Menerangkan : Manga NARUTO milik Masashi Kishimoto

Peringatan : TYPO, OOC, dll.

Keterangan : Kalimat miring adalah Flashback

Chapter 16

Kakek Hiashi

"Ada ninja di mana-mana…!" Seorang pemuda berparas tampan mendengus dari balik sebuah pohon tempatnya mengamati sembunyi-sembunyi. Mata sewarna madu miliknya tidak henti-hentinya mengamati seorang pria berambut nanas yang sepertinya ninja, tengah sibuk hilir mudik di desa terpencil itu.

"Sudah ku bilang kan, jangan menganggu Shinobi…" Hitsuji mengeram jengkel, menyalahkan seseorang.

"Kau bicara seperti kau tidak menyukainya saja…" Suara merdu menyahut menggoda dari balik punggung Hitsuji.

"Akuilah… jiwa mereka memang lebih enak kan?!" Wanita bermata sama dengannya itu tersenyum menang, merasa benar. Hitsuji memutar bola matanya sambil mendengus, enggan mengakui. Memang, meski memerlukan waktu lebih lama untuk membuat para ninja itu melemah, penantian itu benar-benar terbayar, mereka jiwa terbaik yang pernah di santapnya. Tapi tetap saja…

"Kita dalam masalah… apa kau menyadari itu?" Ucap Hitsuji ke arah kakaknya. Selama ini mereka bertahan hidup hanya dengan menyantap jiwa-jiwa orang yang tersesat di dalam hutan-hutan perbatasan, perampok maupun ninja-ninja bayaran yang kebetulan melintasi hutan tempat mereka berburu. Tidak pernah sebelumnya mereka menjadikan para ninja yang terikat pada sebuah desa sebagai mangsa. Alasannya adalah… hal yang sekarang ini sedang terjadi, ninja-ninja dari desa yang bersangkutan mengendus-endus telapak kaki mereka menuntut penjelasan dan tanggung jawab atas kematian rekannya.

"Ninja dari mana mereka…" Tidak terpengaruh pada wajah masam adiknya, Hitsu menyampirkan manja kepalanya ke pundak Hitsuji sambil bertanya ringan, sama sekali tidak ambil pusing.

"Memangnya dari mana lagi..?" Hitsuji mengetuk dengan jarinya kedua pelindung kepala ninja yang dijadikan kakaknya hiasan obi kimono yang di kenakannya. Pelindung kepala yang berukir 'Ibu Eri' dan 'Ayah Eri' dibelakangnya, menandakan kalau dua manusia itu memiliki seseorang yang menunggu kepulangan mereka.

"Konohagakure…" Hitsuji menghela napas lelah, "Kita benar-benar dalam masalah…" Ucapnya sambil cemberut. Konoha adalah desa yang disegani di penjuru negeri, dihormati sekaligus diwaspadai, sedangkan mereka bukanlah siluman kuat, atau setidaknya dia sendiri bukan siluman kuat. Kalau Hitsu… baiklah dia memang kuat.

"Oh adik manisku, jangan takut… aku akan menjagamu." sambil tertawa geli Hitsu memeluk kepala Hitsuji tiba-tiba. Detik kemudian ia mengernyit dan menjauhkan diri dari adiknya sambil menunjukkan wajah jijik, ia lupa kalau ada hal yang tidak disukainya pada adiknya itu.

"Astaga, kau dingin sekali seperti ikan mati!" Wanita berambut indigo itu menujukkan wajah menahan muntah.

"Sampai kapan kau akan menggunakan tubuh busuk itu?" Hitsu berwajah tidak suka dan melotot pada adiknya. Tubuh mati itu menjijikkan… iiih.

"Kalau saja kau tidak cantik aku pasti sudah mematahkan lehermu…" Hitsu tertawa senang mendengar perkataan adiknya, dia tahu mereka berdua lemah pada mahkluk-mahkluk indah, terlebih lagi wanita-wanita berambut indigo.

"Juga… tolong berhentilah mengatakan tubuhku busuk…" Hitsuji menatap bosan ke arah kakaknya, tubuhnya tidak busuk, itu hanyalah cara kakaknya untuk menyebutnya. Dia bersih, tampan, tidak berbau busuk, ataupun…membusuk, ia hanya sedikit dingin dan tidak bernapas itu saja. Untuk seorang Hitsu, kerutan menua pun disebutnya sebagai 'membusuk', kakaknya ini adalah wanita yang mencintai kesempurnaan abadi.

"Aku tidak ingin repot-repot memberi makan tubuhku… itu menyusahkan!" sembur Hitsuji sekenanya. Tubuh mati tidak perlu makan makanan manusia, hanya perlu makan jiwa untuk jiwanya sendiri, tidak merepotkan.

"Kau memang pemalas…" Dengus Hitsu sambil merapikan rambut panjangnya dengan anggun.

"Lupakan tentang tubuhku... sekarang apa yang akan kita lakukan? Aku tidak ingin tertangkap oleh mereka!" Hitsuji mendesak kakaknya untuk membahas tentang masalah yang sepertinya akan segera sampai pada mereka. Kepala nanas itu sepertinya menemukan sesuatu kemarin, mayat-mayat itu sepertinya memberikan mereka petunjuk. Tapi apa? Hitsuji tidak bisa tahu.

"Jangan khawatir sayangku…" Hitsu berucap manis kepada adiknya yang berwajah tertekuk seribu. Sesaat kemudian wajah wanita itu berubah serius ketika memandang ninja-ninja dari Konoha yang datang untuk menyelediki mereka. Matanya menyipit seketika ketika menangkap sesosok pria berwajah malas di tengah-tengah keramaian.

"Oh…" Serunya senang membuat Hitsuji memicing tidak mengerti akan reaksi kakaknya.

"Shikamaru-kun ya?" ujung bibir Hitsu bergerak naik perlahan menyuarakan bocoran yang terdengar dari dalam kepalanya.

'Seorang teman lama?' Hitsu bertanya pada pemilik raganya. Hitsuji melirik dari ujung mata, sepenuhnya mengetahui kegiatan apa yang sedang di lakukan kakaknya di dalam benak cantiknya itu. Tidak adanya jawaban yang di terima oleh Hitsu membuat wanita itu terkikik geli, kediaman inangnya ini membuatnya sudah mengetahui jawabannya tanpa perlu mendengar pasti sekalipun. Ya… memang seorang teman lama.

"Kita aman, tenang saja.." suara Hitsu kembali terdengar manja.

'Pasti…' gumamnya yakin… seringaian licik mucul di wajah cantiknya.

"Aku suka senyum itu…" Hitsuji ikut menyeringai.

"Tapi ngomong-ngomong Hitsu… cepat ganti kimonomu… potongan lehernya terlalu rendah aku tidak suka!" Hitsuji menatap jengkel ke arah pakaian kakaknya yang terlalu menunjukkan belahan dada itu.

"Cerewet…!" Hitsu memutar bola matanya, kadang-kadang adiknya ini memang terlalu protektif.

000888000

Hanabi berjalan tegas menyusuri roka menuju ruang pemujaan, kimono elegan dengan warna gelap ia kenakan. Bunke dan pelayan yang berpapasan dengannya membungkuk hormat memberikan jalan pada sang wanita penguasa. Sosok dingin dan kelam yang tergambar dibahunya adalah hasil dari ajaran kelam masa lalu, ia melangkah tanpa membawa sedikitpun emosi yang bisa diintip oleh orang disekelilingnya, seolah-olah hal itu ia tanggalkan dan tinggalkan di suatu tempat rahasia berdinding tebal tidak tertembus. Tapi tempat yang ditujunya ini adalah suatu pengecualian, kaki Hanabi tiba-tiba memelankan gerakannya ketika sudah mendekati tujuannya. Sebuah ruangan kelam yang ia takuti jauh di dasar hati, ruangan pemujaan yang dulunya adalah ruang pertemuan, tempat dimana dulu para tetua Hyuuga menghujaninya dengan perintah dan tuntutan tidak masuk akal.

Satu minggu pertama kepergian Hinata dan ayahnya adalah neraka bagi Hanabi, merasa hilang arah dan sendirian di dalam clan yang mendadak menjadi sangat asing. Ia berduka di dalam cangkang dingin yang di kenakannya. Perdebatan alot yang memuakkan di dalam ruangan yang memanas menjadi agendanya ditiga hari pertama penobatannya sebagai pemimpin clan. Sebagian tetua yang mendukung Ogura menolak keberadaannya sebagai pemimpin, beruntung bagi Hanabi karena masih adanya tetua yang memiliki kesetian pada tradisi leluhur disisinya.

Suara yang meninggi samar, pelipis yang berkedut kencang, setra tarikan-tarikan napas menahan amarah mewarnai pertemuan yang tak kunjung menemui titik temu, kenangan seperti itulah yang ada di ruangan ini. Dulu Hanabi sempat berpikir kalau perdebatan itu akan berlangsung selamanya, tapi rupanya pada akhirnya Ogura merubah rencananya. Kata-kata yang paling menjijikkan didengar Hanabi hari itu di ruangan ini, dari mulut busuk Ogura datang sebuah tawaran aliansi, lamaran paling tidak beradab yang bisa ada di muka bumi. Di mata pemuda itu Hanabi bisa melihat keserakahan, kelicikan, dan kenistaan, Hanabi tahu bahwa orang ini ingin memiliki posisinya bagaimanapun caranya. Tidak ada solusi lain yang dirasa lebih baik dibandingkan tawaran pernikahan itu, 'memimpin bersama' Ogura berujar, namun ditelinga Hanabi itu lebih menyerupai seruan 'Hanabi sang pemimpin boneka'. Senyum palsu dan anggukan canggung dilakukan Hanabi ketika kepalanya sibuk memikirkan 1001 cara yang bisa dilakukannya untuk menyiksa Ogura ketika saatnya tiba nanti. Keinginan balas dendam adalah sumber kekuatannya kala itu. Hari demi hari Hanabi terpuruk semakin jauh kedasar kegelapan hingga berita tertangkapnya ayahnya memaksa ia untuk berdiri diantara serpihan hidupnya. Dan ia pun kembali mengenakan sosok tak bergeming yang dipelajarinya dari yang terbaik.

'Mereka tidak bisa bertahan..' Satu-satunya kalimat singkat yang bersedia dikatakan oleh ayahnya membuat Hanabi mengutuk dunia. Tidak ada pilihan lain selain kematian bagi sang Hyuuga pengkhianat. Hanabi menahan nyeri sakit di dadanya saat senyum di bibir ayahnya seolah berbangga pada tindakan jemarinya yang lancang. Hari itu Hanabi hancur remuk di antara anggukan senang para tetua. Dengan darah segar ayahnya yang masih hangat di tangan, Hanabi bersumpah akan melenyapkan penyebab semua ini satu-persatu dengan cara yang sakitnya tidak akan pernah terbayangkan oleh mereka sebelumnya.

Ditengah kekacauan yang terjadi Hanabi menyukuri setidaknya ia masih punya ayahnya… meski beliau berada jauh dari tempat seharusnya beliau berada. Ogura sinting adalah ular licik pengadu, gerak-geriknya dalam memperlakukan ayahnya akan sampai dalam hitungan detik pada dewan persatuan lima negara. Rantai bergemerincing di kaki tangan ayahnya, cicitan tikus serta busuknya bau sel membuat Hanabi gemetaran karena marah pada dirinya sendiri. Sebegitu tidak bergunakah dirinya? Sebegitu tidak berhargakah dia di clan ini? Hanabi tidak mampu mengangkat kepalanya untuk menatap ayahnya yang tersenyum kecil dari dalam ruangan yang membuat beliau membusuk perlahan-lahan.

Dengan membesarkan hatinya yang menciut, Hanabi menata dan mengatur rencana busuk untuk membalas kelicikan dan kekejaman yang dialaminya. Ia memutuskan mempercepat pernikahan, menjadi pengantin bagi seseorang yang paling engkau ingin lenyapkan bukanlah hal yang pernah ia sertakan dalam rencana masa depannya. Hanabi menarik hati dan menggait simpati perlahan namun pasti, dengan satu-dua kebijakan menyenangkan Hyuuga mulai bisa ia genggam dalam tangannya. Ogura pelan-pelan merasa risih dan terganggu, makanan yang diracun, ular berbisa di taman kediaman, penyergapan dikelamnya malam, Hanabi tumbuh semakin kebal dan kokoh setelah melewati percobaan-percobaan gagal itu.

Ogura yang seperti itu membuat Hanabi menggunakan cara lain untuk melumpuhkannya. Ia tenggelamkan pria itu dalam belaian dan pelukan palsu yang membuat Hanabi merasa lebih rendah dari pada seorang pelacur. Rasa jijik yang ditahan Hanabi terbayar ketika ia mengandung putrinya, karena dengan kehamilannya itu Ogura mulai menurunkan kesiagaan padanya, oh… pria malang itu telah dimabuk cinta. Ketika putrinya lahir Hanabi juga merasa seperti terlahir kembali, Haruko adalah satu-satunya hal yang ia syukuri dikegelapan hidupnya kala itu. Eluan dan sanjungan para tetua didapatkannya kala ramalan nasib baik menaungi putrinya, Hanabi tersenyum menang, ia telah mengokohkan posisinya.

'Bersabar untuk menyerang…' dengan piawai Hanabi melenyapkan iblis-iblis penyebab penderitaannya diam-diam, satu persatu, sejengkal demi sejengkal. Oh betapa Hanabi sangat puas melihat mata membelalak tidak percaya Ogura ke arahnya. Salahkah dia jika dia menikmati jerit kesakitan mereka? Tapi apa pedulinya… Hanabi tidak perlu pendapat orang lain. Dengan lenyapnya Ogura, Hanabi mengeluarkan ayahnya dari sel yang busuk itu dengan niat menempatkan beliau sekali lagi di tahta yang seharusnya. Tapi ayahnya lebih memilih hidup dalam bayangan untuk menjaga keseimbangan, ia tidak ingin dunia luar mengetahui keberadaannya, tidak ingin dewan tetua persatuan lima negara bernapas dibelakang lehernya dan Hanabi.

