"—Maka dari itu diputuskan,"
"Bahwa mulai hari ini, kau adalah 'budak' di Klub ini!"
. . .
"...APA?!"
.
.
.
Recon High School Host Club
Chapter 1: Welcome to Host Club!
.
.
**Author: Nacchan Sakura**
**Shingeki no Kyojin (c) Isayama hajime**
**Ouran High School Host Club (c) Bisco Hatori**
(Warning—pemakaian bahasa agak kasar karena sifat pemeran yang mengikuti alur cerita, tak ada maksud untuk menyinggung siapapun. Cerita tak mengikuti Ouran, hanya mengambil dasarnya saja.)
.
.
.
Bahkan hidupmu yang selalu normal selama ini,
Bisa berubah jika kau memasuki Host Club.
.
.
.
Terkadang, hanya butuh waktu kurang dari satu detik untuk membuat hidupmu berubah.
Eren Jaeger merasa hidupnya benar-benar sudah dikutuk—sudah ayahnya tiba-tiba kabur meninggalkan setumpuk hutang, kini ia harus hidup sendiri sambil bekerja kesana kemari untuk menghidupi dirinya. Dan ibunya yang sudah meninggal tak akan mungkin bangkit dari kubur untuk membantunya menghadapi semua masalah. Sial? Ya, hidupnya memang sial.
Tapi Eren tidak dibesarkan untuk menjadi anak yang duduk lemah seraya meratapi hidup, ia lebih memilih untuk berdiri dan melakukan apa yang ia bisa, berusaha sekeras mungkin menjalani hidup yang tak ada habisnya memberi Eren jalan yang berliku.
Eren menghela nafas—ketika ia membuka mata di pagi hari, ia tahu banyak hal sudah menanti di depan mata. Pergi sekolah, belajar, bekerja, bekerja, bekerja lagi, pulang, mengerjakan PR, tidur. Yap, ulang dari awal, terus menerus, setiap hari.
Eren bangkit dari atas futon empuk yang tersisa di apartemen bobroknya—setidaknya ia masih memiliki tempat yang nyaman untuk berlindung, dan terjaga dari teriknya matahari atau ganasnya hujan badai dan angin kencang. Tuhan masih berbaik hati kepadanya, mungkin.
Eren bersiap-siap untuk pergi ke sekolah tercinta dimana ia menimba ilmu—Recon Academy. Sekolah elit dimana anak-anak dengan kejeniusan tingkat dewa dan anak-anak kaya raya nan elegan mencari ilmu disana. Oh—tentu saja, minus Eren. Ia harus bersyukur pada otak encernya yang setidaknya—setara dengan anak-anak yang bersekolah disana, dan menjadi murid beasiswa bukanlah hal yang buruk.
Eren memandang pantulan sosoknya di cermin—rambut agak panjang yang menutupi wajah, seragam yang berbeda dengan teman-temannya (tentu saja, karena ia tak memiliki biaya untuk membeli seragam sekolahnya.), dan kacamata tebal. Eren mengambil tas coklat tua berisi buku pelajaran—ia siap menghadapi hari.
Ya, ia siap menghadapi hari.
Perjalanan menuju sekolah sama seperti biasanya, tak ada yang spesial. Mungkin perbedaannya terletak pada banyaknya mobil mewah yang melaju melewati Eren, pergi menuju arah yang sama dengannya—sementara Eren, berjalan kaki tanpa peduli dengan orang-orang yang menatapnya 'aneh'.
Hey, berjalan kaki itu bagus untuk mencegah osteoporosis, tahu. Kalian yang naik mobil akan menyesal jika sudah tua nanti, gerutu Eren di dalam hati.
Dasar orang-orang kaya yang menyebalkan ini.
