya doktrin untuk mengikat kesetiaanmu pada satu pihak semata. Dunia ini memang tak sebersih yang kau kira.

Rivaille dan Reiner berhenti tepat di depan sebuah pintu Oak besar berdaun dua. Tanpa mengetuk, pemuda berambut hitam itu langsung menerobos masuk. Sementara Reiner hanya menaruh tangan di dada sebagai tanda penghormatan sebelum membalikkan tubuh untuk berjaga di luar ruangan.

"Rivaille, hentikan kebiasaan burukmu yang tak beretika itu," protes Irvin tenang ketika ia memutar kursinya untuk menghadap bawahannya yang baru saja memasuki ruangan.

"Pintu ada untuk dibuka," ucap Rivaille sebelum menghenyakkan tubuhnya begitu saja ke salah satu sofa merah marun di ruangan Irvin—membuat si pemilik ruangan hanya mampu menggelengkan kepala sebagai respon.

"Kesampingkan itu," Irvin bangkit lalu melangkah ke arah sofa. Setelah mengambil tempat duduk di seberang Rivaille, ia menyodorkan beberapa lembar kertas yang semula ada di tangannya ke arah pemuda itu.

"Genosida?" Rivaille mengerenyitkan dahi setelah membaca habis tulisan pada kertas-kertas yang kini telah berpindah ke tangannya.

Misi selanjutnya yang akan diemban oleh Divisi Deus Mortem adalah pemusnahan suatu klan yang terletak di bagian barat negara Sina, Klan Ignis. Genosida memang misi yang tidak biasa bagi divisi ini sekali pun. Selama ini mereka memang ditugaskan untuk mengeksekusi pengkhianat di dalam dinding yang memisahkan negara Sina dengan negera-negara tetangganya. Namun, semua itu dilakukan dalam bayangan—tanpa ada seorang pun yang menyadarinya. Tak pernah mereka ditugaskan untuk melakukan pembunuhan masal. Sungguh, ini yang pertama.

"Apakah pengkhianatan dilakukan seluruh klan?" tanya Rivaille dengan keraguan yang berusaha ia tutupi.

Berbeda dengan Reiner yang membunuh karena suka, Rivaille membunuh sebagai bentuk tanggung jawabnya. Sebisa mungkin ia tidak ingin membunuh penduduk sipil yang tak bersalah. Sementara Reiner akan membunuh penduduk sipil yang menjadi saksi mata tanpa pandang bulu.

Genosida berarti semua pemilik darah Ignis harus dihabisi hingga ke akar-akarnya tanpa peduli apakah itu wanita atau anak-anak. Tidak manusiawi, bukan?

"Kau tak perlu tahu dan tak perlu khawatir," Irvin yang sepertinya mengerti keraguan Rivaille berusaha meyakinkan pemuda itu.

"Tak peduli apa pun wujudnya, mereka bukanlah manusia biasa. Seluruh anggota Klan Ignis diberkahi dengan kekuatan alam yang aneh. Sang Raja memerintahkan hal demikian karena klan ini dianggap memiliki potensi akan melakukan kudeta," jelas Irvin lagi.

"Jika mereka sudah bersatu, Deus Mortem sekalipun tak akan dapat menghentikannya. Lebih baik mencegah sebelum terjadi, bukan?"

Rivaille masih diam. Ia mengamat-amati kumpulan berkas di tangannya dengan seksama. Meskipun ia merasa ada yang ganjil pada perintah ini, meragukan raja bukanlah pilihan yang tersedia untuknya. Sejak awal pilihan itu tak pernah ada.

Deus Mortem bukan hakim yang menjatuhkan hukuman dengan tajuk keadilan. Mereka adalah alat untuk menegakkan pemerintahan keluarga Pixis agar tidak termakan usia. Tak ada pilihan selain patuh.

"Tato?" tanya Rivaille ketika ia melihat sebuah keterangan tambahan yang ada di bagian pojok bawah lembar terakhir.

"Ya, setiap anggota Klan Ignis memiliki tato yang diukir dengan darah mereka pada tengkuknya. Khusus untuk misi kali ini, target utama kalian adalah anak laki-laki dengan tato di punggungnya. Ia anak dalam ramalan kuno Klan Ignis yang mungkin akan membawa kudeta," jelas Irvin sambil menunjuk sebuah sketsa tato berbentuk sayap hitam dan putih—bukan sepasang sayap tetapi lebih terlihat seperti sayap dari dua orang berbeda yang tengah besanding.