Tapi diantara semua itu, kehilangan Hinata adalah pukulan telak untuk Hanabi, satu-satunya rasa sakit yang tidak bisa ia atasi di antara rangkaian kemalangan yang telah dihadapinya. Hinata adalah pembaca dongengnya, pendendang pengantar tidurnya, perawat ketika sakitnya, teman bermainnya, perengkuhnya, penghiburnya, pelindungnya, cahaya masa kecilnya, sosok ibu yang tidak pernah dimilikinya, kakaknya. Langit tidak lagi sama birunya tanpa Hinata yang memberikan komentar bentuk awan di sisinya, bunga tidak lagi sama indahnya tanpa Hinata yang bertutur panjang lebar menjelaskan padanya. Tanpa Hinata heningnya malam hanyalah keheningan, tidak ada kikikan lucu yang mengiringi cerita yang mereka bagi.

'Hanabi-chan…' terdengar hantu ingatan bersuara dari masa lalu.

Hanabi duduk mematung di tengah-tengah ruangan besar temaram yang terasa terlalu sepi itu. Mata putih miliknya memandang potret wanita muda yang tersenyum lembut dari dalam bingkai yang bersisian rapi dengan potret lain yang terpasang di meja pemujaan leluhur di depannya.

'Hanabi-chan…' suara itu terus terdengar di dalam relung hati Hanabi. Suara yang ingin terus di ingatnya, suara yang paling dikenalinya, suara yang amat dirindukannya.

'Hanabi-chan kenapa menangis?' Hanabi menghapus segera aliran air hangat dari pipinya. Ini adalah salah satu alasannya membenci ruangan pemujaan ini, ruangan ini membangkitkan kenangan dan bersama kenangan itu selalu ada rasa sakit.

'Hmm… apa kau sakit? Bagian mana yang terasa sakit?' suara Hinata dari masa kecilnya kembali terdengar, Hanabi menggeleng samar kemudian berbisik pada masa lalu, "Tidak ada…"Ruangan ini menakutkan karena ruangan ini bisa membuatnya menjadi seorang gadis kecil yang cengeng sekali lagi.

'Lalu kenapa menangis?' senyum manis kakaknya yang terlihat lelah kembali bangkit di untaian angannya.

"Karena kau menderita…" kening Hanabi berkerut menahan kesedihan. Perasaan rindu yang sudah sangat lama dipendam dan dikuburnya kembali bangkit tanpa mantra, datang dengan sendirinya untuk membakar hatinya.

'Aku tidak menderita…' Sosok Hinata kecil berambut pendek muncul di depannya, tersenyum dengan tangan menjulur ke arah Hanabi.

'Kau berdarah…' Sosok kecil dirinya sendiri muncul dan terisak sambil memegangi telapak tangan Hinata dengan tangan kecil yang gempal. Air mata Hanabi mengalir jatuh menyaksikan adegan yang sebenarnya sedang berlangsung di dalam kepalanya itu.

'Ini tidak terlalu sakit Hanabi-chan… jangan khawatir…' Hinata kecil terihat mengernyit ketika Hanabi kecil mengoleskan obat ke luka merah akibat pukulan rotan di telapak tangannya.

'Kenapa kau bohong pada ayah?' Sosok kecil dirinya terdengar bertanya menuntut pada Hinata yang meringis perih.

'Karena aku bohong pada Hanabi…'Hanabi mengernyitkan hidungnya yang terasa sakit, berharap bisa menahan bulir-bulir lain yang siap jatuh.

'Maafkan kakak ya Hanabi…, Kakak sudah bohong padamu… guci itu tidak berisi harta masa lalu seperti yang kau kira… isinya sebenarnya adalah abu leluhur kita…' Dengan jelas Hanabi masih bisa mengingat kata-kata Hinata padanya hari itu, terang berusaha mengeluarkannya dari rasa bersalah.

'Lalu kenapa kau bohong pada ayah..? Kenapa kau melakukan itu? Harusnya aku yang dihukum…' Hanabi juga mengingat dengan jelas rong-rongan sedih rasa bersalah yang dikeluarkannya saat itu.

'Karena akulah yang lebih dahulu bohong padamu… kau tidak akan mengganggu guci itu kalau saja aku tidak bohong… tidak akan ada guci pecah dan abu bertaburan seandainya saja aku menjagamu dengan baik… Juga..' Hanabi memejamkan matanya erat-erat ketika mengingat apa yang akan di katakan oleh kakaknya selanjutnya padanya.

'Karena kau Hanabi-ku, adik kecilku, kalau kau sampai terluka apa jadinya aku...? Ayah tidak boleh tahu tentang ini ya… ini rahasia kecil kita, mengerti?'

"Aku tidak pernah bisa mengerti dirimu Hinata… Kebodohanmu… Semua kebodohanmu…" Bayangan masa lalunya memudar lenyap dari hadapannya seiring dengan datangnya amarah keputusasaan yang tidak di undang.

Sejak dulu Hinata selalu punya sisi itu, sisi bodoh yang selalu membuat Hanabi kesal dan takut. Hanabi mengingat bagaimana ia hampir mati tersedak ketika mendengar cerita dari Ko tentang kelakuan Hinata dipertarungan Pain dan Naruto. Saat perang bergulir Hanabi hampir setiap malam tidak bisa tidur karena khawatir Hinata akan mengulangi kebodohannya lagi. Hinata memang tipe orang yang seperti itu, akan melakukan apa saja untuk orang yang dicintainya. Cinta Hinata pada Naruto adalah dongeng hidup yang didengarnya sejak dia kecil, bagi Hanabi sipu wajah Hinata terlihat paling cantik ketika kakaknya itu membicarakan sang bocah pirang. Hanabi selalu berfikir alangkah bahagianya Hinata jika mimpi kakaknya yang satu itu bisa terwujud. Tapi ketika mimpi Hinata hampir saja terwujud, ada kemalangan itu, kebodohan Hinata yang lain.

Ada masanya ketika tak ada akhir bagi Hinata-nya, tidak ada penutupan untuk kisah sepak terjang sang kunoichi Hyuuga. Bahkan tidak ada makam untuk Hanabi datangi dan tangisi, doakan dan pandangi. Sementara itu orang-orang mulai curiga dengan keributan dan kekisruhan dewan yang mereka tidak tahu apa penyebabnya. Telinga-telinga ingin tahu mulai mencari informasi, lenyapnya Hinata pada akhirnya adalah jalan buntunya. Cerita semu yang masih sebatas angin-lalu-tanpa-bukti mulai beredar dimasyarakat. Sebagai adik, Hanabi tidak pernah ingin Hinata diingat sebagai pengguncang kedamaian Konoha, mati tidak terhormat untuk seorang anak haram, pengkhianat cinta sang pahlawan desa. Hanabi mendidih, Naruto dan Sakura terlihat berjalan saling menguatkan dikeramaian seolah korban, setidaknya itulah menurut Hanabi, setidaknya begitulah pandangan orang-orang yang sampai ketelinganya. Mereka tidak tahu kedua orang itu lah pengkhianatnya, Hanabi ingin meneriakannya di depan wajah mereka semua. Berani-beraninya mereka membicarakan kakaknya di balik punggungnya! Inikah desa yang selama ini Hinata lindungi setengah mati? Inikah orang-orang yang sudah mereka berdua jaga agar tetap aman? Meludah dan mengernyit jijik karena cerita yang tidak sepenuhnya benar?

Naruto gontai seperti boneka tali yang dilepas sang penggerak adalah satu-satunya penawar kekecewaan Hanabi. Setidaknya Naruto bersedih untuk kakaknya, setidaknya cinta Hinata tidak akan dilupakan oleh pemuda itu. Tapi kemudian hari-hari berlalu, bulan-bulan berganti, semua orang bergerak maju melanjutkan hidup mereka tanpa Hinata, bahkan Kiba dan Shino juga Naruto. Hanabi tidak terima semudah itu Hinata dilupakan, ketika kekuasaan Hyuuga sepenuhnya miliknya, ia menuntaskan segalanya. Ia merangkai dunia keinginannya, menguntai dusta, menciptakan cerita untuk orang percayai tentang kepergian Hinata. Seorang kunoichi terhormat yang tumbang ketika mengemban tugas, ia menyelanggarakan seremoni penghormatan terakhir tanpa jasad dan makam untuk sang putri Hyuuga, di pemakaman itu pula ia menyegel dongeng pahit-manisnya kisah cinta Hinata dengan isak tangis Naruto yang tidak dapat terbungkam di tengah keramaian.

'Hinata ingin memberikannya padamu..' Wajah terluka Naruto saat itu benar-benar membuat Hanabi bergembira dengan dukanya.

'Ia ingin memberikannya padamu ketika peringatan satu tahun hubungan kalian, tapi sayangnya… kau dan sakura…' Kalimat kebohongan yang sengaja digantung olehnya saat itu membuat Naruto nyaris kehabisan napas.

'Malangnya dia harus pergi untuk misi itu dan bertemu dengan sahabatmu tersayang…' Hanabi yakin, kata-katanya bisa membuat Naruto ingin mati saat itu juga, dengan perlahan-lahan dan menyakitkan.

'Ia mengenakan cincin pasangannya di jarinya, bahkan sampai akhir Hinata hanya memikirkanmu. Hinata berkata ia akan mengenakannya hingga ajal menjemput.' Tawa sinis Hanabi menyela kalimatnya sendiri… 'Tapi tidak apa-apa Naruto, toh Hinata sudah mati… kalau kau tidak mau menyimpannya buang saja cincin itu, aku yakin kekasih barumu tidak akan menyukainya!' Dan dengan bisikan terakhir itu, di depan semua mata yang memandang iba, Naruto meraung nelangsa, menggenggam cincin simbol kesetian cinta Hinata padanya dengan segenap kekuatan yang dimilikinya. Hanabi membuat sang Hokage menerima hukuman darinya, menurutnya Naruto pantas menerima itu. Dan ia pun tersenyum kecil untuk pertama kalinya setelah dua tahun yang kelam. Begitulah ia ingin Hinata-nya diingat, dikenang sebagai seorang kunoichi terhormat, putri kebanggan, dan kekasih sejati sang Hokage muda.

Ia menyangkal kebanaran, tidak mengakui kenyataan, lembar-lembar buku harian yang berisi bukti nyata bagaimana Hinata menulis tentang si brengsek Uchiha ia lenyapkan satu persatu, dirobek dengan teliti dari halaman buku seolah tidak pernah ada sebelumnya di sana. Tidak ada lagi kisah tentang Hinata yang juga berkhianat pada Naruto di dasar hatinya, yang ada hanya kisah seorang gadis yang rela berkorban demi kebahagiaan cinta sejatinya, gadis yang luar biasa baik dan berhati besar. Kisah yang ia inginkan semua orang percayai hingga akhir, bahkan Hanabi pun membuat dirinya sendiri mempercayai bahwa itulah kebenarannya.

Namun ketika Hanabi sudah bisa tidur dengan nyenyak dan duduk tenang, bajingan-bajingan itu muncul dan mengancam keseimbangan yang sudah dibangunnya. Dengan tidak tahu malu mereka datang kehadapannya untuk meminta belas kasihan perlindungan. Yang benar saja? Apa jadinya nama Hinata bila ia mengakui anak ini sebagai bagian dari hidup kakaknya. Dan anak itu bahkan tidak sedikitpun terlihat seperti Hinata, anak itu memiliki rambut Sasuke, wajah Sasuke, tubuh Sasuke, seluruhnya Sasuke. Perasaan marah dan tidak rela membuat dada Hanabi terasa berat, anak itu seolah mengkhianati pengorbanan Hinata untuknya, mentah-mentah! Demi tuhan kenapa anak itu tidak mati saja?

Sasuke berlutut di kakinya memohon pengampunan, betapa Hanabi ingin untuk merobek saja jantung bajingan itu. Dan sekali lagi Hanabi merasa dikhianati ketika semua orang juga mulai mengiba padanya, Tenten, Kiba, Shino, Naruto, wanita itu, dan bahkan ayahnya sendiri, mereka semua seolah lupa akan penderitan Hinata yang disebabkan oleh kedua orang ini. Tapi pada akhirnya ia menyerah juga, ia mengalah, tapi ia tidak kalah. Hanabi sangat menikmati wajah marah dan tidak berdaya Sasuke ketika ia mengungkapkan salah satu persyaratannya, bahwa tidak akan pernah ada sosok ibu untuk dikenang anak haramnya. Ia menikmati lelehan hangat darah Sasuke yang mengalir di tangannya dan memerciki tubuhnya. Uchiha… Hanabi sangat membenci dia kejam? Apa dia jahat? Apa dia kelewatan? Oh… cobalah bertahan hidup dengan itu, karena ia tidak perduli.

Apakah seorang adik akan berhenti menjadi seorang adik jika kakaknya telah tiada? Apakah kau akan berhenti mengenang kakakmu ketika ia sudah meninggal? Selama ia adalah Hanabi, selama ia adalah adik Hinata, selama ia masih mengenang kakaknya maka selama itu pula kebenciannya pada Uchiha Sasuke dan Uchiha Itachi akan selalu ada. Sampai sekarang… sampai hari ini… ia masih sangat membenci mereka.

Tapi…

Apa benar begitu?

'Apa benar Hinata Hyuga adalah Ibuku?' Lelehan air mata anak itu, entah mengapa tidak mengenakkan untuk diingat.

Jika ia membenci… kenapa sekarang ia hanya duduk diam ketika kekkai genkainya memberi tahu kalau putri kecilnya yang bengal tengah menyelinap ceroboh melewati gerbang belakang kediaman mereka.