Ah, apa boleh buat. Kehidupan Eren memang berbeda dari mereka. Menurut mereka, yang mereka lakukan itu normal. Dan Eren di mata mereka—jauh dari kata normal. Haha—bahkan seragam mewah yang dipakai oleh mereka saja berbeda jauh dengan seragam Eren—tentu saja ia semakin dipandang 'tidak biasa'.
Sungguh... Miris. Dan ngenes.
Setelah memiliki banyak pikiran tidak jelas yang berputar di benaknya, Eren tersadar bahwa dirinya sudah sampai di hadapan gerbang sekolah yang megah. Aah, silau—gerbang yang terbuat dari emas ini mungkin lebih mahal daripada harga dirinya sendiri jika dijual dalam pasar gelap.
Pssh, itu cuma pengandaian. Eren tidak mau jadi korban penjualan anak di bawah umur.
Eren melangkahkan kakinya masuk—ia menarik nafas.
Hari ini baru saja dimulai..
.
.
.
"...Orang-orang kaya yang bedebah ini."
Eren menghela nafas panjang—sangat panjang, melihat kelasnya kini penuh dengan teman-temannya yang sedang bergosip ria soal barang mahal atau soal pengalaman berlibur mereka ke tempat yang istimewa. Sementara Eren hanya bisa mengutuk dalam hati—mereka liburan ke tempat mewah? Hah, sementara ia liburan dengan banyak kerja sambilan disana dan disini. Hey, setidaknya, liburannya menghasilkan uang.
Melihat sebuah tulisan besar di papan tulis yang mengabarkan bahwa hari ini kelas mereka memiliki jam bebas sampai jam sebelas siang, Eren memutuskan untuk belajar sendiri di tempat lain—selain kelasnya sendiri. Ia memutar balik tubuhnya dan berjalan meninggalkan kelas, berharap perpustakaan bisa menjadi tempat yang tepat.
Oh, Eren tak tahu bahwa di atas sana, takdir sedang menyeringai licik ke arahnya, seraya berkata;
"Hidupmu akan berubah jika kau pergi kesana, bung."
Dan sayangnya—Eren bukan manusia super yang bisa mendengar takdir berbicara. Heck, Eren bahkan tak yakin takdir bisa berbicara—ia hanya mengira ini semua hanya ulah Author yang berniat menakut-nakuti dia semata.
Yah.. kita tunggu saja kebenarannya,
Eren Jaeger.
.
.
.
"...Perpustakaan itu.. dimana?"
Baru saja sepuluh menit, dan Eren sudah tersesat—di dalam gedung sekolahnya sendiri. Mau bagaimana lagi? Recon High School adalah sekolah yang luasnya mungkin menandingi Budokan di Jepang, dan Eren tak habis pikir kenapa ada orang yang mau membeli tanah dengan luas gigantic ini dan membangunnya menjadi sebuah sekolah.
Orang kaya dan pemikiran kampretnya, pikir Eren.
Tapi walau Eren berpikir begitu—harus ia akui, sekolah ini memang te-o-pe dalam hal pendidikan. Ilmu disini semuanya tak tanggung-tanggung, dan Eren rasa ilmu yang diberikan sekolah ini akan berguna untuk mencari pekerjaan ketika ia sudah lulus nanti. Dan ia beruntung karena bisa bersekolah disini karena beasiswa—hah, kalau tidak, mau dari mana ia membayar semua biayanya? Bahkan jika ia harus bekerja menjadi seorang pole dancer sampai tua pun, ia tak yakin biaya sekolahnya akan terbayar.
...Sekali lagi, itu cuma perumpamaan.
Eren kembali ke tujuan awalnya; mencari perpustakaan. Ditelusurinya lorong luas yang dihiasi pintu megah di sebelah kanan, dan juga jendela lebar yang membuat sinar matahari masuk dengan leluasa di sebelah kirinya.
Let's see—Ruang tata usaha, Ruang kesehatan, Ruang audisi SNK48—eh wait, ada ruangan seperti itu di sekolahnya?