"Kapan operasi ini harus dijalankan?" Rivaille mengutarakan pertanyaan terakhirnya tatkala ia menatapi tato itu lamat-lamat. Tak masuk akal baginya jika lambang yang menyerupai sayap simbol kebebasan itu merupakan pertanda kehancuran. Ah, sudahlah. Opininya tak akan mengubah apapun.

"Besok malam. Bawa seluruh anggota divisi bersamamu dengan perbekalan amunisi yang cukup," Irvin menutup pembicaraan lalu bangkit dari tempat duduknya—kembali ke meja kerjanya—meninggalkan Rivaille yang juga bangkit untuk keluar dari ruangan itu.

.

10.52 p.m. – West District of Sina

.

"Akhirnya muncul juga tugas seperti ini!" Reiner berdecak girang. Pedang besar yang beratnya mungkin mencapai satu kuintal ia putar dengan sebelah tangannya—seakan pamer kekuatan.

"Awas, bodoh! Pedangmu itu bisa mengenai orang lain di sini!" desis pemuda berambut cokelat cepak yang berdiri di samping Reiner. Jean Kirschtein tengah mengamati keadaan Desa Ignillum—tempat kediaman Klan Ignis—dari balik sebuah teropong ketika pria bertubuh besar itu memutar pedangnya dengan brutal tepat di sebelahnya. Reiner hanya menyeringai.

Meksi tidak memiliki tubuh sebesar Reiner dengan tinggi yang hanya terpaut 175 cm, pemuda bermarga Kirschtein itu merupakan seorang pemain pedang bermata dua yang andal. Di belakangnya, berdiri Marco Bodt, satu-satunya sniper di kelompok Deus Mortem. Tinggi mereka hampir sama, hanya saja Marco berambut hitam pendek dengan belahan di tengah dan terdapat bintik pada wajahnya.

"Sudahlah, jangan melakukan pertengkaran bodoh di sini," lerai Berthold Fubar yang sedang memeriksa ulang formasi penyerangan. Pengguna tombak-pedang ini adalah ahli strategi seperti Marco. Ia merupakan anggota Deus Mortem dengan postur paling tinggi namun tak kalah kekar dengan Reiner. Selain itu, Berthold bertolak belakang dengan Jean yang suka berkomentar—ia sedikit berkata-kata. Hal ini menjadikannya paling handal dalam melerai pertikaian tak penting di dalam timnya.

Rivaille hanya duduk diam di antara Berthold dan Mike sambil mengamati jam saku di tangannya. Di sebelah Rivaille, Mike Zakarius tengah mengelap crossbow kesayangannya tanpa suara. Pria yang paling tua dalam kelompok itu tampak sama tidak pedulinya dengan si pemimpin.

Keenam orang anggota Deus Mortem tengah mengintai dari atas tebing yang tersembunyi karang—menunggu saat yang tepat untuk melakukan penyerangan.

Tepat ketika jarum jam menunjukkan pukul 23.00, Rivaille bangkit dari posisi duduknya lalu berjalan ke arah tebing. Ia berdiri di samping Jean yang masih mengamati keadaan desa.

"Sebagian besar lampu sudah padam—berganti cahaya temaram," tutur Jean usai memasukkan teropongnya ke dalam tas yang dibawa Marco. Bersamaan dengan itu, seluruh anggota menatap Rivaille—berharap pemimpin muda mereka segera memberi perintah. Rivaille berdeham pelan sebelum angkat suara.

"Kesalahan sekecil apapun tak akan kuampuni. Seperti tugas yang tertera, habisi Klan Ignis tanpa sisa—tak peduli itu wanita atau anak-anak. Mereka adalah monster dalam wujud manusia yang dapat mengendalikan sebagian kekuatan alam. Jangan lengah pada bayi sekalipun," Rivaille memberikan briefing terakhir sebelum keenam orang itu—termasuk dirinya—berpencar ke posisi masing-masing sesuai yang telah dipetakan Berthold kemarin.

"Laksanakan tugas kalian," perintah Rivaille yang langsung dijawab secara serentak oleh para anggotanya dengan menaruh tangan di dada sebagai tanda penghormatan.