'Kenapa anda begitu? Kenapa anda jahat sekali?' Sejak kapan penilaian seorang Uchiha bisa begini mengganggunya?

Jika ia memang membencinya… kenapa sekarang ia hanya menghela napas ketika mengetahui tentu putrinya itu tidak menyelinap hanya untuk bermain di taman.

'Kau akan menyayanginya kan Hanabi-Chan?'

'Jangan… kumohon… Hinata…, Jangan terlalu menuntut tolonglah…'

Jika ia memang masih murka kenapa ia… hanya menggeleng pelan ketika membaca gerak bibir Haruko yang berseru kesal…

"Astaga kakek benar-benar…! Bagaimana mungkin dia bisa terus-terusan berhenti bercerita di bagian seperti itu…?! ITACHI… dimana kau?!"

'Untuk anak itu, tolong jangan menuntut lebih dari yang sudah kuberikan saat ini… Hinata…'

000888000

"Rio-kun…. "

Kedut…

"Rio-kun… Rio-kun…"

Kedut… Kedut…

"Rio-kun, Rio-kun, Rio-kun, Rio-kun, Rio-kun, RiokunRiokunRiokunRio"

"Hentikan…." Teriakan yang bersamaan datang dari mulut yang berbeda.

"Hentikan itu Eri…. jangan menarik-narik bajuku…" Rio terdengar bergumam malas sambil terus melangkah berusaha menyebrangi lapangan tanding. Namun sang gadis Yamanaka masih setia mengekor sambil terus menaik-narik ujung pakaian Rio, senantiasa memanggil nama si pemuda yang mengabaikannya.

ONIX menghilang, SHARINGGAN berpendar….

"Ku bilang hentikan itu, Itachi…!" Chizo berteriak sekali lagi dari sisi Itachi.

"Apa…?!" Sembur Itachi kasar membuat Chizo tersentak kaget. Ia memandang rekannya itu dengan kening berkerut heran, jarang-jarang Itachi membentak. Meski sedikit takut bocah Akamichi itu menolak untuk menunjukkannya.

"Mengedut-ngedutkan matamu seperti itu..!" tunjuk Chizo ke wajah rekannya yang bertingkah aneh. "Sharinggan itu juga… apa-apan? Menakutkan tahu…!" Geram Chizo sambil menyidekapkan tangannya lantas melotot pada Itachi yang entah mengapa terlihat kesal. Itachi hanya mendengus sebal, diam-diam mencuri lirik pada sosok Eri yang sedang mengekor rekan setimnya. Suasana hatinya sedang tidak enak, jadi… diamlah!

Itachi menghembuskan napas pasrah saat Eri dan Rio tidak lagi terlihat di pandangan matanya, mata merahnya pun kembali sekelam malam, Chizo mengangguk-angguk puas dan lega karena itu.

"Aku tahu kau kesal, " Chizo menggerutu, "Shikaku dan Fuyu-chan memang kelewatan, masa sampai sekarang belum kembali juga? Jangan-jangan bukannya membeli makan siang mereka justru sedang berkencan!" Chizo mancak-mancak.

"Tapi Itachi… kau jangan menghajar Shikaku hanya karena itu… bersainglah dengan cara yang sehat. Lagi pula kau dan Shikaku kan sudah bersahabat sejak kita masih kecil." Itachi mengernyitkan kening, tidak sepenuhnya mengerti maksud racauan Chizo padanya ini.

"Fuyu-chan yang akan menentukan pilihan pada akhirnya… !" Chizo menepuk punggung Itachi dengan gaya orang tua yang sedang memberikan nasihat, Itachi yang akhirnya mengerti maksudnya mengedip-ngedipkan mata, geli tidak habis pikir. Sejak tadi dia tidak terpikirkan tentang itu sama sekali, ia bahkan hampir lupa kalau Fuyu dan Shikaku sudah pergi berduaan.

"Aku pulang duluan ya… Bagianku untukmu saja." Itachi bangkit dari tempatnya duduk menunggu.

"Eh… mau kemana?" bibir Chizo mengerucut tidak suka mengamati Itachi yang menepuk-nepuk celana bagian belakangnya.

"Aku pergi. Dah.." Itachi melambai pergi tidak menghiraukan pertanyaan kawannya.

"Dasar…!" Gerutu Chizo ketika Itachi menghilang begitu saja dari hadapannya.

.

.

"Rio-kun… Rio-kun… Rio-kun…" Di sisi lain Eri masih sibuk memanggil nama Rio terus menerus sehingga membuat si empunya nama mengerang kesal dan berbalik.

"Demi tuhan Eri… Hentikan!" kepala Rio mulai berdenyut mendengar namanya dijadikan mantra tidak putus oleh gadis ini.

"Kenapa kau marah..?" Eri berucap sedih pada Rio dengan wajahnya yang mengkerut.

"Aku tidak marah." Rio menghela napas lelah memandang Eri yang terlihat seperti ingin menangis.

"Kau marah.. aku tahu… memangnya apa yang ku lakukan?" Eri terus mendesak, di benci oleh rekan setim sama sekali bukanlah hal yang di inginkan olehnya sekarang ini.

"Aku tidak marah…" Rio melembutkan nada bicaranya, belakangan ini Eri jadi agak sensitive karena sesuatu, ia sendiri tidak tahu apa itu.

"Lalu kenapa kau mengabaikanku?" Eri mengernyitkan kening bingung, Rio benar-benar-benar-benar mengabaikannya sejak tadi pagi, dan Eri sama sekali tidak bisa mengingat apa kesalahan yang dibuatnya sehingga membuat temannya ini mengabaikannya seperti itu.

"Aku tidak mengabaikanmu!" Rio menyangkal pelan sambil membuang muka. Dia sedikit kesal memang. Eri meminta bantuannya untuk melupakan Itachi seperti permintaan sepupunya tersayang Shikaku, tapi ia kemarin melihat gadis ini malah semakin menempel pada pemuda itu. 'Kau melupakan janjimu… LAGI….dasar si ceroboh' rutuknya dalam hati, 'Kau ingin berhenti tidak sih sebenarnya Eri?'

"Bohong… kau memang mengabaikanku Rio. Tolong katakan apa kesalahanku…" Eri menggelayut pada lengan Rio berharap bisa segera tahu apa kesalahannya agar dia bisa meminta maaf untuk itu. Satu aturan yang selalu ditekankan oleh ibunya, yaitu 'Jangan penah meminta maaf jika tidak tahu apa kesalahanmu, jangan menundukkan kepala pada orang yang tidak berhak mendapatkannya.'

'Jauhkan tanganmu darinya!' geram seseorang yang bersembunyi dibalik rimbunan semak dengan mata terpicing tajam.

"Ayo Eri… Toya sudah menunggu kita…" Rio melepaskan perlahan kaitan lengan Eri di lengannya kemudian melanjutkan langkahnya yang tertunda.

Si pengintip menghembuskan napas lega, namun belum sempat ia menyeringai senang terdengar…

"Kenapa kau marah Rio? Beritahu aku…hick…hick…" Kegundahan yang menggelayuti sang gadis Yamanaka belakangan ini akhirnya sudah sampai pada titik ledaknya. Eri menangis keras, tidak menahan emosinya sama sekali, dengan berlindung pada alasan 'kesal pada Rio' ia menumpahkan air mata yang sudah sejak lama dipendamnya.

Melihat itu Rio segera menghampiri Eri, terkejut melihat air mata di wajah gadis yang dia kira tidak akan pernah menangis ini. "Kenapa menangis? Eri aku tidak marah." Rio berkata cepat sambil menghapus air mata di wajah Eri dengan tangannya.

Tapi Eri tidak berhenti menangis, sang gadis justru menangis semakin keras, "Kau jahat sekali Rio….!" Gumamya tidak jelas, berharap bisa terus menangis sekencang-kencangnya karena alasan ini, ya hanya karena ini… karena Rio sangat jahat, bukan karena…. hal lain.

Itachi yang sejak tadi mengamati dari jauh melangkah cepat menuju mereka, tapi kemudian berhenti seketika ditengah-tengah langkahnya saat mendengar…

"Jahatnya…." Eri tidak terdengar marah ditelinga Itachi, sang Uchiha muda mengatupkan rahangnya erat-erat ketika tiba-tiba menyadari kemungkinan sebenarnya alasan yang membuat Eri menangis seperti ini.

"Maafkan aku…! Kumohon berhentilah…!" Rio kelimpungan mengusap air mata yang terus menuruni pipi Eri.

"Kau keterlaluan tahu tidak?!" Eri berteriak pada Rio yang perlahan membersihkan pipi Eri dengan lengan bajunya. Ia ingin menangis hingga puas, maaf ya… Rio.

"Astaga… aku bisa basah kuyup kalau kau terus begini!" Erang Rio setengah kesal dan amat kebingungan.

Eri menutup matanya dan merintih, menangis dan terisak. Detik itu juga rasa kesal Rio akan sikap manja Eri berganti dengan kekhawatiran. Ini mungkin tidak sesederhana ini. Rio terdiam mengamati Eri yang menangis sambil menutup matanya seakan tidak perduli dengan dunia disekitarnya, gadis ini ingin menangis, perlu menangis. Bahunya berguncang, tubuhnya berdiri kaku dengan kedua belah tangan mengepal erat disisi tubuh, Rio pun akhirnya menyadari kalau sebenarnya Eri memang hanya sedang ingin menangis.

Garis wajah Rio melembut seketika, "Eri…." Panggilnya lembut, sang gadis Yamanaka mengerucutkan bibirnya kesal, lantas mendongak mendelik kesal pada Rio yang tidak bisa membiarkannya tenang menangis.

"Tidak apa-apa…" Ucap Rio dengan senyum hangat. Mata Eri semakin banjir dengan air mata, 'benarkah?' benaknya berharap hampa. 'Benarkah tidak apa-apa?'

Itachi mengencangkan genggaman telapak tangannya, kembali beringsut ke balik semak. Dia merasa tidak akan bisa menghibur Eri.

"Semuanya akan baik-baik saja." Ucap Rio sambil menepuk-nepuk lembut puncak kepala Eri. Ia tidak tahu ini semua sebenarnya tentang apa, tapi ia merasa harus mengucapkannya. Dada Eri terasa sakit, sepenuh hati ingin percaya pada kata-kata Rio. Sang Aburame mendekat dan memeluk Eri hangat, "Semuanya akan baik-baik saja Eri..." bisiknya sekali lagi.

Kening Itachi mengernyit, dadanya dipenuhi dengan rasa kecewa, sedih dan tidak berdaya. Ia tidak akan bisa membuat Eri tenang, ia tidak akan bisa menghibur gadis itu karena…

'Semuanya akan baik-baik saja.' karena Itachi tidak akan pernah bisa mengatakannya. Tidak… tidak baik-baik saja…. Sama sekali tidak baik-baik saja.

"Maaf… Eri." Itachi menatap puncak kepala Eri yang bergetar tersembunyi di dalam kungkungan lengan Rio. Ia merasa bersalah karena tidak bisa melakukan apapun untuk Eri, bahkan hanya untuk menghiburnya sekalipun.

Setelah memeluk Eri untuk beberapa saat keadaan mulai terasa canggung untuk Rio. Ia menggoyang-goyangkan sengaja tubuhnya ke kiri dan ke kanan untuk menggoda Eri yang sudah mulai tenang di pelukannya. "Jangan buang ingus di bajuku ya." Eri menyeringai kecil mendengar kata-kata menuduh setengah bercanda itu, perlahan ia melepaskan diri dari pelukan Rio. Eri memaksakan untuk tersenyum sambil berusaha menelan sisa tangisnya.

"Kau sudah memaafkanku?" Rio memasang tampang memelas lucu. Sendirinya tahu kalau sejak awal sebenarnya ini bukan lah tentang dirinya.

"Belum…!" Jawab Eri ketus, meskipun sesungguhnya di dalam hati sangat berterimakasih pada rekannya itu.

Itachi berdiri diam membatu mengamati, sebenarnya tidak ingin berlama-lama melihat tapi juga… enggan pergi. 'Mereka berdua terlihat sangat akrab, tentu saja… mereka kan rekan satu tim!', 'Eri tidak pernah bersikap seperti itu padanya, tentu saja… karena ia memang tidak pernah mengabaikan Eri sehingga membuat gadis itu harus menarik-narik kaosnya meminta perhatian!', 'Rio suka sekali bicara kalau di dekat Eri padahal biasanya sependiam mayat jika bersama yang lain, itu pasti karena…'. Semakin lama sesi tanya jawab dengan diri sendiri itu berlangsung, wajah Itachi semakin tidak enak dilihat.

"Bagaimana kalau begini?" Eri mengerjap-ngerjap kaget ketika Rio menaburkan serbuk berkilauan di atas kepalanya. Kening Itachi mengernyit curiga dibuatnya.

"Apa ini?" Seru sang gadis Yamanaka menggoyang-goyangkan kepalanya, jadilah serbuk itu melayang di udara dan sebagian menempel di tubuhnya.

"Diam dan tunggu….!" Ucap Rio santai sambil tersenyum pada Eri yang menatap penuh curiga ke arahnya. Eri menghapus sisa air mata lalu menyidekapkan tangan di depan tubuhnya. Rio terkekeh melihat tatapan meragukan dari Eri, ia pun lantas menaburkan sedikit lagi serbuk itu di udara sambil bergumam "tunggulah…!".

Satu… dua… lima…tujuh… sepuluh… lima belas. Itachi menyenderkan punggungnya dibalik pohon sambil terus menatap lekat kedua rekan geninnya itu, penasaran dengan apa yang Rio suruh untuk 'tunggu' ini.

"Riiii….oooo….!" Erang Eri, bosan menunggu.