Baru saja Eren hendak membuka pintu yang paling menarik perhatiannya tersebut, tapi matanya keburu menangkap tulisan 'Perpustakaan' yang jaraknya tak begitu jauh. Ia membuang niat awalnya dan kembali berjalan—akhirnya, ruangan yang tenang dan tak ada keributan!
Eren menarik kenop pintu di hadapannya perlahan, seraya berdo'a—berharap semoga perpustakaan sedang sepi, jadi ia mendapatkan kedamaian yang sedari tadi ia dambakan.
Aamiin..
.
.
.
.
Kemudian Takdir berkata, 'LOL .. No.'
.
.
.
"SELAMAT DATANG, TUAN PUT— Eh?"
Sialnya, Eren bukan disambut dengan kesunyian yang membuat tentram jiwa—ia disambut dengan ribuan kelopak bunga mawar yang bertebaran entah dari mana.
Dan juga...
Sekumpulan cowok yang menyambutnya dengan aura kerlap kerlip ala manga jadul tahun tujuhpuluh-an.
"Loh, ini sih bukan tuan putri.." Seorang cowok dengan rambut coklat terang memandang Eren dengan mata yang menyipit—membuat Eren mengumpat di dalam hati, 'Jelaslah, gue kan cowok!'
"Tapi tamu tetaplah tamu, Jean. Selamat datang, tuan muda." Kini seorang lelaki jangkung dengan rambut hitam gelap menimpali—ia tersenyum lembut ke arah Eren. Eren menelan ludah.
Memangnya ini ruangan apa? Tulisannya perpustakaan, tapi kok tidak ada rak buku di sekeliling ruangan ini? Dan kenapa Eren disambut 'selamat datang' oleh sekumpulan lelaki yang bersinar dan hujan kelopak mawar?!
Dan lagi—darimana bunga mawar ini dan juga sinar-sinar aneh itu?!
"Dia tidak menjawab, Berth."
"Entahlah, Reiner, dia sepertinya bingung kenapa disini silau dan banyak bunga mawar."
"Oh, pantas. Kalau begitu matikan saja dulu lampu sorot dan kipas anginnya."
The Hell, sekolah macam apa yang menyediakan lampu sorot di perpustakaan—
"Oi, bocah."
Seorang lelaki yang tadi duduk di atas kursi megah diantara lelaki lainnya kini memanggil Eren—membuatnya tersadar dari shock nya sesaat. Eren menatap lelaki itu—ah..
Lelaki yang memanggilnya tadi—dia tampan. Rambutnya hitam pekat, sesekali tertiup angin kecil yang berada di dalam ruangan. Sorot kelabu matanya tajam dan menusuk, suara rendahnya begitu terdengar mengalun di telinga, dan tanpa lampu sorot pun—Eren entah kenapa bisa melihat sinar di sekeliling tubuhnya...
Tak bisa dipungkiri—Eren terpana.
"Kenapa kau bisa ada disini, bocah?" lelaki itu turun dari singgasana miliknya berjalan menghampiri Eren—oh.
Lelaki itu pendek. Eren tak jadi terpana. (Eren bahkan tak peduli jika ia kurang ajar sekali bisa berpikiran seperti itu kepada orang yang tak ia kenal.)
"Kurang ajar, berani sekali kau melihatku dengan tatapan yang mengatakan 'Hey, kontet' itu."
"...A-aku ga bilang apa-apa deh—"
"Jangan berbicara balik kepadaku, bocah!"
Lah.. orang dia yang nuduh seenaknya.—batin Eren.
"Aku bertanya sekali lagi, bocah. Kenapa kau bisa ada disini, hah?"
"Umm, Rivaille-senpai, sepertinya kau tidak perlu terlalu kasar terhadapnya," Lelaki—euh, iya, anggap saja itu lelaki—bertubuh mungil dengan surai rambut blonde berjalan ke sisi lelaki pendek bernama 'Rivaille' itu seraya tersenyum ramah kepada Eren.