Deus Mortem pun bergerak—membaur dalam kegelapan malam untuk menodai hitam dengan merah.

Sementara di pusat Ignillum, sepasang iris kehijauan tengah menatap langit malam dari balik jendela kaca raksasa.

"Sudah dimulai," lirihnya seraya menatap langit dengan sendu.

.

11.09 p.m. – Ignillum Village

.

Meski dikatakan desa, Ignillum bukanlah daerah terpencil yang jauh dari kemewahan. Letaknya memang tersembunyi dikelilingi bukit dari utara ke timur dan tebing batu dari barat ke selatan dengan satu jalan masuk yang dihalangi gerbang besar di timur. Akan tetapi bangunan-bangunan di dalamnya beberapa menyerupai bangunan klasik abad pertengahan dengan sebuah puri di tengah desa sebagai pusatnya, sisanya berupa rumah minimalis baik yang berlantai satu maupun lebih.

Sebuah sungai mengalir memanjang di tengahnya dan bermuara ke danau di bagian utara desa. Terdapat beberapa jembatan yang menghubungkan kedua sisi yang dipisahkan sungai karena luasnya dan jembatan yang paling besar terletak di tengah. Jika digambarkan secara sederhana sebagai lingkaran, mungkin Ignillum berdiameter kurang lebih 27 kilometer. Tidak terlalu luas namun tidak cukup kecil untuk dihabisi oleh 6 orang pasukan saja sekalipun mereka adalah pasukan elit. Untungnya jarak satu rumah dan rumah lainnya saling berjauhan—menjadikannya tidak terlalu padat populasi.

Deus Mortem memulai penyerangan mereka dari sisi tenggara Ignillum. Marco bersiap di atap salah satu bangunan tinggi dengan senapan laras panjangnya, sementara rekannya yang lain memasuki rumah-rumah. Mereka bergerak tanpa terdeteksi—membunuh seperti bayangan.

Rivaille masuk melalui pintu depan dengan menebasnya. Ia bergerak dengan cepat dan menusuk otak maupun jantung korbannya. Demikianlah Rivaile berpindah dari rumah ke rumah—entah melalui pintu maupun jendela. Hanya dalam hitungan menit, katana kembar miliknya menghabisi banyak nyawa. Bukan hal yang mengejutkan dari anggota terkuat Deus Mortem. Tak peduli berapa jumlah korbannya, sadar atau dalam keadaan tidur, Rivaille menghabisi semuanya dengan 'rapi'—tanpa kegaduhan sama sekali. Dalam 15 menit ia telah membunuh 10 pria, 13 wanita, dan 6 anak kecil.

Reiner memasuki sebuah rumah dengan tiga penghuni dan berhasil menghabisi semua tanpa membiarkan satu teriakan pun lolos dari mulut korbannya. Ia langsung membelah dua setiap sosok Ignis yang ditemuinya tanpa belas kasih—membuat tubuh mereka terpisah dari pinggang ke kepala dan dari pinggang ke kaki dengan pedang besarnya. Pria bertubuh kekar itu terlihat menikmati setiap pemandangan bersimbah darah yang ia buat.

Berthold sama ganasnya dengan Reiner, hanya saja metode yang kerap ia gunakan adalah memenggal kepala korbannya. Kau takkan punya waktu untuk berteriak saat kerongkonganmu ditebas—membuat mulutmu yang terpisah jauh dari tubuh sebagai hiasan semata. Kepala yang menggelinding ke dekat kaki Berthold—dengan menimbulkan sedikit suara—mempertontonkan tato di wilayah tengkuk yang kini tinggal separuh.

Mike tidak seberuntung dua orang rekannya. Pria pemilik rumah pertama yang ia masuki masih terjaga ketika ia masuk dan sempat menyalak 'siapa'. Akan tetapi crossbow kesayangannya dengan cepat menembus jantung korban—menghentikan detaknya yang semula cepat karena kaget. Pria itu kini tergeletak tak bernyawa di atas tempat tidurnya, seperti jatuh dalam tidur abadi karena anak panah yang menancap di dadanya.

Jean juga sama dengan Mike. Ia bertemu tatap dengan seorang wanita berambut pirang dalam gaun tidurnya ketika masuk melalui jendela kamar tidur rumah keduanya.