"Sssstttt….." Rio mengisyaratkan Eri untuk diam, kemudian dengan senyum bangga mengangkat rahangnya menunjuk ke arah belakang Eri. Itachi pun ikut menoleh ke arah itu.

Malas-malasan Eri berbalik dan… mulutnya membuka lebar seketika, matanya membulat takjub, senyum perlahan-lahan terbentuk di bibirnya. Segerombol besar kupu-kupu berbagai warna sedang terbang cepat ke arahnya, Eri berlonjak-lonjak tidak sabar di tempatnya berdiri. Itachi tersenyum sedih dan menghela napas panjang melihat Eri kembali berpolah riang, gadis itu benar-benar harus beristirahat dari lakonnya… Ia sunguh berani bertaruh pastilah sangat melelahkan menjadi Eri.

"Jadi… kau sudah berhasil membuatnya ya….? Pemanggil kupu-kupu… Kya…" Teriak Eri girang pada rekannya ketika puluhan kupu-kupu hinggap di atas kepalanya.

"Yap…!" sahut sang Aburame bangga. Itachi berdecih tanpa disadarinya, 'cobalah liat… dia itu tidak benar-benar senang!' gerutunya dalam hati.

Eri tergelak ketika seekor kupu-kupu hinggap tepat di puncak hidungnya. Rio menaburkan lebih banyak lagi serbuk pemanggil kupu-kupu itu disekeliling sang gadis, ikut tertawa renyah ketika Eri terkikik senang di antara kupu-kupu yang mengerubunginya.

Wajah Itachi semakin masam, keningnya mengernyit samar merenungkan sesuatu,

'Sial…. Bagaimana caranya membuat ular terlihat lucu?!'

Terlalu sibuk berpikir -dan medelik pada Rio- Itachi jadi tidak menyadari seseorang sedang mengendap-endap di belakangnya. Dalam sekejap, jantung Itachi seakan terlonjak dari tubuhnya ketika sepasang tangan menutupi mulutnya. Tubuh Itachi menegang, dalam satu kedipan mata ia memasuki mode pertahanan diri.

"Ini aku Itachi-kun." sebuah desisan yang singgah ditelinganya membuat gerakan Itachi berhenti seketika.

"Haruko..?"

.

.

"Kakek terpaksa pergi membawa bibi Hinata pergi dan …."

Itachi melangkah limbung dibelakang Haruko yang sibuk meracau bercerita tentang kisah ibunya yang sama persis dengan cerita dari Tsunade, hanya saja yang dari Haruko ini adalah persi kilatnya. Itachi mati-matian menahan getaran ketidak sabaran dalam dirinya. Hiashi Hyuuga… kakeknya masih hidup dan ingin bertemu dengannya.

"…kemudian kakek berhenti bercerita… arrghh… astaga.. apa kau tahu Itachi-kun…!? Kakek terus saja memotong-motong ceritanya ditempat-tempat yang membuatku penasaran setengah mati…!" Haruko kesal ketika mengingat bagaimana kakeknya menyiksanya dengan berhenti bercerita di saat-saat paling menegangkan dan menyuruhnya untuk kembali esok hari karena alasan ibunya mungkin akan curiga.

"Dan hari ini dia bilang dia hanya akan melanjutkan cerita kalau aku bisa membawamu kehadapannya Itachi." Haruko terus bicara.

Potongan-potongan kata-kata Haruko singgah ditelinga Itachi tapi dia tidak sepenuhnya mendengarkan, peringatan dari Haruko yang mewanti-wantinya tentang mungkin akan ketahuan oleh 'ibunya' pun terdengar seperti angin lalu. Teguran bahaya yang datang dari dalam dirinya pun tidak lagi ia hiraukan, fakta kalau otaknya mungkin bisa saja meleleh hari ini karena menerobos masuk ke kediaman Hyuuga dan membuat murka Hanabi tidak benar-benar menakutinya lagi.

"Itachi… kau dengar tidak?" Haruko berbisik pelan dan menarik lengan Itachi mengisyaratkan sepupunya yang tidak fokus itu agar berdiri di sisinya. Itachi hampir saja terlihat oleh bunke yang berjaga, beruntung mereka tidak mengaktifkan byakugan siang bolong begini.

"Aku dengar." Jawab Itachi sekenanya pada Haruko yang tengah celingukan mengintip kebalik gerbang belakang kediamannya.

"Benarkah?" Haruko menatap Itachi tidak percaya.

"Coba ulangi lagi apa yang kukatakan barusan!" Desak sang calon penerus Hyuuga. Itachi terdiam, Haruko menghela napas panjang.

"Ku bilang gerbang ini letaknya lumayan jauh dari kediaman utama tempat ibuku berada. Hanya sedikit orang yang melewatinya jadi kemungkinan kita akan ketahuan pun kecil. Tapi kalau sampai itu terjadi, kau lari lah sekencang-kencangnya, mengerti..?" Itachi mengangguk pasti, ia sudah ingin buru-buru bertemu dengan kakekya, tidak sabar rasanya mendengar ocehan dari Haruko lagi.

"Ibuku tidak akan mengejarmu." Kakeknya bilang ibunya tidak akan benar-benar menyakiti Itachi. Tapi mereka harus tetap berhati-hati, karena ibunya mungkin akan memaki-maki lagi jika bertemu muka dengan Itachi, dan Haruko tidak ingin itu terjadi.

.

.

Dingin… adalah sepatah kata untuk menggambarkan sesosok lelaki tua dihadapannya ini, pelukan hangat dan seruan sayang yang tadi dibayangkan oleh Itachi sepertinya tidak akan menjadi kenyataan. Mata yang tidak punya bola mata itu seakan menatap jauh kedalam dirinya membuat Itachi menegang kaku menunggu reaksi sang kakek yang masih berdiam diri lebih dari 10 menit setelah basa-basi perkenalan dari Haruko tadi. Apa kakeknya ini juga membencinya seperti bibi Hanabi?

"Jadi kau Itachi..?" Hiashi akhirnya membongkar kesunyian dengan bertanya ringan.

"Iya…hmm.. kek.." Itachi ragu, bolehkah dia memanggil kakeknya ini 'kakek'? Apakah pria tua tenang ini akan menjadi beringas seperti bibi Hanabi jika dia memanggilnya 'kakek'?

Ketakutan Itachi segera pias saat Hiashi menganguk-angguk pelan tidak terganggu dengan caranya memanggil. Sementara itu Haruko menerka-nerka sesuatu di dalam benaknya, kakeknya ini pernah bertanya apakah dia mirip dengan Hanabi, yang sepertinya berarti kalau kakeknya ini memerlukan sebuah gambaran untuk membayangkan wajah cucu yang tidak pernah dilihatnya.

"Apa kakek masih mengingat wajah Uchiha Sasuke?" Haruko bertanya tanpa basa-basi, Itachi melirik heran pada Haruko. Tidak bisa mengerti apa maksud dari pertanyaan sepupunya itu, apakah akan ada makian lagi untuk ayahnya dari kakek ini? Terakhir kali nama ayahnya disebut di depan seorang Hyuuga sumpah serapah setia mengekornya. Yang jika itu terjadi kali ini, mungkin dia tidak akan bisa berdiam diri lagi.

"Ya." Jawab Hiashi yakin, memangnya siapa yang bisa melupakan wajah Sasuke setelah semua yang telah terjadi pada putrinya? Wajah Hiashi yang masih senantiasa terlihat tenang membuat Itachi sedikit melemaskan bahunya yang tegang.

"Itachi terlihat sama persis seperti dia… dari ujung kepala hingga ujung kaki!" Haruko berkata lantang mengangguk-angguk meyakinkan, berharap sekarang kakeknya punya sedikit gambaran tentang sosok sepupunya itu. Itachi menggigit bagian dalam pipinya, sekali lagi takut akan reaksi yang mungkin akan ditunjukkan oleh kakeknya. Apa kakeknya ini akan tidak suka dengan fakta ini? Itachi berpikir mungkin saja beliau mengharapkan sedikit sosok ibunya 'Hinata Hyuuga' ada pada dirinya.

"Aku sudah menduganya." Hiashi mengatakannya dengan sikap 'orang tua bijak tahu segalanya'. Haruko diam-diam mendengus lucu karena sikap kakeknya itu, seperti istilah kesukaan Eri 'Sikap yang Hyuuga Sekali!'.

Sedangkan Itachi yang melihat Hiashi terlihat tidak keberatan dengan kesamaanya dengan sang ayah merasa hatinya seperti menaiki sebuah kereta yang menanjak dan meturuni tebing curam, berubah derastis dalam hitungan detik dari yang semula tegang sekali menjadi lega sekali, ya tuhan.

"Tapi…" Suara pelan dan berkesan ditahan dari Itachi menarik perhatian cucu-kakek yang Hyuuga sekali itu.

"Ada yang bilang senyumku mirip dengan senyum ibu." Itachi melanjutkan takut-takut sambil menatap wajah Hiashi. Tapi meski takut, ia benar-benar ingin kakeknya tahu kalau dia mewarisi senyum ibunya, bahkan dia ingin memberi tahu semua orang jika ia bisa, jika saja ia boleh.

"Benarkah?" Haruko menengok wajah Itachi yang tengah duduk di sisinya.

"Coba tersenyum." Haruko memperhatikan dengan teliti dari jarak yang terlalu dekat sampai-sampai Itachi memundurkan wajahnya yang pelan-pelan jadi merona.

Ujung-ujung bibir Hiashi terangkat samar mendengar adu argument yang dilakukan cucu-cucunya tentang kemiripan senyum Itachi dengan Hinata. 'Tidak ah…' dari Haruko terdengar lucu seperti cemburu dan tidak rela. Dan 'Eri bilang mirip!' dari Itachi terdengar yakin dan mendesak, juga ada nada berharap yang samar di sana. Hiashi tidak mengira akan pernah mengalami hal seperti ini, dikelilingi oleh celoteh tidak penting dari cucu-cucunya. Sebelum ini, dia tidak pernah berani mengakui menginginkan ini secara langsung pada siapapun bahkan pada dirinya sendiri. Namun sekarang… rasanya, seperti inilah tepatnya kebersamaan yang sudah sejak lama ia inginkan. Bisa mendengar suara putra Hinata dan putri Hanabi, ya… beginilah rasanya.

"Masa?" Haruko mengernyit masih ragu. Menurutnya , 'Itachi itu setiap sudut adalah Uchiha-san… bagian mana yang bibi Hinata?'

"Aku tidak meragukannya..." Kata-kata yang diucapkan dengan suara dari wajah tersenyum membuat kedua sepupu itu menatap kakek mereka lagi.

"Kau adalah putra Hinata… jadi hal itu sama sekali tidak mengajutkan." Mendengar itu hati Itachi seakan membengkak karena rasa senang. Itachi menatap Hiashi dengan mata yang seakan baru terbuka, kakeknya ini tidak membencinya seperti Hanabi. Sang Uchiha muda akhirnya menyadari kalau tidak ada sedikitpun kebencian di wajah tua itu, sejak awal ia memang sudah diterima olehnya, sejak awal Hiashi Hyuuga memang sudah menerima Itachi Uchiha sebagai cucunya.

Itachi tersenyum lebar ke arah kakeknya, sama sekali tidak memperdulikan fakta kalau yang orang yang ia tawarkan senyum ini tidak akan bisa melihatnya. Haruko menyipitkan matanya menatap Itachi, sesaat kemudian ia mendengus pasrah.

"Yah… memang mirip…!" Ucap Haruko akhirnya mengakui dengan senyum kecil.

"Terimakasih!" Itachi berkata sungguh-sungguh, anak itu terdengar sangat senang. Tanpa di komando senyum lebar mengancam terbentuk di wajah sang mantan pemimpin Hyuuga, Hiashi segera berdeham canggung, mendadak malu dengan sikapnya yang baru disadarinya terlalu diluar kebiasaan. Panggilan 'kakek' yang baru beberapa hari ini di dengarnya secara ajaib memberikan dampak menakutkan sekaligus menyenangkan pada dirinya, yang juga sebenarnya sedikit berbahaya bagi reputasi wajah batu yang selama ini disandangnya.

"Nah jadi… sekarang bisa kita lanjutkan ceritanya kan kek?" Haruko yang sudah tidak sabar akhirnya mengucapkan kata-kata yang sudah sejak tadi gatal ingin ia suarakan. Ia sangat ingin tahu bagaimana kelanjutan nasib bibi Hinata-nya.

"Langsung lanjutkan dari kejadian di goa batu saja kek! Tadi aku sudah menceritakan semuanya dari awal pada Itachi." Haruko berucap percaya diri, jelas ataupun tidak ceritanya tadi untuk Itachi dia tidak bisa terlalu perduli mengingat besarnya rasa penasaran yang sudah berhari-hari ini membayanginya. Ia tidak mungkin akan tahan jika menunggu kakeknya bercerita lagi dari awal untuk Itachi.

Disisinya Itachi memamasang wajah terkejut tidak percaya, bagaimana mungkin racauan cepat Haruko sepanjang jalan tadi bisa disebut bercerita? Astaga Haruko.. yang benar saja? Yah… sebelumnya Itachi sudah pernah bilangkan kalau Haruko itu kadang-kadang bisa bersikap 'sangat tidak perduli'.

"Sebenarnya…" Syukurlah Itachi memang tidak perlu mendengar cerita dari awal.

"Saya sudah mendengar cerita tentang apa yang terjadi dari Tsunade-sama, Kek. Hanya saja cerita itu hanya sampai pada saat kakek membawa ibu pergi meninggalkan Konoha…" Perkataan Itachi disambut wajah lega dari Haruko.

"Baiklah kalau begitu…" Hiashi berbisik pelan, mengingat kembali 'saat itu' tidak mudah untuknya, memutar kembali bayangan tentang putrinya yang terombang ambing oleh maut sama sekali bukanlah hal yang mudah.