Sementara Eren masih berdebat dalam hati, menentukan gender sebenarnya dari lelaki blonde yang baru saja menyapa ini. (Ya, Eren mungkin telah mempelajari betapa kerasnya hidup—sehingga ia menjadi kurang ajar seperti ini.)
"A-aku salah masuk ruangan, maaf." Akhirnya Eren menjawab setelah lama diam semenjak memasuki ruangan—Eren hendak berbalik dan meninggalkan ruangan ini. "Aku kira ini perpustakaan."
"Kalau perpustakaan yang lama sih, memang disini. Tapi perpustakaan baru letaknya di gedung utara." Lelaki dengan surai blonde lainnya menimpali—tubuhnya besar dan sepertinya ia atletik. Eren mengangguk kecil.
"Oh, um—terima kasih. Kalau begitu, aku permi—"
"Ooh, kau itu... Eren Jaeger, ya?"
Sekarang Eren kembali terdiam di tempat—loh, kenapa bisa ada yang tahu namanya? Eren saja bahkan tak yakin para guru peduli dan tahu dengan nama murid beasiswa—yang tak mungkin bisa membayar biaya sekolah ini.
"Eh, Irvin-senpai kenal anak ini?"
"Yah.. dia murid beasiswa yang terkenal itu, masa kalian tidak pernah dengar?"
Terkenal? Eren menarik satu halisnya ke atas—ia terkenal karena apa, coba?
"...Murid yang terkenal karena berjalan kaki ke sekolah itu, loh.."
..Orang kaya dan pikiran kampretnya. Setidaknya Eren 'berjalan kaki' ke sekolah, bukan 'ngesot ke sekolah'. Apanya yang aneh, sih?!
"OOH! Hahaha, yang itu, toh!"
"Di kelasku sudah jadi gosip, loh."
"Pfft, ternyata ada ya, orang yang jalan kaki ke sekolah di dunia ini!"
'YA ADA, LAH! ORANG KAYA TAPI KOK KAMPUNGAN, SIH—' Eren mengumpat di dalam hati—tapi di luar, ia hanya mengelus-elus dada seraya bergumam, sabar—sabar—
"Pantas saja kau bisa salah ruangan, kau pasti tak tahu kalau ruangan ini sudah dipakai untuk Host Club, ya?"
Eren terdiam sejenak—wait, what?
"DI SEKOLAH INI ADA HOST CLUB?!"
Eren sudah tak mengerti lagi dengan seisi sekolah ini—sekolah macam apa yang memperbolehkan ada Host Club untuk berdiri bebas?!
"Iya lah, orang yang punya ide buat bikin klub ini kepala sekolah juga.."
The Hell, kepala sekolahnya itu semacam otaku atau memang tidak waras?
Eren memijat-mijat keningnya—cukup, bukannya dapat ketenangan, ia malah semakin pusing karena salah memasuki ruangan dan bertemu orang-orang anggota Host Club. Dan ia bertambah pusing lagi karena hari ini, ia tahu banyak hal-hal absurd lainnya dari sekolah ini.
Kalau saja Eren memiliki uang yang cukup, mungkin ia sudah angkat kaki dari sekolah ini dan pindah ke sekolah normal yang ada di wilayah lain.
"Kalau begitu, aku permisi." Eren tak mau berbasa-basi—ia berbalik dan hendak pergi menuju perpustakaan yang sebenarnya. Kemudian..
Takdir mulai berperan menjadi anak nakal, lagi.
"Eh..?" Eren tak mengingat di dekatnya tadi ada meja yang menjadi alas untuk berdirinya guci berkilau yang terbuat dari emas—TUNGGU, AWALNYA DISINI MEMANG TIDAK ADA MEJA!
Kemudian tiba-tiba saja, Eren menemukan meja itu ada di dekatnya—ralat, sangat dekat—sehingga ketika ia berbalik, sikut tangannya dengan sukses mengenai guci emas itu.