"Kya—akh—hmph!" Jean meraih cekatan selimut di dekatnya lalu membelit kepala wanita itu—menutup akses suara dan nafasnya. Sedetik kemudian, Jean menghujamkan pedangnya ke dada wanita itu—membiarkan darah segar yang memancar keluar dari arteri si wanita membasahi tubuhnya.

Hanya saja, ia kurang beruntung dalam misi kali ini. Api mulai menjalar dengan cepat—membakar seluruh rumah. Wanita yang dibunuhnya sempat mengendalikan api pada lilin besar di atas meja—yang sempat disentuhnya—untuk membakar seluruh rumah.

"Sial! Pengendali api!" gerutu Jean ketika bergegas keluar dari rumah itu—membuat dirinya terekspos di padang terbuka dengan pepohonan di sekelilingnya.

BLAAR!

Dalam sekejap, api yang melahap rumah itu segera menjadi penanda bahaya bagi seluruh Ignillum. Para Ignis mulai terjaga dan berhamburan keluar dari rumah mereka ketika melihat isyarat yang menyala di tengah hitamnya malam.

"PENYUSUP!" teriak seorang pria jangkung dengan janggut di dagunya ketika melihat Jean keluar dari rumah yang terbakar hangus itu. Bersamanya ada seorang gadis bertubuh mungil dengan rambut ikal terurai yang juga melihat Jean.

Jean segera maju untuk menebas pria yang tadi berteriak itu, akan tetapi pria itu melompat ke belakang lalu menyentuhkan tangannya ke tanah. Tiba-tiba tanah yang dipijaknya retak, naik ke atas dan bergerak maju seperti ombak. Suara gemuruh seperti gempa bumi terus berdengung selama si pengendali tanah beraksi. Seakan tanah-tanah itu ditariknya langsung dari perut bumi dan menimbulkan goncangan.

Tanah yang merambat itu bergerak semakin cepat dan siap menggilas Jean yang tengah berlari cepat untuk menghindarinya. Sementara si gadis mulai mengendalikan akar tanaman untuk mengejar dan menjerat kaki Jean—berusaha mengunci gerakannya agar ia mati termakan tanah saja. Jean semakin terdesak meski ia hanya dikepung dua orang Ignis.

DOR!

Pria pengendali tanah itu tiba-tiba tumbang. Bidikan Marco tepat mengenai bagian vitalnya—merenggut nyawanya dengan cepat dan akurat. Marco baru saja membebaskan Jean dari saat krusialnya. Ia memang bisa diandalkan.

"AYAAAH!" jerit gadis itu ketika menyaksikan orang yang ia kasihi tak lagi bernyawa.

Segera Jean mencerabuti dengan pedang akar tanaman yang semula menahan kakinya. Ia berlari memutar dengan cepat ke belakang si gadis yang masih meratap.

JLEB!

Satu tikaman pada punggung membunuh gadis itu.

Api dari rumah wanita yang terbakar tadi masih menyala—membuat penduduk desa mulai berdatangan. Jean terus menebas dan Marco terus membidik dari atas. Mereka bertarung bersama dan menghasilkan serangan jarak jauh maupun dekat yang luar biasa. Pasangan Jean dan Marco berhasil menghabisi banyak Ignis dalam waktu cukup singkat.

KREK! KREK!

Perlahan dinding batu yang menjadi penyusun bangunan tempat Marco membidik mulai mengalami retakan besar. Marco mengalihkan pandangannya ke sumber retakan yang ternyata berasal dari telapak tangan seorang anak perempuan yang menempel ke dinding. Pengendali batuan!

Marco hampir kehilangan keseimbangannya karena senapan dan tas besar yang dipanggulnya. Dengan cepat ia melompat mundur ke bagian gedung yang belum runtuh. Namun retakan itu mengejar. Selama anak itu berdiri di sana, batu-batu itu akan terus bergerak. Marco yang tak mempunyai kesempatan untuk membidik anak itu hanya bisa melompat dari satu gedung ke gedung lain yang berdekatan.

CRAAAT!

Darah dan serpihan daging berhamburan keluar dari tubuh anak perempuan pengendali batuan. Ia tergolek tak bernyawa di atas tanah setelah Reiner membelahnya menjadi dua bagian. Hal ini sontak menghentikan retakan di tempat Marco berpijak.