"Apa kau siap Itachi?" dan ia yakin, mendengar ini juga tidak akan mudah untuk anak ini.

000888000

Sasuke merasakan sesuatu terkuras habis dengan cepat dari dalam dirinya, segala emosi, kebigungan, kemarahan dan keputusasaan yang dirasakannya berbulan-bulan belakangan ini menguap habis meninggalkannya dengan perasaan asing tidak menentu yang nyaris menyaingi perasaannya ketika mengetahui fakta tentang pembantaian clannya. Gelegak emosi yang dirasakannya terasa lebih dari yang sesungguhnya sanggup ia pahami.

Hinata-nya…. Wanita yang dicintainya sedang mengandung seorang anak… anaknya. Tentu saja oh demi tuhan, karena mereka bercinta… mereka bermanis cinta berdua malam itu, Sasuke menyumpah serapahi dirinya sendiri karena tidak pernah mempertimbangkan tentang ini sebelumnya. Tidak pernah Sasuke menyangka ada hal yang memiliki efek luar biasa kuat terhadap dirinya seperti berita ini. Berita bahwa dia… akan segera mejadi seorang ayah. Demi keagungan tuhan yang belum pernah dia sanjung seumur hidupnya hingga hari ini, Sasuke tidak pernah merasa menginginkan Hinata dipelukannya lebih dari pada saat ini.

Sasuke berlari sekuat tenaga bersama kedua rekan barunya, ia sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk bisa berada di sisi Hinata. Untuk memeluknya, meletakkan tangannya diperut Hinata yang berisi kehidupan, kehidupan yang merupakan miliknya. Gekibou dan Gunpei bertukar lirikan lelah satu sama lain, kemudian menatap punggung Sasuke yang terpampang kokoh berlari di depan mereka. Masing-masing sedang mempertimbangkan untuk lebih memilih yang mana diantara kehilangan kaki karena terlalu lelah berlari atau kehilangan nyawa karena jantung tertembus chidori.

"Selanjutnya ke arah mana?" Sasuke berhenti berlari untuk bertanya meminta arahan selanjutnya tanpa menoleh. Tubuhnya terasa hangat oleh aliran darah yang berdesir tidak henti-henti. Hinata seakan sudah berada di ujung jarinya, hanya tinggal sebentar lagi ia dapat menyentuhnya. Gekkibou dan Gunpei tumbang kelelahan terbaring di atas lantai hutan yang berbau rumput busuk, jika di teruskan mereka yakin jantung mereka akan berhenti bekerja dengan sendirinya… hanya orang gila yang akan berlari seperti mereka. Berlari cepat seperti dikejar maut selama hampir 24 jam berturut-turut tanpa berhenti bahkan hanya untuk sekedar meneguk setetes air.

"Aku tidak bisa merasakan ujung jari-jariku lagi…!" rengek Gunpei tersengal, kemudian mendelik menyalahkan pada Gekkibou yang terkekeh kelelahan di sampingnya. Ini adalah masalah yang disebabkan olehnya sendiri, jadi Gekkibou bahkan tidak ingin menghabiskan sedikit tenaga yang masih dimilikinya ini untuk mengeluh. Sasuke yang berdiri tinggi menoleh ke arah kedua penunjuk jalannya yang terbaring seperti bangkai di atas tanah. Mata Sasuke sendiri pun sebenarnya terasa perih karena terpampang hembusan angin berkecepatan tinggi terus-menerus, tubuhnya kaku dan berat seperti ada puluhan orang berbadan gempal yang menggelayut di setiap sendi yang ia miliki, hanya saja dia tidak ingin berhenti.

"Ku rasa sebaiknya kita beristirahat sebentar Uchiha-san!" Gekkibou mengernyit menunggu reaksi Sasuke atas permintaannya. Dan kemudian terbatuk-batuk tersedak napasnya sendiri, terkejut ketika Sasuke berbalik tiba-tiba serta mendelik ke arahnya.

"Kalau tidak beristirahat kami akan mati bahkan sebelum sampai ketempat tujuan kita!" khawatir rekannya akan di 'apa-apakan' oleh 'pemuda asing bermata merah' ini, Gunpei memberanikan diri untuk membela. Sasuke menghela napas, akal pikirannya tahu kalau mereka berdua benar, mereka memang harus beristirahat. Tapi bagaimana menurut hatinya...? Tapi sekali lagi, mereka adalah satu-satunya harapan Sasuke untuk bisa sampai pada Hinata.

"Baiklah…." mendengarnya Gunpei dan Gekkibou mengaum senang kemudian kembali berbaring dan melenguh nyaman, luar biasa lega.

"2 jam…" Kepala mereka kembali mencuat tegak seketika untuk menatap Sasuke dengan wajah bodoh tidak percaya. Apa…? Hanya 2 jam? Apa mereka tidak salah dengar?

"Kumohon…!" Tambah Sasuke mengiba kaku ketika melihat ketidak senangan di wajah kedua rekan barunya itu. Dia akan merendah serendah-rendahnya jika di perlukan saat ini. Yang penting sekarang adalah, ia harus secepatnya bisa bertemu Hinata dan… calon bayi mereka.

Melihat wajah Sasuke yang seperti dipaksa menelan kotoran ketika mengucapkan kata kaku 'kumohon', membuat Gunpei menyadari pemuda ini bukan orang yang suka merendahkan dirinya dalam bentuk apapun juga kepada orang lain. Wajah itu mengisyaratkan sesuatu yang terpukul karena mengucapkanya, kearoganan yang sepertinya sudah alami ada bersamanya,dan untuk kali ini saja dia mengesampingkan ego yang luar biasa besar itu. Tapi bersama dengan permohonan ini ia juga menjanjikan kepada mereka 'kematian mengenaskan' jika berani-berani membantah. Di sisi lain Gekkibou berbeda anggapan dengan rekannya, namun pada akhirnya apapun alasannya, mereka berdua mengangguk mengerti pada Sasuke.

"Kalau begitu kita sebaiknya segera makan Gunpei!" ucap Gekkibou dengan nada lelah pada Gunpei yang sepertinya sedang bersiap sedia menggerutu rendah padanya. Gerutuan itu mungkin tidak akan cukup keras untuk membuat kesal Sasuke tapi akan cukup untuk membuat telinganya panas.

"Ayo-ayo jangan membuang-buang waktu…!" Gekkibou menepuk-nepuk pundak kawan karibnya yang sedang mengomelinya seperti wanita.

"Apa benar-benar tidak apa-apa? Ketua meminta kita menambah pasukan bukannya membawa sang Uchiha terakhir…!" cicit Gunpei.

"Ini yang terbaik, percayalah. Apa kau tidak pernah mendengar tentang kehebatannya?" Gekkibou tersenyum menenangkan kepada rekannya yang selalu canggung dan ragu itu. Gunpei menyorot kawannya dengan tatapan 'tentu saja… siapa yang tidak pernah dengar tentang si Uchiha ini?'.

"Tapi apa tidak apa-apa kalau kau tidak memberitahunya semuanya? Kau tahu, tentang 'gossip' itu… " Gunpei menyinggung tentang berita yang banyak di bicarakan oleh para ninja wanita di kelompok mereka tentang keadaan sang Hyuuga yang tengah mengandung. Keadaan sang wanita Hyuuga ini memang tidak dirincikan secara langsung kepada mereka, yang ada di perintah mereka hanyalah untuk memberikan perlindungan pada sang wanita dari ninja-ninja dewan persatuan yang tengah memburunya. Tapi ada gossip yang beredar di antara para ninja wanita tentang kehamilan ini.

"Dilihat dari sikapnya, sepertinya dia sangat perduli pada kekasih dan anaknya itu… apa menurutmu tidak apa-apa menahan informasi itu? Bagaimana kalau dia justru mengamuk dan tidak tertangani ketika mengetahui yang sebenarnya… terlebih seandainya saja kita sampai ketika… kau tahu…" Gunpei menaikkan alisnya penuh arti, " …sudah terlambat!" sambungnya dengan wajah mengernyit, ngeri untuk membayangkannya.

"Itu hanya gossip Gunpei… aku tidak berani mengambil resiko memberitahunya sekarang kalau-kalau hal itu cuma kabar angin yang berseliweran…" Ya.. hal itu masih hanya kabar angin, ninja-ninja wanita di pasukan mereka seperitnya memiliki informan dari pasukan pelindung yang menemani sang Hyuuga ketika masih di Konoha. Menurut mereka ada yang mengatakan, prosess persalinan ini merupakan pengorbanan diri sang ibu Hyuuga ini untuk anaknya. Gekkibou menghela napas kemudian menoleh pada punggung Sasuke yang bergerak menjauh dari mereka. Ia berharap, kalau hal itu memang hanya kabar angin.

Sasuke berjalan pasrah dan duduk bersandar di salah satu batang pohon jauh dari kedua rekan yang sedang bersemangat menggelar perbekalan mereka. Ia mungkin memang keterlaluan kepada kedua orang yang sudah berbaik hati untuk memberitahunya tentang keadaan Hinata, tapi ia sungguh sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Perut Sasuke terasa mengejang ketika menyadari betapa ia hampir saja melewatkan hal ini. Ia mungkin saja pergi terlalu jauh dan tidak mengetahui tentang kehamilan Hinata ini sampai akhir hayatnya. Situasi apapun yang menghalagi mereka, apapun yang mungkin ada diantaranya dan Hinata saat ini tidak akan lagi membuat Sasuke menyerah. Naruto…? Hyuuga…? Konoha…? Dewan Persatuan Lima Negara…? Perang? Masa bodoh, terkutuklah semua itu.

Lagi pula, Sasuke tidak habis pikir kenapa dewan persatuan lima negara itu bisa begitu takutnya pada bayi yang bahkan belum lahir ke dunia. Sasuke memejamkan mata seraya menegakkan punggung ketika rasa bersalah memasuki hatinya. Hinata tidak seharusnya mengalami hal ini, penghinaan ini, bahaya ini. Jika penuturan Gekkibou benar maka ia sudah benar-benar menghancurkan hidup Hinata.

"Makanlah…!" Suara Gekkibou yang berseru keras membuat Sasuke membuka mata. Pemuda yang sesungguhnya layak mendengar kata terimakasih itu duduk bersila di sisi Sasuke sambil menyodokan roti padanya.

"Aku tidak lapar…!" Sasuke menjawab dingin.

"Makanlah…!" Desak Gekkibou membuat Sasuke menoleh dan mendelik tidak suka. Tapi pemuda itu hanya tersenyum menanggapinya.

"Aku tahu kau sedang tidak dalam keadaan yang bisa makan dengan lahap. Tapi percayalah padaku, kau memerlukan tenaga penuh untuk bisa sampai ke sana, dan coba bayangkan betapa tidak bergunanya jika kita kehabisan tenaga seandainya saja penyergapan tejadi ketika kita tiba…! Yang kita hadapi sekarang ini adalah ninja kelas tinggi yang dimiliki dewan persatuan lima negara, tuan..!" Gekkibou ada benarnya, Sasuke menghela napas lelah, bagaimana mungkin dia bisa membuat Hinata berada pada situasi seperti sekarang ini? Dan betapa tidak menyesalnya ia sebenarnya membuat Sasuke merasa semakin buruk. Ia merasa bersalah karena ia tidak menyesal membuat Hinata mengandung bayinya, karena mungkin ini akan mempersatukan mereka.

" Gigit dan telan lah… kau harus makan! Kami memerlukanmu berada pada kondisi terbaik untuk dibanggakan pada pemimpin kami!" Uchiha ini adalah satu-satunya jaminan mereka tidak akan dibanting dengan kepala lebih dulu oleh ayahnya nanti ketika mereka muncul setelah terlambat bergerak seperti sekarang ini.

"Lidah mendadak mati rasa, perut mendadak kaku, pikiran berlarian kemana-mana… Uchiha-san aku mengerti perasaanmu." Gekibou memandang menerawang ke depan sambil menggigit potongan roti miliknya.

"Aku juga baru saja menjadi seorang ayah." Ucapnya lagi dengan nada bangga, kemudian menatap Sasuke dengan wajah penuh rasa syukur.

"Berkat kau… aku jadi bisa melihat wajah anakku. Hari itu, seandainya kau tidak membantu… habislah sudah riwayatku…!" Sasuke bisa melihat ketulusan dari wajah itu, wajah dari orang yang seandainya saja tidak dia tolong hari itu maka mungkin ia tidak akan pernah tahu tentang keadaan Hinata. Pelan Sasuke meraih potongan roti yang masih setia di sodorkan Gekkibou padanya. Pemuda berbadan besar itu pun hanya menggeleng samar ketika melihat Sasuke mamang hanya menggigit dan menelan bulat-bulat roti itu seperti perkataannya tadi.

"Apa dia baik-baik saja?" Sasuke berbisik bertanya, seketika Gekkibou berhenti mengunyah.

"Hinata dan bayiku … apa mereka baik-baik saja?" Sasuke berucap lebih keras, menyadari bahwa kata asing 'bayiku' terasa sangat menyenangan untuk di ucapkan.

"Sejujurnya… aku belum bertemu dengan mereka." Gekkibou menjawab jujur.

"Sebenarnya pasukan kami adalah pasukan tambahan yang baru akan bertemu dengan pasukan pengamanan utama dititik yang telah disepakati hari ini. Karena aku memutuskan memisahkan diri untuk mencarimu terlebih dulu, kita akhirnya terlambat berangkat dan tertinggal. Tapi jangan khawatir pasukan baru akan berangkat dengan perlindungan penuh ke tempat persembunyian esok hari, aku yakin kita masih sempat menyusul." mendengar penuturan itu Sasuke semakin resah, ia tidak ingin berlama-lama lagi duduk disini.