Dan...
PRANG!
"..."
"..."
"..."
Insert awkward silence here—
"...Ah, gucinya pecah."
"You don't say, Jean."
"Tapi itu guci milik Rivaille-senpai, 'kan?"
"Harganya mahal, 'kan?"
"Guci itu stok terbatas dari Thailand, 'kan?"
Eren menelan ludah—lagi. Terkutuklah dunia ini.
"M-m-maaf, maafkan aku!" Eren mengambil pecahan guci itu—dengan bodohnya berharap bahwa pecahannya besar-besar sehingga ia masih bisa menempelnya kembali dengan lem seharga lima ratus rupiah. Kemudian wajah Eren menjadi pucat—ugh, ini sih.. udah tak bisa diapa-apakan lagi.
"Aah, harganya mahal, looh.."
"Kau harus ganti rugi, looh.."
"Murid yang berjalan kaki ke sekolah tak mungkin bisa ganti, looh.."
"BAWEL!" Eren mulai sensitif jika ada yang menyinggung soal 'jalan kaki ke sekolah', sepertinya.
Semua anggota Host Club menatap Eren lekat-lekat—Eren merasakan keringat dingin meluncur dari dahinya. Ia berdo'a kepada matahari—bulan—langit—apa saja, yang ia tahu, ia tak mau lagi meminta permohonan kepada takdir yang sedari tadi mengerjainya seraya memasang wajah Troll face.
"Eren Jaeger... kau bisa mengganti semua ini, hah?" Rivaille menatap Eren dengan aura kegelapan yang begitu bertolak belakang dengan sinar-sinar yang tadi muncul di awal pertemuan—Eren tak bisa membedakan mana yang iblis kontet dan mana yang Rivaille, jika mereka berdua dijejerkan saat ini.
"Aku.. akan mencobanya, mungkin aku akan mencari kerja sambilan lain—"
"Kerja sambilan? KERJA SAMBILAN, KATAMU?! Kau pikir harga guci ini berapa, hah?!"
Eren terdiam sejenak—kemudian ia menatap Rivaille dari balik kacamata tebalnya. "Um... Sepuluh juta?"
Sebuah kemoceng terlempar ke arah wajah Eren dengan indahnya. "SERATUS JUTA, BOCAH!"
Eren memasang wajah ala lukisan Scream mendengarnya—SERATUS JUTA? UNTUK SEBUAH GUCI?!
Otak Eren malah menghitung-hitung apa saja yang bisa ia beli dengan seratus juta. Sushi, rumah, mobil, baju—
"Oi, bocah, jawab pertanyaanku!"
—Oh iya, Eren sampai lupa kalau mahluk kontet ini sedang berbicara dengannya.
"M-mungkin... aku bisa bayar..."
"Kau bercanda?! Kalaupun terbayar—seratus juta itu baru akan terkumpul saat kau berusia delapan puluh tahun!"
Ck— udah kontet, bawel pula.
"Tunggu, Rivaille.. tidak usah terlalu emosi. Kau bisa beli guci itu lagi kapan saja, bukan?"
"Bukan itu masalahnya, Irvin! Kalau kita tak mengajarkan bocah ini caranya tanggung jawab dan ganti rugi, bocah sial ini—"
"—Stop. Aku punya ide lain, Rivaille. Dengar—Jaeger,"
Eren kembali fokus dan mengalihkan pandangannya kepada lelaki jangkung dengan iris biru langit yang terang.
"Kau tidak perlu membayar untuk guci itu,"
Sekarang, giliran wajah Eren yang menjadi bersinar layaknya bintang iklan sebuah produk komestik wajah—senyum lebarnya perlahan muncul, dan ia menari ballet di dalam hati saking bahagianya.
"Woi, lampu sorotnya matiin!"
"Silau, nih!"