Nyaris sekali. Sedikit lagi saja retakan itu akan melahap tempat di bawahnya dan mungkin akan membuatnya jatuh lalu mati tertimbun puing besar.

"Thanks," ucap Marco sebelum berpindah ke gedung lain yang masih utuh. Sementara Reiner yang merasa asik dengan dunianya sendiri tidak membalas pernyataan Marco. Ia masih menikmati setiap pertandingan yang dihadapinya. Setiap tetes darah yang membasahi pedang besar itu memberi euforia tersendiri untuknya.

Di sisi lain desa, Mike dan Berthold berpapasan ketika tengah menghindar dari serangan beberapa Ignis. Sama halnya dengan Marco dan Jean, mereka memutuskan untuk menyerang secara kombinasi. Mike membidik dan Berthold menebas. Sementara Rivaille yang berada tak jauh dari situ tetap bertarung solo di atap sebuah bangunan yang cukup luas.

Setelah membunuh korban yang lagi-lagi tak dapat memberikan perlawanan berarti, Rivaille membalikkan tubuhnya dengan acuh lalu melompati atap beberapa gedung hingga ia mendarat di gedung yang sama dengan Marco.

"Bagaimana keadaan saat ini?" tanya Rivaille pada bawahannya yang sedang membidik itu. Katana kembarnya tetap ia genggam erat pada kedua sisi tubuhnya tanpa mengurangi kewaspadaan.

"Buruk!" jawab Marco tanpa mengalihkan perhatian dari sasaran, "Salah satu korban Jean berhasil membakar rumahnya sendiri dan menjadikan kobaran api itu sebagai alarm untuk seluruh penduduk!"

Rivaille menatap sepintas Jean dan Reiner. Anak buahnya sudah lumayan kepayahan. Jumlah mereka terlalu banyak jika harus dihadapi sekaligus.

"Itulah mengapa aku menyebutnya anak tikus. Ia lebih cocok bercicit dan membuat kekacauan," decak Rivaille jengkel. Marco tertawa kecil mendengar komentar atasannya itu.

Seharusnya mereka bisa membunuh tanpa ketahuan, akan tetapi insiden yang dialami Jean mengacaukan semuanya.

"Lihat sisi baiknya, komandan. Gara-gara Jean, mereka jadi berdatangan dari seluruh penjuru desa ke tempat kita. Tak perlu susah-susah dicari," balas Marco seraya membela sahabatnya itu. Rivaille hanya membalasnya dengan dengusan.

Pemimpin Deus Mortem itu mengedarkan pandangannya berkeliling desa dari tempatnya berdiri. Gedung yang ditempati Marco ini cukup tinggi untuk bisa memantau sebagian besar wilayah. Seperti kata si penembak, hampir semua Ignis berdatangan untuk melawan sehingga mereka tidak perlu susah mencari.

Hal ini agak aneh, karena tak semua Ignis yang menghampiri mereka memiliki kemampuan untuk bertarung. Sebagian melawan, sebagaian hanya bertahan saja, dan sisanya mati begitu saja seakan mereka menjadikan dirinya perisai hidup.

Rivaille memicingkan kedua matanya ketika menemukan suatu kejanggalan di pusat Ignillum.

Penjagaan di sekitar puri diperketat. Artinya ada sesuatu yang sangat penting tengah mereka lindungi di sana. Ah, dia pasti di sana—dilindungi dengan sekuat tenaga oleh penduduk Ignillum lainnya—anak dalam ramalan dengan tato sepasang sayap di punggung.

"Gunakan peledak sesukamu. Aku sudah menemukan lokasi target utama kita," ujar Rivaille sebelum melompati atap-atap gedung dan rumah—meninggalkan Marco yang sempat membelalak karena perintahnya.

"Ah-uh, baiklah," gumam Marco ketika suaranya sudah tak sampai lagi karena dipisahkan jarak. Ia melirik sekilas tas besar di sampingnya sebelum kembali membidik. Seingatnya Rivaille tidak suka menggunakan peledak karena dinilai seperti teroris—bertentangan dengan prinsip Deus Mortem yang membunuh secara tersembunyi.

"Malam ini akan panjang," desah Marco ketika mengisi ulang amunisinya. Perlu ia akui Deus Mortem sedikit kepayahan menghadapi sejumlah besar Ignis.