"Setelah beristirahat 2 jam kita akan segera bergerak lagi… kita semua perlu Istirahat Uchiha-san." Gekkibou yang bisa merasakan kegelisahan Sasuke segera menenangkan, meskipun kata-katanya itu tidak merubah banyak.

"Masih tersisa 1,5 jam lagi! Cepat selesaikan urusan kalian." Sasuke menjadi penuh perhitungan, calon ayah yang resah itu pun segera berdiri dan bergerak dari tempatnya duduk. Gekkibou pun kembali kedekat Gunpei untuk meregangkan tubuh. Sasuke berjalan mondar-mandir tidak bisa diam, berdiam diri rasanya membuatnya merasa semakin jauh dari Hinata.

"Gekkiiiiii...!" Gekkibou dan Gunpei sedang malas-malasan mengemasi kembali sisa bekal mereka ketika teriakan seorang gadis memecah keheningan di kelompok mereka.

"Jangan memanggilku dengan sebutan itu…!" Gekkibou menggeram kesal lebih karena kebiasaan dibanding benar-benar menyadari situasinya.

Sasuke segera melesat memecah udara menyongsong sosok yang mendekat cepat itu. Katananya berkilat, siap sedia menebas kemanapun tuannya mengayunkannya. Melihat itu Gekkibou melonjak ketakutan mengejar Sasuke yang lebih dahulu bergerak. Gunpei mengekor tepat dibelakangnya dengan napas ditahan.

"Jangan… dia tidak berbahaya… Dia…dia adikku…!" Ucapnya keras-keras sambil terseok-seok menyeimbangkan langkahnya yang tunggang langgang. Seorang wanita muda bermata tajam melotot ngeri pada Sasuke yang menodongkan ujung katana tepat ke depan lehernya.

"Dia adikku… Sayaka…!" Gekkibou memucat menyingkirkan ujung katana Sasuke dari leher adiknya.

"Apa-apan ini?" Sayaka berteriak pada kakaknya, sambil terus mengamati waspada Sasuke yang mulai menyimpan kembali katana pada tempatnya.

"Kau yang apa-apaan…!" Gekkibou balas meneriaki adiknya itu kesal, hampir saja…

"Kau bergerak terlalu cepat dan tanpa peringatan…!" Hal seperti ini bisa membuat insting waspada seorang shinobi bekerja… apa gadis manja ini tidak menyadari itu? Gekkibou menggeleng keras.

"Aku tadi sudah memanggil namamu, kau tidak dengar ya..?" Sayaka berkata dengan nada tinggi, tidak terima disalahkan.

"Aku memang sedang terburu-buru tahu, tidak ada waktu untuk berlama-lama…" Ucap Sayaka lagi dengan wajah cemberut, sembari melirik curiga pada Sasuke ia melangkah semakin dekat pada kakaknya.

"Lagi pula… kau sinting ya?" sang gadis berteriak keras pada kakaknya ketika kembali teringat akan tugas yang diembannya. Sasuke mengernyit ketika lengkingan suara gadis itu menghampiri telinganya, ia melangkah menjauhkan diri dari reuni yang sedang terjadi di hadapannya itu.

"Kenapa kau sangat terlambat? Kau tahu, ayah marah besar… bagaimana mungkin putra seorang pemimpin menghilang seperti pengecut di saat-saat yang paling menentukan begini?" Sayaka bicara cepat tanpa memberi kesempatan pada Gekkibou untuk menjelaskan.

"Belum lagi… oh ya, mana pasukan tambahanmu?" Sayaka berhenti bicara di tengah-tengah kalimatnya sambil melihat sekeliling, mencari-cari. Seketika mulutnya terbuka lebar ketika sudah benar-benar mencerna situasinya.

"Astaga jangan bercanda kau Gekki…. Ayah akan benar-benar membunuhmu…!" Raungnya ngeri, sambil menunjuk Sasuke yang berjalan menjauh dari mereka. " Hanya satu orang? Terlambat 48 jam hanya membuahkan satu orang?" lirihnya dramatis tidak percaya.

"Tenang dulu… Sayaka… sabar, dengar dulu…!" Gekkibou terkekeh pelan melihat tingkah adiknya yang mulai panik.

"Tidak ada waktu…" Sayaka mengerang sambil meliriknya tajam. " Aku tidak perlu penjelasanmu… simpan itu untuk ayah…" Tambahnya dengan helaan napas besar.

"Kita harus bergegas… Ayah memintaku menyusulmu untuk memberitahu ada perubahan rencana!" Kata-kata sang gadis menangkap perhatian Sasuke.

"Ada apa?" Gunpei yang sedari tadi diam segera ikut mencecar.

"Keadaan Hyuuga itu semakin memburuk, tubuhnya membengkak dan tekanan darahnya naik secara tiba-tiba. Tubuhnya sudah terlalu lemah, rombongan tidak bisa lagi bergerak ke tempat tujuan persembunyian kita semula" Gekkibou dan Gunpei menelan ludah ketika melihat Sayaka kembali membuka mulutnya untuk bicara, di ujung mata mereka bisa melihat mata Sasuke berubah merah dan sosoknya menjadi amat mengintimidasi.

"Kesibukan ditendanya pada malam hari lebih sering terdengar… para medis bergumam hilir mudik setiap malam dengan wajah memucat. Kelahiran mungkin akan terjadi lebih cepat dari pada seharusnya.. Aku bahkan sempat mendengar mereka meminta Hiashi-sama bersiap untuk kemungkinan terburuk…" Sayaka berkata menyelesaikan kalimatnya setengah menerawang, tidak benar-benar bermaksud bercerita.

Sasuke mendingin kaku seketika seperti diguyur oleh air dingin dari ujung kepala hingga ujung kaki. ada pengingan keras yang menusuk telinganya ketika ia mendengar penuturan Sayaka. Dia gemetaran, sesaat kesulitan bahkan hanya untuk sekedar memerintahkan tubuhnya bergerak, udara seakan direnggut paksa dari paru-parunya ketika mendengar bisikan 'aku benci mengakui, tapi sepertinya dia memang tidak akan bisa bertahan melewati ini...' penuh helaan iba dari bibir Sayaka.

"Aku sempat mendengar para medic berdiskusi tentang keadaan sang nona Hyuuga, mereka bilang bayinya meracuni ibunya sendiri…Oh tuhanku, aku tidak habis pikir bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Kalau aku ada di posisinya.. mungkin akan lebih memilih menggugurkannya." Sayaka kembali berceloteh tidak terhentikan bahkan oleh dirinya sendiri. "Tapi dia malah lebih memilih mempertahankan bayinya meskipun ia sudah tahu sejak awal kalau hal seperti ini akan terjadi! Kalau bayi itu sendirilah yang akan menjadi maut untuknya… Aku benar-benar tidak bisa mengerti" Sayaka menggeleng heran sama sekali tidak meyadari sesosok tubuh mendekat goyah ke dan Gunpei yang menyadarinya berdiri 4 kali lebih tegak dari pada biasanya.

Perut Sasuke seperti dicengkram erat, ia merasakan ketakutan yang luar biasa besar terbentuk dijantungnya dan dengan cepat memenuhinya hingga hampir terasa akan segera meledak. Keringat dingin mengucur deras dari tubuhnya, kepalanya mendadak ringan oleh rasa takut… ya… hanya ada rasa takut yang ia rasakan saat ini disetiap serat di tubuhnya. Hinata… Hinata… Hinata… Hinata... Dalam bahaya… Dalam kesakitan… Dalam Penderitaan kata-kata itu berputar-putar di benaknya tanpa benar-benar bisa ia cerna dan resapi.

"Oleh karena itu saat ini tempat persembunyian dialihkan ke goa batu yang letaknya tidak jauh dari tempat kita berkumpul. Di sana rombongan akan bertahan sampai kelahiran, ayah dan pasukan yang harusnya kau pimpin tengah menung…..." Sayaka memekik ketika sebuah tarikan keras memutarkan tubuhnya menghadap semburat wajah memucat di atas bahu yang bergetar hebat.

"Antarkan aku pada Hinata…" Mengais-ngais sisa suaranya yang masih tersisa Sasuke berucap parau.

Dan ketika Sayaka menatap mata itu, ia segera tahu siapa pemuda ini. "Uchiha… Sasuke…!?" Nama itu lah yang samar-samar ia dengar dibisikkan lirih dari dalam tenda yang ia jaga setiap malam. Ia melirik kakanya dan Gunpei yang tengah mengangguk dari balik punggung sang Uchiha. Jadi ini… yang disebut kakaknya pasukan berani mati yang lebih kuat dari pada pasukan manapun yang sudah mereka miliki saat ini?.

Dilihat dari sudut manapun, kakaknya benar… tidak akan ada pasukan yang bisa menandingi seorang lelaki yang mengkhawatirkan wanitanya, terlebih lagi… seorang ayah yang ingin melindungi anaknya.

.

.

Kerasnya suara rinai hujan yang terdengar masuk melewati mulut gua menyamarkan gumaman orang-orang di dalamnya. Hiashi berdiri memunggungi tirai kain yang dibentang sebagai sekat pembatas di antara dua bagian gua, kain tipis yang memisahkannya dari putrinya yang tengah berjuang untuk menghadirkan kehidupan baru ke dunia ini. Pria paruh baya itu tidak habis pikir, bukankah dia sudah bersiap? Bukankah dia sudah tahu kalau hal ini akan datang? Tapi kenapa setiap bisikan-bisikan perintah kengerian yang ia dengar dari balik tirai itu terasa meleburkan jantungnya lagi dan lagi. Seorang manusia mungkin memang tidak akan bisa bersiap untuk menghadapi hal seperti ini, tidak perduli seberapa kuatpun orang itu.

"Hiashi-sama…." Seruan seorang bunke menarik perhatian Hiashi.

"Ada kelompok cakra bergerak mendekat dengan cepat dari dua arah…" Nada gelisah bisa Hiashi dengar dari kata-kata itu. Detik kemudian Byakugannya mengonfirmasi kebenaran permeritahuan itu.

"Bagi pasukan yang ada menjadi dua kelompok, persiapkan diri untu menghadapi mereka…" Sang pemimpin pasukan ninja bayaran yang berdiri tidak jauh dari Hiasi segera berseru merintah serdadunya.

"Tidak perlu membagi pasukan…" Ucap Hiashi sambil menonaktifkan Byakugannya. "Persiapkan kekuatan penuh untuk menghadapi kelompok yang datang dari timur." Sambung Hiashi masih dengan sikap tenangnya.

"Tap Hiashi-sama… yang dari selatan itu.." Bunke Hyuuga yang mengetahui betul siapa yang sedang bergerak mendekat dari arah itu berkata terputus berniat mengingatkan.

"Biarkan dia mendekat… aku akan menghadapinya…" Ia ingin tahu… kenapa pemuda itu datang, apa yang dia inginkan.

.

.

"Bertahan…! Belum waktunya…" wanita paling tua diantara tiga ninja medis yang menangani Hinata berbisik pada gadis yang tengah mengerutkan keningnya kesakitan itu. Cakra bayi yang masih saling bersinggungan berebut takdir membuat mereka harus menunda proses kelahiran, yang berarti memperpanjang rasa sakit yang Hinata alami.

"Huh…huh..huh…" Hinata yang sudah tersengal dan bermandi keringat berusaha mengatur napasnya yang semakin memendek.

"Terlalu lama… Kikuyo-sensei, Hinata-san semakin melemah." Seorang gadis berambut pendek yang menjadi sandaran bagian atas tubuh Hinata mencicit lirih pada gurunya yang tengah berkonsentrasi mengendalikan cakra bayi Hinata yang mengamuk.

"Tidak… saya masih bisa…" Hinata berkata nyaris tercekik. Meski tubuhnya sekarang sudah terasa seperti di potong menjadi dua bagian Hinata akan terus bertahan untuk bayinya. Jika putranya di lahirkan ketika cakra yang dimilikinya belum terkendali, seperti yang dikatakan oleh Tsunade tempo hari, bayinya akan mati seketika.

"Kau bisa… Eiko percaya…, jadi tolong tetaplah bersama kami ya… Hinata-san." Seorang wanita muda mengusap wajah Hinata yang berkeringat dengan air hangat. Wajahnya dihiashi senyum kecil yang membuat Hinata menjadi sedikit tenang. Hinata mengangguk pasti pada Eiko yang setia mengusap lembut keringatnya, sementara Eiko sendiri sesungguhnya tahu bahwa kesadaran Hinata semakin menipis.

Namun sesaat kemudian pekikan lolos tiba-tiba dari bibir Hinata ketika sebuah kontraksi menyakitkan ia alami. Untuk pertama kalinya dalam seminggu perjalanan mendampingi gadis itu, ketiga ninja medis ini akhirnya mendengar teriakan kesakitan dari Hinata. Hinata mencoba, bukan kepalang ia berusaha untuk menahan teriakannya namun demi tuhan… rasa sakitnya tidak bisa terungkapkan. Belum sempat Hinata menarik napas kontraksi terjadi lagi… sang gadis memekik lagi, ia tidak mampu menahan tangis akibat rasa sakit yang dirasakannya dari bagian bawah tubuhnya.

"Kano…!" Sentak Kikuyo pada gadis yang memegangi Hinata, " Pegangi ia lebih erat!" perintah itu pun segera di laksanakan oleh muridnya. Sang sensei menggeratakkan gigi saat kontraksi-kontraksi terjadi beruntun, jalan lahir sudah siap sepenuhnya, tubuh Hinata secara naluriah berusaha mendorong janin agar segera menuju dunia, melawan ini lah yang membuatnya begitu menderita.

"Sakit….!" Bisk Hinata lirih terdengar begitu prustasi. Ketenangan yang sudah berupaya ia tunjukkan telah mencapai ambang batasnya. Rasa sakit membuat gadis ini meringis dan menangis. Kontraksi yang tak kunjung berhenti membuat tulang panggulnya terasa nyeri dan perih.