"EHEM!" Irvin menguasai perhatian sekali lagi—membuat anggota lainnya menutup mulut. "Tapi, Eren..."
"...Ya..?" Eren tak sabar, ingin tahu apa yang ada dibalik 'tapi' yang Irvin ucapkan—Eren berharap bahwa kali ini ia dibebaskan begitu saja.
"—Maka dari itu diputuskan, bahwa mulai hari ini, kau adalah 'budak' di Klub ini!"
. . .
"...APA?!"
. . . .
WUUSH!
Tiupan angin besar menjadi latar wajah Eren yang kini pucat pasi—di dalam imajinasinya, Eren saat ini sedang berada di ujung tebing yang disirami ombak dan petir juga awan mendung yang menjadi penghias di belakang.
"WOI, SIAPA YANG NYALAIN KIPAS ANGINNYA?!"
"MATIIN WOI, MATIIN!"
"JADI BUDAK?!" Eren OOT sendirian—tapi ini masalah hidup dan matinya, maka dari itu ia ikut berteriak walau tak nyambung dengan pembicaraan. Irvin mengangguk.
"Hanya itu hukuman yang bisa kami berikan, karena kau juga tak mungkin mampu membayar guci itu, bukan?"
Iya, sih—pikir Eren. Tapi kalau sampai jadi budak—
"Ide bagus tuh, jadi budak!"
"Iya, selama ini repot juga kalau mau ke kantin harus jalan dulu.."
'...GERAK DIKIT, KEK! UDAH KE SEKOLAH NAIK MOBIL, MASA IYA KE KANTIN MAU DIANTER NAIK OTOPET?!'
"EHEM. Jadi.. bagaimana, Jaeger?"
"..Aku tak punya pilihan lain, bukan?" Eren menerima kekalahannya—setidaknya ia tak harus bekerja ekstra untuk dapat uang seratus juta, sih. "Mohon bantuannya."
Semua anggota Host Club—minus Rivaille tersenyum lebar ke arah Eren. Entah senyum itu pertanda perkenalan atau apa, tapi Eren memandang senyum itu sebagai seringai Iblis yang merencanakan macam-macam.
"Namaku Irvin Smith, wakil ketua Host Club, dan ini Rivaille, ketuanya."
Bujug, lelaki kontet ini ketuanya? Tanya Eren dalam hati—wajah sinis seperti itu tidak terlihat seperti wajah orang yang mau berurusan dengan klub semacam ini.
"Aku Berthold, salam kenal!" Lelaki paling jangkung di Host Club menyapa, disambung dengan anggota lainnya.
"Reiner, salam kenal." Yang ini, lelaki besar dengan rambut pirang.
"Armin Arlert, salam kenal, Eren!" Yang ini, lelaki—bukan, perempuan—ehh, lelaki—...euh, apapunlah!
"Jean Kirschtein." Oh, yang jutek dan mirip kuda ini namanya Jean.
"Sekali lagi, kami mengucapkan—"
"Selamat datang di Recon High School Host Club!"
Satu mata Eren berkedut—haha, penyambutan macam apa ini. Harinya baru saja dimulai, tapi hidupnya sudah berubah drastis.
"Nah, bekerja dengan baik ya—Eren si budak!"
...
'Ibu, aku mau ikut Ibu saja ke surga, boleh tidak...?'
Pfft—yah, Eren...
Harimu baru saja dimulai, loh.
.
.
.
To be Continued
.
.
.
A/N:
Yak! Inilah fanfic yang dijanjikan~
Chapter pertama mungkin mirip-mirip dengan ouran high school host club, tapi Author memprediksi cerita ini bakalan jauh dari cerita ouran alias ngarang sendiri di chapter depan—jadi dimaklum aja ya :'D
Semoga kalian senang dengan ceritanya!
With Love,
Nacchan Sakura.
P/S: Btw ada yang bisa rekomen gambar bagus buat gambar cover fanfic ini? Atau ada yang mau buatin? *jduk*