Untungnya ketika ia berhenti membidik untuk mengisi amunisi, Marco menyadari sesuatu. Rahasia pengendalian klan Ignis. Pengendali tanah tadi, tidak dapat mengendalikan langsung tanah di bawahnya dengan kaki. Ia terus berjongkok di atas tanah yang bergerak itu dengan tangan yang bersentuhan—membuatnya mudah ditembak. Gadis yang menyerang Jean tadi pun sama, ketika perhatiannya teralih, ia tak mengendalikan apapun.

Segera ia berteriak pada Jean dan Reiner yang ada di dekatnya, "Tebas tangannya! Mereka tak dapat mengendalikan sesuatu yang tak mereka sentuh!"

Jean mengangguk singkat sambil terus menyerang. Kini ia mengarahkan serangannya ke tangan lawan daripada ke bagian vital. Sementara Reiner tak terlalu peduli. Toh semua korbannya berakhir dengan tubuh terbelah. Pedang besar itu bukan hanya pertunjukkan semata!

Di sisi lain, Berthold yang sama jeli dengan Marco pun telah menyadari rahasia pengendalian itu. Deus Mortem kini di atas angin. Mereka membalikkan keadaan dari terdesak menjadi pembantaian sepihak. Malam yang sunyi itu kini telah berubah menjadi anyir dengan rintihan dan teriakan di setiap sudut Ignillum.

.

11.48 p.m. – The Center of Ignillum

.

Rivaille berlari cepat. Ia telah berhasil melakukan penetrasi terhadap puri yang menjadi pusat Ignillum. Anak itu pasti ada di sini! Di suatu tempat yang terlindung.

Tak butuh waktu lama bagi Rivaille untuk meyisir sebagian puri dan menumbangkan setiap penjaga yang ia temui tanpa ketahuan. Dengan langkah tanpa suara, komandan Deus Mortem, menyelinap masuk ke dalam aula utama yang menjadi jantung puri.

Aula itu besar sekali. Atap lengkungnya menjulang tinggi hingga beberapa meter di atas kepala dengan tiang-tiang penyangga raksasa di setiap sisinya. Terdapat banyak patung besar yang juga menghiasi ruangan itu—patung para ksatria penunggang kuda. Di ujung ruangan terdapat altar dengan singgasana yang menyerupai takhta raja. Rivaille menaikkan alisnya heran.

Bukankah Ignillum merupakan bagian dari Sina? Mengapa tempat ini tampak mempunyai pemerintahan sendiri?

Yang lebih aneh ialah seorang pria duduk tak bergeming di atas takhta itu. Rambut hitam panjangnya terurai sampai menyentuh dada. Satu tangannya bersandar ke kursi, menyangga kepalanya dengan mata terpejam. Dari bajunya yang cukup mewah, sepertinya pria itu memang orang penting di tempat ini. Namun, tak ada satu penjaga pun di sekitarnya. Tampak pula seorang wanita berambut cokelat dengan gaun mewah tertidur pada pangkuannya dengan berlutut di lantai.

Rivaille tetap mendekat dengan waspada. Ketika sampai pada tiang yang paling dekat dengan altar, ia melesat maju seperti angin lalu menghunus pedangnya ke arah pria itu.

"Sudah kuduga kau akan datang," ucap pria itu tenang seraya membuka kedua matanya, "Aku tak menyangka orang yang akan membunuhku adalah anak muda sepertimu."

Rivaille segera menarik pedangnya lalu melonjak mundur dalam keadaan siaga. Setelah mengamati dari dekat barulah ia sadar bahwa wanita di pangkuan pria itu bersimbah darah. Sebilah pedang dengan ukiran emas pada gagangnya teronggok di lantai berlumur darah. Pria itu telah membunuh!

Rivaille meningkatkan kewaspadaannya. Namun pria itu tidak beranjak, tidak pula ia meraih pedang yang ada di atas lantai. Ia hanya duduk diam di sana tanpa perlawanan, seakan berniat menyerahkan nyawanya tanpa syarat.

"Kau membunuhnya?" tanya Rivaille masih dalam posisinya.

"Ya," jawab pria itu dengan senyum yang melengkung di bibirnya seakan tak ada perasaan bersalah terhadap tuduhan yang baru diakuinya.