"Eiko jaga detak jantungnya… darah tidak mengalir dengan lancar ke daerah panggul!" Seru Kikuyo pada muridnya.

"Dan Hinata… jangan terlalu menegangkan tubuh bagian bawahmu… rasa sakitnya akan bertambah." Hinata mengangguk lemah, ia mencoba tapi… ini terlalu menyakitkan, ia bahkan seperti lupa bagaimana cara bernapas.

"Tetaplah bernapas Hinata-san… tarik… lalu buang…" Kano berusaha membimbingnya bernapas sambil terus menggenggam kedua belah telapak tangan Hinata yang berpegang erat padanya.

"Untuk bayimu, berusahalah sedikit lagi…" Kikuyo berucap dengan kening berkerut, keringat terlihat menuruni pelipisnya sementara ia terus berkonsentrasi membentengi pergerakan cakra bayi Hinata agar tidak menyakiti ibunya.

Hinata membuka matanya yang tertutup untuk menatap kearah perutnya yang terngah di lingkupi cahaya penyembuh dari tangan Kikuyo. Membayangkan sebentar lagi ia akan bisa menggendong bayinya menentramkan sebagian diri Hinata. Namun rasa sakit yang sekali lagi mengigit hingga ketulang belakang membuat sebagian dirinya yang lain, yang lebih besar, merasa gelisah. Ia akan mati, benaknya mulai meyakini hal itu akan terjadi. Apakah kelak putranya akan baik-baik saja tanpa dirinya di sisinya? Apa dia akan tumbuh dengan baik? Apa ia akan mendapat kasih sayang yang cukup? Apa Sasuke bersedia mengakui buah hati mereka kelak? Bisakah ia bertemu dengan lelaki itu untuk yang terakhir kalinya? Akankah ia sempat melihat wajah putranya? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat air mata Hinata menuruni pipinya lebih deras dari pada sebelumnya.

"Sedikit lagi… " Kikuyo bersorak lega, kala ia mulai merasakan cakra bayi Hinata yang bergolak mulai mereda. Cakra Hyuuga terlihat mengurai nyaris menghilang dari pergerakan.

"Kikuyo-sensei…" Kano berseru ketakutan. Semburat senyum kelegaan dibibir Kikuyo segera lenyap ketika ia mendongakkan wajahnya, kepala Hinata yang sedari tadi tegak sudah terkulai lemas di bahu Kano yang menopangnya.

Hinata berusaha mengerjap-ngerjapkan matanya yang memburam, gambaran-gambaran wajah serta warna-warna yang ada terlihat mengabur tak berbentuk. Disisa-sisa kesadaran yang masih ada dia bisa mendengar suara-suara yang berseru keras ke arahnya, hanya saja ia tidak lagi bisa mengerti apa yang ia dengar. Rasa sakit dengan ajaib perlahan-lahan memudar, ia merasa sangat ingin memejamkan mata tapi sesuatu dari dalam dirinya mendesaknya untuk tidak melakukannya. Ia ingin melakukan sesuatu, ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tubuhnya menolak seluruh perintahnya, tubuhnya tidak beraksi, Hinata seperti sudah tidak berada didalam rubuhnya lagi.

Kemudian entah datang dari mana… tiba-tiba ada sepasang mata merah menunduk menatapnya sangat dekat. Kerutan tajam pada kening di atas alis mata berwarna hitam itu membuat Hinata juga ingin mengernyit sama dalamnya. Dan Hinata bisa merasakan titik demi titik air hangat yang menjatuhi pipinya, dari rambut hitam yang basah itu sepertinya air itu berasal, menitik tepat ke wajahnya dari ujung hidung orang ini. Hinata berusaha keras membaca garis wajah buram yang terpampang di depannya. Ia sepertinya sangat mengenalinya…

'Sasuke?'

"Hinata…!" Sekejap tatapan matanya menerang. Kini dengan jelas Hinata bisa melihat Sasuke yang menatapnya dengan wajah memutih pucat, basah oleh air hujan. Apakah mimpi? Benarkah ini Sasuke? Sekarang ia bisa merasakan sebelah tangannya tidak lagi berada di genggaman Kano, sosok yang menyerupai Sasuke ini sedang menggenggamnya erat-erat.

"Ayo.. dorong sekarang Hinata..!" Samar-samar Hinata bisa mendengar suara Kikuyo memerintahnya. Nalurinya pun segera bekerja, tanpa melepaskan tatapannya dari wajah Sasuke ia mendorong sekuat tenaga. Setelah beberapa detik rasa sakit yang tiada bandingannya, Hinata merasakan sesuatu meninggalkannya. Kepalanya terasa ringan… rasa sakitnya menghilang, tulang-tulangnya terasa lunglai tidak berdaya, pandangannya kembali mengabur, ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya sedikitpun bahkan sekedar menggerakkan bola mata.

Tapi… Suara itu terdengar sangat jelas di telinganya… Hinata tersenyum kecil, bulir-bulir hangat mengalir dari ujung mata menuruni sisi pipinya… Hatinya dipenuhi rasa lega dan haru, puas dan bahagia… Suara tangis itu terdengar sangat nyaring, membuat semuanya terasa setimpal.

'Selamat datang ke dunia… Sayangku.' Seluruh rasa sakitnya sudah terbayar sepenuhnya.

.

.

Sasuke gemetaran… seluruh tubuhnya gemetar ketika mendengarnya, lehernya terasa kaku akibat gerakan menoleh yang ia lakukan terlalu keras dan cepat. Suara tangisan kecil itu menarik seluruh perhatiannya, matanya membulat takjub menatap sesosok mahkluk kecil itu, tangan dan kakinya bergerak liar tidak terarah, tubuhnya bergetar seperti kedinginan, mulut kecilnya terlihat terbuka masih terus mengeluarkan tangisan indah itu.

"Bayi laki-laki yang sangat sehat…" Seseorang terdengar bersuara sembari memiringkan wajah bayinya kearahnya. Garis wajah Sasuke yang sedari tadi tegang melembut, mahkluk kecil itu terlihat rapuh, seperti tidak akan pernah bisa tersentuh olenya, terlalu murni untuk ia kotori dengan jemarinya.

Perasaan kuat penuh gejolak membara di dalam dirinya, Sasuke masih berlum sepenuhnya bisa menyerap berita ini. Bayinya…. Anaknya…. Putranya… Senyum datang tanpa di undang, Sasuke ingin menangis dan tertawa di saat bersamaan saat menatap wajah kecil berwarna merah muda itu. Ia tidak tahu apa tepatnya yang sesungguhnya ia rasakan saat ini, Cinta? Atau mungkin juga lebih dari itu... yang pasti ini lebih besar dari pada perasaan apapun yang pernah di rasakannya. Dan perasaan ini memukul-mukul dadanya dengan sangat keras, teramat sangat keras. Di sisi kecil bagian pikiran rasionalnya yang masih bekerja, ia menyadari segala sesuatu di hidupnya tidak akan pernah sama lagi, sejak detik ini.

"Sensei…!" Seorang gadis terdengar memekik ngeri dari sisinya, mungkin gadis yang sedang menopang Hinata.

Sasuke merasakan tubuh Hinata yang ia rapatkan di dadanya tiba-tiba tersentak-sentak ganjil. Saat ia kembali menatap wajah itu langit di atas kepalanya serasa runtuh, bola mata Hinata terbalik hanya menunjukkan bagian putihnya saja, mulut menutup rapat, tubuhnya tersentak-sentak keras tidak terkendali.

"Ia kejang-kejang…!" Pekikan ngeri kembali terdengar, membuat Sasuke mengetahui apa yang sebenarnya terngah terjadi pada Hinata-nya. Dalam kabut ketakutan yang mengelilinginya Sasuke bisa mendengar rentetan perintah bernada tinggi di suarakan. Hiashi berteriak mendesak Kikuyo untuk segera melakukan sesuatu pada putrinya, tanpa basa-basi wanita itu pun menyerahkan bayi yang berada di gendongannya itu pada Hiashi, setelah memastikan bayi itu di dekap dengan aman oleh kakeknya Kikuyo segera menghampiri Hinata.

"Sial…" Desisnya pelan menyumpah.

"Kano… gantikan Eiko untuk menjaga detak jantungnya…!" Kikuyo berteriak. Kano pun segera membaringkan tubuh Hinata di atas bantal lantas segera menggantikan posisi Eiko untuk membantu detak jantung Hinata dengan cakranya.

"Eiko… bantu aku menutup luka pada organ-organ dalamnya…!" Serunya lagi tanpa berselang.

"Brengsek… di saat-saat terakhir cakra bayi itu berhasil menembus pertahananku!" ceracaunya geram sambil terus berusaha menghentikan pendarahan yang terjadi di rahim Hinata. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menghentikan kejang ini, yang terpenting sekarang adalah bagaimana ia bisa menutup semua luka dalam yang di alami oleh Hinata lebih dahulu.

Ketakutan yang tidak terkatakan membuat Sasuke tercekat, perintah-perintah itu seperti kunai yang menusuk jantungnya mata Hinata yang terbuka namun tidak bereaksi itu sangat menyakitkan, ia merasa sangat lemah dan tidak berguna saat ini, ia tidak tahu bagaimana cara untuk menolong Hinata meringankan rasa sakit yang ia derita.

"Ia tidak bernapas…" Bentak Sasuke keras dengan suara pecah, berharap seseorang bisa segera membuat Hinata kembali bernapas. Mendengar itu Hiashi segera mengaktifkan Byakugannya.

"Ia mengigit lidahnya, saluran pernapasannya terhalang oleh darah…!" Suara Hiashi menggelegar di telinga Sasuke.

"Buka mulutnya…!" Siapa yang memerintah, Sasuke sudah tidak bisa tahu lagi. Ia segera mencengkram dagu Hinata untuk membuka mulutnya.

"Tidak bisa!" Sasuke berucap serak dengan ringisan tanpa mengalihkan perhatiannya dari wajah Hinata yang semakin memutih, ia juga bisa merasakan tubuhnya sendiri mendingin karena gugup. Otot rahang Hinata terkatup sangat erat karena kejang yang ia alami.

"Buka paksa…!" Hiashi berkata menuntut. Sasuke menggeleng, jika di paksa maka…

"Lepaskan rahangnya!" Seorang wanita juga ikut berkata.

Tidak ada pilihan lain. Sasuke berteriak keras seakan dirinya sendiri kesakitan saat ia melepaskan rahang Hinata. Segumpal darah segela terlontar keluar dari dalam tenggorokan Hinata ,cairan kental berwarna merah itu juga meleleh keluar dari ujung-ujung bibirnya. Sasuke meringis-ringis lirih saat mengusap bersih lelehan darah itu dengan ujung-ujung jemarinya. Ia sungguh-sungguh merasa ingin menangis. Tubuh Hinata masih tersentak-sentak hebat, bunyi berkeluruk yang keluar dari tenggorokan Hinata terdengar menakutkan dan membuat Sasuke semakin tersiksa. Kemudian tidak berselang lama sentakan-sentakan itu berangsur-angsur berhenti. Keheningan tercipta, cakra masih senantiasa berpendar dari ketiga ninja medis yang mengitari Hinata. Suara tangis bayi yang mulai mereda adalah satu-satunya suara yang di dengar oleh Sasuke, ia terpaku menatap mulut terbuka Hinata yang tidak menyuarakan apapun lagi. Hiashi mengeratkan pegangannya pada cucunya yang mulai diam di tangannya ketika melihat Kikuyo, Eiko dan Kano saling bertukar pandangan putus asa. Sesaat kemudian Kikuyo menatapnya kemudian menggeleng pada sosok ayah yang kehilangan topeng 'tanpa emosi' yang biasa di kenakannya.

"Ja… jantungnya berhenti…!" Kano tiba-tiba terisak sesenggukan. Pengalaman ini terlalu berat untuk mental pemulanya. Gadis muda itu bisa merasakan jantung Hinata telah berhenti, sekarang ini hanya cakranya lah yang membuat jantung itu masih berdetak.

Sasuke mendengar lolongan penderitaan -yang ternyata datang dari mulutnya sendiri- saat kembali menatap wajah Hinata. Mata amethysnya terlihat kosong menarawang melewatinya, wajahnya sepucat mayat, Hinata nampak tidak bernapas. Sasuke melakukan segala cara yang terlintas di benaknya untuk menyentak Hinata kembali kepada kesadaran. Mengguncangnya, memanggilnya lembut, berteriak marah padanya, berbisik ditelinganya memohon pada Hinata untuk berjuang, mengiba padanya agar kembali sadar. Setelah beberapa saat tidak mendapatkan hasil, ia mulai linglung, sendirinya tidak ingin lagi bernapas.

Ia bisa merasakan cakra Hinata yang perlahan padam, sekarang tergantikan oleh cakra gadis yang masih setia memompakan cakranya pada jantung Hinata. Sasuke mengubur wajahnya di leher Hinata, di bawah bibirnya ia bisa merasakan denyut nadi yang lemah dan semakin melemah. Kebodohannya mengatakan jika ia menahan napas mungkin waktu akan berhenti, mungkin juga bisa ikut mati bersamanya. Sasuke terkesiap ketika sebuah sentakan menjauhkannya dari Hinata-nya, memaksanya untuk mundur beberapa langkah jauhnya dari batu setinggi pinggang tempat cintanya di baringkan. Hiashi yang menyentaknya menatap garang, namun Sasuke mengabaikannya ia kembali mendekat pada Hinata dan menatap sosok yang begitu ia rindukan itu dengan putus asa dan terluka. Hinata tidak boleh mati…. Tidak… Dia tidak mati,dia hanya sedang tertidur… dan ia akan membangunkannya, segera.