"Aku akan membencimu jika membiarkan istriku, Carla, berakhir di tanganmu," lanjut pria itu sambil membetulkan letak kacamata minus yang bertengger di wajahnya, "Namun, sekarang aku dapat merelakan nyawaku yang kini kubenci."

Ah, pria ini aneh. Ia sengaja membunuh orang yang dicintainya hanya untuk membenci dirinya sendiri sehingga dapat menyerahkan nyawanya dengan mudah seperti sekarang ini. Apa yang dipikirkannya? Apa ini sebuah jebakan? Atau pria di hadapan Rivaille ini memang terlanjur tolol?

Rivaille mendengus mendengar pernyataan pria itu. Tanpa basa-basi ia langsung melesat maju dengan pedang yang tersurung ke depan.

"Grisha Ignis Jeager. Ingatlah nama dan wajah pria yang akan kau bunuh ini sebagai penguasa terakhir Ignillum," katanya pria itu tetap tanpa perlawanan—tepat sebelum pedang katana di tangan Rivaille menghunus jantungnya.

Grisha hanya sedikit menghindar di saat terakhirnya sehingga pedang itu tidak telak mengenai jantungnya. Upaya ini ia lakukan untuk dapat berbisik kepada Rivaille untuk terakhir kalinya.

"Lindungilah orang yang berharga bagimu, aku tahu kau dapat menemukannya."

Dengan satu kalimat itu, Grisha Ignis Jeager menghembuskan nafas terakhirnya. Rivaille segera mencabut katana-nya lalu melompat mundur dengan raut terkejut. Sorot mata tajam Rivaille yang biasa kini membola. Kata-kata itu persis seperti milik seseorang yang dulu familiar.

"Siapa kau sebenarnya?" gumamnya sebelum melangkah meninggalkan aula lalu melanjutkan pencariannya. Bagaimanapun ia harus menemukan anak dalam ramalan itu dan menghabisi nyawanya.

Tepat ketika Rivaille melangkah keluar aula, ia mendengar suara nyanyian. Ia segera berlari cepat menuju sumber suara yang membawa kedua kakinya terhenti di depan sebuah pintu perak besar berdaun dua. Ketika dibukanya pintu itu, pemandangan yang tak akan pernah ia lupakan terpantul pada kedua iris kelabunya.

Seorang anak laki-laki tengah bersenandung dalam balutan selimut putih yang tebal. Anak itu berdiri menatap ke arah sebuah jendela besar yang menunjukkan langit malam. Cahaya bulan yang terbias masuk melalui jendela kaca raksasa itu menghujani tubuhnya tatkala nada-nada sendu melantun di ruangan.

Senandungnya terhenti ketika Rivaille melangkah mendekat.

"Sudah datang," kata anak itu seraya menoleh. Tingginya mungkin hanya mencapai bahu Rivaille—hanya sekitar 145cm—dengan rambut amber dan iris kehijauan yang berpendar indah. Kulitnya pucat seperti tak pernah dijamah matahari.

Tidak ada tatapan takut dalam mata besar itu meski ia melihat Rivaille masuk ke ruangannya dengan pedang kembar yang berlumur darah.

Ia hanya tersenyum seraya berkata, "Ksatria yang ditakdirkan untukku sudah datang."

Anak yang begitu ringkih dan tak gentar pada kematian ini, mungkinkah ia juga salah satu monster berwujud manusia?

.

.

To be Continued

.


Author's Note :

Yo! Kali ini saya, Shigure Haruki, bersama dengan Keikoku Yuki mempersembahkan sebuah fic alternate universe bergenre Supernatural! *tawa jahat*

Kami rasa pembaca sudah bisa menebak siapa anak laki-laki yang bertemu dengan Rivaille di akhir chapter ini. Untuk yang masih bingung kenapa anak itu lebih mungil di sini, kami menyebutnya "anak laki-laki", bukan "remaja laki-laki" loh. (Yuki: Maklum ya pembaca, soalnya partner kolab saya ini pedo *tunjuk Haruki yang sedang tersenyum bangga*)

Di sini banyak pertanyaan yang belum terungkap memang. Karena itu, jika mau tahu, silahkan terus ikuti cerita ini dan tak lupa… berikan dukungan pada kami dalam kotak Review~!

Saa, arigato!

Sign,

Haru - Yuki