Sementara itu, Eiko yang meski terlambat sudah berhasil menyelesaikan tugasnya beringsut mendekat mencoba menyentuh wajah Hinata, namun gerak tangannya terhenti ketika sebuah tangan kekar mencengkramnya erat. Eiko meringis dan menatap wajah Sasuke, dimata laki-laki itu ada ketakutan dan ketidak percayaan.

"Saya ingin mengembalikan letak rahangnya seperti semula…" Eiko mencicit mengutarakan maksudnya. Meski ragu, Sasuke akhirnya melepaskan dan membiarkan Eiko melakukannya. Hiashi mengernyit memandangi apa yang terpampang di hadapannya, emosi dan rasa sakit yang tergambar jelas di mata sosok 'Uchiha Sasuke' itu membuatnya heran dan bertanya-tanya. Apa…? Kenapa…? Antara putrinya dan pemuda ini… ada apa? Bukankah seharusnya ini hanyalah kesalahan? Takdir busuk, kemalangan karena situasi dan waktu yang tidak tepat?

"Hiashi-sama… pasukan dewan persatuan lima negara berhasil menembus pertahanan!" Seruan dari balik tirai mengingatkan kembali pada Hiashi kalau saat ini mereka sedang terdesak. Tangis bayi di gendongannya yang mulai berhenti membuatnya menatap cucunya itu dengan emosi yang berperang. Bayi ini harus selamat, ia harus menepati janjinya pada Hinata. Sorot matanya beralih dari cucunya kepada putrinya yang terbaring tidak bergeming, ketiga ninja medis masih terus memompakan cakra pada Hinata meski tahu itu sudah tidak lagi berguna. Sudah cukup… Hinata sudah cukup menderita, mungkin memang beginilah yang terbaik untuk putrinya.

"Kikuyo… cukup." Kikuyo menghentikan suplaian cakranya. Bukan karena permintaan Hiashi, tapi karena memang luka-luka Hinata sudah berhasil ia tutup, meski hal itu pun sesungguhnya juga sudah terlambat. Kano menatap senseinya ragu, ia enggan untuk berhenti, jika berhenti maka jantung itu benar-benar tidak akan berdetak lagi.

"Kau juga boleh berhenti." Hiashi berkata pada Kano.

"Tidak… jangan berhenti!" Sasuke menyela tidak rela.

"Mereka harus segera pergi sebelum pasukan persatuan lima negara sampai disini, Uchiha!" Bentak Hiashi rasional, putrinya sudah tiada, jadi tidak ada gunanya menahan para ninja medis ini tetap disini dan membahayakan nyawa mereka. Hiashi mendekat dan menyerahkan cucunya pada Sasuke, meski dengan berat hati ia terpaksa menyerahkan bayi ini pada sang Uchiha.

"Segera bawa dia pergi dari sini!" Perintahnya tanpa menatap pada Sasuke. Sasuke menyambut putranya dengan perasaan tidak menentu.

"Dewan persatuan mengincar nyawanya. Jaga putra kalian baik-baik… itu adalah permintaan terakhir Hinata." Sasuke menggendong bayinya di dadanya dengan bantuan tangan cakra, sementara kedua belah tangannya segera merengkuh Hinata di dekapannya, Kano berteriak ngeri ketika telapak tangannya terlepas dari dada Hinata. Bersamaan dengan terlepasnya cakra Kano Sasuke mengalirkan cakranya pada Hinata untuk menjaga jantungnya agar tetap berdetak.

"Apa yang kau lakukan?"

"Aku akan pergi membawanya!" Sasuke berkata menggeram pada lelaki yang lebih tua di depannya.

"Dia sudah tiada, Uchiha!" Laki-laki paruh baya itu berkata tenang, tidak ada yang bisa menerka hatinya yang tengah berdarah dalam duka.

"Diam!" Sasuke membentak kasar, menahan rasa sakit dan pedih ketakutan di dadanya, jantung itu berdetak sangat lemah, tubuh ringkih didekapannya semakin mendingin.

"Dia sudah mati! Pergilah bawa anakmu sekarang juga sebelum mereka sampai disini!" Ayah yang berduka itu berkata dingin.

"Aku tidak akan pergi kemanapun tanpanya!" Sasuke menatap pedih pada mata terbuka yang menerawang kosong digendongannya. Membuat mantan pemimpin Hyuga itu menutup matanya perlahan, berusaha menahan rasa sakit dan gelisah di dadanya.

"Pergilah… Bawa dia!" Akhirnya dia mengalah. Tidak ada waktu untuk berdebat, mereka akan segera sampai dalam beberapa menit.

"Dengarkan aku baik-baik! Untuk Hyuga dan Konoha Hinata dan cucuku sudah mati! Apa kau mengerti?" Biar segala akibat berada dipundaknya, Hinata dan cucunya akan baik-baik saja.

"Pergi dan bersembunyilah! Jaga cucuku baik-baik!" Hiashi menatap cucunya yang tergendong tenang tertidur di dada ayahnya.

"Dan jika dia bisa bertahan…." ,'meskipun tidak mungkin' hatinya menangis saat menatap wajah pucat putrinya di gendongan sang Uchiha.

"Aku titipkan dia padamu!" Sekelumit emosi akhirnya terdengar dari nada bicara dingin seorang ayah yang baru saja kehilangan putrinya.

"Pasukan musuh semakin mendekat!" Sayaka menghambur masuk mengabarkan dengan napas tersengal-sengal. Tanpa berlama-lama Sasuke pun segera beranjak, ia mengangguk pelan ketika berjalan melewati bahu Hiashi.

"Berhati-hati lah… Uchiha!" ucapnya penuh dengan harap.

000888000

"Apakah mungkin Hinata…" Naruto berkata tertahan, berusaha membatasi harapan yang mulai membumbung melewati akal pikirannya. Mungkinkah Hinata masih hidup? Jika Hiashi bisa berbohong tentang kematian Itachi mungkin saja… Hinata… Oh… Naruto tidak berani benar-benar berharap, ia takut pada rasa sakit yang mengancam menghujani lagi jika itu tidak terbukti. Tapi…

Naruto memperhatikan sekali lagi guratan garis-garis hitam yang menyatu membentuk semburat wajah yang tengah tersenyum manis di dalam kertas di atas mejanya. Lalu dengan pandangan menyendu Naruto menatap cincin yang melingkar di jarinya, 'Hinata ingin memberikannya padamu..' suara Hanabi yang pilu diingatnya dangan jelas. Jarinya mengelus-elus safir biru itu lembut, berharap hal itu bisa mengurangi sedikit kerinduannya pada sosok wanita itu. Sesungguhnya apa yang sedang terjadi ini? Naruto menangkup wajahnya kasar. Kenapa wanita ini sangat mirip dengan Hinata? Apa yang sedang terjadi?

"Apa ini benar-benar kau?" Di dasar dadanya Naruto merasakan harapan dan rasa takut menggumpal satu sama lain. Jika hal ini benar maka dia akan bisa bertemu dengan Hinata lagi… tapi itu juga berarti kalau Hinata lah yang bertanggung jawab atas kematian orang-orang itu, termasuk juga kedua orang tua Eri. Apa yang harus di lakukannya? Apa yang harus di rasakannya? Bahagia atau berduka?

"Dia tidak akan pernah melakukan hal seperti itu…" Bisik Naruto pada dirinya sendiri, Hinata tidak akan melakukan hal itu, wanita ini bukan Hinata. Ya… bukan Hinata, meski begitu Naruto masih bisa merasakan sebagian kecil dirinya mengharapkan sebaliknya.

"Kau memanggilku?" Sesosok ANBU bertopeng muncul di sudut ruangan. Naruto segera membalik sketsa yang sejak tadi ia pandangi, kemudian menatap sang ANBU yang sedang melepaskan topengnya untuk sang Hokage.

"Ya… Sasuke." Naruto tidak tahu apakah keputusannya untuk menyertakan Sasuke pada misi kali ini adalah hal yang tepat atau tidak. Hanya saja meski ia tutupi, hal seperti ini cepat atau lambat pasti akan bisa di ketahui oleh si Uchiha genius ini.

"Shikamaru telah mengirimkan hasil penyelidikannya dari desa terpencil itu…" Suara Naruto yang datar kaku membuat Sasuke memicingkan matanya dan semakin tajam mendengarkan.

"Rupanya kasus seperti ini sudah sering terjadi di sepanjang garis perbatasan Kumo sejak puluhan tahun lalu, hanya saja tidak pernah terekam dan tertangani dengan baik karena pandangan penduduk sekitar yang menganggap itu adalah bentuk hukuman yang diberikan oleh alam." Sasuke mengangguk pertanda mengerti, memburu Naruto untuk melanjutkan dengan tatapannya yang mendesak.

"Kematian seperti ini Konstan terjadi tahun demi tahun. Rata-rata ada 6-8 mayat di temukan di dalam hutan itu setiap tahunnya, namun jumlah itu menurun hanya menjadi 2 mayat setiap tahun pada 7 tahun terakhir." Naruto menghela napas besar saat ia membaca kembali gulungan yang dikirimkan oleh Shikamaru. Sasuke masih terus diam karena menyadari kalau Naruto masih belum menyelesaikan apa yang ingin dikatakannya.

"Masih belum ada bukti kongkrit mengenai identitas siapa pelaku yang sudah membunuh kedua ninja kita, namun…" Suara Naruto melemah.

"Dengan jutsu baru yang di kembangkan clan Yamanaka, dari ingatan jenazah Oda dan Souko, Shikamaru mendapatkan tersangka utama… " Naruto memperhatikan Sasuke dengan seksama ketika ia mulai mengangkat dan menghadapkan lembaran kertas berisi potret itu.

"Wajah ini adalah wajah terakhir yang mereka berdua lihat…" Berhadapan langsung dengan gambaran utuh dan persis dari rekaman yang selama ini ia simpan dalam sanubarinya, bibir Sasuke mengering. Mata Sasuke dalam sekejap kembali menatap mata biru Naruto yang sesungguhnya sama resahnya.

"Siapa dia menurutmu Sasuke?" Kening Naruto yang berkerut menujukkan keputusasaannya untuk dapat mendengar penyangkalan.

"Bukan… dia bukan Hinata!" Ucap Sasuke dengan suara memekakkan telinga. Ini gila… benak Sasuke berteriak. Tersangka utama mereka adalah… Hinata? Kesintingan dan kebodohan ini siapa yang menyembabkan? Sasuke geram hingga ia meraskan sekujur tubuhnya nyeri karena rasa marah. Siapa yang bermain-main dengan sosok Hinata? Siapa yang sudah berani bermain-main dengan sosok cintanya? Dan demi tuhan… wanita ini adalah seorang ibu. Mengingat Itachi, tubuh Sasuke berguncang karena serapah dan makian pada siapa saja yang ada dibalik semua ini. Bagaimana kalau putranya itu tahu tentang ini? Jangan sampai hal ini merusak sosok ibunya di pandangan Itachi.

"Hinata sudah meninggal" Desisnya pada dirinya sendiri ketika bisikan keraguan berujar dari hatinya. Bagaimana kalau ini benar? Bagaimana kalau ternyata ini memang adalah benar Hinata? Dia sendiri bukankah tidak secara langsung melihat dan menguburkan jasadnya, apa yang ditemuinya ketika kembali saat itu memang hanya merupakan keterangan dan pengakuan orang-orang yang menemukan jasad dan menguburkannya. Yang ia punya hanyalah desripsi tentang fisik dan kimono yang dikenakannya, ia tidak melihatnya secara langsung. Bagaimana kalau yang terbaring di makam itu sebenarnya bukanlah Hinata?

"Tidak… wanita ini bukan Hinata. Ia sudah meninggal 10 tahun yang lalu!" Sasuke berteriak untuk menghentikan bisikan-bisikan mengganggu itu dari benaknya.

'10 tahun?' Naruto kebingungan mendengarnya. 10 tahun? Bukankah usia Itachi sudah 13 tahun? Hinata meninggal ketika melahirkan kan?

"Apa maksudmu dengan 10 tahun, Sasuke?" Naruto berdiri dari kursinya. Sasuke yang baru menyadari apa yang sudah dikatakannya memandang Naruto dengan mata membulat kaget, persis seperti seorang penipu yang tertangkap basah sedang menipu. Melihat itu Naruto menjadi semakin curiga.

"Apa yang kau sembunyikan dariku Sasuke?" Naruto mengeratkan rahang ketika ia berjalan mengitari meja untuk mendekat pada Sasuke yang kehilangan kata-kata.

"Apa sebenarnya yang terjadi pada Hinata-ku?" Tuntut Naruto semakin kasar. Kata 'Ku' yang diucapkan Naruto membuat pengendalian diri Sasuke yang sedari tadi sudah dengan cepat terkikis akhirnya habis.

"Dia bukan milikmu!" sisi patah hati yang kekanak-kanakan di dalam dirinya tidak bisa terima ketika kelabat gambaran Hinata yang memandang lembut jemarinya yang dihiasi cincin biru itu memenuhi ingatannya.

"Kau bajingan sialan…. Dia adalah kekasihku.. brengsek!" Mata biru Naruto kian menggelap saat ia meraih dengan kasar leher seragam Anbu yang dikenakan Sasuke.

Sang Uchiha tersenyum hambar, kemudian berkata… "Dia istriku, Naruto."


Ja… segitu dulu ya… hehe…

Mohon maaf atas keterlambatannya…. Ga sadar udah 3 bulan aja ya…. Hick…hick.. Gomen!

Semoga suka chapter ini ya, peluk sayang dari Hyuri…

N buat Ririn ponakanku tersayang yang suka nagih… nih say…udah update special buat kamu… :) well aku syok loe kamu baca chap 10 ( padahal udah kubilang jangan dibaca )hehe…. semoga pandanganmu pada tantemu ini tidak berubah ya kid… Please jangan bilang aku mesum… soalnya itu seni…Wakakakak…

Terimakasih semua.

Review ya...